Hari demi hari telah berlalu, Evan masih dalam masa pemulihan yang ternyata membutuhkan cukup banyak waktu pasca operasi. Elizabeth masih membantunya melakukan hal-hal kecil sekalipun, meski sesungguhnya dia bisa sendiri. Namun, Evan tidak mau Elizabeth menjauh dari sisinya. Dan pagi ini, Evan tengah bersama dengan Jericho di dalam kamarnya. Evan duduk di atas ranjang membaca beberapa berkas yang Jericho tunjukkan padanya. "Ini berkas penting untuk pembahasan meeting minggu ini, Jer ... kau harus datang ke sana mewakiliku," ujar Evan pada Jericho. Ajudannya itu mengangguk. "Baik Tuan. Tapi ... kalau boleh saya tahu, apa Tuan masih sakit?" tanya Jericho. "Kau pikir aku pura-pura?! Jahitan lukaku belum kering betul, aku tidak bisa beraktivitas seperti biasanya, kau tahu! Lakukan saja semua pekerjaanmu, nanti kalau aku sembuh aku akan membantumu," ujar Evan menyerahkan kembali berkas yang ia bawa pada ajudannya tersebut. Sepasang mata Jericho memicing curiga. Tapi ia pun mengangguk
Sudah satu minggu penuh, tak sehari pun Evan lalui tanpa Elizabeth di sampingnya, bahkan wanita itu selalu melakukan apapun yang Evan butuhkan, juga menemaninya siang dan malam. Hingga, Exel pun diam-diam sudah mulai iri dengan Papanya. Karena Mamanya selalu meluangkan waktunya untuk sang Papa, bukan untuknya dan adiknya. Sampai Exel merasa kesal pada Papanya. Bahkan saat ini, Exel cemberut saat dia melihat Evan tengah disuapi oleh Elizabeth dengan alasan kepalanya pusing tiba-tiba. "Mama kapan mau suapin Exel sama Adik? Kita berdua disuapi Bibi terus, giliran Papa saja disuapi sama Mama!" seru Exel menatap penuh permusuhan pada Evan. Elizabeth menoleh cepat begitu Exel berucap dengan wajah merajuk, di sampingnya ada Pauline yang asik makan sendiri. "Sayang—""Adik Pauline saja sampai makan sendiri. Kasihan tahu Adik Pauline, Mama..." Exel benar-benar kesal pada Papanya. Evan langsung terdiam dan menyudahi makannya saat itu juga. Elizabeth sendiri, dia langsung menatap lekat waj
Malam ini Elizabeth tidak kunjung mengantuk. Ia memutuskan untuk duduk sendirian di balkon lantai dua rumah Evan. Di sana, Elizabeth merenung memikirkan bahwa besok dia akan bertemu dengan Melody—Mama mertuanya lagi, setelah sekian tahun lamanya. "Apa Mama sudah benar-benar berubah? Benarkah dia sekarang sedang sakit mental, tidak mungkin Evan membohongiku, kan?" lirih Elizabeth bergumam sendirian. Wanita itu mengusap wajahnya pelan dan menyergah napasnya panjang. Dia tertunduk diam merasa ragu dan sedikit takut untuk bertemu dengan Melody. 'Tidak mungkin aku harus berpamitan pergi setelah aku menyanggupi permintaan Evan untuk bertemu dengan Mamanya, tapi ... kenapa aku merasa sangat was-was?' Di saat Elizabeth gelisah bersama lamunannya, wanita itu tidak sadar bila Evan mendekatinya. "Kau sedang apa di sini? Kenapa belum tidur?" Suara Evan membuat Elizabeth tersentak. Wanita itu langsung menoleh dan terkesiap karena Elizabeth tak tahu kapan Evan datang. "Oh itu, aku ... aku s
Suara teriakan dan jeritan tangis Melody menggema di rumah Evan pagi ini, wanita itu menangis dan berusaha berlari ke arah Elizabeth. Sedangkan Elizabeth, ia sangat was-was melihat Melody yang meraung-raung dan berusaha berlari ke arahnya. "Berikan obatnya, biar dia tenang dulu," ujar Arshen pada seorang suster. "Iya Tuan." Suster itu pun memberikan sebuah obat penenang pada Melody dan memintanya untuk meminumnya. Setelah itu barulah Melody nampak tenang perlahan-lahan, dia seperti tidak punya tenaga untuk berbicara dan lemas duduk di samping Arshen. "Seperti inilah kondisi Mama selama empat tahun setelah aku pergi, Elizabeth," ujar Arshen kini mengelap wajah Melody dengan sapu tangannya. "Dia selalu mencarimu siang dan malam, jarang mau makan sampai tubuhnya kurus kering seperti ini. Tidur pun hanya beberapa jam saja, setelah itu Mamamu menangis-nangis lagi." Elizabeth meremas tangan Evan tanpa sadar, kedua matanya masih terus tertuju pada Melody yang kini menyandarkan kepala
Hari sudah menjelang malam, setelah siang tadi ia duduk saling bertukar cerita dengan Evan. Malam ini pun, Elizabeth kembali melakukan tugasnya seperti hari-hari kemarin di rumah Evan. Ia membantu pelayan menyiapkan makanan untuk makan malam. Awalnya Elizabeth mengerjakan semua dengan santai dan tenang. Hingga perhatiannya teralihkan saat melihat Melody berdiri ragu-ragu di ambang pintu ruangan itu. "Nyonya, jangan ke sini, ayo ke sana saja," ujar suster yang menjaga Melody. "Mari Nyonya, kita melihat Tuan dan Nona kecil seperti tadi saja, mari..." Mendengar suster yang nampak kesusahan membujuk Melody, lantas Elizabeth segera meletakkan piring di tangannya. Wanita muda dengan balutan dress berwarna merah itu berjalan ke arah pintu dan mendekati Mama mertuanya bersama suster yang tengah membujuknya. "Ada apa, Suster Lea?" tanya Elizabeth mendekatinya. "Oh, maaf Nyonya. Saya mau mengajak Nyonya ke depan. Saya takut Nyonya mengganggu dan malah mengacak-acak ruang makan seperti kap
Pagi ini Elizabeth tengah menjaga dua anaknya yang tengah bermain di taman rumah. Exel dan Pauline sempat bersembunyi kemarin, hingga membuat semua orang panik. Hingga kini, Elizabeth menjaganya agar mereka tidak melakukan hal seperti kemarin. Elizabeth tengah duduk melamun diam sembari mendengarkan tawa Exel dan Pauline. 'Rasanya, aku benar-benar ingin pulang,' batin Elizabeth, dia memejamkan kedua matanya. Ia merasa lelah akhir-akhir ini, dan membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri.Tiba-tiba Pauline berjalan mendekati Elizabeth, dan memeluknya. "Mama kenapa sedih?" tanya anak itu mengerjapkan kedua matanya. Elizabeth tersenyum lembut. "Mama rindu rumah, Sayang ... Pauline tidak kangen rumah, ya?" tanya Elizabeth menangkup kedua pipi gembil Pauline. Anak itu mengangguk. "Kangen boneka kuda poni," jawabnya cemberut. Hal ini membuat Elizabeth terkekeh pelan. Pauline memainkan jari telunjuknya di atas permukaan punggung tangan Elizabeth, tiba-tiba anak manis itu mengerjapkan kedu
Sudah cukup lama Elizabeth tidak mengunjungi butiknya, karena dia harus merawat Evan yang sedang sakit. Hari ini wanita cantik itu sudah mulai aktif bekerja kembali seperti biasanya. Elizabeth juga mengajak Pauline, juga Exel bersamanya. Dan Evan lah yang pagi ini mengantarkannya, bersamaan dengan laki-laki itu yang bersiap untuk pergi ke kantor. "Hati-hati di jalan, Evan," ucap Elizabeth yang berdiri di depan pintu butiknya. Evan yang berdiri di depannya pun tersenyum manis. Laki-laki itu mengulurkan tangannya dan mengusap pucuk kepala Elizabeth dengan lembut. "Iya. Terima kasih, Eli," jawab Evan, laki-laki itu menatap kedua anaknya yang sudah berlari masuk ke dalam butik. "Kalau terjadi sesuatu dengan anak-anak, segeralah hubungi aku. Dan tolong tunggu aku kalau kau ingin pulang, jangan pulang sendirian. Mengerti?" Anggukan diberikan oleh Elizabeth. Wanita dengan balutan blazer putih itu menoleh ke dalam butik di mana semua rekan-rekannya memperhatikannya dan Evan dengan tatapa
Seperti yang Evan rencanakan sejak semalam, dia berhasil memajukan jadwal meetingnya menjadi siang hari. Jadi malam ini, dia bisa menemani Elizabeth untuk pergi ke pesta Keluarga Winston. Mereka berdua datang sebagai pasangan yang terlihat sangat romantis. "Apa kira-kira semua rekan kerjanya juga diundang?" tanya Evan melirik Elizabeth yang merangkul lengannya. "Eumm ... kalau acara keluarga, mungkin hanya beberapa orang terdekatnya saja," jawab Elizabeth. "Tapi sepertinya, kau juga akan banyak mengenal para tamu Keluarga Winston nanti.""Heem, baiklah ... ayo," ajak Evan menatap Elizabeth dan tersenyum menggenggam tangan istrinya. Mereka masuk ke tempat di mana pesta itu digelar di sebuah hotel mewah. Kedatangan Evan dan Elizabeth disambut hangat oleh Sisca dan Brian. "Akhirnya, kalian datang juga! Ya ampun Elize ... kau cantik sekali malam ini!" seru Sisca memeluk Elizabeth. Sedangkan Evan bersama dengan Brian dan mereka saling menyapa bercanda tawa. Ternyata di sana ada bebe