Setibanya di rumah, setelah Elizabeth dan Evan kembali dari pesta, mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah. Keduanya juga bersama-sama melangkah ke menuju ke lantai dua. Sampai tiba-tiba langkah Elizabeth terhenti dan Evan menoleh ke arah wanita yang kini menatapnya dengan mata menyipit. "Kenapa?" tanya Evan sembari menyampirkan tuxedo hitam di lengan kirinya. Elizabeth kembali melangkah mendekatinya. "Harusnya aku yang bertanya padamu, kenapa kau tadi bersikap manis sekali saat di hadapan Daniel?" tanya wanita itu. Sebenarnya Elizabeth tahu, kalau tadi Evan menunjukkan rasa cemburunya. Karena dari sorot mata dan perlakuannya yang berlebihan tak seperti biasanya. Evan pun berdehem pelan. "Kenapa memangnya? Apa salahnya aku melakukan itu? Lagi pula kau adalah istriku, jadi wajib bagiku untuk lebih posesif denganmu. Bukankah begitu, Nyonya Collin?" Laki-laki itu melangkah mendekat dan berjalan memutari Elizabeth dengan langkah pelan. Elizabeth tertegun mendengar bagaimana Eva
Setelah kedua orang tua Evan pulang kembali ke Prancis beberapa jam yang lalu, sore ini pun Elizabeth mengemasi baju-bajunya dan milik Pauline ke dalam sebuah tas.Elizabeth yang tengah merapikan barang-barangnya, tiba-tiba disusul oleh Pauline yang masuk ke dalam kamar menatapnya bertanya-tanya. "Mama ... Mama mau ke mana?" tanya Pauline berjalan mendekati Elizabeth. Mamanya pun menoleh dan tersenyum. Elizabeth menekuk kedua lututnya di hadapan Pauline dan memegang pundak mungil putrinya. "Sayang, kita pulang ke rumah kita sendiri, ya ... sekarang kan, Papa sudah sembuh. Dan Kakak Exel juga harus sekolah. Kalau ada Adik Pauline di sini, nanti Kakak Exel tidak fokus sekolahnya," ujar Elizabeth membujuk rayu putri kecilnya. "Jadi Pauline mau kan, pulang dengan Mama?" Mata cokelat Pauline nampak mengerjap, anak itu tengah berpikir-pikir untuk menyetujuinya atau tidak, sebelum akhirnya Pauline mengangguk. "Huum, Pauline mau pulang. Pauline kangen sama mainan Pauline di rumah," jawa
Daniel dan Elizabeth masih berbincang bersama, mereka berdua awalnya bercerita tentang pekerjaan mereka dan kali ini membahas hal lain yang lebih serius. Daniel lah yang membuka percakapan serius itu dengan Elizabeth. "Eli..." "Heem? Ada apa, Niel?" Elizabeth yang tengah membuka plastik makanan milik Pauline itu langsung menoleh. Daniel terlihat ragu mengatakannya. "Aku menerima perjodohan dengan anak mendiang teman Papa," ujar Daniel mengungkapkan pada Elizabeth. "Semalam kau juga bertemu dengan gadis itu." Wanita cantik itu langsung tersenyum. "Tidak papa, Niel. Aku selalu berdoa semoga ke depannya kau selalu bahagia dengan gadis yang akan kau jadikan istrimu itu. Aku yakin kalau dia pasti gadis yang baik," ujar Elizabeth menatap Daniel lekat-lekat. "Heem, aku juga berharap begitu." "Papa tidak mungkin menjodohkanmu dengan gadis yang buruk, hanya saja kau mungkin belum mengenal gadis itu." Elizabeth mencekal lengan Daniel dan menepuknya. "Aku yakin setelah kau mengenalnya, ka
Elizabeth bangun pagi-pagi sekali, ia menyiapkan bekal yang akan ia bawa ke butik untuknya dan Pauline. Wanita itu juga sudah memandikan Pauline lebih awal dari biasanya. Dan senangnya saat si kecil tidak protes ini dan itu. Elizabeth yang tengah merias dirinya di depan meja rias, ia menoleh pada Pauline yang duduk di tepi ranjang mengayun-ayunkan kedua kaki mungilnya. "Mama..." "Iya Sayang? Kenapa, Nak?" tanya Elizabeth menatap si kecil. "Kok kita berangkatnya pagi-pagi sekali? Mama mau bertemu sama teman-teman Mama, ya?" tanya anak itu. Elizabeth tersenyum manis dan menggeleng. "Tidak Sayang, hari ini Mama mau membuat gambar desain yang banyak. Jadi kita berangkat lebih awal, biar nanti siang kita masih punya waktu untuk makan siang di luar." "Emmm, oke kalau begitu." Pauline tersenyum manis mengacungkan jempolnya. Elizabeth memasukkan beberapa alat make up miliknya ke dalam tas, dan ia langsung memasangkan sepatu pada Pauline. "Sudah selesai, ayo kita berangkat, Sayang..."
Setelah semalam Evan menginap di rumah Elizabeth, ternyata sampai pagi pun hujan belum kunjung reda. Meskipun tidak terlalu deras, namun membuat Evan enggan untuk beranjak pulang. Elizabeth yang kini tengah duduk di dalam kamarnya sendirian, dia membaca pesan dari Annete yang mengirimkan foto undangan milik Elizabeth. "Oh ya ampun ... malam ini Adelaide akan menikah," gumam Elizabeth mengusap keningnya. "Dan dia mengundangku, artinya aku harus mengajak Evan." Elizabeth menggigit bibir bawahnya dan mengetukkan jemarinya di dagu. Rasa ragu menyapa Elizabeth, lantaran Evan pasti sibuk. Di sisi lain, bagaimana ia meminta pada Evan dan berkata untuk menemaninya ke pernikahan temannya?"Pasti teman-teman datang dengan suami mereka..." Elizabeth cemberut. Gadis itu menghela napasnya pelan dan mengangguk yakin. "Baiklah, aku harus berbicara dengan Evan. Aku yakin dia mau mendengarkan aku," ucap Elizabeth meyakinkan dirinya sendiri. Wanita cantik itu pun beranjak dari duduknya. Elizabeth
Saat pesta pernikahan telah usai, semua tamu pun bergegas pulang meninggalkan hall.Evan dan Elizabeth pun juga bergegas pulang. Mereka berdua berjalan di lorong hotel menuju pintu utama. Evan menoleh ke arah Elizabeth yang berjalan di belakangnya. "Kenapa kau melambankan langkahmu, Eli?" tanya laki-laki itu menunggunya. "Heels yang aku pakai tidak nyaman," jawab Elizabeth sembari menyerahkan tas kecil yang ia bawa pada Evan karena pria itu memintanya. "Lepaskan saja daripada kakimu sakit nantinya. Ayo lepaskan, aku bisa menggendongmu sampai ke depan," ujar Evan membujuknya. Elizabeth tampak menimbang-nimbang saran dan tawaran yang Evan berikan. Namun saat Elizabeth hendak melepaskan heels yang ia pakai, tiba-tiba saja terdengar suara langkah kaki dan seorang wanita cantik yang berjalan ke arahnya dan Evan. "Loh ... Evander?!" pekik wanita itu saat Evan menoleh. Elizabeth pun urung melepaskan heels yang pakai, dia langsung mengangkat wajahnya menatap wanita cantik dengan mini d
Malam ini Evan menginap di rumah Elizabeth. Ia tidak bisa meninggalkan Pauline yang sedang demam dan terus merengek ingin tidur dengannya. Saat jarum jam menunjuk tepat pukul satu dini hari, Pauline terbangun dari tidurnya. Anak itu langsung duduk dan menatap ke samping di mana ada Evan, Exel, dan barulah Elizabeth. "Mama..." Pauline merangkak ke arah Elizabeth. "Mama, kepala Pauline sakit, Ma. Pauline pusing!" Elizabeth dan Evan sontak langsung bangun bersamaan. Pandangan mereka berdua saling tatap sejenak, sebelum Evan lebih dulu meraih tubuh kecil Pauline. "Pusing, Sayang?" Evan menggendongnya. Elizabeth pun gegas turun dari atas ranjang. Dia mendekati Pauline yang digendong oleh Evan. "Apa demamnya belum turun?" tanya Elizabeth."Sudah. Tidak papa ... kau istirahatlah lagi dengan Exel, biar aku yang menjaga Pauline," ujar Evan menatap istrinya, sembari meraih botol susu milik Pauline di atas meja kecil. "Tidak Evan, harusnya kau yang beristirahat karena kau kan besok harus
Seperti yang Evan harapkan, hari cepat berganti sore dan ia segera bergegas pulang dari kantor. Membuat janji dengan Elizabeth untuk makan malam bersama di rumahnya membuat Evan tidak sabar untuk segera sampai di rumah. Namun sebelum itu, Evan mampir ke toko bunga milik Bibi Meria dan membelikan bunga untuk Elizabeth. Seperti biasa, kedatangan Evan di sana selalu disambut dengan baik. "Evan ... ke mana saja selama beberapa hari ini, kenapa tidak pernah terlihat?" tanya Bibi Meria saat Evan masuk ke dalam toko. "Aku ada di rumah dengan Eli dan anak-anak, Bi. Kami tidak pernah ke mana-mana," jawab Evan. "Ya ampun, pasti Pauline kecilmu itu senang sekali, kan? Dia selalu bercerita tentangmu setiap ke sini," ujar Bibi Meria. Evan tersenyum mendengar hal itu. Ia pun melanjutkan memilih beberapa bunga-bunga mahal yang akan ia berikan pada Elizabeth sebentar lagi. Namun, di tengah-tengah Evan sibuk memilih bunga, tiba-tiba Bibi Meria mendekatinya dan menyerahkan sebuah bunga Peony be