Seperti yang Evan harapkan, hari cepat berganti sore dan ia segera bergegas pulang dari kantor. Membuat janji dengan Elizabeth untuk makan malam bersama di rumahnya membuat Evan tidak sabar untuk segera sampai di rumah. Namun sebelum itu, Evan mampir ke toko bunga milik Bibi Meria dan membelikan bunga untuk Elizabeth. Seperti biasa, kedatangan Evan di sana selalu disambut dengan baik. "Evan ... ke mana saja selama beberapa hari ini, kenapa tidak pernah terlihat?" tanya Bibi Meria saat Evan masuk ke dalam toko. "Aku ada di rumah dengan Eli dan anak-anak, Bi. Kami tidak pernah ke mana-mana," jawab Evan. "Ya ampun, pasti Pauline kecilmu itu senang sekali, kan? Dia selalu bercerita tentangmu setiap ke sini," ujar Bibi Meria. Evan tersenyum mendengar hal itu. Ia pun melanjutkan memilih beberapa bunga-bunga mahal yang akan ia berikan pada Elizabeth sebentar lagi. Namun, di tengah-tengah Evan sibuk memilih bunga, tiba-tiba Bibi Meria mendekatinya dan menyerahkan sebuah bunga Peony be
Setelah beberapa hari yang lalu Evan membuat janji dengan Elizabeth ingin memberikan sebuah kejutan yang indah untuk wanitanya itu. Dan siang ini, Evan masih berada di kantor. Laki-laki itu tengah sibuk mengatur segala detail persiapannya berkencan dengan Elizabeth dan anak-anaknya, Evan ingin menciptakan momen romantis antara ia dan Elizabeth, juga buah hatinya. Evan pun menatap satu ajudan yang masih berdiri di hadapannya. "James, kau tahu beberapa tempat yang memiliki view terbaik di sekitar sini untuk berkencan?" tanya Evan pada ajudannya tersebut. Laki-laki berpakaian serba hitam itu mengangguk. "Ada beberapa Tuan. Apa Tuan ingin yang outdoor atau indoor?" tanya James pada Evan. "Outdoor ... aku ingin acara itu digelar di malam hari dan menunjukkan suasana malam hari yang romantis!" seru Evan antusias mengaturnya. Kekehan pelan terdengar dari James, dan laki-laki itu menganggukkan kepalanya. "Baik Tuan, saya akan siapkan semuanya." "Jangan lama-lama karena acaranya besok m
Elizabeth dan Evan telah kembali pulang setelah mereka berbelanja beberapa barang. Evan mengantarkan Elizabeth ke rumahnya malam ini.Kedatangan mereka berdua disambut oleh Exel dan Pauline dengan wajah kesal mereka, anak-anak itu nampak memprotes Mama dan Papanya yang pulang terlambat. Juga pergi tanpa mengajak mereka. "Mama dan Papa kenapa lama-lama sekali?" tanya Pauline sembari merengkuh erat leher Elizabeth. "Mama masih ada urusan, Sayang. Pauline kan di rumah dengan Kakak," jawab Elizabeth mengecup pelipis si kecil. "Heem, tapi Mama lama sekali!" seru anak itu menyembunyikan wajahnya dalam ceruk leher Elizabeth. Sedangkan Exel, anak itu juga memarahi Papanya. Di ruang tengah, terlihat Evan yang sedang membereskan beberapa barang-barang milik Exel dan mereka bersiap pulang. Tentu saja hal itu membuat Exel marah-marah pada Papanya, dia masih tidak mau pulang dan ingin bermain dengan Pauline. "Papa tidak asyik! Datang-datang langsung ngajak Exel pulang! Exel itu mau di sini s
Keesokan harinya, Elizabeth bersiap pergi dengan Evan sore ini, ia juga sudah rapi dan cantik dengan balutan dress berwarna ungu muda yang Evan belikan untuknya. Rambut panjangnya digerai hingga menjuntai sebawah pinggang. Elizabeth sangat cantik dengan make up natural dan aksesoris perhiasan kalung dan juga anting mutiara yang dia pakai. "Wahh ... Mama cantik sekali," ucap Exel bertepuk tangan kecil sembari mendongak menatap sang Mama yang berdiri di depan cermin. Elizabeth terkekeh menoleh pada putra kesayangannya tersebut. "Terima kasih banyak, Sayangku..."Exel memeluknya seketika, anak laki-laki itu datang ke butik Elizabeth sejak siang tadi setelah James yang mengantarkannya. Dan sore ini Elizabeth mendandani dua anaknya, Pauline dan juga Exel untuk diajaknya pergi dengan Evan juga sebentar lagi. "Pauline juga cantik tahu, Kakak!" sahut Pauline yang duduk di atas sofa cemberut menatap sang Kakak. Lantas Exel langsung menoleh dan tertawa pelan. "Iya, Adik Pauline itu juga c
Jeritan keras Elizabeth bersamaan dia melepaskan pelukannya pada Pauline dan Exel, saat Annete dan Kimmy menghampirinya yang terduduk lemas di tengah jalan. Elizabeth bangkit dari duduknya dan berlari mendekati mobil. Wanita itu menjerit saya melihat Evan dibawa keluar dari dalam mobil dengan luka dan berdarah di kepalanya. "Evan..!" teriak Elizabeth, dia langsung memeluk tubuh Evan saat itu juga. "Evan bangun! Evan ... buka matamu! Tidak, tidak! Jangan membuatku takut, Evan bangunlah kumohon!" Tangis Elizabeth seolah menggema di seluruh kota. Kejadian kecelakaan ini membuatnya kembali mengingat saat dia kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Takut. Elizabeth takut kehilangan Evan. Itulah yang terus berputar-putar di dalam kepalanya. "Elize sudah ... Evan akan dibawa ke rumah sakit. Elize tenanglah!" Adelaide memeluknya saat itu juga. Elizabeth masih tidak mampu menahan air matanya yang terus mengalir deras. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba melepaskan p
Hampir dua jam lamanya Elizabeth dan Jericho menunggu dokter yang sedang melakukan pemeriksaan pada Evan di dalam sebuah ruangan. Sampai akhirnya pintu ruangan itu terbuka, dan muncul seorang dokter laki-laki dari dalam ruangan ruangan tersebut. Elizabeth dengan cepat melangkah mendekatinya. "Dokter, bagaimana kondisi suami saya?" tanya Elizabeth dengan wajah panik."Suami Nyonya masih belum sadarkan diri. Kami masih memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Sekarang pasien akan dipindahkan kamar setelah pihak keluarga mengurus berkas-berkas rumah sakit," ujar dokter itu. Elizabeth mengangguk. "Semuanya sudah diurus, dok," jawab wanita itu. "Baiklah kalau begitu. Nyonya bisa mengikuti suster." "Terima kasih dok," ucap Elizabeth. "Sama-sama, Nyonya." Setelah itu, Elizabeth melihat tiga perawat keluar dari dalam ruangan mendorong brankar di mana Evan terbaring di sana. "Evan," lirih Elizabeth langsung mengejar suster itu. Elizabeth menyeka air matanya dan menangis tanpa suara. Ia be
Sudah sehari semalam Evan belum sadarkan diri. Elizabeth setia duduk di sampingnya dan wanita itu duduk menggenggam tangan Evan seraya menahan rasa kantuk yang begitu berat di kedua matanya. Elizabeth memejam dan meletakkan telapak tangan Evan di pipinya. Dengan gerakan lembut, jemari tangan ia yang genggaman itupun bergerak lembut mengusap pipinya. 'Ini hanya halusinasiku, Evan ... aku sampai bermimpi kau menangkup satu pipiku,' batin Elizabeth, hatinya terasa sangat sedih Evan tak kunjung sadar. Namun tiba-tiba Elizabeth membuka kedua matanya dengan cepat. Itu bukan halusinasi, jemari tangan Evan benar-benar mengusap pipinya dengan sangat lembut. "Ev-Evan?!" pekik Elizabeth langsung berdiri dari duduknya saat itu juga. Kedua mata Evan terbuka perlahan dan laki-laki itu mengedarkan pandangannya seolah-olah dia bingung sekarang ada di mana. Sampai akhirnya ekor matanya melirik Elizabeth yang berdiri di sampingnya. "Eli..," lirih Evan, dia berusaha menarik kedua sudut bibirny
Kabar kecelakaan yang Evan alami membuat Arshen dengan cepat datang ke Berlin. Namun kedatangannya saat ini hanya sendirian dan tidak ditemani oleh Melody. Arshen dijemput oleh Jericho di bandara. Dia disambut oleh kedua cucunya yang juga ikut menjemputnya di bandara bersama Jericho dan James. Mereka pun langsung menuju rumah sakit, dan kini tengah berjalan di lorong rumah sakit menuju ke ruangan di mana Evan dirawat. "Opa ... Papaku sakit, Papa jatuh kemarin sama mobilnya rusak. Terus kepala Papa ada darahnya," ujar Pauline yang kini berada dalam gendongan Arshen. "Iya Nak, tapi kalian tidak usah khawatir. Papa kalian pasti baik-baik saja," jawab Arshen. "Papa hilang ingatan tidak, Paman? Karena kata teman Mama, kalau benturan di kepala Papa keras, papa jadi hilang ingatan terus lupa sama kita," ujar Exel mendongak menatap Jericho tanpa melepaskan genggaman tangan sang Opa. Jericho terkekeh mendengar apa yang Exel tanyakan padanya. "Tidak, Tuan kecil. Papanya Tuan kecil tidak