Elizabeth dan Evan telah kembali pulang setelah mereka berbelanja beberapa barang. Evan mengantarkan Elizabeth ke rumahnya malam ini.Kedatangan mereka berdua disambut oleh Exel dan Pauline dengan wajah kesal mereka, anak-anak itu nampak memprotes Mama dan Papanya yang pulang terlambat. Juga pergi tanpa mengajak mereka. "Mama dan Papa kenapa lama-lama sekali?" tanya Pauline sembari merengkuh erat leher Elizabeth. "Mama masih ada urusan, Sayang. Pauline kan di rumah dengan Kakak," jawab Elizabeth mengecup pelipis si kecil. "Heem, tapi Mama lama sekali!" seru anak itu menyembunyikan wajahnya dalam ceruk leher Elizabeth. Sedangkan Exel, anak itu juga memarahi Papanya. Di ruang tengah, terlihat Evan yang sedang membereskan beberapa barang-barang milik Exel dan mereka bersiap pulang. Tentu saja hal itu membuat Exel marah-marah pada Papanya, dia masih tidak mau pulang dan ingin bermain dengan Pauline. "Papa tidak asyik! Datang-datang langsung ngajak Exel pulang! Exel itu mau di sini s
Keesokan harinya, Elizabeth bersiap pergi dengan Evan sore ini, ia juga sudah rapi dan cantik dengan balutan dress berwarna ungu muda yang Evan belikan untuknya. Rambut panjangnya digerai hingga menjuntai sebawah pinggang. Elizabeth sangat cantik dengan make up natural dan aksesoris perhiasan kalung dan juga anting mutiara yang dia pakai. "Wahh ... Mama cantik sekali," ucap Exel bertepuk tangan kecil sembari mendongak menatap sang Mama yang berdiri di depan cermin. Elizabeth terkekeh menoleh pada putra kesayangannya tersebut. "Terima kasih banyak, Sayangku..."Exel memeluknya seketika, anak laki-laki itu datang ke butik Elizabeth sejak siang tadi setelah James yang mengantarkannya. Dan sore ini Elizabeth mendandani dua anaknya, Pauline dan juga Exel untuk diajaknya pergi dengan Evan juga sebentar lagi. "Pauline juga cantik tahu, Kakak!" sahut Pauline yang duduk di atas sofa cemberut menatap sang Kakak. Lantas Exel langsung menoleh dan tertawa pelan. "Iya, Adik Pauline itu juga c
Jeritan keras Elizabeth bersamaan dia melepaskan pelukannya pada Pauline dan Exel, saat Annete dan Kimmy menghampirinya yang terduduk lemas di tengah jalan. Elizabeth bangkit dari duduknya dan berlari mendekati mobil. Wanita itu menjerit saya melihat Evan dibawa keluar dari dalam mobil dengan luka dan berdarah di kepalanya. "Evan..!" teriak Elizabeth, dia langsung memeluk tubuh Evan saat itu juga. "Evan bangun! Evan ... buka matamu! Tidak, tidak! Jangan membuatku takut, Evan bangunlah kumohon!" Tangis Elizabeth seolah menggema di seluruh kota. Kejadian kecelakaan ini membuatnya kembali mengingat saat dia kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Takut. Elizabeth takut kehilangan Evan. Itulah yang terus berputar-putar di dalam kepalanya. "Elize sudah ... Evan akan dibawa ke rumah sakit. Elize tenanglah!" Adelaide memeluknya saat itu juga. Elizabeth masih tidak mampu menahan air matanya yang terus mengalir deras. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba melepaskan p
Hampir dua jam lamanya Elizabeth dan Jericho menunggu dokter yang sedang melakukan pemeriksaan pada Evan di dalam sebuah ruangan. Sampai akhirnya pintu ruangan itu terbuka, dan muncul seorang dokter laki-laki dari dalam ruangan ruangan tersebut. Elizabeth dengan cepat melangkah mendekatinya. "Dokter, bagaimana kondisi suami saya?" tanya Elizabeth dengan wajah panik."Suami Nyonya masih belum sadarkan diri. Kami masih memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Sekarang pasien akan dipindahkan kamar setelah pihak keluarga mengurus berkas-berkas rumah sakit," ujar dokter itu. Elizabeth mengangguk. "Semuanya sudah diurus, dok," jawab wanita itu. "Baiklah kalau begitu. Nyonya bisa mengikuti suster." "Terima kasih dok," ucap Elizabeth. "Sama-sama, Nyonya." Setelah itu, Elizabeth melihat tiga perawat keluar dari dalam ruangan mendorong brankar di mana Evan terbaring di sana. "Evan," lirih Elizabeth langsung mengejar suster itu. Elizabeth menyeka air matanya dan menangis tanpa suara. Ia be
Sudah sehari semalam Evan belum sadarkan diri. Elizabeth setia duduk di sampingnya dan wanita itu duduk menggenggam tangan Evan seraya menahan rasa kantuk yang begitu berat di kedua matanya. Elizabeth memejam dan meletakkan telapak tangan Evan di pipinya. Dengan gerakan lembut, jemari tangan ia yang genggaman itupun bergerak lembut mengusap pipinya. 'Ini hanya halusinasiku, Evan ... aku sampai bermimpi kau menangkup satu pipiku,' batin Elizabeth, hatinya terasa sangat sedih Evan tak kunjung sadar. Namun tiba-tiba Elizabeth membuka kedua matanya dengan cepat. Itu bukan halusinasi, jemari tangan Evan benar-benar mengusap pipinya dengan sangat lembut. "Ev-Evan?!" pekik Elizabeth langsung berdiri dari duduknya saat itu juga. Kedua mata Evan terbuka perlahan dan laki-laki itu mengedarkan pandangannya seolah-olah dia bingung sekarang ada di mana. Sampai akhirnya ekor matanya melirik Elizabeth yang berdiri di sampingnya. "Eli..," lirih Evan, dia berusaha menarik kedua sudut bibirny
Kabar kecelakaan yang Evan alami membuat Arshen dengan cepat datang ke Berlin. Namun kedatangannya saat ini hanya sendirian dan tidak ditemani oleh Melody. Arshen dijemput oleh Jericho di bandara. Dia disambut oleh kedua cucunya yang juga ikut menjemputnya di bandara bersama Jericho dan James. Mereka pun langsung menuju rumah sakit, dan kini tengah berjalan di lorong rumah sakit menuju ke ruangan di mana Evan dirawat. "Opa ... Papaku sakit, Papa jatuh kemarin sama mobilnya rusak. Terus kepala Papa ada darahnya," ujar Pauline yang kini berada dalam gendongan Arshen. "Iya Nak, tapi kalian tidak usah khawatir. Papa kalian pasti baik-baik saja," jawab Arshen. "Papa hilang ingatan tidak, Paman? Karena kata teman Mama, kalau benturan di kepala Papa keras, papa jadi hilang ingatan terus lupa sama kita," ujar Exel mendongak menatap Jericho tanpa melepaskan genggaman tangan sang Opa. Jericho terkekeh mendengar apa yang Exel tanyakan padanya. "Tidak, Tuan kecil. Papanya Tuan kecil tidak
Hari demi hari telah berlalu, kondisi Evan sudah membaik pasca kecelakaan. Kini sudah lima hari lamanya dia baru pulang dari rumah sakit. Elizabeth lah wanita yang selama beberapa hari ini selalu berada di sampingnya, merawatnya, menemani Evan siang dan malam. Dan siang ini, Elizabeth nampak gelisah. Wanita itu tidak punya baju ganti lagi di rumah Evan, hingga dia harus meminta izin pada Evan untuk mengambil beberapa bajunya. Elizabeth berjalan ke lantai satu di mana Evan berada di sana, duduk memangku laptopnya. "Evan," panggil Elizabeth sembari berjalan cepat mendekati sang suami.Laki-laki itu menoleh. "Iya Eli, ada apa?" tanya Evan menatapnya. "Emm ... aku ingin meminta izin padamu, baju-bajuku di sini sudah aku bawa pulang semua. Dan aku tidak punya baju ganti, bajuku kemarin masih dicuci. Aku ingin mengambil pakaianku," ujar Elizabeth pada Evan. Wanita itu tertunduk meremas jemari tangannya. "Aku ... aku ingin di sini saja dengan anak-anak dan juga denganmu." Evan menarik
Beberapa hari kemudian. Elizabeth sudah menjalani hari-harinya seperti kemarin-kemarin lagi. Dia juga sudah kembali ke butiknya bersama dua buah hatinya yang selalu mengekori ke manapun Elizabeth pergi. Namun, Exel dan Pauline sore ini sudah merengek-rengek pada Elizabeth. Anak-anak itu mencari Papanya dan merajuk ingin jalan-jalan. "Ayo dong Ma ... kita berdua mau lihat badut kelinci di taman, Mama," ujar Exel memeluk tangan Elizabeth."Sebentar Sayang, Papa masih sibuk, Nak. Kita tunggu sebentar ya..." Elizabeth mengusap pucuk kepala Exel.Exel memang merengek-rengek, tapi tidak dengan Pauline. Anak itu kini menangis sekeras-kerasnya dan marah-marah pada Elizabeth. Entah kenapa, antara Pauline dan Exel, hanya Pauline yang sangat nakal dan mudah marah. Padahal dia anak perempuan. "Mama nakal! Pauline tidak sayang!" pekik anak itu menghentak-hentak kakinya di atas sofa. "Besok-besok Pauline tidak usah ikut Mama ke butik kalau marah-marah terus. Tadi minta cake sudah Mama belikan
Exel mendatangi kediaman kedua orang tuanya. Setelah sang adik datang sambil menangis, membuat Exel tidak tega. Kedatangannya disambut seperti biasa oleh Mama dan Papanya, mungkin mereka tahu kalau Exel datang akan memprotes mereka."Adikmu di sana?" tanya Evan saat Exel baru saja duduk. Exel menatap Papanya dan berdecak pelan. "Papa apa-apaan, menjodohkan Pauline dengan seenaknya seperti ini? Pauline masih kuliah, Pa." "Exel—""Pa, Ma, Pauline itu masih seperti anak kecil. Papa tahu sendiri kan, segala sesuatunya selalu membutuhkan orang lain! Dan satu-satunya orang yang sabar dan selalu membantunya adalah Arthur!" tegas Exel pada sang Papa. "Papamu memang tidak pernah bisa mengerti anak-anaknya," sahut Elizabeth dengan wajah kesal pada sang suami. Mendengar hal itu, Evan langsung menoleh menatap sang istri. Laki-laki itu menutup laptop yang ia pangku dan mengembuskan napasnya panjang menatap Elizabeth dan Exel bergantian. "Dengarkan aku, Sayang ... dengarkan Papa, Exel ... Pap
"Enghh ...."Suara lenguhan pelan itu terdengar dari bibir Hauri. Gadis itu membuka kedua matanya perlahan-lahan. Hauri mengembuskan napasnya panjang saat merasakan sekujur tubuhnya terasa lelah dan remuk. Bahkan untuk bergerak sesenti pun, Hauri merasa nyeri pada inti tubuhnya. Hauri menatap ruang samping ranjangnya yang kosong, sepertinya Exel sudah bangun. "Jam berapa ini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri membalikkan badannya dan menatap ke arah dinding, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, namun ia sangat malas untuk beranjak. Hauri bahkan tidak ingat, kapan ia memakai dirinya memakai piyamanya lagi. Gadis cantik itu pun masih terdiam menatap langit-langit kamarnya. Kedua pipi Hauri merona tiba-tiba saat ia mengingat kejadian semalam. Hauri menyerahkan apa yang telah ia jaga kehormatan yang selama ini ia jaga pada laki-laki yang sangat ia cintai. Dan ia mengingat jelas bagaimana semalam mereka melakukannya dengan sangat bergairah dan...."Ya ampun, apa yang aku pikirkan!"
Cuaca sangat dingin malam ini, Hauri tampak sibuk merangkai kalung mutiara miliknya yang putus sore tadi. Kini, gadis itu tampak sangat fokus merangkainya satu persatu. Hingga Exel yang baru saja masuk ke dalam kamar, tampak memperhatikannya dengan kedua mata mengerjap. "Sayang, kau sedang apa? Ini sudah jam sebelas, Hau," tanya Exel, ia berjalan ke arah ranjang dan mendekati istrinya. Hauri menunjukkan beberapa butir mutiara yang ia simpan di dalam sebuah mangkuk kecil. "Kalungnya tadi putus karena bajuku, lalu semua mutiaranya berceceran di lantai, tapi aku sudah memungut semuanya. Semoga tidak ada yang tertinggal atau jatuh di bawah ranjang," ujarnya dengan wajah sedih. "Sayang ... sudah, sudah, taruh saja. Besok aku belikan lagi," ujar Exel mengambil mangkuk mutiara di hadapan Hauri. Namun, gadis itu menatapnya dengan tatapan lekat. "Jangan Sayang, aku belum selesai. Tidak papa, aku akan menyelesaikannya. Sayang kalau tidak dirangkai lagi," seru gadis itu. Exel mengalah. L
Keesokan harinya, Exel menemani Hauri untuk kembali berobat. Bahkan setelah kemarin Hauri merasa lemas dan kelelahan hingga membuat Exel merasa sangat cemas. Sudah lima jam lamanya Hauri menjalani pengobatan dan Exel menunggu dengan sabar, ia juga terus menerus tanpa henti berdoa yang terbaik untuk istrinya. Hingga tiba-tiba sebuah pintu kaca terbuka di depan sana, Dokter William menatapnya sambil tersenyum, seolah ada sesuatu yang melegakan akan dia sampaikan. "Tuan Exel, mari," ajaknya tiba-tibaExel segera ikut bersama dengan Dokter William masuk ke dalam sebuah ruangan. Laki-laki berjubah putih itu segera duduk di hadapan Exel dengan wajah lega. "Dokter, bagaimana perkembangan kondisi istri saya?" tanya Exel. Dokter William tersenyum. "Kondisi Hauri jauh sangat-sangat membalik, meningkatkan beberapa persen lebih baik. Saya juga tidak terbayangkan, bisa secepat ini. Mungkin karena Hauri rajin mengonsumsi obat dan mengatur pola pikirnya. Tetapi ... saya merasa sangat-sangat ba
Diberi libur satu minggu, Exel ingin hari-hari itu diisi oleh menyenangkan hati Hauri. Mulai dari mengajaknya makan bersama, hingga pergi ke jalan-jalan. Seperti saat ini, Exel mengajak Hauri pergi ke sebuah rumah makan Jepang yang mewah yang ada di tengah kota. Hauri tampak sangat antusias begitu Exel mengajaknya memilih tempat duduk yang pas. "Aku baru tahu di sini ada restoran Jepang," ujar gadis itu tersenyum manis. "Hmm ... kau mau memesan makanan apa, Sayang?" tanya Exel menoleh dan menatapnya. "Apa saja, semua makanan Jepang aku suka," jawab gadis itu. "Tapi kalau ada, aku mau ramen. Emmm kuenya—""Dango!" jawab mereka bersamaan. Saat itu juga Exel terkekeh, laki-laki itu langsung mengusap pucuk kepala Hauri dengan gemasnya. Kedua pipi Hauri langsung bersemu. Gadis itu menepuk-nepuk lembut kedua telapak tangannya sambil tak sabaran menunggu pesanan makanannya datang. Hingga tak lama kemudian, makanan yang Hauri tunggu-tunggu pun telah tiba. Semangkuk ramen dan juga kue
Karena pembantu belum datang ke kediaman baru Exel, tampak laki-laki sibuk di dapur sejak tadi. Bahkan Exel juga tidak membangunkan istrinya yang tidur sejak siang, karena Exel tahu kalau istrinya pasti sangat kelelahan. Aroma masakan yang sedikit gosong, dan suara kekacauan di dapur pun membuat Hauri terbangun. Gadis itu segera keluar dari dalam kamar. "Ya ampun, aroma apa ini? Kenapa gosong begini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri menuruni anak tangga, ia menengok dari selasar lantai dua ke bawah sana. Hauri melihat Exel yang berada di dapur sendirian dengan semua barang-barang yang terlihat sangat berantakan. "Ya ampun, Exel..." Hauri menutup mulutnya kaget. Buru-buru gadis itu berjalan turun ke lantai satu dan melangkahkan kakinya mendekati Exel. Dari piring, mangkuk, hingga wadah lainnya menumpuk di dapur. Bahkan ada beberapa makanan yang tampak dibuang karena gosong dan tidak layak makan. "Y-ya ampun, Sayang..." Hauri menutup mulutnya menyaksikan kekacauan ini. Tetapi, g
Setelah menikah, Exel sudah jauh-jauh hari menyiapkan rumah untuknya dan juga Hauri. Rumah yang akan mereka tempati berdua, atau mungkin bersama anaknya suatu saat nanti. Rumah mewah berlantai dua, bernuansa putih bersih. Serta taman tang yang sangat indah, juga luas. Hauri tak berhenti terkagum-kagum menatap bangunan megah di hadapannya saat ini. "Wahh ... Sayang, kau membuat rumah kaca?" tanya Hauri menunjuk ke arah sebuah rumah kaca yang berada di tengah taman. "Heem, bagaimana? Apa kau suka?" tanya laki-laki itu. "Iya. Ayo kita ke sana," ajaknya dengan penuh semangat. Hauri menarik lengan Exel, tapi laki-laki itu tidak bergerak sedikitpun. Justru Hauri yang langsung menoleh ke belakang menatapnya. Sorot mata Exel tampak sayu. Ia malah menarik balik lengan Hauri hingga gadis itu mendekatinya. "Istirahat dulu, Sayang. Jangan sampai kau kelelahan setelah acara kemarin," ujar Exel mengusap punggung tangan Hauri. Gadis itu terdiam sesaat, Hauri menatap lagi pada rumah kaca yan
Exel kembali masuk ke dalam kamar di mana Hauri menunggunya. Namun, dapat ia lihat wajah suaminya yang kini tampak sangat sebal dan kesal hingga membuat Hauri bertanya-tanya. "Exel ... ada apa?" tanya gadis itu. Exel menggeleng. "Tidak papa, Sayang," jawabannya pelan dan mendekati Hauri lagi. "Air hangatnya sebentar lagi akan dibawa ke sini. Biar aku bantu obati." "Iya, terima kasih," jawab Hauri. "Aku tidak pernah memakai sepatu high heels. Jadinya merepotkan seperti ini...." Exel tersenyum tipis menatap istrinya tersebut. "Tidak papa, Sayang. Tidak ada yang merepotkan." Barulah beberapa menit kemudian pintu kamar hotel mereka terketuk. Exel membuka pintu dan melihat seorang pelayan wanita membawakan sebuah bak kecil berisi air hangat dan handuk berukuran kecil. Exel kembali masuk ke dalam kamar dan mendekati Hauri. "Mana kakinya," ujar laki-laki itu. "Aku bisa sendiri, tidak usah dibantu juga tidak papa," jawab Hauri merasa tak enak hati. "Hau..." Exel mengangkat wajahnya d
Pesta pernikahan yang diharapkan oleh Exel setelah sekian lama pun akhirnya tiba. Hari ini, Hauri—teman kecilnya resmi menjadi istri Exel. Di depan para tamu di dalam hall pernikahan yang sangat megah dan mewah, mereka menyaksikan pernikahan Exel dan Hauri. Semua orang menjadi saksi perjanjian suci ikatan sehidup semati. Semua teman-teman Exel datang ke pesta itu, termasuk Lafenia, Heiner, dan juga yang lainnya. "Akhirnya, kau yang lebih dulu menikah ternyata, ya..." Eithan menepuk pundak Exel. Laki-laki dengan balutan tuxedo hitam itu tersenyum. "Tentu saja, kalian segeralah menyusul," ujar Exel. "Aku mau mencari yang modelan Hauri dulu," sahut Heiner menatap Hauri dan menaikkan kedua alisnya. Hauri hanya tersenyum tipis, gadis itu hari ini tampak sangat cantik dengan balutan gaun pengantin dan memakai mahkota kecil sebagai hiasan kepalanya. Exel berdecak mendengar ucapan Heiner. "Tidak papa mencari yang seperti istriku, asal jangan istriku! Paham kau!" sinisnya. "Tenang saja