Beberapa hari kemudian. Elizabeth sudah menjalani hari-harinya seperti kemarin-kemarin lagi. Dia juga sudah kembali ke butiknya bersama dua buah hatinya yang selalu mengekori ke manapun Elizabeth pergi. Namun, Exel dan Pauline sore ini sudah merengek-rengek pada Elizabeth. Anak-anak itu mencari Papanya dan merajuk ingin jalan-jalan. "Ayo dong Ma ... kita berdua mau lihat badut kelinci di taman, Mama," ujar Exel memeluk tangan Elizabeth."Sebentar Sayang, Papa masih sibuk, Nak. Kita tunggu sebentar ya..." Elizabeth mengusap pucuk kepala Exel.Exel memang merengek-rengek, tapi tidak dengan Pauline. Anak itu kini menangis sekeras-kerasnya dan marah-marah pada Elizabeth. Entah kenapa, antara Pauline dan Exel, hanya Pauline yang sangat nakal dan mudah marah. Padahal dia anak perempuan. "Mama nakal! Pauline tidak sayang!" pekik anak itu menghentak-hentak kakinya di atas sofa. "Besok-besok Pauline tidak usah ikut Mama ke butik kalau marah-marah terus. Tadi minta cake sudah Mama belikan
Setelah kemarin malam Evan memberikan kejutan tiket liburan ke Austria, Elizabeth dan anak-anaknya merasa begitu antusias. Pauline dan Exel juga selalu bertanya-tanya padanya kapan mereka akan berangkat. Seperti saat ini, saat Exel dan Pauline menemani Elizabeth mengemasi beberapa pakaian mereka. "Kapan kita berangkat liburannya, Ma? Pauline tidak sabar, tahu..," seru Pauline berbaring-baring di atas ranjang. "Sabar Sayang, besok kita berangkat.""Apa kita akan pergi ke rumah Nenek yang dulu, Ma?" tanya Exel sambil menata baju Pauline di dalam tas besarnya. "Iya. Kita akan pergi ke Salzburg, ke Hallstatt, pokoknya kita jalan-jalan di sana nanti sama Papa," jawab Elizabeth menjelaskan pada kedua anaknya. "Wahhh asik!" Exel bertepuk tangan dan berbinar-binar mendengarnya. Setelah Elizabeth selesai mengemasi beberapa baju-bajunya ke dalam koper, wanita itu berjalan keluar dari dalam kamar.Elizabeth menggendong Pauline yang kini tengah merengek meminta minum susu. Anak itu sejak pa
Akhirnya rencana Evan berjalan dengan sempurna, dia meminta James untuk menggantikannya di acara meeting perusahaan. Sedangkan Evan bersama Elizabeth, juga anak-anaknya pergi berlibur ke Austria. Dan baru beberapa jam yang lalu mereka sampai di Salzburg, tepat di sebuah rumah penginapan yang telah mereka sewa untuk beberapa hari. Elizabeth berdiri di balkon kamar penginapannya. Wanita itu menatap pemandangan kota Salzburg, dan pegunungan Festungsberg yang nampak sangat indah. 'Sudah bertahun-tahun lamanya aku tidak ke sini ... aku sangat merindukanmu Salzburg,' batin Elizabeth merasa senang dan sedih di saat bersamaan. Elizabeth yang diam melamun, tiba-tiba wanita itu merasakan seseorang merangkulnya dari belakang. "Kau pasti sangat merindukan tempat ini, iya kan, Sayang?" tanya Evan menatap wajah Elizabeth dari samping. "Heem, tentu saja. Sejak menikah denganmu, bahkan setelah aku pergi dulu bersama Daniel, aku juga langsung ke Jerman ... aku sangat merindukan Austria, Evan," j
Setelah dari pagi hingga sore Elizabeth dan Evan jalan-jalan berkeliling kota Salzburg. Malam ini mereka datang ke sebuah rumah makan outdoor yang dipesan khusus untuk mereka saja. Elizabeth tengah duduk memangku Pauline usai menikmati hidangan makan malam yang ia pesan. Mereka masih ingin berada di sini, menikmati pemandangan malam kota Salzburg dari tempat yang cukup tinggi. "Bagus ya Ma, tempatnya," ujar Pauline turun dari pangkuan Elizabeth. "Iya dong, Sayang. Pauline tidak boleh jalan-jalan ke sana kemari ya ... nanti kalau Pauline hilang, Mama dan Papa mau mencari ke mana?" Elizabeth mengusap pipi gembil Pauline yang belepotan setelah dia memakan es krim. "Kalau Adik Pauline nakal, kita tinggal saja, Ma!" seru Exel tertawa. "Ihhh ... Kakak tidak boleh nakal, tahu! Pauline pukul nih!" pekik Pauline memarahi Kakaknya. Evan dan Elizabeth terkekeh melihat tingkah dua anaknya tersebut. Terlihat Pauline yang mulai berjalan-jalan di sekitar taman. Di belakangnya diikuti Exel, di
Sepanjangan perjalanan pulang, Elizabeth terlihat sangat cemas dan pikirannya sama sekali tidak bisa tenang. Hingga mereka semua sampai di penginapan. Elizabeth menggendong Pauline yang sudah tidur, Exel pun juga terlihat sangat mengantuk. Anak itu berjalan lebih dulu masuk ke dalam penginapan. "Ma, Exel mau tidur dulu ya," ujar anak itu mengucek kedua matanya. "Iya, Nak. Tolong jaga Adik Pauline ya, Sayang..." Elizabeth membaringkan Pauline di ranjang Exel. "Iya Ma, siap!" Setelah menidurkan Pauline di dalam kamar bersama Exel, barulah Elizabeth keluar dan berjalan mendekati Evan yang duduk di sebuah ruangan, laki-laki itu tengah melepaskan mantel hangatnya. Ekspresi gundah gulana yang terpancar di wajah ayu Elizabeth membuat Evan menatapnya lekat-lekat. "Elizabeth..." Evan mengulurkan tangannya meminta wanita itu mendekat. Elizabeth berdecak pelan mengusap wajahnya. "Evan, aku sama sekali tidak berbohong!" seru wanita itu sekali lagi. "Aku benar-benar melihat Clarisa di san
Setelah hari berganti, pagi ini Evan mendapatkan telpon dari Asgar yang telah dia perintahkan untuk mencari tahu tentang Clarisa kemarin. Elizabeth juga berada di samping Evan pagi ini, dia ingin mendengarkan dari Asgar sendiri. "Bagaimana? Apa dia benar-benar pergi atau masih ada di tahanan?" tanya Evan di balik panggilan itu. "Masih ada Tuan. Kemarin saya meminta polisi yang langsung mengeceknya, dan Nyonya Clarisa masih berada di dalam sel tahanan," jelas Asgar pada Evan. Di sana, Evan langsung tersenyum tipis. "Syukurlah kalau begitu. Elizabeth kemarin melihat seorang wanita yang mirip dengan Clarisa saat kami liburan ke Austria," ungkap Evan pada ajudannya tersebut."Astaga ... Tidak Tuan, Nyonya Clarisa masih dalam tahanan. Dan masih sangat lama untuknya bisa bebas," jelas Asgar. "Baiklah, kalau begitu. Lanjutkan pekerjaanmu di kantorku, Gar," ujar Evan lagi. "Iya Tuan."Panggilan pun ditutup oleh Evan, laki-laki tampan berbalut kemeja putih itu langsung menoleh pada istri
Hari pertama Pauline bersekolah, ternyata tidak semudah yang Elizabeth bayangkan. Banyak drama yang Pauline buat di rumah pagi ini. Anak itu membuat Elizabeth pusing dan tak berhenti mengomel sejak petang tadi. Karena Pauline tantrum dan tidak mau bangun tidur, dan menolak untuk pergi bersekolah. "Sudah dong menangisnya, Sayang. Lihat itu Kakak sudah siap berangkat ke sekolah," ujar Elizabeth sembari memakaikan seragam sekolah pada Pauline. "Pauline tidak suka sekolah! Pauline sudah pintar! Huhh … Mama, kenapa harus bangun pagi-pagi Pauline-nya!?! Pauline mau di rumah saja nonton kartun kuda poni! Pauline tidak mau sekolah! Pauline tidak sayang Mama!" pekik anak itu melipat tangannya di dada dan bibirnya cemberut. "Mama tidak mau mendengar alasan apapun! Pauline harus sekolah, kalau tidak mau sekolah, tidak ada nonton kartun, tidak ada pergi jalan-jalan, tidak ada—""Iya ayo, ayo, ayo! Hihhh ... Mama nakal! Pauline tidak sayang! Pauline mau sayang Papa saja!" Pauline kembali menan
"Halo Adelaide ... maaf aku belum bisa ke butik, anakku baru pertama masuk sekolah. Hari pertama sekolah Pauline sudah memukul temannya sampai menangis, aku jadi khawatir meninggalkannya…" Malam ini, Elizabeth tengah dihubungi oleh temannya untuk kesekian kalinya, ia juga meminta maaf pada Adelaide, selaku tangan kanannya di butik karena Elizabeth masih belum bisa datang ke sana. "Tapi Elize, Tuan Calister besok pagi ke sini mengantarkan semua kain pesanan kita! Aku besok ada pertemuan dengan Nyonya Bredley untuk membahas peragaan busana bulan depan!" seru Adelaide di balik panggilan itu. "Untuk sementara aku akan menghubungi dan meminta tolong pada Julio untuk menangani urusan tekstil, bila ada waktu besok aku akan ke sana," ujar Elizabeth sembari duduk di sofa ruang tengah. "Untuk desainnya aku kirimkan cepat malam ini padamu, berikan pada anak-anak untuk mengerjakan pola busananya, dan baru besok kita bahas untuk bahan kain katun apa yang cocok. Bagaimana?" "Hufffttt ... sampa
Sampai malam tiba, Pauline tetap berada di kediaman Exel. Gadis cantik itu tampak bersama Hauri di kamar lantai dua. Mereka asik menonton drama romantis kesukaan mereka, dan Exel yang paling senang jahil, tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan duduk di atas ranjang di samping Hauri. "Sayang, kau sudah makan?" tanya Exel berbisik sembari mengecup pipi Hauri dengan gemas. "Sudah," jawab gadis cantik itu. "Kau sendiri, sudah makan malam?" "Hm," gumaman menjadi jawaban dari Exel. Dari arah samping Hauri, tiba-tiba Pauline menengok Kakak dan Kakak iparnya tersenyum. "Kakak, tadi Papa tidak bilang ingin menjemputku, kan?" tanya Pauline dengan kedua mata indahnya yang mengerjap. "Tidak, Pauline. Tapi jangan lama-lama di sini," ujar Exel menyindir sang adik, hal ini membuatnya terkekeh. Pauline lantas terdiam. Ia menoleh pada sang Kakak kembali dengan tatapan sedih. "Aku harus pulang sekarang, ya, Kak?" cicitnya. "Tidak, Pauline..." Saat itu juga Hauri langsung merangkul Pauline. Gadis
Exel mendatangi kediaman kedua orang tuanya. Setelah sang adik datang sambil menangis, membuat Exel tidak tega. Kedatangannya disambut seperti biasa oleh Mama dan Papanya, mungkin mereka tahu kalau Exel datang akan memprotes mereka."Adikmu di sana?" tanya Evan saat Exel baru saja duduk. Exel menatap Papanya dan berdecak pelan. "Papa apa-apaan, menjodohkan Pauline dengan seenaknya seperti ini? Pauline masih kuliah, Pa." "Exel—""Pa, Ma, Pauline itu masih seperti anak kecil. Papa tahu sendiri kan, segala sesuatunya selalu membutuhkan orang lain! Dan satu-satunya orang yang sabar dan selalu membantunya adalah Arthur!" tegas Exel pada sang Papa. "Papamu memang tidak pernah bisa mengerti anak-anaknya," sahut Elizabeth dengan wajah kesal pada sang suami. Mendengar hal itu, Evan langsung menoleh menatap sang istri. Laki-laki itu menutup laptop yang ia pangku dan mengembuskan napasnya panjang menatap Elizabeth dan Exel bergantian. "Dengarkan aku, Sayang ... dengarkan Papa, Exel ... Pap
"Enghh ...."Suara lenguhan pelan itu terdengar dari bibir Hauri. Gadis itu membuka kedua matanya perlahan-lahan. Hauri mengembuskan napasnya panjang saat merasakan sekujur tubuhnya terasa lelah dan remuk. Bahkan untuk bergerak sesenti pun, Hauri merasa nyeri pada inti tubuhnya. Hauri menatap ruang samping ranjangnya yang kosong, sepertinya Exel sudah bangun. "Jam berapa ini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri membalikkan badannya dan menatap ke arah dinding, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, namun ia sangat malas untuk beranjak. Hauri bahkan tidak ingat, kapan ia memakai dirinya memakai piyamanya lagi. Gadis cantik itu pun masih terdiam menatap langit-langit kamarnya. Kedua pipi Hauri merona tiba-tiba saat ia mengingat kejadian semalam. Hauri menyerahkan apa yang telah ia jaga kehormatan yang selama ini ia jaga pada laki-laki yang sangat ia cintai. Dan ia mengingat jelas bagaimana semalam mereka melakukannya dengan sangat bergairah dan...."Ya ampun, apa yang aku pikirkan!"
Cuaca sangat dingin malam ini, Hauri tampak sibuk merangkai kalung mutiara miliknya yang putus sore tadi. Kini, gadis itu tampak sangat fokus merangkainya satu persatu. Hingga Exel yang baru saja masuk ke dalam kamar, tampak memperhatikannya dengan kedua mata mengerjap. "Sayang, kau sedang apa? Ini sudah jam sebelas, Hau," tanya Exel, ia berjalan ke arah ranjang dan mendekati istrinya. Hauri menunjukkan beberapa butir mutiara yang ia simpan di dalam sebuah mangkuk kecil. "Kalungnya tadi putus karena bajuku, lalu semua mutiaranya berceceran di lantai, tapi aku sudah memungut semuanya. Semoga tidak ada yang tertinggal atau jatuh di bawah ranjang," ujarnya dengan wajah sedih. "Sayang ... sudah, sudah, taruh saja. Besok aku belikan lagi," ujar Exel mengambil mangkuk mutiara di hadapan Hauri. Namun, gadis itu menatapnya dengan tatapan lekat. "Jangan Sayang, aku belum selesai. Tidak papa, aku akan menyelesaikannya. Sayang kalau tidak dirangkai lagi," seru gadis itu. Exel mengalah. L
Keesokan harinya, Exel menemani Hauri untuk kembali berobat. Bahkan setelah kemarin Hauri merasa lemas dan kelelahan hingga membuat Exel merasa sangat cemas. Sudah lima jam lamanya Hauri menjalani pengobatan dan Exel menunggu dengan sabar, ia juga terus menerus tanpa henti berdoa yang terbaik untuk istrinya. Hingga tiba-tiba sebuah pintu kaca terbuka di depan sana, Dokter William menatapnya sambil tersenyum, seolah ada sesuatu yang melegakan akan dia sampaikan. "Tuan Exel, mari," ajaknya tiba-tibaExel segera ikut bersama dengan Dokter William masuk ke dalam sebuah ruangan. Laki-laki berjubah putih itu segera duduk di hadapan Exel dengan wajah lega. "Dokter, bagaimana perkembangan kondisi istri saya?" tanya Exel. Dokter William tersenyum. "Kondisi Hauri jauh sangat-sangat membalik, meningkatkan beberapa persen lebih baik. Saya juga tidak terbayangkan, bisa secepat ini. Mungkin karena Hauri rajin mengonsumsi obat dan mengatur pola pikirnya. Tetapi ... saya merasa sangat-sangat ba
Diberi libur satu minggu, Exel ingin hari-hari itu diisi oleh menyenangkan hati Hauri. Mulai dari mengajaknya makan bersama, hingga pergi ke jalan-jalan. Seperti saat ini, Exel mengajak Hauri pergi ke sebuah rumah makan Jepang yang mewah yang ada di tengah kota. Hauri tampak sangat antusias begitu Exel mengajaknya memilih tempat duduk yang pas. "Aku baru tahu di sini ada restoran Jepang," ujar gadis itu tersenyum manis. "Hmm ... kau mau memesan makanan apa, Sayang?" tanya Exel menoleh dan menatapnya. "Apa saja, semua makanan Jepang aku suka," jawab gadis itu. "Tapi kalau ada, aku mau ramen. Emmm kuenya—""Dango!" jawab mereka bersamaan. Saat itu juga Exel terkekeh, laki-laki itu langsung mengusap pucuk kepala Hauri dengan gemasnya. Kedua pipi Hauri langsung bersemu. Gadis itu menepuk-nepuk lembut kedua telapak tangannya sambil tak sabaran menunggu pesanan makanannya datang. Hingga tak lama kemudian, makanan yang Hauri tunggu-tunggu pun telah tiba. Semangkuk ramen dan juga kue
Karena pembantu belum datang ke kediaman baru Exel, tampak laki-laki sibuk di dapur sejak tadi. Bahkan Exel juga tidak membangunkan istrinya yang tidur sejak siang, karena Exel tahu kalau istrinya pasti sangat kelelahan. Aroma masakan yang sedikit gosong, dan suara kekacauan di dapur pun membuat Hauri terbangun. Gadis itu segera keluar dari dalam kamar. "Ya ampun, aroma apa ini? Kenapa gosong begini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri menuruni anak tangga, ia menengok dari selasar lantai dua ke bawah sana. Hauri melihat Exel yang berada di dapur sendirian dengan semua barang-barang yang terlihat sangat berantakan. "Ya ampun, Exel..." Hauri menutup mulutnya kaget. Buru-buru gadis itu berjalan turun ke lantai satu dan melangkahkan kakinya mendekati Exel. Dari piring, mangkuk, hingga wadah lainnya menumpuk di dapur. Bahkan ada beberapa makanan yang tampak dibuang karena gosong dan tidak layak makan. "Y-ya ampun, Sayang..." Hauri menutup mulutnya menyaksikan kekacauan ini. Tetapi, g
Setelah menikah, Exel sudah jauh-jauh hari menyiapkan rumah untuknya dan juga Hauri. Rumah yang akan mereka tempati berdua, atau mungkin bersama anaknya suatu saat nanti. Rumah mewah berlantai dua, bernuansa putih bersih. Serta taman tang yang sangat indah, juga luas. Hauri tak berhenti terkagum-kagum menatap bangunan megah di hadapannya saat ini. "Wahh ... Sayang, kau membuat rumah kaca?" tanya Hauri menunjuk ke arah sebuah rumah kaca yang berada di tengah taman. "Heem, bagaimana? Apa kau suka?" tanya laki-laki itu. "Iya. Ayo kita ke sana," ajaknya dengan penuh semangat. Hauri menarik lengan Exel, tapi laki-laki itu tidak bergerak sedikitpun. Justru Hauri yang langsung menoleh ke belakang menatapnya. Sorot mata Exel tampak sayu. Ia malah menarik balik lengan Hauri hingga gadis itu mendekatinya. "Istirahat dulu, Sayang. Jangan sampai kau kelelahan setelah acara kemarin," ujar Exel mengusap punggung tangan Hauri. Gadis itu terdiam sesaat, Hauri menatap lagi pada rumah kaca yan
Exel kembali masuk ke dalam kamar di mana Hauri menunggunya. Namun, dapat ia lihat wajah suaminya yang kini tampak sangat sebal dan kesal hingga membuat Hauri bertanya-tanya. "Exel ... ada apa?" tanya gadis itu. Exel menggeleng. "Tidak papa, Sayang," jawabannya pelan dan mendekati Hauri lagi. "Air hangatnya sebentar lagi akan dibawa ke sini. Biar aku bantu obati." "Iya, terima kasih," jawab Hauri. "Aku tidak pernah memakai sepatu high heels. Jadinya merepotkan seperti ini...." Exel tersenyum tipis menatap istrinya tersebut. "Tidak papa, Sayang. Tidak ada yang merepotkan." Barulah beberapa menit kemudian pintu kamar hotel mereka terketuk. Exel membuka pintu dan melihat seorang pelayan wanita membawakan sebuah bak kecil berisi air hangat dan handuk berukuran kecil. Exel kembali masuk ke dalam kamar dan mendekati Hauri. "Mana kakinya," ujar laki-laki itu. "Aku bisa sendiri, tidak usah dibantu juga tidak papa," jawab Hauri merasa tak enak hati. "Hau..." Exel mengangkat wajahnya d