Akhirnya rencana Evan berjalan dengan sempurna, dia meminta James untuk menggantikannya di acara meeting perusahaan. Sedangkan Evan bersama Elizabeth, juga anak-anaknya pergi berlibur ke Austria. Dan baru beberapa jam yang lalu mereka sampai di Salzburg, tepat di sebuah rumah penginapan yang telah mereka sewa untuk beberapa hari. Elizabeth berdiri di balkon kamar penginapannya. Wanita itu menatap pemandangan kota Salzburg, dan pegunungan Festungsberg yang nampak sangat indah. 'Sudah bertahun-tahun lamanya aku tidak ke sini ... aku sangat merindukanmu Salzburg,' batin Elizabeth merasa senang dan sedih di saat bersamaan. Elizabeth yang diam melamun, tiba-tiba wanita itu merasakan seseorang merangkulnya dari belakang. "Kau pasti sangat merindukan tempat ini, iya kan, Sayang?" tanya Evan menatap wajah Elizabeth dari samping. "Heem, tentu saja. Sejak menikah denganmu, bahkan setelah aku pergi dulu bersama Daniel, aku juga langsung ke Jerman ... aku sangat merindukan Austria, Evan," j
Setelah dari pagi hingga sore Elizabeth dan Evan jalan-jalan berkeliling kota Salzburg. Malam ini mereka datang ke sebuah rumah makan outdoor yang dipesan khusus untuk mereka saja. Elizabeth tengah duduk memangku Pauline usai menikmati hidangan makan malam yang ia pesan. Mereka masih ingin berada di sini, menikmati pemandangan malam kota Salzburg dari tempat yang cukup tinggi. "Bagus ya Ma, tempatnya," ujar Pauline turun dari pangkuan Elizabeth. "Iya dong, Sayang. Pauline tidak boleh jalan-jalan ke sana kemari ya ... nanti kalau Pauline hilang, Mama dan Papa mau mencari ke mana?" Elizabeth mengusap pipi gembil Pauline yang belepotan setelah dia memakan es krim. "Kalau Adik Pauline nakal, kita tinggal saja, Ma!" seru Exel tertawa. "Ihhh ... Kakak tidak boleh nakal, tahu! Pauline pukul nih!" pekik Pauline memarahi Kakaknya. Evan dan Elizabeth terkekeh melihat tingkah dua anaknya tersebut. Terlihat Pauline yang mulai berjalan-jalan di sekitar taman. Di belakangnya diikuti Exel, di
Sepanjangan perjalanan pulang, Elizabeth terlihat sangat cemas dan pikirannya sama sekali tidak bisa tenang. Hingga mereka semua sampai di penginapan. Elizabeth menggendong Pauline yang sudah tidur, Exel pun juga terlihat sangat mengantuk. Anak itu berjalan lebih dulu masuk ke dalam penginapan. "Ma, Exel mau tidur dulu ya," ujar anak itu mengucek kedua matanya. "Iya, Nak. Tolong jaga Adik Pauline ya, Sayang..." Elizabeth membaringkan Pauline di ranjang Exel. "Iya Ma, siap!" Setelah menidurkan Pauline di dalam kamar bersama Exel, barulah Elizabeth keluar dan berjalan mendekati Evan yang duduk di sebuah ruangan, laki-laki itu tengah melepaskan mantel hangatnya. Ekspresi gundah gulana yang terpancar di wajah ayu Elizabeth membuat Evan menatapnya lekat-lekat. "Elizabeth..." Evan mengulurkan tangannya meminta wanita itu mendekat. Elizabeth berdecak pelan mengusap wajahnya. "Evan, aku sama sekali tidak berbohong!" seru wanita itu sekali lagi. "Aku benar-benar melihat Clarisa di san
Setelah hari berganti, pagi ini Evan mendapatkan telpon dari Asgar yang telah dia perintahkan untuk mencari tahu tentang Clarisa kemarin. Elizabeth juga berada di samping Evan pagi ini, dia ingin mendengarkan dari Asgar sendiri. "Bagaimana? Apa dia benar-benar pergi atau masih ada di tahanan?" tanya Evan di balik panggilan itu. "Masih ada Tuan. Kemarin saya meminta polisi yang langsung mengeceknya, dan Nyonya Clarisa masih berada di dalam sel tahanan," jelas Asgar pada Evan. Di sana, Evan langsung tersenyum tipis. "Syukurlah kalau begitu. Elizabeth kemarin melihat seorang wanita yang mirip dengan Clarisa saat kami liburan ke Austria," ungkap Evan pada ajudannya tersebut."Astaga ... Tidak Tuan, Nyonya Clarisa masih dalam tahanan. Dan masih sangat lama untuknya bisa bebas," jelas Asgar. "Baiklah, kalau begitu. Lanjutkan pekerjaanmu di kantorku, Gar," ujar Evan lagi. "Iya Tuan."Panggilan pun ditutup oleh Evan, laki-laki tampan berbalut kemeja putih itu langsung menoleh pada istri
Hari pertama Pauline bersekolah, ternyata tidak semudah yang Elizabeth bayangkan. Banyak drama yang Pauline buat di rumah pagi ini. Anak itu membuat Elizabeth pusing dan tak berhenti mengomel sejak petang tadi. Karena Pauline tantrum dan tidak mau bangun tidur, dan menolak untuk pergi bersekolah. "Sudah dong menangisnya, Sayang. Lihat itu Kakak sudah siap berangkat ke sekolah," ujar Elizabeth sembari memakaikan seragam sekolah pada Pauline. "Pauline tidak suka sekolah! Pauline sudah pintar! Huhh … Mama, kenapa harus bangun pagi-pagi Pauline-nya!?! Pauline mau di rumah saja nonton kartun kuda poni! Pauline tidak mau sekolah! Pauline tidak sayang Mama!" pekik anak itu melipat tangannya di dada dan bibirnya cemberut. "Mama tidak mau mendengar alasan apapun! Pauline harus sekolah, kalau tidak mau sekolah, tidak ada nonton kartun, tidak ada pergi jalan-jalan, tidak ada—""Iya ayo, ayo, ayo! Hihhh ... Mama nakal! Pauline tidak sayang! Pauline mau sayang Papa saja!" Pauline kembali menan
"Halo Adelaide ... maaf aku belum bisa ke butik, anakku baru pertama masuk sekolah. Hari pertama sekolah Pauline sudah memukul temannya sampai menangis, aku jadi khawatir meninggalkannya…" Malam ini, Elizabeth tengah dihubungi oleh temannya untuk kesekian kalinya, ia juga meminta maaf pada Adelaide, selaku tangan kanannya di butik karena Elizabeth masih belum bisa datang ke sana. "Tapi Elize, Tuan Calister besok pagi ke sini mengantarkan semua kain pesanan kita! Aku besok ada pertemuan dengan Nyonya Bredley untuk membahas peragaan busana bulan depan!" seru Adelaide di balik panggilan itu. "Untuk sementara aku akan menghubungi dan meminta tolong pada Julio untuk menangani urusan tekstil, bila ada waktu besok aku akan ke sana," ujar Elizabeth sembari duduk di sofa ruang tengah. "Untuk desainnya aku kirimkan cepat malam ini padamu, berikan pada anak-anak untuk mengerjakan pola busananya, dan baru besok kita bahas untuk bahan kain katun apa yang cocok. Bagaimana?" "Hufffttt ... sampa
Evan melangkah menuju ke kamar Exel, dan ia akan membujuk putranya yang tiba-tiba merajuk tersebut. Anak laki-laki itu menoleh cepat saat pintu kamarnya dibuka oleh sang Papa, namun Exel kembali fokus pada kegiatannya, dia menata beberapa bukunya di dalam lemari buku. "Exel, kenapa tadi bersikap seperti itu? Papa dan Mama tidak pernah mengajari Exel untuk tidak sopan pada orang yang lebih tua darimu, Nak..." Evan mendekati sang putra. Exel mendengus pelan melemparkan bola basketnya ke dalam sebuah keranjang. "Exel sudah besar Pa, Exel tidak mau diasuh! Lagi pula ... Exel lebih baik merawat diri sendiri saat Mama sibuk, daripada harus diurus orang lain. Mama juga, harusnya Mama mengurus Adik Pauline saja, tidak usah memikirkan Exel! Exel ini sudah besar sekarang!" pekik anak itu menjelaskan dengan wajah kaku, persis seperti Evan yang sedang marah. Evan langsung mengangguk. "Baiklah kalau Exel tidak mau juga tidak papa. Mama kan sibuk, Sayang ... jadi perlu pengasuh untuk menjaga a
Sudah tiga hari berlalu, Elizabeth kembali menjalani hari-harinya yang sibuk di butik miliknya. Wanita itu juga sudah menyerahkan urusan anak-anaknya pada Tania, pengasuh baru untuk Pauline dan juga Exel. Kedua anak itu siang ini baru saja pulang sekolah. Exel merasa senang karena Pauline mau bermain dengannya di taman rumah, setelah kemarin-kemarin dia menolak bermain bersama Exel. "Nona kecil, ayo makan dulu ... setelah makan siang bisa bermain lagi." Suara Tania membuat Exel dan Pauline menolak. Pauline langsung berjalan cepat mendekati pengasuhnya. Anak itu duduk di atas rumput tebal dan dia menatap sepiring makanan yang dibawa oleh Tania."Pauline mau kuning telurnya saja, Nanny ... tidak suka putihnya," ujar anak itu. "Okay, sebentar ya, Nona kecil yang cantik..." Tania menyisihkan bagian makanan yang tidak disukai oleh Pauline. Wanita itu melirik Exel yang diam dan berbaring di atas rumput memainkan mainan milik Pauline. "Tuan Kecil mau makan siang bersama? Mau Nanny sua