Pagi ini Elizabeth tengah menjaga dua anaknya yang tengah bermain di taman rumah. Exel dan Pauline sempat bersembunyi kemarin, hingga membuat semua orang panik. Hingga kini, Elizabeth menjaganya agar mereka tidak melakukan hal seperti kemarin. Elizabeth tengah duduk melamun diam sembari mendengarkan tawa Exel dan Pauline. 'Rasanya, aku benar-benar ingin pulang,' batin Elizabeth, dia memejamkan kedua matanya. Ia merasa lelah akhir-akhir ini, dan membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri.Tiba-tiba Pauline berjalan mendekati Elizabeth, dan memeluknya. "Mama kenapa sedih?" tanya anak itu mengerjapkan kedua matanya. Elizabeth tersenyum lembut. "Mama rindu rumah, Sayang ... Pauline tidak kangen rumah, ya?" tanya Elizabeth menangkup kedua pipi gembil Pauline. Anak itu mengangguk. "Kangen boneka kuda poni," jawabnya cemberut. Hal ini membuat Elizabeth terkekeh pelan. Pauline memainkan jari telunjuknya di atas permukaan punggung tangan Elizabeth, tiba-tiba anak manis itu mengerjapkan kedu
Sudah cukup lama Elizabeth tidak mengunjungi butiknya, karena dia harus merawat Evan yang sedang sakit. Hari ini wanita cantik itu sudah mulai aktif bekerja kembali seperti biasanya. Elizabeth juga mengajak Pauline, juga Exel bersamanya. Dan Evan lah yang pagi ini mengantarkannya, bersamaan dengan laki-laki itu yang bersiap untuk pergi ke kantor. "Hati-hati di jalan, Evan," ucap Elizabeth yang berdiri di depan pintu butiknya. Evan yang berdiri di depannya pun tersenyum manis. Laki-laki itu mengulurkan tangannya dan mengusap pucuk kepala Elizabeth dengan lembut. "Iya. Terima kasih, Eli," jawab Evan, laki-laki itu menatap kedua anaknya yang sudah berlari masuk ke dalam butik. "Kalau terjadi sesuatu dengan anak-anak, segeralah hubungi aku. Dan tolong tunggu aku kalau kau ingin pulang, jangan pulang sendirian. Mengerti?" Anggukan diberikan oleh Elizabeth. Wanita dengan balutan blazer putih itu menoleh ke dalam butik di mana semua rekan-rekannya memperhatikannya dan Evan dengan tatapa
Seperti yang Evan rencanakan sejak semalam, dia berhasil memajukan jadwal meetingnya menjadi siang hari. Jadi malam ini, dia bisa menemani Elizabeth untuk pergi ke pesta Keluarga Winston. Mereka berdua datang sebagai pasangan yang terlihat sangat romantis. "Apa kira-kira semua rekan kerjanya juga diundang?" tanya Evan melirik Elizabeth yang merangkul lengannya. "Eumm ... kalau acara keluarga, mungkin hanya beberapa orang terdekatnya saja," jawab Elizabeth. "Tapi sepertinya, kau juga akan banyak mengenal para tamu Keluarga Winston nanti.""Heem, baiklah ... ayo," ajak Evan menatap Elizabeth dan tersenyum menggenggam tangan istrinya. Mereka masuk ke tempat di mana pesta itu digelar di sebuah hotel mewah. Kedatangan Evan dan Elizabeth disambut hangat oleh Sisca dan Brian. "Akhirnya, kalian datang juga! Ya ampun Elize ... kau cantik sekali malam ini!" seru Sisca memeluk Elizabeth. Sedangkan Evan bersama dengan Brian dan mereka saling menyapa bercanda tawa. Ternyata di sana ada bebe
Setibanya di rumah, setelah Elizabeth dan Evan kembali dari pesta, mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah. Keduanya juga bersama-sama melangkah ke menuju ke lantai dua. Sampai tiba-tiba langkah Elizabeth terhenti dan Evan menoleh ke arah wanita yang kini menatapnya dengan mata menyipit. "Kenapa?" tanya Evan sembari menyampirkan tuxedo hitam di lengan kirinya. Elizabeth kembali melangkah mendekatinya. "Harusnya aku yang bertanya padamu, kenapa kau tadi bersikap manis sekali saat di hadapan Daniel?" tanya wanita itu. Sebenarnya Elizabeth tahu, kalau tadi Evan menunjukkan rasa cemburunya. Karena dari sorot mata dan perlakuannya yang berlebihan tak seperti biasanya. Evan pun berdehem pelan. "Kenapa memangnya? Apa salahnya aku melakukan itu? Lagi pula kau adalah istriku, jadi wajib bagiku untuk lebih posesif denganmu. Bukankah begitu, Nyonya Collin?" Laki-laki itu melangkah mendekat dan berjalan memutari Elizabeth dengan langkah pelan. Elizabeth tertegun mendengar bagaimana Eva
Setelah kedua orang tua Evan pulang kembali ke Prancis beberapa jam yang lalu, sore ini pun Elizabeth mengemasi baju-bajunya dan milik Pauline ke dalam sebuah tas.Elizabeth yang tengah merapikan barang-barangnya, tiba-tiba disusul oleh Pauline yang masuk ke dalam kamar menatapnya bertanya-tanya. "Mama ... Mama mau ke mana?" tanya Pauline berjalan mendekati Elizabeth. Mamanya pun menoleh dan tersenyum. Elizabeth menekuk kedua lututnya di hadapan Pauline dan memegang pundak mungil putrinya. "Sayang, kita pulang ke rumah kita sendiri, ya ... sekarang kan, Papa sudah sembuh. Dan Kakak Exel juga harus sekolah. Kalau ada Adik Pauline di sini, nanti Kakak Exel tidak fokus sekolahnya," ujar Elizabeth membujuk rayu putri kecilnya. "Jadi Pauline mau kan, pulang dengan Mama?" Mata cokelat Pauline nampak mengerjap, anak itu tengah berpikir-pikir untuk menyetujuinya atau tidak, sebelum akhirnya Pauline mengangguk. "Huum, Pauline mau pulang. Pauline kangen sama mainan Pauline di rumah," jawa
Daniel dan Elizabeth masih berbincang bersama, mereka berdua awalnya bercerita tentang pekerjaan mereka dan kali ini membahas hal lain yang lebih serius. Daniel lah yang membuka percakapan serius itu dengan Elizabeth. "Eli..." "Heem? Ada apa, Niel?" Elizabeth yang tengah membuka plastik makanan milik Pauline itu langsung menoleh. Daniel terlihat ragu mengatakannya. "Aku menerima perjodohan dengan anak mendiang teman Papa," ujar Daniel mengungkapkan pada Elizabeth. "Semalam kau juga bertemu dengan gadis itu." Wanita cantik itu langsung tersenyum. "Tidak papa, Niel. Aku selalu berdoa semoga ke depannya kau selalu bahagia dengan gadis yang akan kau jadikan istrimu itu. Aku yakin kalau dia pasti gadis yang baik," ujar Elizabeth menatap Daniel lekat-lekat. "Heem, aku juga berharap begitu." "Papa tidak mungkin menjodohkanmu dengan gadis yang buruk, hanya saja kau mungkin belum mengenal gadis itu." Elizabeth mencekal lengan Daniel dan menepuknya. "Aku yakin setelah kau mengenalnya, ka
Elizabeth bangun pagi-pagi sekali, ia menyiapkan bekal yang akan ia bawa ke butik untuknya dan Pauline. Wanita itu juga sudah memandikan Pauline lebih awal dari biasanya. Dan senangnya saat si kecil tidak protes ini dan itu. Elizabeth yang tengah merias dirinya di depan meja rias, ia menoleh pada Pauline yang duduk di tepi ranjang mengayun-ayunkan kedua kaki mungilnya. "Mama..." "Iya Sayang? Kenapa, Nak?" tanya Elizabeth menatap si kecil. "Kok kita berangkatnya pagi-pagi sekali? Mama mau bertemu sama teman-teman Mama, ya?" tanya anak itu. Elizabeth tersenyum manis dan menggeleng. "Tidak Sayang, hari ini Mama mau membuat gambar desain yang banyak. Jadi kita berangkat lebih awal, biar nanti siang kita masih punya waktu untuk makan siang di luar." "Emmm, oke kalau begitu." Pauline tersenyum manis mengacungkan jempolnya. Elizabeth memasukkan beberapa alat make up miliknya ke dalam tas, dan ia langsung memasangkan sepatu pada Pauline. "Sudah selesai, ayo kita berangkat, Sayang..."
Setelah semalam Evan menginap di rumah Elizabeth, ternyata sampai pagi pun hujan belum kunjung reda. Meskipun tidak terlalu deras, namun membuat Evan enggan untuk beranjak pulang. Elizabeth yang kini tengah duduk di dalam kamarnya sendirian, dia membaca pesan dari Annete yang mengirimkan foto undangan milik Elizabeth. "Oh ya ampun ... malam ini Adelaide akan menikah," gumam Elizabeth mengusap keningnya. "Dan dia mengundangku, artinya aku harus mengajak Evan." Elizabeth menggigit bibir bawahnya dan mengetukkan jemarinya di dagu. Rasa ragu menyapa Elizabeth, lantaran Evan pasti sibuk. Di sisi lain, bagaimana ia meminta pada Evan dan berkata untuk menemaninya ke pernikahan temannya?"Pasti teman-teman datang dengan suami mereka..." Elizabeth cemberut. Gadis itu menghela napasnya pelan dan mengangguk yakin. "Baiklah, aku harus berbicara dengan Evan. Aku yakin dia mau mendengarkan aku," ucap Elizabeth meyakinkan dirinya sendiri. Wanita cantik itu pun beranjak dari duduknya. Elizabeth