Setelah operasi selesai, Elizabeth pun diberitahu oleh dokter bila operasi yang Evan jalani berjalan dengan lancar. Dan kini Elizabeth duduk di luar sebuah ruangan, menunggu Evan untuk segera sadar sebelum dia dipindahkan di kamar rawat inapnya. Elizabeth berdiri di depan dinding kaca menatap ke dalam sana, merasa sedikit lega karena operasinya berjalan lancar.Saat Elizabeth melamun menatap Evan dari luar, tiba-tiba saja lamunan Elizabeth buyar saat dia mendengar suara Pauline dan Exel memanggilnya. "Mama…!" "Mamaku...!" Elizabeth menoleh cepat, dia melihat Pauline dan Exel berlari ke arahnya. Anak-anak itu langsung memeluknya dengan erat saat sudah bersama sang Mama. Termasuk Pauline yang sangat erat merengkuh leher Elizabeth. "Mama ke mana saja? Kenapa Mama tidak pulang?" tanya Pauline merengek dalam gendongan Elizabeth. "Mama kan harus menjaga Papa, Sayang. Papa sedang sakit, Nak," jawab Elizabeth mengajak kedua anaknya itu duduk di sebuah bangku panjang di depan sana. "P
Suhu udara yang hangat di dalam sebuah ruangan yang beraroma obat-obatan membuat Evan perlahan-lahan membuka kedua matanya yang terasa begitu berat. Pandangan laki-laki itu mengedar di dalam sebuah ruangan bernuansa serba putih bersih di mana ia berada saat ini. 'Aku masih di rumah sakit ... apa yang terjadi?' batin Evan, kepalanya masih terasa pening, juga perutnya terasa begitu kaku. Evan merasakan punggung tangan kanannya terasa berat. Saat ia menggerakkan lehernya untuk menoleh, laki-laki itu menemukan Elizabeth yang tertidur menggenggam tangannya dan meletakkan kepalanya di lengan Evan."Elizabeth," lirih Evan terkejut, tak percaya. “Kenapa dia tertidur di sini?” Seperti mimpi baginya melihat Elizabeth saat ia bangun dari tidurnya. Evan pun menyentuh pucuk kepala wanita itu dengan sangat pelan dan lembut. ‘Dengan posisi duduk dan tertidur seperti ini, pasti punggungnya terasa sakit dan pegal,’ batin Evan, namun dia juga tidak tega membangunkannya. Sentuhan lembut ujung jar
Keesokan harinya, Elizabeth masih setia menemani Evan di rumah sakit dan merawatnya dengan sepenuh hatinya. Melakukan apapun yang Evan butuhkan dan memastikannya bisa istirahat dengan baik. Bahkan saat ini pun, Elizabeth hendak menyuapinya. Meskipun sedikit malu dan ragu, namun tidak ada siapapun di sana yang bisa merawat Evan kecuali Elizabeth sendiri. "Evan, sarapanmu sudah diantar. Aku suapi ya, setelah ini ada beberapa obat yang harus kau minum," ujar Elizabeth berjalan ke arahnya membawa sebuah piring. "Mana," ujar Evan mengulurkan tangannya. Alih-alih memberikan piring di tangannya, Elizabeth malah menarik tangannya dan menatap Evan dengan kedua alis berkerut. "Kau mau apa? Kau itu sakit, jadi biar aku yang menyuapimu. Tidak usah makan sendiri ... nanti bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan bekas jahitan di perutmu," seru Elizabeth, sembari membantu Evan untuk duduk. "Kau hanya perlu patuh saja denganku, aku yang akan merawatmu sampai dokter mengizinkanmu pulang." Evan te
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, hari ini barulah Evan sudah diperbolehkan pulang. Kedatangannya disambut dengan sangat antusias oleh Pauline dan Exel yang sudah berhari-hari tidak berkumpul dengannya. Kedua anaknya itu memeluknya dengan erat dan manja. "Papa, Pauline sama Kakak kangen tahu," ujar Pauline mencebikkan bibirnya. "Papa jangan sakit-sakit lagi, kita tidak suka. Tidak ada yang mengajak kita jalan-jalan..." "Iya. Papa tidak boleh sakit lagi pokoknya. Kasihan kita, kasihan Mama juga pasti capek," ujar Exel, anak laki-laki itu menarik lengan Elizabeth dan diminta untuk duduk bersamanya. Elizabeth mengusap pucuk kepala Pauline dan Exel, ia tersenyum hangat menyadari kerinduan anak-anaknya pada Evan yang sudah berhari-hari tak berkumpul bersama. "Kalau Papa sudah sembuh, kita jalan-jalan ya, Pa ... kita pergi ke game zone!" seru Pauline mendongak menatap Evan. "Tentu saja, Papa akan mengajak anak-anak Papa pergi jalan-jalan bersama," jawab Evan mengecup pipi
Hari demi hari telah berlalu, Evan masih dalam masa pemulihan yang ternyata membutuhkan cukup banyak waktu pasca operasi. Elizabeth masih membantunya melakukan hal-hal kecil sekalipun, meski sesungguhnya dia bisa sendiri. Namun, Evan tidak mau Elizabeth menjauh dari sisinya. Dan pagi ini, Evan tengah bersama dengan Jericho di dalam kamarnya. Evan duduk di atas ranjang membaca beberapa berkas yang Jericho tunjukkan padanya. "Ini berkas penting untuk pembahasan meeting minggu ini, Jer ... kau harus datang ke sana mewakiliku," ujar Evan pada Jericho. Ajudannya itu mengangguk. "Baik Tuan. Tapi ... kalau boleh saya tahu, apa Tuan masih sakit?" tanya Jericho. "Kau pikir aku pura-pura?! Jahitan lukaku belum kering betul, aku tidak bisa beraktivitas seperti biasanya, kau tahu! Lakukan saja semua pekerjaanmu, nanti kalau aku sembuh aku akan membantumu," ujar Evan menyerahkan kembali berkas yang ia bawa pada ajudannya tersebut. Sepasang mata Jericho memicing curiga. Tapi ia pun mengangguk
Sudah satu minggu penuh, tak sehari pun Evan lalui tanpa Elizabeth di sampingnya, bahkan wanita itu selalu melakukan apapun yang Evan butuhkan, juga menemaninya siang dan malam. Hingga, Exel pun diam-diam sudah mulai iri dengan Papanya. Karena Mamanya selalu meluangkan waktunya untuk sang Papa, bukan untuknya dan adiknya. Sampai Exel merasa kesal pada Papanya. Bahkan saat ini, Exel cemberut saat dia melihat Evan tengah disuapi oleh Elizabeth dengan alasan kepalanya pusing tiba-tiba. "Mama kapan mau suapin Exel sama Adik? Kita berdua disuapi Bibi terus, giliran Papa saja disuapi sama Mama!" seru Exel menatap penuh permusuhan pada Evan. Elizabeth menoleh cepat begitu Exel berucap dengan wajah merajuk, di sampingnya ada Pauline yang asik makan sendiri. "Sayang—""Adik Pauline saja sampai makan sendiri. Kasihan tahu Adik Pauline, Mama..." Exel benar-benar kesal pada Papanya. Evan langsung terdiam dan menyudahi makannya saat itu juga. Elizabeth sendiri, dia langsung menatap lekat waj
Malam ini Elizabeth tidak kunjung mengantuk. Ia memutuskan untuk duduk sendirian di balkon lantai dua rumah Evan. Di sana, Elizabeth merenung memikirkan bahwa besok dia akan bertemu dengan Melody—Mama mertuanya lagi, setelah sekian tahun lamanya. "Apa Mama sudah benar-benar berubah? Benarkah dia sekarang sedang sakit mental, tidak mungkin Evan membohongiku, kan?" lirih Elizabeth bergumam sendirian. Wanita itu mengusap wajahnya pelan dan menyergah napasnya panjang. Dia tertunduk diam merasa ragu dan sedikit takut untuk bertemu dengan Melody. 'Tidak mungkin aku harus berpamitan pergi setelah aku menyanggupi permintaan Evan untuk bertemu dengan Mamanya, tapi ... kenapa aku merasa sangat was-was?' Di saat Elizabeth gelisah bersama lamunannya, wanita itu tidak sadar bila Evan mendekatinya. "Kau sedang apa di sini? Kenapa belum tidur?" Suara Evan membuat Elizabeth tersentak. Wanita itu langsung menoleh dan terkesiap karena Elizabeth tak tahu kapan Evan datang. "Oh itu, aku ... aku s
Suara teriakan dan jeritan tangis Melody menggema di rumah Evan pagi ini, wanita itu menangis dan berusaha berlari ke arah Elizabeth. Sedangkan Elizabeth, ia sangat was-was melihat Melody yang meraung-raung dan berusaha berlari ke arahnya. "Berikan obatnya, biar dia tenang dulu," ujar Arshen pada seorang suster. "Iya Tuan." Suster itu pun memberikan sebuah obat penenang pada Melody dan memintanya untuk meminumnya. Setelah itu barulah Melody nampak tenang perlahan-lahan, dia seperti tidak punya tenaga untuk berbicara dan lemas duduk di samping Arshen. "Seperti inilah kondisi Mama selama empat tahun setelah aku pergi, Elizabeth," ujar Arshen kini mengelap wajah Melody dengan sapu tangannya. "Dia selalu mencarimu siang dan malam, jarang mau makan sampai tubuhnya kurus kering seperti ini. Tidur pun hanya beberapa jam saja, setelah itu Mamamu menangis-nangis lagi." Elizabeth meremas tangan Evan tanpa sadar, kedua matanya masih terus tertuju pada Melody yang kini menyandarkan kepala
Pernikahan yang dinanti-nantikan sekaligus tak pernah dibayangkan oleh Pauline pun kini terjadi. Menjadi istri seorang Xander Spencer adalah hal yang tak jauh berbeda dengan sebuah mimpi. Dulu, Pauline tidak berani hanya sekedar untuk membayangkannya saja. Tetapi, takdir berkata lain. Hari ini, Pauline dan Xander sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Pauline resmi menjadi istri dari seorang Xander Spencer setelah acara pernikahan mereka diselenggarakan di gedung hotel milik Keluarga Collin pagi ini. Semua keluarga mengucapkan selamat pada mereka, termasuk Exel dan juga Hauri yang turut ikut merasa senang di hari bahagia adik mereka. "Selamat ya, Sayang ... akhirnya kau membuka lembaran baru dengan seseorang yang kau cintai dan yang mencintaimu," ujar Exel memeluk Pauline. "Berjanjilah untuk hidup bahagia dengan Xander." Pauline mengeratkan pelukannya pada sang Kakak dan ia mengangguk kecil. "Iya, Kak. Terima kasih..." Pelukan mereka pun terlepas, Pauline menatap Hauri yang
Pauline tidak pernah memikirkan yang namanya pernikahan sebelumnya. Ia hanya ingin hidup berdua dan membesarkan Alicia. Itulah harapannya awal mula. Namun, ternyata takdir berkata lain. Pauline justru akan menikah dengan laki-laki yang dulu pernah ia tinggalkan karena sakit hati, dan terlebih lagi laki-laki itu begitu lapang dada menerima Alicia dan mengakui sebagai anaknya sendiri. "Hei, kenapa melamun?" Suara Xander membuat Pauline tersentak pelan. Gadis itu menoleh pada Xander yang kini berdiri di sampingnya. Xander langsung memeluk Pauline dari belakang dan menyandarkan kepalanya di pundak gadis itu. "Kenapa?" Pauline mendongak menatapnya dengan senyuman tipis. "Katanya aku harus duduk diam, kau sendiri yang mau memilihkan gaun pernikahan kita," ujar Pauline. "Heem, tunggu sebentar. Tante Helen masih memilihkan yang pas untukmu," jawab Xander, seraya melepaskan pelukannya. Laki-laki itu pun berpindah duduk di samping Pauline. Saat ini, mereka berada di butik milik salah sat
Xander mengantarkan Pauline pulang, kedatangannya disambut oleh Evan dan Elizabeth. Mereka tampak cemas dan was-was, pasalnya selama bertahun-tahun ini Pauline tidak pernah berhubungan dengan laki-laki manapun. Meskipun Evan merestui hubungan mereka, tapi tentu saja ia panik dan cemas bila putrinya tidak pulang-pulang. Kini mereka bertiga baru saja pulang, tampak Alicia bersemangat dan kesenangan dalam gendongan Xander. "Opaa...!" Anak perempuan itu mengulurkan tangannya dan berlari ke arah Evan dengan wajah berseri-seri. Evan dan Elizabeth pun tersenyum. "Aduh, kenapa Cucu Opa tidak pulang-pulang!" seru Evan, saat cucunya turun dari gendongan Xander dan berlari ke arahnya. Alicia langsung memeluk Evan, sedangkan Pauline dan Xander kini duduk di sofa. Mereka duduk berjajar dan Pauline tampak menundukkan kepalanya. "Maaf ya, Pa. Aku tidak bisa pulang kemarin. Pauline tidur pulas, aku ... aku juga sama," ujar Pauline merasa bersalah. Evan mengangguk. "Tidak apa-apa, asal kau ber
"Pauline, Sayang bangun ... pindahlah tidur di kamar. Jangan tidur di sini. Alicia sudah tidur di kamar atas." Xander menepuk pipi Pauline dengan sangat lembut sampai gadis itu terbangun dan terkejut saat ia menyadari tertidur di rumah Xander. "Kak..." Laki-laki itu tersenyum. "Pindah ke kamar, tidurlah di sana temani Alicia. Aku akan melanjutkan pekerjaanku dulu." Pauline langsung bangun dan ia menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Gadis itu tertunduk. "Bagaimana bisa aku ketiduran sampai jam segini?" lirih Pauline. "Bagaimana aku pulangnya?" "Kan aku sudah bilang, tidurlah di sini. Biar aku yang telfon Papa. Di luar juga udara sangat dingin, kasihan Alicia, Sayang." Xander mengusap lengan kecil Pauline. Gadis itu mengangguk patuh dan ia beranjak dari duduknya. Kedua mata mengantuknya pun tertuju lagi pada Xander. "Janji ya, Kak, teflon Papa," ujarnya. "Iya, Sayang." Barulah Pauline tersenyum tipis. "Baiklah, kalau begitu aku ke
"Ma ... Alicia boleh tidak, tinggal di sini sama Mama dan Papa?" Anak perempuan dengan rambut cokelat dikuncir dua itu berdiri di samping sang Mama. Alicia yang menggemaskan tampak mendongak menatap wajah sang Mama. Pauline yang tengah membuatkan kopi untuk Xander di dapur rumah laki-laki itu, ia pun lantas menoleh dan tersenyum pada Alicia yang murung dan mengeluh di sampingnya. "Kita punya rumah sendiri, Sayang." Bibir Alicia cemberut, anak itu menarik-narik ujung blouse yang Pauline pakai. "Tapi Ma, Alicia mau seperti Kak Varo dan Kak Vano, mereka tinggal dengan Tante Mama dan Papa Exel. Masak Alicia hanya tinggal sama Mama, terus Oma dan Opa? Papa tinggal sendirian, kasihan Papa, Ma..." Alicia memprotes sang Mama. Dari arah ruang tengah, Xander yang mendengar perbincangan Alicia dan Pauline, ia tersenyum. Anak kecil mungil itu memang sangat menyayanginya selayaknya Papanya sendiri. Dengan jelas ia mendengar Alicia merengek pada sang Mama dan ia ingin tinggal bersamanya. Per
Setelah pergi jalan-jalan, Xander mengajak Pauline dan Alicia ke rumahnya. Pauline pikir Xander tetap tinggal di rumah lamanya, tapi ternyata ia salah, Xander telah memiliki rumah sendiri yang jauh lebih megah. Kini, Pauline melangkah masuk ke dalam rumah. Ia berjalan di belakang Xander yang melangkah di depannya sembari menggendong Alicia yang terlelap dalam dekapannya. "Kak, tidurkan di sofa saja, tidak apa-apa," ujar Pauline tidak enak hati. "Kenapa harus di sofa? Di lantai satu banyak kamar, lantai dua juga ada," jawab Xander sambil berjalan menaiki anak tangga. "Tapi kan—""Anggap saja rumah ini rumahmu sendiri, Sayang," sela Xander. Panggilan Sayang yang Xander lontarkan membuat Pauline terdiam. Ia teringat saat beberapa tahun lalu, Xander memanggilnya dengan panggilan itu dan terdengar sangat romantis. Sampai akhirnya Pauline kembali melangkah naik mengikuti Xander. Mereka masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar bernuansa abu-abu dan putih, memiliki ranjang king size di teng
Pauline terus merenung setelah ia mendapatkan nasihat dari sang Papa. Diamnya membuat Xander yang kini bersamanya pun tampak tak biasa. Laki-laki itu memperhatikannya dan ikut merasakan ada yang lain dengan Pauline. "Kenapa diam saja?" tanya Xander menatapnya dan menarik lengan Pauline sambil memangku Alicia. Pauline menoleh cepat dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Emm ... hanya berpikir cuacanya semakin dingin." "Ya, tapi Alicia tidak mau pulang," jawab Xander menahan Alicia yang ada di pangkuannya dan tampak masih ingin bermain lagi di taman. Anak kecil perempuan itu mendongak dan menggelengkan kepalanya. "Ma, Alicia masih mau main sama Papa, nanti kalau Papa pulang, biar Alicia tidak menangis lagi," ujar anak itu. Pauline tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Main sepuasnya di taman, ditemani Papa. Mama akan di sini memperhatikan kalian." Jawaban yang Pauline berikan membuat Xander terdiam dan menatapnya dengan dalam. Rasanya seperti tidak biasa melihat ekspres
Suara gema tangisan Alicia menggelegar di dalam rumah Evan. Alicia marah saat ia bangun tidur, Xander tidak ada di sana, hingga membuat anak itu menangis mencari sosok yang ia panggil 'Papa' tersebut. Tangisannya membuat semua orang heboh pagi ini. Sampai Evan dan Elizabeth ikut berusaha menenangkannya cucu kesayangannya. "Sayang, sudah jangan menangis ... nanti Papa Xander akan ke sini, kok," bujuk Elizabeth menggendong Cucunya. "Huwaa ... maunya sekarang, Oma! Alicia maunya sekarang! Huwaa ... Papamu di mana?!" jerit Alicia menangis. Sedangkan Pauline kini berada di lantai dua, gadis itu tengah mencoba menghubungi Xander. Namun hingga berkali-kali panggilannya tidak dijawab oleh Xander meskipun terhubung. Pauline sampai mondar-mandir dengan kepala pening. Sejak petang dia menggendong Alicia yang rewel mencari Xander. "Mama!" pekik Alicia dari lantai satu. "Huwaa ... Mama!" Gegas Pauline turun ke lantai satu dan segera mendekati putrinya yang kini berjalan ke arahnya sambil me
Pauline dan Xander sampai di wahana akuarium raksasa. Di sana, Alicia terlihat sangat senang. Bahkan anak itu tidak mau turun dari gendongan Xander sejak mereka sampai. Tak hanya diam, Pauline pun sesekali mengambil momen dengan membuat video tentang Alicia yang digendong oleh Xander. "Wahh ... Papa! Itu ikannya besar!" pekik anak perempuan itu menunjuk seekor ikan di dalam akuarium raksasa. "Itu ikan apa, Papa?" "Itu ikan paus, Sayang," jawab Xander. "Ikan paus juga punya Mama dan Papa, juga?" tanyanya dengan polos. "Tentu saja punya," jawab Xander terkekeh. Pauline berdiri di samping Xander dan wanita itu menunjukkan gerombolan ikan-ikan cantik di sana. "Itu bagus ya," ujarnya. "Hm." Xander mengangguk. "Apa kau tidak pernah jalan-jalan saat Prancis?" "Tidak pernah. Alicia sangat nakal. Aku pernah mengajaknya ke taman bermain saat itu, hanya berdua, tapi aku awalnya ingin membiarkannya mendapatkan teman, tapi baru beberapa menit, belum ada satu jam sudah jat