Butuh beberapa jam perjalanan dari Jerman ke Prancis. Sesampainya di negaranya, Evan pun tidak pulang ke rumahnya, dia langsung menuju ke rumah sakit di mana Mamanya dirawat. Kedatangan Evan di rumah sakit malam ini membuat Arshen merasa tenang. Dapat dia lihat wajah cemas Evan saat berjalan masuk ke dalam ruangan di mana Mamanya dirawat. "Pa, bagaimana keadaan Mama?" tanya Evan menatap sang Papa yang bangkit dari duduknya. "Mamamu pingsan pagi tadi, Van. Papa langsung membawanya ke rumah sakit, Mamamu beberapa hari ini susah dibujuk untuk makan, malam pun juga tidak kunjung tidur, dia hanya diam saja. Papa tidak tega meninggalkannya ke mana-mana," ujar Arshen menjelaskan pada Evan. Evan mendekati sang Mama yang terbaring di atas ranjang, wanita itu nampak tertidur pulas. "Ya ampun, Ma ... kenapa Mama sampai kurus seperti ini?" Evan mengusap wajah sang Mama dan mengecup kening wanita itu. Sedangkan Arshen, dia duduk memperhatikan Evan. Dan Arshen menoleh ke arah pintu saat James
Dua hari sudah Evan di Prancis, laki-laki itu memutuskan pagi ini untuk kembali pulang ke Berlin.Namun, Evan saat ini masih menyempatkan waktunya untuk menemani sang Mama. Ia menyuapi Mamanya dengan penuh kesabaran, dan Melody yang bertanya-tanya di mana Exel sejak tadi. "Di mana Exel? Kenapa Exel tidak terlihat sejak tadi? Kau ke manakan anakmu itu?" tanya Melody masih dengan tatapan kosongnya. "Exel di Berlin, Ma. Kalau Mama sudah sembuh nanti, Papa akan mengajak Mama ke Berlin," ujar Evan tersenyum mengusap lengan sang Mama. Melody hanya diam bersandar dan dia mengunyah makanannya dengan sangat pelan. Hati Evan merasa sangat sedih saat ia melihat kondisi Mamanya yang sekarang. Mamanya memang sudah tidak mengamuk-ngamuk lagi seperti dulu, namun dia masih banyak melamun dan kadang masih suka bertanya-tanya tentang Elizabeth. Apalagi tubuh Melody yang kini kurus membuat Evan tak sampai hati meninggalkan Mamanya. "Makan yang banyak ya, Ma ... biar Mama cepat sembuh," ujar Evan m
Sesampainya di rumah sakit, Evan pun langsung mendapatkan perawatan. Namun laki-laki itu masih belum juga sadar. Elizabeth menemaninya sejak tadi di dalam sebuah ruangan, dia terus menangis sembari menggenggam tangan Evan dan terus menerus berdoa. "Cepatlah bangun, Evan ... jangan membuat aku takut, kumohon segeralah bangun," ujar Elizabeth meletakkan keningnya di atas punggung tangan Evan yang dia genggam. Elizabeth tak bisa menghentikan tangisannya, wanita itu takut terjadi sesuatu hal buruk pada Evan, bayangan Elizabeth semisal Evan mengalami penyakit yang tidak-tidak membuatnya ketakutan. Bagi Elizabeth, cukup dia yang dulu sakit keras. Jangan siapapun lagi, termasuk Evan. Jangan sampai Papa dari anaknya ikut sakit seperti ini. "Kenapa pemeriksaannya lama sekali," ucap Elizabeth menoleh ke arah pintu kaca buram di belakangnya. Elizabeth kembali menatap Evan yang terbaring tak sadarkan diri. Elizabeth mengusap kening laki-laki itu. "Aku akan tetap di sini menunggumu sampai k
Setelah operasi selesai, Elizabeth pun diberitahu oleh dokter bila operasi yang Evan jalani berjalan dengan lancar. Dan kini Elizabeth duduk di luar sebuah ruangan, menunggu Evan untuk segera sadar sebelum dia dipindahkan di kamar rawat inapnya. Elizabeth berdiri di depan dinding kaca menatap ke dalam sana, merasa sedikit lega karena operasinya berjalan lancar.Saat Elizabeth melamun menatap Evan dari luar, tiba-tiba saja lamunan Elizabeth buyar saat dia mendengar suara Pauline dan Exel memanggilnya. "Mama…!" "Mamaku...!" Elizabeth menoleh cepat, dia melihat Pauline dan Exel berlari ke arahnya. Anak-anak itu langsung memeluknya dengan erat saat sudah bersama sang Mama. Termasuk Pauline yang sangat erat merengkuh leher Elizabeth. "Mama ke mana saja? Kenapa Mama tidak pulang?" tanya Pauline merengek dalam gendongan Elizabeth. "Mama kan harus menjaga Papa, Sayang. Papa sedang sakit, Nak," jawab Elizabeth mengajak kedua anaknya itu duduk di sebuah bangku panjang di depan sana. "P
Suhu udara yang hangat di dalam sebuah ruangan yang beraroma obat-obatan membuat Evan perlahan-lahan membuka kedua matanya yang terasa begitu berat. Pandangan laki-laki itu mengedar di dalam sebuah ruangan bernuansa serba putih bersih di mana ia berada saat ini. 'Aku masih di rumah sakit ... apa yang terjadi?' batin Evan, kepalanya masih terasa pening, juga perutnya terasa begitu kaku. Evan merasakan punggung tangan kanannya terasa berat. Saat ia menggerakkan lehernya untuk menoleh, laki-laki itu menemukan Elizabeth yang tertidur menggenggam tangannya dan meletakkan kepalanya di lengan Evan."Elizabeth," lirih Evan terkejut, tak percaya. “Kenapa dia tertidur di sini?” Seperti mimpi baginya melihat Elizabeth saat ia bangun dari tidurnya. Evan pun menyentuh pucuk kepala wanita itu dengan sangat pelan dan lembut. ‘Dengan posisi duduk dan tertidur seperti ini, pasti punggungnya terasa sakit dan pegal,’ batin Evan, namun dia juga tidak tega membangunkannya. Sentuhan lembut ujung jar
Keesokan harinya, Elizabeth masih setia menemani Evan di rumah sakit dan merawatnya dengan sepenuh hatinya. Melakukan apapun yang Evan butuhkan dan memastikannya bisa istirahat dengan baik. Bahkan saat ini pun, Elizabeth hendak menyuapinya. Meskipun sedikit malu dan ragu, namun tidak ada siapapun di sana yang bisa merawat Evan kecuali Elizabeth sendiri. "Evan, sarapanmu sudah diantar. Aku suapi ya, setelah ini ada beberapa obat yang harus kau minum," ujar Elizabeth berjalan ke arahnya membawa sebuah piring. "Mana," ujar Evan mengulurkan tangannya. Alih-alih memberikan piring di tangannya, Elizabeth malah menarik tangannya dan menatap Evan dengan kedua alis berkerut. "Kau mau apa? Kau itu sakit, jadi biar aku yang menyuapimu. Tidak usah makan sendiri ... nanti bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan bekas jahitan di perutmu," seru Elizabeth, sembari membantu Evan untuk duduk. "Kau hanya perlu patuh saja denganku, aku yang akan merawatmu sampai dokter mengizinkanmu pulang." Evan te
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, hari ini barulah Evan sudah diperbolehkan pulang. Kedatangannya disambut dengan sangat antusias oleh Pauline dan Exel yang sudah berhari-hari tidak berkumpul dengannya. Kedua anaknya itu memeluknya dengan erat dan manja. "Papa, Pauline sama Kakak kangen tahu," ujar Pauline mencebikkan bibirnya. "Papa jangan sakit-sakit lagi, kita tidak suka. Tidak ada yang mengajak kita jalan-jalan..." "Iya. Papa tidak boleh sakit lagi pokoknya. Kasihan kita, kasihan Mama juga pasti capek," ujar Exel, anak laki-laki itu menarik lengan Elizabeth dan diminta untuk duduk bersamanya. Elizabeth mengusap pucuk kepala Pauline dan Exel, ia tersenyum hangat menyadari kerinduan anak-anaknya pada Evan yang sudah berhari-hari tak berkumpul bersama. "Kalau Papa sudah sembuh, kita jalan-jalan ya, Pa ... kita pergi ke game zone!" seru Pauline mendongak menatap Evan. "Tentu saja, Papa akan mengajak anak-anak Papa pergi jalan-jalan bersama," jawab Evan mengecup pipi
Hari demi hari telah berlalu, Evan masih dalam masa pemulihan yang ternyata membutuhkan cukup banyak waktu pasca operasi. Elizabeth masih membantunya melakukan hal-hal kecil sekalipun, meski sesungguhnya dia bisa sendiri. Namun, Evan tidak mau Elizabeth menjauh dari sisinya. Dan pagi ini, Evan tengah bersama dengan Jericho di dalam kamarnya. Evan duduk di atas ranjang membaca beberapa berkas yang Jericho tunjukkan padanya. "Ini berkas penting untuk pembahasan meeting minggu ini, Jer ... kau harus datang ke sana mewakiliku," ujar Evan pada Jericho. Ajudannya itu mengangguk. "Baik Tuan. Tapi ... kalau boleh saya tahu, apa Tuan masih sakit?" tanya Jericho. "Kau pikir aku pura-pura?! Jahitan lukaku belum kering betul, aku tidak bisa beraktivitas seperti biasanya, kau tahu! Lakukan saja semua pekerjaanmu, nanti kalau aku sembuh aku akan membantumu," ujar Evan menyerahkan kembali berkas yang ia bawa pada ajudannya tersebut. Sepasang mata Jericho memicing curiga. Tapi ia pun mengangguk