Sementara Evan, malam ini ia tidur memeluk putri kecilnya yang sudah terlelap dengan lena, begitu juga dengannya yang ikut terhanyut dalam alam mimpi. Namun, tiba-tiba saja Pauline terbangun. Anak itu membuka kedua matanya dan langsung duduk menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti sedang kebingungan dengan keberadaannya saat ini. Dia tidak di kamar Mamanya seperti biasanya. "Mama..." Pauline mulai merengek mencari Elizabeth. Anak itu menoleh menatap wajah sang Papa, lantas Pauline langsung memeluk leher Evan. "Papa, Pauline mau minum susu," ujar Pauline merengek-rengek, sebelum anak itu duduk kembali. Evan pun terbangun seketika saat mendengar suara kecil putrinya. "Ada apa, Sayang?" Evan langsung duduk menatap putri kecilnya yang diam sudah siap menangis. "Pauline mau minum susu, buatin..." Anak itu mengulurkan kedua tangannya. Evan pun bergegas turun dari atas ranjang, dia mengangkat tubuh kecil Pauline dan mengambil botol susu milik anak itu di atas nakas. Mereka berdua berj
Elizabeth terkejut saat bangun tidur. Dia menggerutu ketika menatap jam yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Mungkin karena semalam dia tidak kunjung bisa tidur, hingga membuatnya sampai bangun melebihi jam biasanya. "Ya ampun, tidak biasanya aku bangun jam segini," gerutu Elizabeth menuruni ranjang. Wanita itu menyelimuti Pauline dan Exel yang masih tertidur di sampingnya. Bahkan Pauline yang biasanya bangun awal pun juga kini belum bangun. Elizabeth berjalan ke kamar mandi sebentar, wanita itu membersihkan tubuhnya dan merapikan rambutnya. Sebelum ia melangkah keluar dan menemui Evan. "Kalau Pauline sudah bangun nanti, aku harus bergegas pulang," gumam wanita itu sembari berjalan menuruni anak tangga menuju ke lantai dasar. Tetapi rumah itu sangat sepi, tidak ada siapapun. Elizabeth berjalan di beberapa ruangan yang berada di lantai satu. Dia tidak mendapati Evan di manapun. "Evan..." Elizabeth memanggil nama suaminya dengan wajah gelisah. "Di mana dia? Apa dia sudah ke
Butuh beberapa jam perjalanan dari Jerman ke Prancis. Sesampainya di negaranya, Evan pun tidak pulang ke rumahnya, dia langsung menuju ke rumah sakit di mana Mamanya dirawat. Kedatangan Evan di rumah sakit malam ini membuat Arshen merasa tenang. Dapat dia lihat wajah cemas Evan saat berjalan masuk ke dalam ruangan di mana Mamanya dirawat. "Pa, bagaimana keadaan Mama?" tanya Evan menatap sang Papa yang bangkit dari duduknya. "Mamamu pingsan pagi tadi, Van. Papa langsung membawanya ke rumah sakit, Mamamu beberapa hari ini susah dibujuk untuk makan, malam pun juga tidak kunjung tidur, dia hanya diam saja. Papa tidak tega meninggalkannya ke mana-mana," ujar Arshen menjelaskan pada Evan. Evan mendekati sang Mama yang terbaring di atas ranjang, wanita itu nampak tertidur pulas. "Ya ampun, Ma ... kenapa Mama sampai kurus seperti ini?" Evan mengusap wajah sang Mama dan mengecup kening wanita itu. Sedangkan Arshen, dia duduk memperhatikan Evan. Dan Arshen menoleh ke arah pintu saat James
Dua hari sudah Evan di Prancis, laki-laki itu memutuskan pagi ini untuk kembali pulang ke Berlin.Namun, Evan saat ini masih menyempatkan waktunya untuk menemani sang Mama. Ia menyuapi Mamanya dengan penuh kesabaran, dan Melody yang bertanya-tanya di mana Exel sejak tadi. "Di mana Exel? Kenapa Exel tidak terlihat sejak tadi? Kau ke manakan anakmu itu?" tanya Melody masih dengan tatapan kosongnya. "Exel di Berlin, Ma. Kalau Mama sudah sembuh nanti, Papa akan mengajak Mama ke Berlin," ujar Evan tersenyum mengusap lengan sang Mama. Melody hanya diam bersandar dan dia mengunyah makanannya dengan sangat pelan. Hati Evan merasa sangat sedih saat ia melihat kondisi Mamanya yang sekarang. Mamanya memang sudah tidak mengamuk-ngamuk lagi seperti dulu, namun dia masih banyak melamun dan kadang masih suka bertanya-tanya tentang Elizabeth. Apalagi tubuh Melody yang kini kurus membuat Evan tak sampai hati meninggalkan Mamanya. "Makan yang banyak ya, Ma ... biar Mama cepat sembuh," ujar Evan m
Sesampainya di rumah sakit, Evan pun langsung mendapatkan perawatan. Namun laki-laki itu masih belum juga sadar. Elizabeth menemaninya sejak tadi di dalam sebuah ruangan, dia terus menangis sembari menggenggam tangan Evan dan terus menerus berdoa. "Cepatlah bangun, Evan ... jangan membuat aku takut, kumohon segeralah bangun," ujar Elizabeth meletakkan keningnya di atas punggung tangan Evan yang dia genggam. Elizabeth tak bisa menghentikan tangisannya, wanita itu takut terjadi sesuatu hal buruk pada Evan, bayangan Elizabeth semisal Evan mengalami penyakit yang tidak-tidak membuatnya ketakutan. Bagi Elizabeth, cukup dia yang dulu sakit keras. Jangan siapapun lagi, termasuk Evan. Jangan sampai Papa dari anaknya ikut sakit seperti ini. "Kenapa pemeriksaannya lama sekali," ucap Elizabeth menoleh ke arah pintu kaca buram di belakangnya. Elizabeth kembali menatap Evan yang terbaring tak sadarkan diri. Elizabeth mengusap kening laki-laki itu. "Aku akan tetap di sini menunggumu sampai k
Setelah operasi selesai, Elizabeth pun diberitahu oleh dokter bila operasi yang Evan jalani berjalan dengan lancar. Dan kini Elizabeth duduk di luar sebuah ruangan, menunggu Evan untuk segera sadar sebelum dia dipindahkan di kamar rawat inapnya. Elizabeth berdiri di depan dinding kaca menatap ke dalam sana, merasa sedikit lega karena operasinya berjalan lancar.Saat Elizabeth melamun menatap Evan dari luar, tiba-tiba saja lamunan Elizabeth buyar saat dia mendengar suara Pauline dan Exel memanggilnya. "Mama…!" "Mamaku...!" Elizabeth menoleh cepat, dia melihat Pauline dan Exel berlari ke arahnya. Anak-anak itu langsung memeluknya dengan erat saat sudah bersama sang Mama. Termasuk Pauline yang sangat erat merengkuh leher Elizabeth. "Mama ke mana saja? Kenapa Mama tidak pulang?" tanya Pauline merengek dalam gendongan Elizabeth. "Mama kan harus menjaga Papa, Sayang. Papa sedang sakit, Nak," jawab Elizabeth mengajak kedua anaknya itu duduk di sebuah bangku panjang di depan sana. "P
Suhu udara yang hangat di dalam sebuah ruangan yang beraroma obat-obatan membuat Evan perlahan-lahan membuka kedua matanya yang terasa begitu berat. Pandangan laki-laki itu mengedar di dalam sebuah ruangan bernuansa serba putih bersih di mana ia berada saat ini. 'Aku masih di rumah sakit ... apa yang terjadi?' batin Evan, kepalanya masih terasa pening, juga perutnya terasa begitu kaku. Evan merasakan punggung tangan kanannya terasa berat. Saat ia menggerakkan lehernya untuk menoleh, laki-laki itu menemukan Elizabeth yang tertidur menggenggam tangannya dan meletakkan kepalanya di lengan Evan."Elizabeth," lirih Evan terkejut, tak percaya. “Kenapa dia tertidur di sini?” Seperti mimpi baginya melihat Elizabeth saat ia bangun dari tidurnya. Evan pun menyentuh pucuk kepala wanita itu dengan sangat pelan dan lembut. ‘Dengan posisi duduk dan tertidur seperti ini, pasti punggungnya terasa sakit dan pegal,’ batin Evan, namun dia juga tidak tega membangunkannya. Sentuhan lembut ujung jar
Keesokan harinya, Elizabeth masih setia menemani Evan di rumah sakit dan merawatnya dengan sepenuh hatinya. Melakukan apapun yang Evan butuhkan dan memastikannya bisa istirahat dengan baik. Bahkan saat ini pun, Elizabeth hendak menyuapinya. Meskipun sedikit malu dan ragu, namun tidak ada siapapun di sana yang bisa merawat Evan kecuali Elizabeth sendiri. "Evan, sarapanmu sudah diantar. Aku suapi ya, setelah ini ada beberapa obat yang harus kau minum," ujar Elizabeth berjalan ke arahnya membawa sebuah piring. "Mana," ujar Evan mengulurkan tangannya. Alih-alih memberikan piring di tangannya, Elizabeth malah menarik tangannya dan menatap Evan dengan kedua alis berkerut. "Kau mau apa? Kau itu sakit, jadi biar aku yang menyuapimu. Tidak usah makan sendiri ... nanti bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan bekas jahitan di perutmu," seru Elizabeth, sembari membantu Evan untuk duduk. "Kau hanya perlu patuh saja denganku, aku yang akan merawatmu sampai dokter mengizinkanmu pulang." Evan te