Matahari sudah hampir terbenam, Elizabeth menemani Pauline yang sedang bermain di teras depan rumah. Anak itu begitu kesenangan dengan banyak mainan baru yang Evan belikan untuknya. "Mama, Pauline mau bawa bonekanya masuk ke dalam rumah," ujar anak itu menyeret sebuah kereta mainannya. "Katanya tadi mau main di luar, Sayang?" Elizabeth menatap buah hatinya yang menggelengkan kepala. "Tidak jadi!" Anak itu menyeret kembali kereta mainannya masuk ke dalam rumah. Begitu Elizabeth hendak mengikutinya masuk ke dalam rumah, wanita itu menoleh ke arah luar saat mendengar suara klakson mobil. Elizabeth pun menoleh dan ia melihat mobil berwarna putih milik Daniel yang kini berhenti di depan rumah Elizabeth. "Daniel," ucap Elizabeth lirih. Nampak laki-laki dengan balutan tuxedo berwarna navy itu turun dari dalam mobilnya. Seperti biasa, dia selalu tersenyum pada Elizabeth dan berjalan mendekatinya. "Mana anak cantikku?" tanya Daniel pada Elizabeth sembari menaiki anak tangga teras.
Saat masuk ke dalam rumah, Evan duduk di sebuah sofa dengan kedua anaknya yang asik bermain, mereka berdua duduk di atas alas lantai di ruang keluarga. Baik Pauline maupun Exel memiliki hobi yang sama, yaitu bermain puzzle. Keduanya pun terlihat kompak, mereka saling bercanda tawa satu sama lain. Elizabeth mendekati mereka, membawakan segelas susu untuk kedua anaknya. "Sayang, susunya Mama taruh sini ya," ujar Elizabeth pada mereka. "Iya Mama," jawab mereka kompak. Saat Elizabeth hendak pergi, tiba-tiba Pauline menahan lengan sang Mama. Anak itu berdiri sembari memegang botol susunya. "Mama duduk di sini sama Papa," ujar anak itu menarik Elizabeth untuk duduk di samping Evan. Elizabeth pun patuh, dia duduk di samping Evan dan membiarkan laki-laki itu merangkulnya di depan Pauline."Nah, iya ... seperti itu!" serunya tersenyum sembari mengacungkan jempolnya. Anak itu kembali bermain dengan Kakaknya kembali, Pauline berbaring di atas alas lantai yang hangat dan halus sembari m
Keesokan harinya, Elizabeth sudah menjalani hari-harinya seperti biasa. Dia juga sudah mulai aktif untuk bekerja kembali. Di tengah badai yang menerpa, dia masih berdiri tegap seperti sosok Elize yang dikenal oleh semua orang. Dan pagi ini, Elizabeth membawa Pauline untuk ikut dengannya menghadiri pertemuan di sebuah perusahaan di bidang fashion milik rekan Elizabeth. "Pauline tidak boleh jalan ke luar sini, harus di dalam saja dengan Mama. Mengerti, Sayang?" seru Elizabeth pada si kecil yang digandengnya. "Iya Mama, tapi Pauline mau makan es krim stroberi, Mama..." "Iya nanti, Sayang. Nanti kalau meeting sudah selesai, kita beli es krim stroberi."Anak itu cemberut dan menghentikan langkahnya, dia menghentakkan kakinya di atas lantai dengan kesal. "Mama tidak asik!" protes Pauline mendongak menatap Elizabeth. Sang Mama pun menatapnya dengan tatapan lelah. "Kalau Pauline mengamuk, Mama tinggal di sini," ujar wanita itu pada si kecil. "Iya, iya Mama. Pauline tidak jadi marah!"
Seperti yang sudah diduga, berita tentang hubungan Elizabeth dan Evan pun tersebar luas dalam waktu yang sangat singkat. Elizabeth bahkan merasa takut untuk sekedar membuka ponselnya membaca berita yang beredar mengisukan dirinya mengkhianati Keluarga Winston. Semua ini membuat Elizabeth teringat pada kejadian di masa lalu. Di mana dulunya dia pernah diisukan berselingkuh dengan Daniel, dan kini dia kembali membawa-bawa nama keluarga Daniel dalam hal memalukan seperti ini. Pagi ini Elizabeth mendatangi keluarga Winston, dia dihubungi oleh Sisca untuk datang menemuinya. Bersama kedua orang tua Daniel, kini Elizabeth berada di ruang tamu dan mereka berdua nampak begitu cemas. "Apa-apaan ini Elize, kenapa banyak berita tersebar mengatakan kalau seorang laki-laki bernama Evander mengaku sebagai suamimu dan Papanya Pauline! Siapa dia, Nak?!" tanya Brian menatap Elizabeth dengan tatapan penuh tanda tanya. Elizabeth meremas jemarinya, tertunduk pasrah. Isi kepalanya sangat berisik hingga
Setelah beberapa hari Elizabeth tidak keluar rumah, berita di luar pun semakin menjadi-jadi. Tanpa sengaja pagi ini, Elizabeth membuka ponselnya dan dia membaca tentang kabar saham perusahaan milik Keluarga Winston yang kini merosot dan banyaknya perjanjian kerja sama dengan perusahaan tersebut yang dibatalkan. "Astaga..." Elizabeth menutup mulutnya tak percaya. "Ke-kenapa bisa menjadi seperti ini?" Wanita itu sangat terkejut dengan banyaknya berita yang sangat trending beberapa hari ini. Elizabeth menjatuhkan ponselnya di atas ranjang. Dia terduduk lemas memegangi dadanya. Elizabeth merasa tertekan dan bingung, menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian ini. "Bila sudah seperti ini, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa berbuat apa-apa," ucap Elizabeth putus asa. Ia meremas jemari tangannya, rasa bersalah dan menyesal menyeruak di dalam dada Elizabeth. Dia tidak bisa melakukan apapun dalam situasi seperti ini pada Keluarga Winston, keluarga yang paling banyak membantunya se
Evan menepati janjinya pada Elizabeth, sore ini dia berhasil membuat janji dengan seorang Brian Winston untuk bertemu di perusahaan besar milik laki-laki tua itu. Kedatangan Evan disambut penuh hormat sebagai tamu yang cukup disegani oleh Brian. Untuk sejenak, Brian menatap Evan dengan tatapan asing, mereka tak pernah bertemu sama sekali sebelumnya. "Selamat sore, Tuan Winston," sapa Evan membungkukkan badannya memberi hormat. "Selamat sore. Silakan duduk," balas Brian mempersilakan Evan untuk duduk di sebuah sofa abu-abu di dalam ruangan tersebut. Mereka berdua pun duduk berhadapan. Brian mengerutkan keningnya menatap Evan, dia sekelebat seperti pernah melihat laki-laki ini. "Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya di sebuah pertemuan?" tanya Brian menatap Evan lekat-lekat. Evan tersenyum tipis. "Belum Tuan, kita belum pernah bertemu sebelumnya," jawab Evan, sebelum dia mengulurkan tangannya pada laki-laki tua itu. "Perkenalkan, saya Evander Collin. Saya pimpinan perusahaan Z
Keesokan paginya, Evan yang berada di kediamannya, menatap Jericho yang berdiri di hadapannya menyerahkan beberapa berkas dan dokumen penting. "Bagaimana, Jer? Apa kau sudah berhasil menghentikan penyebaran berita kemarin?" tanya Evan menatap ajudannya. "Sudah Tuan. Saya dan James semalam langsung mendatangi gedung tempat di mana berita itu dibuat, dan kami sudah berhasil dan bersepakat untuk menghentikan penyebaran beritanya." Laki-laki dengan balutan tuxedo berwarna navy itu pun mengangguk kecil. "Bagus," jawab Evan singkat. Di tengah perbincangannya dengan Jericho, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Di mana James berdiri di sana menatap Evan dan Jericho. Laki-laki dengan balutan tuxedo hitam itu berjalan masuk ke dalam ruangan tersebut. "Maaf mengganggu waktunya, Tuan. Saya baru saja mendapat telepon dari kantor, ada tamu penting pagi ini yang ingin menemui Tuan terkait kerja sama perusahaan," ujar James menatap Evan. Alis tebal Evan langsung terangkat salah satu. "Br
Selama beberapa hari ini Elizabeth masih berdiam diri di rumah bersama Pauline. Sekalipun berita di media sosial sudah surut, bahkan sudah tidak ada lagi pesan notifikasi yang menghujatnya di media sosial. Elizabeth merasa sedikit lega, meskipun dia tidak tahu apakah ini semua Evan yang mengatasinya, atau dari Keluarga Winston sendiri?Elizabeth yang kini tengah melamun memikirkan hal itu pun, tiba-tiba lamunannya buyar saat ia mendengar suara Pauline. "Mama...!" teriak anak itu memanggilnya. "Iya Sayang, ada apa, Nak?" Elizabeth menoleh pada Pauline yang berjalan ke arahnya membawa ponsel milik Elizabeth. "Kenapa, Sayang?""Tadi bunyi, pasti dari Papa Daniel," ujar anak itu. Kening Elizabeth mengerut, dia mengangkat tubuh Pauline dan duduk memangkunya. Setelah Elizabeth mengecek siapa yang telah menghubunginya, dan ternyata benar dengan apa yang Pauline katakan, kalau yang menghubunginya benar-benar Daniel. "Daniel, ada apa?" gumam Elizabeth. Belum ia menghubunginya balik, tap
Sesampainya di rumah, Hauri pun bergegas mengganti pakaiannya dan gadis itu berbaring di atas ranjang kamarnya. Ia tidur memunggungi Exel yang kini duduk memangku laptopnya. Tidak biasanya Hauri mengacuhkannya seperti ini, tidak biasanya dia tidak bermanja-manja sebelum tidur, bahkan tidak ada sepatah katapun yang terucap darinya. "Sayang, kenapa diam saja? Apa kau sakit?" tanya Exel mengusap pundaknya. Hauri menggeleng. "Tidak papa. Aku hanya lelah," jawab gadis itu. "Jangan menghadap ke sana," ujar Exel mengelus pipi Hauri. Perlahan Hauri menjauhkan tangan Exel dari pipinya. Ia menarik selimutnya tinggi-tinggi dan memejamkan kedua matanya perlahan. Exel tidak mau membujuknya, karena ia tahu semakin membujuk Hauri yang sedang kesal, mungkin akan semakin membuatnya bertambah marah padanya. Exel meletakkan laptopnya cepat, ia ikut berbaring dan memeluknya dari belakang. "Jangan marah, kalau ada apa-apa harusnya kau bilang, Sayang," bisik Exel. "Tidak ada," jawab Hauri dengan m
Hauri cukup lama menunggu Exel di dalam mobil, ia penasaran ke mana Exel perginya setelah ia memintanya menunggu. Saat sibuk menunggu, tiba-tiba saja Hauri melihat sosok Heiner yang baru saja keluar dari dalam area restoran dan ia tampak berjalan sendiri. "Loh, Exel mana?" lirih Hauri. Gadis itu segera membuka pintu mobil, ia berjalan ke arah Heiner yang kini tengah menuruni sebuah tangga. "Heiner..." Hauri memanggilnya. Laki-laki tampan itu menoleh dan tersenyum. "Ya, Hau? Kenapa?" tanyanya. "Exel mana?" tanya Hauri. "Dia bilang tadi dia—""Oh, Exel sedang di dalam dengan Lafenia," sela Heiner. Wajah Hauri tiba-tiba menjadi sedikit kecewa. Karena tadi Exel mengatakan kalau dia ingin bertemu Heiner, kenapa sekarang malah di dalam dengan Lafenia? "Hei, kenapa malah melamun?" Heiner mengusap pucuk kepala Hauri. "Ayo kalau kau mau aku temani memanggil Exel di dalam," ajak laki-laki tampan berambut cokelat itu. Hauri mengangguk pelan. Mereka berjalan masuk ke dalam restoran lagi
Setelah siang tadi Exel mengajak Hauri untuk pergi ke pantai berdua dengannya setelah fitting baju pengantin. Malam ini, Exel mengajaknya pergi bersamanya. Exel kali ini memenuhi undangan teman-temannya untuk datang ke acara makan malam, dan ia mengajak Hauri karena kondisi Hauri saat ini tampak baik-baik saja dan dia juga tidak mengeluh pusing atau yang lainnya. Mereka berdua kini masuk ke dalam sebuah restoran mewah di mana semua teman-teman Exel tampak menunggunya di sana. "Exel, akhirnya datang juga..." Keilan menjabat tangan Exel, kemudian juga pada Hauri. "Kemarin malam kenapa tidak datang, heh?!" tanya Eithan merangkulnya. "Sorry, aku menemani istriku," ujar Exel menoleh pada Hauri sebelum ia menatap teman-temannya. "Perkenalkan, ini calon istriku, mamanya Miko Hauri." Semua teman-temannya di sana, termasuk Heiner dan Lafenia menatap ke arah Hauri yang berdiri di belakang Exel. Senyuman mereka seolah menyambut kedatangan Hauri di sana dengan senang hati. "Hai, salam kena
Keesokan paginya, Hauri pergi bersama Exel ke butik milik Elizabeth. Di sana, mereka berdua diminta untuk memilih baju pengantin mana yang akan dipakai di acara pernikahan mereka beberapa hari lagi. Tampak Hauri kebingungan memilih gaun mana yang serasi untuknya. Gadis cantik berambut sepundak itu berdiri mendongak menatap macam-macam gaun pengantin yang terpajang di dalam lemari kaca. 'Mama Elizabeth sangat hebat, memiliki butik sebesar ini,' batin Hauri terkagum-kagum. Gadis itu masih berdiam diri menatap gaun pengantin di hadapannya saat ini. "Pasti ini sangat mahal dan berat, semuanya dipenuhi hiasan mutiara yang berkilau, dan motif kainnya juga sangat cantik," ujar Hauri tersenyum manis. "Hauri mau mencoba yang ini, Sayang?" Suara Elizabeth yang tiba-tiba muncul membuat Hauri tersentak kaget. Gadis itu menatapnya dan menggelengkan kepalanya cepat. "Ti-tidak, Ma. Gaunnya terlihat sangat berat," ujar gadis itu. Elizabeth menatap gaun di hadapannya itu dan mengangguk. "Iya
Udara dingin terasa menusuk, Hauri membuka kedua matanya pukul satu dini hari. Gadis itu menghembuskan napasnya panjang berusaha menyingkirkan lengan kekar Exel yang memeluknya dengan sangat erat. Exel selalu menolak tidur sendiri-sendiri, toh mereka akan menikah beberapa hari lagi, di sisi lain, Exel tidak tega bila dia terbayangkan Hauri sakit tiba-tiba saat sedang tidur sendirian. Hauri melepaskan satu tangan Exel dengan perlahan-lahan. Namun, justru pelukan itu semakin mengerat kuat. "Ya ampun, Exel ... lepaskan sebentar. Aku mau ke kemarin mandi," ujar Hauri memukuli lengan laki-laki itu. "Hehhh..." Exel menarik napasnya panjang dan melepaskan pelukannya. "Ayo, aku temani." "Nyalakan lampunya, aku takut gelap," ujar gadis itu. Exel segera menyalakan penerangan di dalam kamarnya. Hauri pun menyibak selimutnya cepat dan berjalan ke kamar mandi.Sedangkan Exel menunggu duduk di tepi ranjang dengan wajah mengantuknya. Sampai Hauri kembali keluar, gadis itu mendekati Exel dan H
Hari sudah gelap, Hauri berada di ruang makan dan menghabiskan makan malamnya sendirian di sana. Sejak siang, ia tertidur hingga bangun malam. Terus terang, Hauri sangat malu ia bangun terlambat, tetapi tidak ada yang melarang atau mengomelinya. Justru semua orang rumah itu meminta Hauri istirahat total. "Makan yang banyak, Sayang. Setelah itu obatnya diminum dan istirahat lagi di ruang tengah dengan Adik Pauline, biar tidak suntuk," ujar Elizabeth dari arah dapur. "Iya Ma," jawab Hauri. Elizabeth berjalan mendekat membawakan segelas air hangat untuk Hauri. "Minum air hangat saja ya, kata Exel tadi kau kedinginan," ujar Elizabeth sembari menyentuh kening Hauri yang terasa hangat. Gadis itu merasa sedih dan senang sekaligus saat dimanjakan oleh Elizabeth, kasih sayang dari sosok Mama yang selama ini Hauri rindukan. Elizabeth terdiam sejenak menatap makanan Hauri hanya tersisa sedikit. Wanita itu menyadari pasti Hauri berat menjalani kondisinya ini, mengalami penurunan nafsu maka
Akhirnya Hauri bisa bernapas lega setelah sekian lama. Ia dan Exel bergegas pulang, namun selama sepanjang perjalanan menuju rumah, Hauri hanya diam saja. Hal ini membuat Exel bertanya-tanya. Apakah kekasihnya itu tidak papa?"Kenapa diam saja? Kau ingin membeli sesuatu?" tanya Exel menoleh. "Tidak. Aku hanya ingin cepat sampai di rumah dan segera meminum obat," jawabnya. "Jadwalnya sudah berlalu satu jam." "Oh astaga, Sayang! Aku benar-benar tidak ingat!" seru Exel menepuk keningnya. "Kenapa kau tidak bilang sejak di kantor?" Exel tampak merutuki kesalahannya sendiri karena melupakan hal itu. Hauri hanya tersenyum tipis. "Tidak papa. Kau kan juga sibuk, Lafenia juga terus menahanmu pulang, kan?" Meskipun tidak bernada tinggi, tapi terasa sakitnya dari kata-kata yang Hauri lontarkan barusan. Juga ekspresi gadis itu yang sulit untuk Exel tebak, apakah dia senang marah, atau tidak. "Maaf ya, Sayang ... aku yang salah," ujar Exel mengusap pucuk kepala Hauri. "Tidak papa, Exel."
Berada di dalam sebuah ruangan bersama dengan teman Exel, Hauri sangat merasa canggung. Ia bahkan bingung harus apa di sana. Berbeda dengan Heiner, ia memperhatikan Hauri dengan tatapan yang tak biasa dan dipenuhi rasa penasaran. "Hauri," panggil Exel pelan."Ya?" Hauri menoleh cepat. Ia merasa senang bila laki-laki itu mungkin mengajaknya berbincang. Heiner beranjak dari duduknya seketika dan mengambil remote penyejuk ruangan sembari menatapnya. "Sepertinya kau kedinginan, ya? Wajahmu terlihat pucat, dan kau sejak tadi meremas tanganmu," ujar Heiner. "Maaf ya, aku baru menyadari kalau ruangan ini terlalu dingin untukmu." "Ah, ya. Tolong kurangi suhu dinginnya," ujar Hauri. Heiner pun tersenyum tipis, laki-laki itu kembali duduk di sofa dan kali ini lebih dekat dengan Hauri. "Ngomong-ngomong, kau bukan berasal dari Eropa? Wajahmu terlihat berbeda dengan warga Eropa," ujar Heiner. "Iya. Papaku orang Prancis, Mamaku dari Jepang. Tapi aku besar di Prancis dan mengenal Exel di san
Sesampainya di kantor, semua orang terkejut melihat kedatangan Exel saat ini bersama seorang gadis yang tak lain adalah calon istrinya. Hauri langsung turun dari dalam mobil, gadis itu menatap sekitar di mana semua karyawan di kantor menatapnya dengan tatapan ramah. "Selamat siang, Pak ... selamat siang, Nona Hauri," sapa salah satu karyawan yang datang menyambut mereka. "Selamat siang," balas Hauri dengan ramah. Exel langsung dihampiri oleh Lafenia yang baru saja keluar dari dalam sebuah ruangan. "Pak Exel..." Lafenia mendekat membawa sebuah map berkas. Exel menoleh dan melihat gadis itu menghampirinya. "Di mana Tuan Gamaliel?" tanya Exel. "Ada di dalam ruangan tamu. Saya sudah meminta orang-orang menyiapkan beberapa minuman untuk tamu kita. Pak Gamaliel bersama dengan keponakannya yang seusia Bapak, dia pengusaha sukses juga," ujar Lafenia menjelaskan."Oke. Kita ke sana sekarang," ujar Exel.Saat laki-laki itu hendak berjalan, Exel menghentikan langkah kakinya. Ia menoleh m