Saat masuk ke dalam rumah, Evan duduk di sebuah sofa dengan kedua anaknya yang asik bermain, mereka berdua duduk di atas alas lantai di ruang keluarga. Baik Pauline maupun Exel memiliki hobi yang sama, yaitu bermain puzzle. Keduanya pun terlihat kompak, mereka saling bercanda tawa satu sama lain. Elizabeth mendekati mereka, membawakan segelas susu untuk kedua anaknya. "Sayang, susunya Mama taruh sini ya," ujar Elizabeth pada mereka. "Iya Mama," jawab mereka kompak. Saat Elizabeth hendak pergi, tiba-tiba Pauline menahan lengan sang Mama. Anak itu berdiri sembari memegang botol susunya. "Mama duduk di sini sama Papa," ujar anak itu menarik Elizabeth untuk duduk di samping Evan. Elizabeth pun patuh, dia duduk di samping Evan dan membiarkan laki-laki itu merangkulnya di depan Pauline."Nah, iya ... seperti itu!" serunya tersenyum sembari mengacungkan jempolnya. Anak itu kembali bermain dengan Kakaknya kembali, Pauline berbaring di atas alas lantai yang hangat dan halus sembari m
Keesokan harinya, Elizabeth sudah menjalani hari-harinya seperti biasa. Dia juga sudah mulai aktif untuk bekerja kembali. Di tengah badai yang menerpa, dia masih berdiri tegap seperti sosok Elize yang dikenal oleh semua orang. Dan pagi ini, Elizabeth membawa Pauline untuk ikut dengannya menghadiri pertemuan di sebuah perusahaan di bidang fashion milik rekan Elizabeth. "Pauline tidak boleh jalan ke luar sini, harus di dalam saja dengan Mama. Mengerti, Sayang?" seru Elizabeth pada si kecil yang digandengnya. "Iya Mama, tapi Pauline mau makan es krim stroberi, Mama..." "Iya nanti, Sayang. Nanti kalau meeting sudah selesai, kita beli es krim stroberi."Anak itu cemberut dan menghentikan langkahnya, dia menghentakkan kakinya di atas lantai dengan kesal. "Mama tidak asik!" protes Pauline mendongak menatap Elizabeth. Sang Mama pun menatapnya dengan tatapan lelah. "Kalau Pauline mengamuk, Mama tinggal di sini," ujar wanita itu pada si kecil. "Iya, iya Mama. Pauline tidak jadi marah!"
Seperti yang sudah diduga, berita tentang hubungan Elizabeth dan Evan pun tersebar luas dalam waktu yang sangat singkat. Elizabeth bahkan merasa takut untuk sekedar membuka ponselnya membaca berita yang beredar mengisukan dirinya mengkhianati Keluarga Winston. Semua ini membuat Elizabeth teringat pada kejadian di masa lalu. Di mana dulunya dia pernah diisukan berselingkuh dengan Daniel, dan kini dia kembali membawa-bawa nama keluarga Daniel dalam hal memalukan seperti ini. Pagi ini Elizabeth mendatangi keluarga Winston, dia dihubungi oleh Sisca untuk datang menemuinya. Bersama kedua orang tua Daniel, kini Elizabeth berada di ruang tamu dan mereka berdua nampak begitu cemas. "Apa-apaan ini Elize, kenapa banyak berita tersebar mengatakan kalau seorang laki-laki bernama Evander mengaku sebagai suamimu dan Papanya Pauline! Siapa dia, Nak?!" tanya Brian menatap Elizabeth dengan tatapan penuh tanda tanya. Elizabeth meremas jemarinya, tertunduk pasrah. Isi kepalanya sangat berisik hingga
Setelah beberapa hari Elizabeth tidak keluar rumah, berita di luar pun semakin menjadi-jadi. Tanpa sengaja pagi ini, Elizabeth membuka ponselnya dan dia membaca tentang kabar saham perusahaan milik Keluarga Winston yang kini merosot dan banyaknya perjanjian kerja sama dengan perusahaan tersebut yang dibatalkan. "Astaga..." Elizabeth menutup mulutnya tak percaya. "Ke-kenapa bisa menjadi seperti ini?" Wanita itu sangat terkejut dengan banyaknya berita yang sangat trending beberapa hari ini. Elizabeth menjatuhkan ponselnya di atas ranjang. Dia terduduk lemas memegangi dadanya. Elizabeth merasa tertekan dan bingung, menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian ini. "Bila sudah seperti ini, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa berbuat apa-apa," ucap Elizabeth putus asa. Ia meremas jemari tangannya, rasa bersalah dan menyesal menyeruak di dalam dada Elizabeth. Dia tidak bisa melakukan apapun dalam situasi seperti ini pada Keluarga Winston, keluarga yang paling banyak membantunya se
Evan menepati janjinya pada Elizabeth, sore ini dia berhasil membuat janji dengan seorang Brian Winston untuk bertemu di perusahaan besar milik laki-laki tua itu. Kedatangan Evan disambut penuh hormat sebagai tamu yang cukup disegani oleh Brian. Untuk sejenak, Brian menatap Evan dengan tatapan asing, mereka tak pernah bertemu sama sekali sebelumnya. "Selamat sore, Tuan Winston," sapa Evan membungkukkan badannya memberi hormat. "Selamat sore. Silakan duduk," balas Brian mempersilakan Evan untuk duduk di sebuah sofa abu-abu di dalam ruangan tersebut. Mereka berdua pun duduk berhadapan. Brian mengerutkan keningnya menatap Evan, dia sekelebat seperti pernah melihat laki-laki ini. "Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya di sebuah pertemuan?" tanya Brian menatap Evan lekat-lekat. Evan tersenyum tipis. "Belum Tuan, kita belum pernah bertemu sebelumnya," jawab Evan, sebelum dia mengulurkan tangannya pada laki-laki tua itu. "Perkenalkan, saya Evander Collin. Saya pimpinan perusahaan Z
Keesokan paginya, Evan yang berada di kediamannya, menatap Jericho yang berdiri di hadapannya menyerahkan beberapa berkas dan dokumen penting. "Bagaimana, Jer? Apa kau sudah berhasil menghentikan penyebaran berita kemarin?" tanya Evan menatap ajudannya. "Sudah Tuan. Saya dan James semalam langsung mendatangi gedung tempat di mana berita itu dibuat, dan kami sudah berhasil dan bersepakat untuk menghentikan penyebaran beritanya." Laki-laki dengan balutan tuxedo berwarna navy itu pun mengangguk kecil. "Bagus," jawab Evan singkat. Di tengah perbincangannya dengan Jericho, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Di mana James berdiri di sana menatap Evan dan Jericho. Laki-laki dengan balutan tuxedo hitam itu berjalan masuk ke dalam ruangan tersebut. "Maaf mengganggu waktunya, Tuan. Saya baru saja mendapat telepon dari kantor, ada tamu penting pagi ini yang ingin menemui Tuan terkait kerja sama perusahaan," ujar James menatap Evan. Alis tebal Evan langsung terangkat salah satu. "Br
Selama beberapa hari ini Elizabeth masih berdiam diri di rumah bersama Pauline. Sekalipun berita di media sosial sudah surut, bahkan sudah tidak ada lagi pesan notifikasi yang menghujatnya di media sosial. Elizabeth merasa sedikit lega, meskipun dia tidak tahu apakah ini semua Evan yang mengatasinya, atau dari Keluarga Winston sendiri?Elizabeth yang kini tengah melamun memikirkan hal itu pun, tiba-tiba lamunannya buyar saat ia mendengar suara Pauline. "Mama...!" teriak anak itu memanggilnya. "Iya Sayang, ada apa, Nak?" Elizabeth menoleh pada Pauline yang berjalan ke arahnya membawa ponsel milik Elizabeth. "Kenapa, Sayang?""Tadi bunyi, pasti dari Papa Daniel," ujar anak itu. Kening Elizabeth mengerut, dia mengangkat tubuh Pauline dan duduk memangkunya. Setelah Elizabeth mengecek siapa yang telah menghubunginya, dan ternyata benar dengan apa yang Pauline katakan, kalau yang menghubunginya benar-benar Daniel. "Daniel, ada apa?" gumam Elizabeth. Belum ia menghubunginya balik, tap
Beberapa hari kemudian. Sudah cukup lama Pauline tidak bertemu dengan Evan dan Exel, lantaran permasalahan yang terjadi, dan juga mungkin karena Evan yang sibuk. Pauline kini tengah merajuk pada Elizabeth. Sejak bangun tidur dia terus mencari-cari Evan dan Exel sambil terus menangis."Pauline mau sama Papa dan Kakak sekarang!" teriak anak perempuan itu duduk di atas ranjang kamarnya. "Papa masih sibuk, Sayang ... nanti Mama telfon Papa," ujar Elizabeth mendekati putrinya. "Sekarang Pauline mandi, terus sarapan dulu." "Tidak mau! Tidak mau mandi, tidak mau sarapan! Tidak mau segalanya! Huhhh ... Mama nakal! Mama jahat banget sih!" teriak anak itu menangis di atas ranjang, kedua kakinya menendang apapun yang ada di dekatnya. "Papa tidak mau ajak Kakak ke sini kalau Pauline tidak mau mandi!" seru Elizabeth mendekati si kecil. Bukannya menurut, anak itu semakin mengencangkan suara tangisannya. "Pauline tidak sayang lagi, Pauline mau sayang Papa saja! Mama bad! So bad!" teriak anak