"Mas," lirihku memandang wajah suamiku yang tampan seraya sambil mengelus dada bidangnya yang ditumbuhi oleh rambut halus kecil, bentuknya rata seperti atletis olahraga. Kulitnya berwarna sawo matang. Eksotis. Aku betah berlama-lama tidur merajuk di dadanya, tapi itu dulu sebelum semuanya berubah.
Aku sengaja menggodanya, sudah lama kami tidak bermain cinta, ada saja alasannya capeklah, ngantuklah yang membuatku heran dengan perubahan sikapnya. Entah apa yang merasukinya. Sempat aku berpikir, apa suamiku masih normal, masih menyukai wanitakah dia?
Bukan tanpa sebab, ngeri kalau sampe suamiku berubah haluan. Tidak bisa kubayangkan. Apa aku yang terlalu berpikir jauh, apa hanya perasaanku saja. Entahlah, sulitku mengerti. Semoga saja tidak seperti itu.
"Apa sih, De!" Dia menepis tanganku dan melanjutkan tidurnya dengan memunggungiku. Benar-benar tidak peduli denganku. Inginku tarik tubuhnya, kalau tidak berpikir seribu kali, bisa-bisa dia mengamuk.
Aku kesal ini sudah sekian kalinya Mas Arman tak mau aku sentuh lagi. Ada yang salahkah denganku? Lantas dengan siapa lagi aku melepas hasrat cintaku jika bukan dengan suamiku. Laki-laki yang sudah menjadi mahramku.
Tak akan kubiarkan, suamiku tertidur dengan lelap. Aku masih berusaha menggoyangkan tubuh suamiku dengan pelan, berharap dia meresponku dengan baik dan tidak akan menolak kali ini.
"Apa-apaan sih kamu! Ganggu orang tidur aja!" Mas Arman tersulut emosi. Matanya menyalang bagaikan aku musuh di hadapannya. Guratan wajahnya terlihat sangat marah. Aku bisa mendengar nafasnya naik turun menahan emosi. Wajahnya merah padam meredam kemarahan yang tertahan.
"Aku cuma minta nafkah batin darimu," ucapku merendahkan suara, supaya Mas Arman luluh. Siapa tau dia akan berubah pikiran.
Bukankah laki - laki akan senang jika istrinya menagihnya duluan.
Aku teringat saat Mas Arman bilang,
"De, kamu ga usah malu, kalau pingin yah minta aja, malah kalau istri duluan yang minta, pahalanya besar loh!" Mas Arman menatapku dengan penuh cinta. Bahagia sekali rasanya waktu itu. Pasutri yang baru menikah dimabuk cinta. Semenjak itulah aku selalu berani minta duluan, kuhilangkan rasa jaim demi suamiku. Aku tidak mau mengecewakannya. Tapi akhir-akhir ini berubah penolakan terus yang kudapat. Kesel, nyebelin iya jadinya.
"Kamu nggak bisa liat, aku ngantuk berat." Kilahnya. Lagi-lagi alasannya seperti itu, klasik. jenuh aku mendengarnya.
"Sabar....Salma sabar...." Kuelus dadaku yang bergemuruh kencang. Jantungku berdetak cepat. Rasanya ingin copot saja. Untung aku nggak punya penyakit jantung. Bisa-bisa kalap. Tak sadarkah suamiku itu. Suamimu mungkin Amnesia tidak ingatkah sudah berapa lama dia tidak menyentuhku lagi atau dia pura-pura tidak ingat. Kukira dia akan luluh dengan nada suara khas lembutku, selembut sutra, bahkan suara Andin aja lewat.
Entah dari mana aku punya kekuatan, aku berdiri tegak tepat di hadapannya, dengan lantang aku berbicara.
"Sudah 3 bulan mas, kamu seperti ini ! kamu berubah, tak menyentuhku lagi...bahkan menolak ketika aku menyentuh tubuhmu. Sikapmu berubah menjadi kasar. Bahkan irit bicara. Apa ada wanita lain? Aku sudah geram dengan sikapnya. Emosiku memuncak, tidak bisa kutahan lagi. Kukeluarkan uneg-uneg yang mengganjal di hatiku selama ini. Yah, selama dia menolakku, mengabaikanku, mengacuhkanku bagaikan aku ini bukan istrinya.
Aku ingat betul, sudah 3 bulan tepatnya dengan malam ini. Aku tak mengenal suamiku yang aku kenal sejak awal kita bertemu, sikapnya berubah. Awalnya aku mengerti suamiku cape dan lelah seharian ia bekerja demi menafkahi istinya. Pergi Pagi, pulang sore, kadang lembur. Tapi makin kesini, ia selalu menolak. Sebagai wanita normal aku tak paham bagaimana bisa suamiku bisa bertahan tidak menyentuhku lagi. Padahal dulu kami selalu romantis. Aku ini istrinya, halal baginya menyentuhku. Sedangkan yang aku tahu dari teman-temanku, sesama ibu rumah tangga. Laki-laki tidak akan kuat jika tidak menyentuh istrinya lebih dari 2 Minggu. Apa benar begitu? Tapi tidak berlaku pada suamiku sekarang. Bagaimana aku tidak curiga padanya?
"Jangan asal menuduh ya kamu, Salma. Mana buktinya, ada wanita lain bersamaku? Hah! Kamu nggak sadar, pikir saja pakai otakmu!" Mas Arman tersulut emosi. Ia beranjak dari tempat tidurnya. Halah Alasan kamu Mas, dia pandai berkelit. Rasanya inginku berkata kasar, tapi apa bedanya aku sama suamiku.
Seharusnya aku yang marah, bukan suamiku. Kenapa seolah-olah aku yang salah sih. Seolah-olah dia ini korbannya, beraninya playing victim. Gumamku.
"Mas." Sekuat mungkin aku memanggil namanya. Meskipun hati ini sakit mendengar perkataan dari Mas Arman yang tidak bisa kupahami. Bagaimana aku bisa paham? Tahu alasannya pun tidak. Andai dia bilang. Mungkin aku bisa mengerti. Dimana letak kesalahan ku. Aku mencoba berpikir, mungkin ada kesalahan yang aku lakukan. Coba ingat Salma, ayo ingat. Otakku berkerja keras.
"Apalagi sudah malam ganggu saja , lebih baik aku tidur di sofa, daripada di ganggu wanita yang tidak menarik sepertimu!" Dia menoleh sekilas. Sambil berjalan keluar kamar.
"Apa, katamu?" Tidak menarik, oh jadi aku tidak menarik lagi dimatamu, ada yang lebih menarikkah," tandasku. Emosiku memuncak sampe ubun-ubun kepala.
Mas Arman menoleh, dia menghampiriku seperti ingin ribut denganku.
"Mau, apa sih! ini sudah malam, Berantem terus... Aku lelah, ga bisa paham juga suamimu cape hah... !"
"Aku sudah bilang kan, mauku apa tadi, tak perlu berkelit terus-menerus, aku nggak akan seperti ini kalau bukan Mas, yang mulai duluan."
"Sudahlah, aku capek, males melayanimu terus-terusan."
Astaghfirullah.
Apa suamiku bilang. wanita yang tidak menarik. Aku tidak salah dengarkah, kalau aku tidak menarik mengapa dia menikahiku. Apa selama ini cintanya hanya pura-pura. Dimana Mas Arman yang dulu. Bukankah dia bilang, dia mencintaiku apa adanya. Apa hanya nafsu semata.
Bukan hatiku saja yang sakit, jantung, ginjal, usus dan otakku meronta. Tidak ada yang lebih sakit dari tubuhku yang lainnya. Sekujur tubuhku lemas. Ingin rasanya aku meminta maaf, padanya, tapi tak sudi setelah mendengar kata kasarnya.
Jahat kamu Mas. Tega-teganya bilang seperti itu. Tak sadarkah, kata-katamu menyakiti hati istrimu ini, istri yang katanya kau cintai, tapi nyatanya dusta.
Tak terasa buliran air mata berlinang. Mas Arman yang aku kenal dulu sudah berubah. Bahkan dia seperti tidak menginginkanku lagi.
Aku menatap langit-langit kamar. Berharap waktu segera berganti menjadi pagi. Kupejamkan mataku. Nyatanya tidak bisa, aku tetap terjaga sampai pagi. Malas sekali bertemu dengannya saat ini, yang ada hanya ingin meluapkan segala emosi. Sekali dua kali aku sabar bahkan aku tidak mempermasalahkannya, ternyata tidak berubah. Aku hanya berharap pahala dengan melayani suamiku sepenuh hati. Meskipun aku capek dengan segala rutinitas yang ada di rumah. Jenuh.
Aku beranjak dari tempat tidurku, kulihat jam dinding, sudah jam 7 pagi rupanya. Lebih baik aku mandi untuk menyegarkan tubuh.
"Aku akan cari tahu, Mas! Mengapa kamu seperti ini!"
Aku bersikap tidak terjadi apa-apa semalam. Setelah menyegarkan tubuhku, aku melangkahkan kaki dengan pelan. Kulihat suamiku sudah tidak ada di sofa. Aku menuruni anak tangga. Kudengar suara gemercik air dari kamar mandi. Rupanya suamiku sedang mandi. Aku segera ke dapur, menyiapkan sarapan pagi. Meskipun luka hati ini belum terobati, aku tetap menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri.Sebisa mungkin kucoba untuk menyiapkan hidangan dengan baik, meskipun moodku sedang tak mendukung. Nasi goreng spesial ala Salma sudah jadi. Ini salah satu masakan favorit suamiku. Mas Arman paling suka, nasi goreng buatanku, katanya sih enak, pas bumbunya bikin ketagihan.Mas Arman duduk di meja makan. Ia terlihat tampan dengan kemeja biru muda dipadupadankan dengan dasi biru tua. Tapi sayangnya tak setampan sikapnya semalam denganku. Aku langsung mengambil piring dan menyendok kan nasi goreng untuk suamiku. Dia hanya terdiam dan menyantap sarapannya dengan laha
Mas Arman sudah kembali ke rumah. Aku sudah menyiapkan air hangat untuk mandi. Suamiku segera membersihkan diri. Dia turun ke lantai bawah. Dia terlihat lapar. Tidak seperti biasanya. Matanya mencari sesuatu. Dia menuju meja dapur. Mas Arman membuka tudung saji, dan tidak ada makanan disana. Aku pura-pura duduk manis di sofa, dan menyetel televisi. Sesekali aku tertawa, padahal tidak ada sinetron yang lucu. "Salma...." Suara bariton Mas Arman terdengar memekik telingaku. Pasti dia mencari makanan. "Apa, sih teriak-teriak segala," jawabku ketus. Moodku berubah tidak manis lagi padanya. Aku jadi mudah sensitif, mengingat kelakuannya. "Kamu, lihat nggak, ini nggak ada makanan apapun!" Mas Arman sangat marah. Tangannya memegang tudung saji sambil menunjuk ke arah meja. Matanya menatap tajam ke arahku, seakan dia ingin menerkamku. Mataku mendelik, aku mengumpulkan kekuatan untuk berbicara. Selama menikah sua
Hari ini Mas Arman berangkat agak siang, dia masih saja tidur di sofa semalam. Sepertinya seranjang denganku, menjijikkan baginya. Tak apalah aku tidak mau ambil pusing. Anggap saja suamiku tidak ada denganku semalam. Aku harus bertahan meski sikapnya semakin kasar padaku. Tujuanku sekarang adalah mencari bukti pengkhianatannya padaku. Padahal aku merindukan sikapnya seperti awal kami menikah dahulu.Mas Arman yang lembut, tidak pernah kasar dan selalu berkata manis, membuatku nyaman berada di dekatnya. Matanya yang teduh sebagai pelipur duka dan lara. Senyumnya yang selalu aku rindukan. Kamu candu untukku Mas, tapi sekarang kau anggap aku canda untukmu.Aku jadi teringat dia selalu suka kubuatkan masakan kesukaannya. Suamiku menyempatkan dirinya untuk ke dapur sekedar memuji sambil memeluk pinggangku dari belakang saat aku memasak. Romantis 'kan. Aku terbuai oleh perbuatan Mas Arman."Istriku ini, pintar memanjakan
"Martabak untukmu!" Mas Arman memberikan satu kotak martabak manis untukku. Hari ini suamiku pulang cepat tidak seperti biasanya. Aromanya menyeruak ke seluruh ruangan. Enak. Dari Indra penciumanku, tidak salah lagi. Martabak kesukaanku, rasa coklat susu.Aku mengambilnya dengan senyum terpaksa. Kutaruh martabaknya di dapur. Segera kubuka kotak martabaknya, entah mengapa tidak selera. Kututup kembali.Dia menoleh ke arahku."Nggak, langsung dimakan?" ucapnya sambil menaiki anak tangga."Masih kenyang, " jawabku datar tanpa melihat ke arahnya.Diam-diam suamiku memperhatikan diriku. Perasaanku biasa saja, anggap saja tidak tahu. Pasti dia akan mengira, aku akan senang dan tersenyum, lalu merajuk padanya. kau salah, Mas. Tidak akan lagi, kepercayaanku mulai memudar. Mari kita nikmati saja permainan ini.Tumben. Sikapnya berubah manis. Ada apa gerangan? Apa karena besok dia akan jalan-jalan dengan selingkuhanny
Hari ini Pagi-pagi sekali aku berangkat ke pasar. Menikmati udara segar sambil berjalan kaki, itung-itung olahraga pagi. Sepanjang jalan banyak motor dan mobil yang berlalu lalang. Byur Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, cipratan airnya mengenai celana jeansku. S*a*l umpatku. "Hei, Berhenti...." teriakku. Sambil mengejar yang empunya mobil. Mobil Avanza hitam itu berhenti tepat di hadapanku. Seorang pria berperawakan tinggi membuka pintu mobil. Dengan santai ia membuka kacamata hitamnya. "Ada apa, Nona cantik," ujarnya. Matanya menatap tubuhku dari atas sampai bawah. Risih. "Liat nih, gara-gara kamu, celana saya jadi basah," ucapku seraya sambil menunjukkan bagian celana yang basah. Pria itu tersenyum tanpa merasa berdosa. Membuatku jengkel. "Sebentar, sebent
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan beranjak dari sofa yang menjadi tempat tidurku selama dua malam ini. Bukan karena aku tak ingin tidur di ranjang, hanya saja karena pertengkaran hebat yang terjadi kemarin aku malas untuk tidur bersama istriku lagi. Semakin hari istriku terlihat membosankan, wajahnya tak terawat, kulitnya kusam, kucel, dekil dengan penampilan daster belelnya yang lusuh. Tidak ada yang menarik lagi di mataku. Pernah aku menyuruhnya untuk perawatan, tapi dia menolak nya mentah-mentah. Istriku lebih memilih uangnya di tabung. Aku tidak menyalahkan keputusannya, hanya saja kecewa. Seharusnya dia bisa menyenangkan hati suaminya ini. Aku akan senang melihat istriku terawat. "De, ini uang untukmu, belilah pakaian yang baru dan pergilah ke salon kecantikan." ucapku sambil memberikan uang. "Banyak banget Mas, tapi bajuku masih banyak yang bagus, aku juga ga terbiasa
Pagi ini, rencananya aku akan menggadaikan sertifikat rumah Mas Arman. Perhiasan dan berlian yang kupunya sudah aman. Aku tak menaruhnya lagi di kamar. Aku takut suatu saat nanti, Sarah akan merampas milikku. Jadi kuputuskan untuk menjualnya. Uangnya akan ku gunakan untuk membeli mobil, sedangkan hasil penggadaian sertifikat rumah untuk membeli rumah sisanya untuk modal usaha. Ideku berlian 'kan. Tak apalah tak punya perhiasan dan berlian untuk sekarang, aku bisa membeli lagi nanti."ini, sertifikat rumahnya! bisa di lihat dulu!" Aku menyerahkan sertifikat rumah Mas Arman ke rentenir yang sudah terkenal di daerahku." 350.000.000 gimana?"Wow. Fantastis juga nilai rumah Mas Arman, kalau begini perhiasan dan berlianku aman tak perlu di jual. Mas Arman pasti kaget setelah mendapat tagihannya, menarik 'kan."Deal," ucapku menyetujuinya.Sekali
Malam ini, aku menginap di rumah orang tuaku. Setidaknya sampai kondisi Mamah mendingan. Belum saatnya aku menceritakan masalah rumah tanggaku dengan Mas Arman. Aku takut Papah marah besar saat mengetahui perlakuan menantu yang tak direstuinya itu. Bisa-bisa beliau mengamuk dan langsung menyuruhku meninggalkan Mas Arman. Bukannya aku tak mau, hanya saja, biarlah kupendam luka ini sementara. Aku masih ingin bermain-main dengan suamiku tercinta. Kita lihat saja nanti! Dia pasti syok saat rentenir datang menagihnya dalam waktu tiga bulan. Aku dengan senang hati melihat kehancurannya. Aku istri yang jahat, 'kah?Tidak, aku tidak akan sejahat ini. Siapa yang mulai duluan? Mas Arman 'kan. Siapa suruh membangunkan macan cantik yang sedang tidur. Akan ku grogoti hingga ke tulangnya. Eh, kok jadi serem gini yah? Ini bukan cerita kanibal yang terkenal itu."Besok, aku! pulang, jangan lupa masak yang enak!" Satu pesan masuk tertera
"Ardi sudah menceraikanku, Mas!" teriak Sarah kegirangan karena sebentar lagi dia akan menjadi nyonya Arman. Segala yang ia inginkan akan terpenuhi. Siapa yang tak ingin jadi istri Mas Arman, dia sangat royal dan baik."Syukurlah semuanya berjalan dengan baik," Mas Arman menikmati secangkir kopi late yang dipesannya. Dia sekarang bersama Sarah setelah ribut dengan istrinya."Mas tenang aja aku pasti jadi istri yang baik buat Mas, lebih baik tentunya dari Salma," Senyum mengembang di wajah cantik Sarah. Wanita itu selalu berhasil meluluhkan hati Arman. Dengan manja dia meraih tangan Mas Arman meyakinkan laki-laki yang ada dihadapannya bahwa dia layak menjadi nyonya Arman. Sedangkan Arman menikmati sentuhan yang diberikan wanita cantik yang merajai hatinya.Sarah lagi-lagi hanya kamu yang mampu menenangkan hatiku.Tapi Arman masih memikirkan kata-kata tetangga depan rumahnya. Tetangga itu tak sengaja melihat Salma pergi
Pernikahan suamiku tinggal dua hari lagi. Aku sudah menghubungi pihak wedding organizer yang dipesan Mas Arman. Tentu saja akan kuberikan kejutan spesial dihari H nya itu."Permisi Mbak, dengan siapa?" tanya pemilik nomor jasa wedding.Sengaja kuberikan nama samaran dan menceritakan apa yang kuinginkan, untungnya pihak wedding organizer tak keberatan. Karena aku membayarnya lebih untuk misiku. Tak sia-sia aku menyadap ponsel suamiku.Setelah menghubungi pihak Wedding, segera aku berangkat ke kantor."Jangan lupa makan yah permaisuri," chat hasil sadapanku."Iyah tenang aja pangeran," balas Sarah. Jijik sekali aku melihat chat mereka berdua. Benar-benar sampah.Rencananya hari ini aku pergi ke kantor seperti biasa. Banyak kerjaan yang melambai ingin dituntaskan."Kemarin waktu aku jenguk
Hubunganku dengan Sarah makin lama makin intim. Aku kira Sarah sudah bercerai dengan Ardi. Ternyata nasibnya digantung karena seorang anak. Keterlaluan Ardi tega-teganya dia berbuat seperti itu. Nasib Sarah tak jelas, aku berusaha membujuk Sarah agar dia bisa membuat Ardi menceraikannya. Dengan begitu aku bisa masuk ke dalam kehidupannya lagi.Bedanya kali ini aku sebagai suaminya. Setiap hari aku berusaha memikirkan cara agar bisa terus bersama Sarah meskipun akhir-akhir ini Salma terlihat berbeda. Perempuan itu sepertinya sudah pandai merawat dirinya sekarang. Kulihat Salma semakin fresh dan sudah berani meminta jatah belanjanya. Andai dia seperti itu dari dulu.Tiba saatnya aku bertemu Sarah kembali, tapi tetap nasibnya masih digantung. Sungguh aku kecewa maunya Ardi apa sih?Hanya karena Anak dia sampai tak melepaskan Sarah. Aku ingin segera memilikinya. Padahal kalau Ard
Assalamualaikum Readers terimakasih yang masih setia menunggu ceritaku Semakin hari banyak fakta yang terungkap, Satu demi per satu pasti akan terbongkar. Aku pasti selangkah lebih maju darimu, Mas! Mobil baruku tiba di halaman rumah. Sesuai kesepakatan mobil dikirim saat aku memintanya. Sengaja supaya hatiku terhibur dengan kepedihan yang melanda. Banyak tetangga yang datang melihat. Ibu-ibu menoleh ke arah rumahku. Mereka saling berbisik. Entah apa yang mereka bicarakan. Wajah mereka penuh senyum. "Mobil baru, nih Bu," celetuk Rosita tetanggaku. Entah sejak kapan dia ada di halam rumahku. "Eh, iya...Bu," ujarku salah tingkah seraya memegang sapu. Biar tampak sedang menyapu halaman rumah. Iseng sambil kusapu daun-daun yang berserakan di halaman rumah. "Pasti hadiah dari suaminya, senengnya punya suami kaya Bu Salma,"&n
Assalamualaikum teman-teman jangan lupa suscribe dan like dan ikuti ceritaku. Biar makin semangat nulisnya❤️ Setelah aku mengetahui tanggal pernikahan suamiku dengan mantannya. Aku merasa ada yang tidak beres disini. Entah hanya perasaanku saja. Rencananya hari ini aku pergi ke kantor seperti biasanya. Lama-lama nggak ke kantor Papa bisa curiga. Sebelum berangkat aku menunggu tukang sayur keliling. Stok sayur dan lauk pauk di kulkas sudah habis. "Mang, ikan, ayam dan sayurnya ya, seperti biasa," kataku sambil melihat-lihat yang lain. "Bu Salma, makin cantik aja ya, sekarang," celetuk Rosita tetangga sebelah rumahku. "Makasih, ibu bisa aja," balasku tersenyum seraya melirik ke arahnya. "Bu Salma emang cantik kelewatan aja kalau diduain," cebik Bu Rum. Aku hanya tersenyum mendengar oce
Semenjak aku bertemu dengan Mas Arman kembali. Aku jadi mantap untuk menyelesaikan perceraianku dengan Ardi. Laki-laki itu tak sama sekali peka. Cinta? Mana yang suamiku sebut cinta. Perhatiannya selalu lebih dengan pekerjaannya. Bahkan sekedar mengajakku untu berjalan-jalan saja tak ada waktu. Rumah tangga macam apa ini? Beda halnya dengan Mas Arman yang kini bersamaku. Tentu saja Ardi tidak tahu aku sering bertemu dengan mantan kekasihku. Hanya saja karena kedua orangtuanya tak setuju dengan hubungan kami. Aku terpaksa melepasnya meskipun aku tak rela. Suatu saat aku akan merebut Mas Arman kembali. Kecantikanku tak akan mengalahkan istrinya Mas Arman. Walaupun aku kecewa dengan Mas Arman yang tak bisa membantah keinginan ibunya. Dengan alasan takut menjadi anak durhaka. Ibu macam apa itu tega-teganya memaksa anaknya menikah dengan pilihannya. "Sarah," panggila
Keesokan paginya setelah Mas Arman berangkat kerja, aku langsung membuntutinya. Dengan menggunakan baju hitam dibalut jaket hitam tebal dan topi coklat. Tak lupa juga alat bantu penglihatan berwarna hitam sebagai aksesoris. Katanya hari ini Mas Arman akan menemani bosnya melihat proyek baru. Padahal ini hari libur, hari kebangsaan para karyawan untuk beristirahat di rumah. Dengan bermodalkan GPS aku nekat membuntutinya.Mobil sewaanku melaju dibelakang Mobil Mas Arman. Sepertinya dia tak sadar ada seseorang yang membuntutinya dari belakang. Aku memantau dari gawaiku. Sepertinya dia akan belok ke arah kanan. Entah dia akan pergi kemana hari ini. Ponselku berdering berkali-kali. Nomor tidak di kenal?Kuabaikan saja panggilan dengan nomor baru."Lebih cepat sedikit ya, Pak!" Mataku awas selalu memperhatikan.Mas Arman menepikan mobilnya tepat di depan rumah tingkat bercat
"Aku nggak maksud apa-apa, Mas. Lagian Mas aneh banget sih, kaya orang kaget aja," ocehku dengan wajah tak merasa bersalah.Mas Arman tampak kikuk. Ia melirik ke arahku."Eng...ga aku cuma nanya aja, kok kamu bisa ngomong begitu, tapi yah bener sih katamu," Mas Arman mulai tak fokus menyetir."Mas hati-hati, liat tuh! Ada kucing!" Hampir saja suamiku menabraknya.Mas Arman langsung mengerem mendadak.Hadeh, kamu aneh deh, Mas! Kaya lagi ketahuan nyuri aja. Sampe salah tingkah begitu."Aku turun disini aja deh, Mallnya juga udah keliatan dari sini,"Mas Arman menepikan mobilnya di pinggir jalan. Aku langsung turun tanpa basa-basi lagi dengan suamiku.***Setelah memastikan suamiku pergi. Aku langsung memesan layanan online dan menuju t
"Sal, kamu ngapain si nutupin mukamu dengan kertas menu, tau nggak liat noh, Mbak kasir pada ngeliatin," ujar Ardi yang menatapku heran.Sontak aku langsung mengedarakan pandanganku ke seluruh ruangan. Mbak kasir tampak berbisik-bisik melihat tingkahku. Berisik banget sih cecurut satu ini, kalau bukan teman sekaligus kepercayaan Papah udah kujitak kepalanya.Aku langsung berlalu pergi ke meja makan setelah memesan menu andalan di cafetaria."Sumpah ga ngerti lagi dah, kaya lagi dikejar hutang aja," cerocos Ardi tampak tangannya memainkan gawai.Wanita itu dari belakang seperti Mira. Dari poster tubunya sangat mirip. Apa hanya aku saja yang mengira Mas Arman bersama mantan istrinya Ardi? sepertinya Ardi tidak melihatnya."Di, aku mau ke toilet dulu, makanan kalau udah dateng jangan di habisin sendirian," candaku. Meskipun Ardi temanku tapi aku tetap canggung menggunakan bahasa gaul.