Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan beranjak dari sofa yang menjadi tempat tidurku selama dua malam ini. Bukan karena aku tak ingin tidur di ranjang, hanya saja karena pertengkaran hebat yang terjadi kemarin aku malas untuk tidur bersama istriku lagi.
Semakin hari istriku terlihat membosankan, wajahnya tak terawat, kulitnya kusam, kucel, dekil dengan penampilan daster belelnya yang lusuh. Tidak ada yang menarik lagi di mataku.
Pernah aku menyuruhnya untuk perawatan, tapi dia menolak nya mentah-mentah. Istriku lebih memilih uangnya di tabung. Aku tidak menyalahkan keputusannya, hanya saja kecewa. Seharusnya dia bisa menyenangkan hati suaminya ini. Aku akan senang melihat istriku terawat.
"De, ini uang untukmu, belilah pakaian yang baru dan pergilah ke salon kecantikan." ucapku sambil memberikan uang.
"Banyak banget Mas, tapi bajuku masih banyak yang bagus, aku juga ga terbiasa ke salon kecantikan malas antrinya, lebih baik aku tabung aja yah!" pinta Salma dengan senyum.
"Ya, udah deh, gimana kamu aja." Berat hati Aku mengucapkannya. "Tapi sekali-kali nyenengin hati suami, gpp kok." Lanjutku
"Jadi, Mas ga seneng sama aku selama ini?" Salma jadi salah paham.
"Eh, bukan begitu maksudku." Aku jadi serba salah, karena umur pernikahan kami masih seumur jagung, aku tidak mau menimbulkan keributan. Selama ini, aku berusaha membuka hatiku untuk Salma. Meskipun aku belum bisa melupakan Mira mantanku. Mantan yang sangat aku cintai. Kami berpisah karena orang tuaku tidak merestui hubungan kami. Mira dengan sedih menerima perjodohan dari orang tuanya.
Aku terpaksa menikahi Salma dengan setengah hati. Salma gadis pilihan ibuku.
"Salma itu gadis baik, cantik, berpendidikan, orang kaya lagi, ga kaya mantanmu, ibu yakin kamu akan sukses bersamanya." Ibu sangat berharap aku menikahi Salma.
"Mira juga baik, Bu! Walaupun dia bukan berasal dari keluarga kaya, dan tidak sarjana seperti Salma." belaku.
Ibu menatapku dengan tatapan tidak suka. Netranya membulat, seperti mau keluar dari tempatnya.
"Oh jadi kamu lebih pilih si Mira itu, silahkan tapi ibu tidak akan menyetujuinya sampai kapanpun." Ancam ibu.
Aku tidak bisa menolak permintaan ibu. Akhirnya aku menerima Salma. Aku tidak ingin mengecewakan, wanita yang telah membesarkan dan melahirkanku.
Aku berharap aku bisa mencintainya dengan sepenuh hati suatu hari nanti.
Mau tidak mau, aku menuruti keinginannya. Semoga suatu saat nanti dia mau memperhatikan penampilannya. Aku nggak mau ribut sama Salma, pasti dia akan tersinggung. Aku takut ucapanku menyakiti hatinya.
Istriku juga tidak memperhatikan penampilan, meskipun hanya di rumah aku berharap dia bisa memakai baju yang sedikit modis, setidaknya modelnya tidak seperti model baju emak-emak. Sungguh aku merasa sudah menikah puluhan tahun, padahal baru lima tahun pernikahan.
Uang yang ku berikan selalu lebih, tidak pernah kurang. Aku berharap istriku dengan senang hati melakukan perawatan demi memanjakan mata suaminya ini. Ternyata aku yang terlalu berharap.
Aku mencintainya apa adanya, bukan berarti dia tidak merawat dirinya. Sebagai laki-laki normal aku ingin istriku tampil cantik, bersih dan wangi meskipun di rumah.
Aku jadi berpikir belum punya anak saja istriku tidak mau merawat dirinya, apalagi punya anak. Setiap pagi daster belelnya bau asap kompor. Aku jadi enggan untuk melakukan ritual cium kening sebelum berangkat kerja.
Tubuhnya penuh lemak, membuatku tidak bernafsu sama sekali melihatnya, apalagi menjamahnya. Ku putuskan untuk selalu lembur malam agar dia tidak meminta haknya dan aku bebas darinya.
Sebenernya Salma adalah istri yang baik, tidak pernah menuntut apapun dariku. Dia rela meninggalkan kebiasaan mewahnya demi menemaniku dari nol. Meskipun berasal dari keluarga kaya Salma bukan tipikal wanita yang sombong. Hal itulah yang membuat ibuku menyukai Salma, dia berhasil merebut hati wanita yang telah melahirkan ku.
Aku mencoba melupakan Mira perlahan-lahan, mengarungi bahtera rumah tangga kami dengan cinta. Aku berharap kami bisa memiliki buah hati. Membayangkannya sangat indah, menggemaskan. Rumah kami tak kan sepi lagi dengan adanya suara bayi.
"Semoga kita cepat diberi keturunan yah, istriku." Aku memeluknya dengan hangat.
"Aamiin, Mas." Wajah istriku tampak teduh.
Lima tahun kami menjalani kehidupan rumah tangga, ternyata Salma tak kunjung hamil. Salma mulai cemas dia memintaku untuk periksa kesehatan, aku menolaknya.
"Mas, sebaiknya kita periksa kesehatan sebelum promil, supaya kita tahu kondisi kita berdua." Salma membujukku.
"Alah ga perlu lah Sal, aku sehat, kamu aja yang periksa," jawabku Aku yakin, aku tidak memiliki masalah kesehatan.
Akh... memikirkan istriku tak kan ada habisnya, membuat otakku pusing saja, apa salahnya dia merubah penampilannya untukku. Tapi dia tak pernah melakukannya, aku tak suka.
Semakin hari hubungan kami semakin tidak harmonis. Aku tidak ingin menyentuh istriku lagi, aku merasa bersalah, aku sudah mengkhianati dirinya.
Bayangan Mira menari-nari di atas kepalaku. Bagaimana kabarnya dia sekarang? Bahagiakah bersama suaminya?Apakah dia sudah melupakan diriku atau dia sudah tak mengingatku lagi? Apakah dia merasakan hal yang sama seperti diriku?
Dalam lubuk hatiku yang paling terdalam aku masih membuka hatiku untuk Mira, kapanpun ia membutuhkan diriku. Tapi kenapa dia tak pernah menghubungiku? Apa dia sudah benar-benar move on? Apakah setelah menikah Mira tak terawat juga seperti Salma?
Aku terus memikirkan Mira, berharap bertemu wanita yang pernah mengisi hatiku dahulu. Kucari informasi tentangnya. Aku bertanya pada teman-teman tentang keberadaannya sekarang, tak ada satupun jawaban. Mereka seolah-olah menyembunyikan sesuatu dariku. Entah apa.
Aku terus berusaha mencari informasi Mira, meskipun nihil. Aku tak peduli. Aku tak kan menyerah. Aku terus menggali informasi tentangnya. Firasat ku mengatakan Mira sedang tidak baik.
"Kay, kamu kan sahabat, Mira, kamu tahu dimana dia tinggal sekarang," ucapku yang kebetulan bertemu dengan teman akrab Mira di sebuah Cafe. Namanya kayla, dia bekerja paruh waktu disana.
"Kamu, Arman, mantan Mira?" seolah-olah tak percaya bertemu diriku.
Aku mengangguk.
"Maaf, Aku tidak boleh mengatakannya." Dia berlalu begitu saja.
Aku kesal, ingin rasanya marah tapi kutahan.
Sebulan berlalu, aku menyerah mencari informasi tentang Mira lagi, mungkin aku harus benar-benar melupakannya.
"Huwa...Huwa." Ku dengar suara balita menangis. Aku beranjak dari tempat duduk kebetulan aku sedang berada di taman, tempatku bertemu dengan Mira dahulu.
Aku langsung mencari sumber suara itu. Tak lama aku terkejut melihat balita kisaran 1 tahun sedang duduk menangis.
"Jangan menangis, sini om belikan permen," ujarku.
Kugendong balita mungil berparas cantik dengan senang hati. Kubawa balita itu berjalan di sekitar taman. Naluriku sebagai ayah tiba-tiba menginginkannya.
"Berhenti...." suara wanita itu terdengar lantang, aku seperti mengenalnya.
Aku menoleh, mata kami saling beradu. Aku tak percaya benarkah dia?
"Mira...."
"Kamu, " ucapnya.
Semenjak kami bertemu kembali aku semakin dekat dengannya.
Gegas aku berangkat menepati janjiku.
Pagi ini, rencananya aku akan menggadaikan sertifikat rumah Mas Arman. Perhiasan dan berlian yang kupunya sudah aman. Aku tak menaruhnya lagi di kamar. Aku takut suatu saat nanti, Sarah akan merampas milikku. Jadi kuputuskan untuk menjualnya. Uangnya akan ku gunakan untuk membeli mobil, sedangkan hasil penggadaian sertifikat rumah untuk membeli rumah sisanya untuk modal usaha. Ideku berlian 'kan. Tak apalah tak punya perhiasan dan berlian untuk sekarang, aku bisa membeli lagi nanti."ini, sertifikat rumahnya! bisa di lihat dulu!" Aku menyerahkan sertifikat rumah Mas Arman ke rentenir yang sudah terkenal di daerahku." 350.000.000 gimana?"Wow. Fantastis juga nilai rumah Mas Arman, kalau begini perhiasan dan berlianku aman tak perlu di jual. Mas Arman pasti kaget setelah mendapat tagihannya, menarik 'kan."Deal," ucapku menyetujuinya.Sekali
Malam ini, aku menginap di rumah orang tuaku. Setidaknya sampai kondisi Mamah mendingan. Belum saatnya aku menceritakan masalah rumah tanggaku dengan Mas Arman. Aku takut Papah marah besar saat mengetahui perlakuan menantu yang tak direstuinya itu. Bisa-bisa beliau mengamuk dan langsung menyuruhku meninggalkan Mas Arman. Bukannya aku tak mau, hanya saja, biarlah kupendam luka ini sementara. Aku masih ingin bermain-main dengan suamiku tercinta. Kita lihat saja nanti! Dia pasti syok saat rentenir datang menagihnya dalam waktu tiga bulan. Aku dengan senang hati melihat kehancurannya. Aku istri yang jahat, 'kah?Tidak, aku tidak akan sejahat ini. Siapa yang mulai duluan? Mas Arman 'kan. Siapa suruh membangunkan macan cantik yang sedang tidur. Akan ku grogoti hingga ke tulangnya. Eh, kok jadi serem gini yah? Ini bukan cerita kanibal yang terkenal itu."Besok, aku! pulang, jangan lupa masak yang enak!" Satu pesan masuk tertera
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dari tidur. Aku harus mempersiapkan diriku untuk mempelajari perusahaan sesuai permintaan Papah. Ya, meski aku nggak punya pengalaman sama sekali, Papah tetap ingin anak gadisnya mengikuti jejak karirnya. Kusiapkan baju yang akan kupakai dengan rapih sebelum Mas Arman bangun."Jam berapa ini," suara Mas Arman mengagetkan diriku. Gegas aku pura-pura mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi.Suamiku belum beranjak dari tempat tidurnya. Ia masih ogah-ogahan membuka matanya. Untunglah aksiku jadi tak ketahuan. Rencananya hari ini setelah Mas Arman berangkat kerja, aku juga sudah siap berangkat ke perusahaan Papah tanpa sepengetahuan suamiku tentunya.Setelah mandi aku langsung menyiapkan sarapan seperti biasa. Mas Arman sudah duduk dan melahap makanan yang sudah kusajikan di meja makan. Tiba-tiba suara ponselnya berdering dengan nada keras.
"Sal, kamu ngapain si nutupin mukamu dengan kertas menu, tau nggak liat noh, Mbak kasir pada ngeliatin," ujar Ardi yang menatapku heran.Sontak aku langsung mengedarakan pandanganku ke seluruh ruangan. Mbak kasir tampak berbisik-bisik melihat tingkahku. Berisik banget sih cecurut satu ini, kalau bukan teman sekaligus kepercayaan Papah udah kujitak kepalanya.Aku langsung berlalu pergi ke meja makan setelah memesan menu andalan di cafetaria."Sumpah ga ngerti lagi dah, kaya lagi dikejar hutang aja," cerocos Ardi tampak tangannya memainkan gawai.Wanita itu dari belakang seperti Mira. Dari poster tubunya sangat mirip. Apa hanya aku saja yang mengira Mas Arman bersama mantan istrinya Ardi? sepertinya Ardi tidak melihatnya."Di, aku mau ke toilet dulu, makanan kalau udah dateng jangan di habisin sendirian," candaku. Meskipun Ardi temanku tapi aku tetap canggung menggunakan bahasa gaul.
"Aku nggak maksud apa-apa, Mas. Lagian Mas aneh banget sih, kaya orang kaget aja," ocehku dengan wajah tak merasa bersalah.Mas Arman tampak kikuk. Ia melirik ke arahku."Eng...ga aku cuma nanya aja, kok kamu bisa ngomong begitu, tapi yah bener sih katamu," Mas Arman mulai tak fokus menyetir."Mas hati-hati, liat tuh! Ada kucing!" Hampir saja suamiku menabraknya.Mas Arman langsung mengerem mendadak.Hadeh, kamu aneh deh, Mas! Kaya lagi ketahuan nyuri aja. Sampe salah tingkah begitu."Aku turun disini aja deh, Mallnya juga udah keliatan dari sini,"Mas Arman menepikan mobilnya di pinggir jalan. Aku langsung turun tanpa basa-basi lagi dengan suamiku.***Setelah memastikan suamiku pergi. Aku langsung memesan layanan online dan menuju t
Keesokan paginya setelah Mas Arman berangkat kerja, aku langsung membuntutinya. Dengan menggunakan baju hitam dibalut jaket hitam tebal dan topi coklat. Tak lupa juga alat bantu penglihatan berwarna hitam sebagai aksesoris. Katanya hari ini Mas Arman akan menemani bosnya melihat proyek baru. Padahal ini hari libur, hari kebangsaan para karyawan untuk beristirahat di rumah. Dengan bermodalkan GPS aku nekat membuntutinya.Mobil sewaanku melaju dibelakang Mobil Mas Arman. Sepertinya dia tak sadar ada seseorang yang membuntutinya dari belakang. Aku memantau dari gawaiku. Sepertinya dia akan belok ke arah kanan. Entah dia akan pergi kemana hari ini. Ponselku berdering berkali-kali. Nomor tidak di kenal?Kuabaikan saja panggilan dengan nomor baru."Lebih cepat sedikit ya, Pak!" Mataku awas selalu memperhatikan.Mas Arman menepikan mobilnya tepat di depan rumah tingkat bercat
Semenjak aku bertemu dengan Mas Arman kembali. Aku jadi mantap untuk menyelesaikan perceraianku dengan Ardi. Laki-laki itu tak sama sekali peka. Cinta? Mana yang suamiku sebut cinta. Perhatiannya selalu lebih dengan pekerjaannya. Bahkan sekedar mengajakku untu berjalan-jalan saja tak ada waktu. Rumah tangga macam apa ini? Beda halnya dengan Mas Arman yang kini bersamaku. Tentu saja Ardi tidak tahu aku sering bertemu dengan mantan kekasihku. Hanya saja karena kedua orangtuanya tak setuju dengan hubungan kami. Aku terpaksa melepasnya meskipun aku tak rela. Suatu saat aku akan merebut Mas Arman kembali. Kecantikanku tak akan mengalahkan istrinya Mas Arman. Walaupun aku kecewa dengan Mas Arman yang tak bisa membantah keinginan ibunya. Dengan alasan takut menjadi anak durhaka. Ibu macam apa itu tega-teganya memaksa anaknya menikah dengan pilihannya. "Sarah," panggila
Assalamualaikum teman-teman jangan lupa suscribe dan like dan ikuti ceritaku. Biar makin semangat nulisnya❤️ Setelah aku mengetahui tanggal pernikahan suamiku dengan mantannya. Aku merasa ada yang tidak beres disini. Entah hanya perasaanku saja. Rencananya hari ini aku pergi ke kantor seperti biasanya. Lama-lama nggak ke kantor Papa bisa curiga. Sebelum berangkat aku menunggu tukang sayur keliling. Stok sayur dan lauk pauk di kulkas sudah habis. "Mang, ikan, ayam dan sayurnya ya, seperti biasa," kataku sambil melihat-lihat yang lain. "Bu Salma, makin cantik aja ya, sekarang," celetuk Rosita tetangga sebelah rumahku. "Makasih, ibu bisa aja," balasku tersenyum seraya melirik ke arahnya. "Bu Salma emang cantik kelewatan aja kalau diduain," cebik Bu Rum. Aku hanya tersenyum mendengar oce
"Ardi sudah menceraikanku, Mas!" teriak Sarah kegirangan karena sebentar lagi dia akan menjadi nyonya Arman. Segala yang ia inginkan akan terpenuhi. Siapa yang tak ingin jadi istri Mas Arman, dia sangat royal dan baik."Syukurlah semuanya berjalan dengan baik," Mas Arman menikmati secangkir kopi late yang dipesannya. Dia sekarang bersama Sarah setelah ribut dengan istrinya."Mas tenang aja aku pasti jadi istri yang baik buat Mas, lebih baik tentunya dari Salma," Senyum mengembang di wajah cantik Sarah. Wanita itu selalu berhasil meluluhkan hati Arman. Dengan manja dia meraih tangan Mas Arman meyakinkan laki-laki yang ada dihadapannya bahwa dia layak menjadi nyonya Arman. Sedangkan Arman menikmati sentuhan yang diberikan wanita cantik yang merajai hatinya.Sarah lagi-lagi hanya kamu yang mampu menenangkan hatiku.Tapi Arman masih memikirkan kata-kata tetangga depan rumahnya. Tetangga itu tak sengaja melihat Salma pergi
Pernikahan suamiku tinggal dua hari lagi. Aku sudah menghubungi pihak wedding organizer yang dipesan Mas Arman. Tentu saja akan kuberikan kejutan spesial dihari H nya itu."Permisi Mbak, dengan siapa?" tanya pemilik nomor jasa wedding.Sengaja kuberikan nama samaran dan menceritakan apa yang kuinginkan, untungnya pihak wedding organizer tak keberatan. Karena aku membayarnya lebih untuk misiku. Tak sia-sia aku menyadap ponsel suamiku.Setelah menghubungi pihak Wedding, segera aku berangkat ke kantor."Jangan lupa makan yah permaisuri," chat hasil sadapanku."Iyah tenang aja pangeran," balas Sarah. Jijik sekali aku melihat chat mereka berdua. Benar-benar sampah.Rencananya hari ini aku pergi ke kantor seperti biasa. Banyak kerjaan yang melambai ingin dituntaskan."Kemarin waktu aku jenguk
Hubunganku dengan Sarah makin lama makin intim. Aku kira Sarah sudah bercerai dengan Ardi. Ternyata nasibnya digantung karena seorang anak. Keterlaluan Ardi tega-teganya dia berbuat seperti itu. Nasib Sarah tak jelas, aku berusaha membujuk Sarah agar dia bisa membuat Ardi menceraikannya. Dengan begitu aku bisa masuk ke dalam kehidupannya lagi.Bedanya kali ini aku sebagai suaminya. Setiap hari aku berusaha memikirkan cara agar bisa terus bersama Sarah meskipun akhir-akhir ini Salma terlihat berbeda. Perempuan itu sepertinya sudah pandai merawat dirinya sekarang. Kulihat Salma semakin fresh dan sudah berani meminta jatah belanjanya. Andai dia seperti itu dari dulu.Tiba saatnya aku bertemu Sarah kembali, tapi tetap nasibnya masih digantung. Sungguh aku kecewa maunya Ardi apa sih?Hanya karena Anak dia sampai tak melepaskan Sarah. Aku ingin segera memilikinya. Padahal kalau Ard
Assalamualaikum Readers terimakasih yang masih setia menunggu ceritaku Semakin hari banyak fakta yang terungkap, Satu demi per satu pasti akan terbongkar. Aku pasti selangkah lebih maju darimu, Mas! Mobil baruku tiba di halaman rumah. Sesuai kesepakatan mobil dikirim saat aku memintanya. Sengaja supaya hatiku terhibur dengan kepedihan yang melanda. Banyak tetangga yang datang melihat. Ibu-ibu menoleh ke arah rumahku. Mereka saling berbisik. Entah apa yang mereka bicarakan. Wajah mereka penuh senyum. "Mobil baru, nih Bu," celetuk Rosita tetanggaku. Entah sejak kapan dia ada di halam rumahku. "Eh, iya...Bu," ujarku salah tingkah seraya memegang sapu. Biar tampak sedang menyapu halaman rumah. Iseng sambil kusapu daun-daun yang berserakan di halaman rumah. "Pasti hadiah dari suaminya, senengnya punya suami kaya Bu Salma,"&n
Assalamualaikum teman-teman jangan lupa suscribe dan like dan ikuti ceritaku. Biar makin semangat nulisnya❤️ Setelah aku mengetahui tanggal pernikahan suamiku dengan mantannya. Aku merasa ada yang tidak beres disini. Entah hanya perasaanku saja. Rencananya hari ini aku pergi ke kantor seperti biasanya. Lama-lama nggak ke kantor Papa bisa curiga. Sebelum berangkat aku menunggu tukang sayur keliling. Stok sayur dan lauk pauk di kulkas sudah habis. "Mang, ikan, ayam dan sayurnya ya, seperti biasa," kataku sambil melihat-lihat yang lain. "Bu Salma, makin cantik aja ya, sekarang," celetuk Rosita tetangga sebelah rumahku. "Makasih, ibu bisa aja," balasku tersenyum seraya melirik ke arahnya. "Bu Salma emang cantik kelewatan aja kalau diduain," cebik Bu Rum. Aku hanya tersenyum mendengar oce
Semenjak aku bertemu dengan Mas Arman kembali. Aku jadi mantap untuk menyelesaikan perceraianku dengan Ardi. Laki-laki itu tak sama sekali peka. Cinta? Mana yang suamiku sebut cinta. Perhatiannya selalu lebih dengan pekerjaannya. Bahkan sekedar mengajakku untu berjalan-jalan saja tak ada waktu. Rumah tangga macam apa ini? Beda halnya dengan Mas Arman yang kini bersamaku. Tentu saja Ardi tidak tahu aku sering bertemu dengan mantan kekasihku. Hanya saja karena kedua orangtuanya tak setuju dengan hubungan kami. Aku terpaksa melepasnya meskipun aku tak rela. Suatu saat aku akan merebut Mas Arman kembali. Kecantikanku tak akan mengalahkan istrinya Mas Arman. Walaupun aku kecewa dengan Mas Arman yang tak bisa membantah keinginan ibunya. Dengan alasan takut menjadi anak durhaka. Ibu macam apa itu tega-teganya memaksa anaknya menikah dengan pilihannya. "Sarah," panggila
Keesokan paginya setelah Mas Arman berangkat kerja, aku langsung membuntutinya. Dengan menggunakan baju hitam dibalut jaket hitam tebal dan topi coklat. Tak lupa juga alat bantu penglihatan berwarna hitam sebagai aksesoris. Katanya hari ini Mas Arman akan menemani bosnya melihat proyek baru. Padahal ini hari libur, hari kebangsaan para karyawan untuk beristirahat di rumah. Dengan bermodalkan GPS aku nekat membuntutinya.Mobil sewaanku melaju dibelakang Mobil Mas Arman. Sepertinya dia tak sadar ada seseorang yang membuntutinya dari belakang. Aku memantau dari gawaiku. Sepertinya dia akan belok ke arah kanan. Entah dia akan pergi kemana hari ini. Ponselku berdering berkali-kali. Nomor tidak di kenal?Kuabaikan saja panggilan dengan nomor baru."Lebih cepat sedikit ya, Pak!" Mataku awas selalu memperhatikan.Mas Arman menepikan mobilnya tepat di depan rumah tingkat bercat
"Aku nggak maksud apa-apa, Mas. Lagian Mas aneh banget sih, kaya orang kaget aja," ocehku dengan wajah tak merasa bersalah.Mas Arman tampak kikuk. Ia melirik ke arahku."Eng...ga aku cuma nanya aja, kok kamu bisa ngomong begitu, tapi yah bener sih katamu," Mas Arman mulai tak fokus menyetir."Mas hati-hati, liat tuh! Ada kucing!" Hampir saja suamiku menabraknya.Mas Arman langsung mengerem mendadak.Hadeh, kamu aneh deh, Mas! Kaya lagi ketahuan nyuri aja. Sampe salah tingkah begitu."Aku turun disini aja deh, Mallnya juga udah keliatan dari sini,"Mas Arman menepikan mobilnya di pinggir jalan. Aku langsung turun tanpa basa-basi lagi dengan suamiku.***Setelah memastikan suamiku pergi. Aku langsung memesan layanan online dan menuju t
"Sal, kamu ngapain si nutupin mukamu dengan kertas menu, tau nggak liat noh, Mbak kasir pada ngeliatin," ujar Ardi yang menatapku heran.Sontak aku langsung mengedarakan pandanganku ke seluruh ruangan. Mbak kasir tampak berbisik-bisik melihat tingkahku. Berisik banget sih cecurut satu ini, kalau bukan teman sekaligus kepercayaan Papah udah kujitak kepalanya.Aku langsung berlalu pergi ke meja makan setelah memesan menu andalan di cafetaria."Sumpah ga ngerti lagi dah, kaya lagi dikejar hutang aja," cerocos Ardi tampak tangannya memainkan gawai.Wanita itu dari belakang seperti Mira. Dari poster tubunya sangat mirip. Apa hanya aku saja yang mengira Mas Arman bersama mantan istrinya Ardi? sepertinya Ardi tidak melihatnya."Di, aku mau ke toilet dulu, makanan kalau udah dateng jangan di habisin sendirian," candaku. Meskipun Ardi temanku tapi aku tetap canggung menggunakan bahasa gaul.