"Kakak tau pemenang ketiga lomba desain Green Dot Award tahun kemarin?""Aku tahunya dua pemenang dari sini," sahut Bei."Kak Bei, aku pemenang ketiga itu.""Apa? Kamu serius?"Sinta mengangguk. "Aku penasaran dua pemenang ini, siapa sangka ternyata selalu di sekelilingku. Mengapa kamu sembunyikan ini?""Aku tidak ingin popularitas. Mengatakan ini ke hanya untuk membantu Kak Bei. Sekarang katakan ke perusahaan Buana, kalau Prayoga telah merekrut pemenang ketiga lomba desain Green Dot Award. Aku yakin mereka akan kembali mempertimbangkan kontrak kerjasama."Bei tersenyum haru. "Terima kasih banyak, Sinta. Aku tidak akan melupakan jasamu.""Tak perlu sungkan, demi Kak Bei, apapun akan aku lakukan."****Ahsin langsung berdiri begitu melihat Gea memasuki pintu restoran yang dijanjikan. Ia langsung menyambut dan mengulurkan tangan. Sesaat Gea tercenung melihat uluran tangan Ahsin."Kenapa?" tanya Ahsin sambil menggerakkan tangannya yang masih nganggur. Gea sedikit menengadahkan wajahny
"Iya. Katanya Tuan Buana membatalkan kerjasama dengan Prayoga.""Dan dia menuduhmu?""Iya. Sakit tu orang. Bahkan saat kerjasama aku belum pernah ketemu Tuan Buana, bagaimana lagi sekarang?"Ahsin tersenyum simpul. "Ternyata mereka memang menebaknya. Dan ini ada hubungannya dengan Gea itu memang benar," batin Ahsin."Lalu tadi sepertinya mereka telah menemukan solusinya," pancing Ahsin. "Katanya dia telah merekrut pemenang ketiga lomba desain Green Dot Award.""Kalau begitu mereka akan berhasil?" sahut Ahsin. "Tidak mungkin. Perusahaan Buana tidak semudah itu dikibuli. Kuberitahu, desain dari pemenang ketiga itu punyaku.""Hah?""Itu lukisanku yang kusimpan studio. Ayah memaksa kami ikut lomba desain, Sinta mencuri lukisan itu dan mengirimnya ke lomba.""Saat itu kenapa kau tidak mengkonfirmasi?""Tidak ada yang percaya. Ayah juga melarangku. Kuberitahu satu rahasia lagi. Pemenang satu itu aku."Ahsin tersentak. "Karena sudah terlanjur didaftarkan, aku kerja keras melukis ulang. S
Ahsin membuka mulut, tetapi tidak ada bunyi yang keluar. Gea tertawa kecil. "Kenapa kau syok begitu?""Mmm … tidak menyangka saja, peretas luar biasa dan salah satu pilar More itu sekarang jadi istriku.""Memangnya kenapa? Kau juga mau bilang punya hubungan dengan More?""Bukan begitu. Syok saja.""Sekarang kau sudah tahu, tidak perlu lagi ada yang dicurigai. Jadi percayalah, kau tidak akan melarat bersamaku. Meski sudah resign dari Prayoga, aku masih bekerja di More," seloroh Gea dengan bangga. "Iya, aku percaya," sahut Ashin sambil menghidupkan mesin mobil."Kau ada waktu malam ini? Aku ingin mengajakmu ke mall. Mumpung aku dapat duit. Aku ingin membelikanmu pakaian.""Sebentar," jawab Ahsin kemudian melihat memonya. "Sayang sekali, aku masih ada kerjaan."Gea menatap. "Bahkan malam pun kau bekerja?""Maaf," ucap Ahsin dengan wajah bersalahnya. "Lain kali aku akan mengajakmu jalan-jalan.""Tidak apa. Aku bisa mampir ke toko-toko di pinggir jalan sini. Oh iya, aku akan mengantarmu.
"Tidak apa. Aku tidak sekaget itu jika memang putra Buana. Perusahaan tempat aku bekerja sudah pernah menjalin kerjasama dengan Buana dan mereka memang memiliki etos kerja yang tinggi. Tak heran jika putra Buana memiliki kualifikasi lebih tinggi dari yang kita bayangkan," tutur Gea. "Lalu kenapa kau begitu kaget?""Kebetulan nama suamiku sama dengan putra Buana. Jadi mungkin alam bawah sadarku mengira dia."Giliran Charles yang kaget. Ia memajukan wajahnya. "Setahuku tidak ada nama yang sama dengannya. Nama Ahsin mungkin banyak, tapi siapa yang berani menyematkan nama Buana di belakang?""Mungkin saja. Latar belakang yang jauh berbeda. Mungkin saja orang tuanya tidak tahu di dunia ini ada yang namanya Buana atau saat itu Buana nama diidolakan.""Masuk akal," sela berwajah Afrika. "Namaku Michael Jackson karena orang tuaku mengidolakannya. Dan latar belakang yang jauh berbeda tidak akan mempertemukan kami. Jadi tidak akan menimbulkan masalah.""Kalian benar. Tapi aku penasaran, mengi
"Tidak. Mendengar ceritamu entah kenapa menjadi sedih. Kakek yang memperkenalkan kami. Aku cuma tak menyangka, dia menerimaku karena Kakek.""Kakekmu menyukainya?"Ahsin mengangguk. "Dapat dimengerti. Ia memang punya keluarga, tapi lebih menyedihkan dari yatim piatu. Bekerja bagai kuda seakan-akan bertanggungjawab atas keluarga besar. Wajar jika dia sangat menyukai Kakekmu," urai Charles.Tanpa sadar Ahsin mengangguk. "Bos, jangan khawatir. Selama kau memberi perasaan nyaman dan aman, kau pasti mendapatkan hatinya." "Gea perempuan mandiri. Bagaimana aku bisa ….""Bagaimana pun dia wanita. Dia pasti butuh perlindungan dan rasa nyaman," sahut Charles cepat. Ahsin mengangguk. "Terima kasih, Charles. Gea cerita banyak tentangmu. Aku sangat bersyukur dia bersamamu, hingga akhirnya menghantarnya ke More.""Tak perlu sungkan, Bos. Tanpa bertemu bos, aku tetap melindunginya secara jauh. Ah bukan cuma aku, semua tim di sini sangat menyayanginya. Kami selalu menghargai keputusan Gea.""Bena
Ahsin tersenyum simpul melihat tingkahnya. Ia memberikan kecupan lembut pada dahi Gea. Seketika kedua mata berbulu lentik terbuka dan mengerjap syok. Jari Ahsin mengetuk lembut dahinya. "Sudah tengah malam. Istirahatlah."Gea bangkit setelah Ahsin menjauh. Ia menghela napas lega karena jantungnya telah selamat. Namun, ia tak mengungkiri ada kecewa di sisi lain. "Gea, apa yang kau harapkan darinya?" gerutunya, kemudian segera berlari setelah melihat jam di dinding.***Pagi menyapa, lagi-lagi Gea hanya mendapati secangkir susu dan kali ini sepotong croisan. Ia menyentuh gelas yang sudah dingin itu. "Ahsin mengapa kau bekerja sekeras ini? Aku harus secepatnya mengambil perusahaan Zurra."Ia menikmati sarapan tanpa minat."Kenapa aku jadi seperti ini? Bukankah biasanya aku memang sarapan sendiri?" gumam Gea, kemudian menggigit kasar croisan. Dering ponsel mengalihkan perhatiannya. Seketika bibirnya tersungging ketika melihat nama di layar. "Sudah bangun?" "Iya.""Sudah sarapan?" "
Di lantai bawah sang resepsionis mengajak Bei dan Sinta ke ruang tamu. Saat berjalan Sinta menoleh ke belakang dan sesaat ia terkejut. "Kenapa?" tanya Bei yang menyadari sikapnya. "Entahlah. Tadi aku lihat seperti suami Kak Gea masuk ke ruang konferensi.""Mana mungkin kuli seperti dia menyelinap ke manajemen puncak perusahaan Buana, bahkan pintu masuk pun tidak tahu.""Kak Bei benar. Mungkin aku salah lihat."Bei mengangguk. "Mari, Mbak … Mas," ajak sang resepsionis. Keduanya mengikuti hingga sampai ke ruang tamu. Sang resepsionis menuangkan air putih untuk mereka. "Mohon ditunggu ya, Mbak, Mas."Sinta mengangguk. "Terima kasih, Mbak."Sesaat Bei terpana dengan sikap sopan Sinta. Mengingatkannya pada Gea. Belakangan ia menjadi rindu dengan gadis itu. Namun, bayangan sikap Gea yang pongah membuatnya urung menghubungi atau sekadar menguntit.Waktu berlalu, Bei sudah berkali-kali melirik jam di tangannya. Ia kembali berdiri untuk membuang kebosanan yang ada. "Buana benar-benar con
"Ada teori seperti itu?" gerutu Gea sambil bergegas menyingkap selimut dan turun dari ranjang. Ahsin tertawa kecil melihatnya."Gea, ternyata kau mempunyai sisi imut," gumam Ahsin. ***Hari sedikit terang ketika mereka selesai menunaikan shalat Subuh berjamaah. Gea mendekati Ahsin yang sedang ngobrol dengan seorang laki-laki tua. "Kami duluan, Kek." Ahsin pamit kepada laki-laki tua. Kakek tua itu mengangguk. "Kakek harap besok dan seterusnya kalian ke sini lagi. Kakek sangat senang melihat ada orang muda ke rumah Allah. Apalagi kalau subuh-subuh begini." "In sya Allah, tiap subuh saya ke masjid, Kek. Hanya saja, hari ini saya ke sini karena mengajak dia. Jadi ambil masjid yang terdekat.”"Begitu. Senang dengarnya. Semoga rumah tangga kalian sakinah mawadah warahmah.""Aamiin," sahut Ahsin dan Gea barengan yang akhirnya mereka tersenyum sipu."Biasanya kau Subuh di mana?" tanya Gea saat mereka sudah di mobil. Terlebih dahulu Ahsin menghidupkan mesin mobil dan berjalan pelan. "Bi