"Bekerja sepagi ini?" gumamnya. "Aku harus mengambil perusahaan ibuku dan memberi Ahsin pekerjaan yang lebih bagus."
*** Ahsin sedang ngobrol virtual. Meski berdiri di samping, Ferry masih bisa melihat beberapa orang yang muncul di layar desktop. "Bos?" pekik seseorang. "Wah, Bos go publik," sela lainnya. Ahsin tertawa. "Sudah terlanjur tercium media. Owner More tak bisa disembunyikan lagi. Kuharap kalian tidak sungkan." "Tidak. Kami akan tetap menganggapmu Ahsin teman kami. Dari dulu kami sudah menduga kamu putra Buana," sahut Charles sebagai penanggung jawab teknologi More. Ahsin mengerutkan kening. "Bagaimana bisa?" Charles tertawa. "Kau bisa menutup wajahmu dengan topeng, tapi tak bisa menutup ID-mu dari kami." Ahsin memicingkan matanya. "Padahal aku sudah menggunakan perangkat lain. Jadi dari awal kalian sudah tahu aku?" Ahsin memicingkan matanya. "Padahal aku sudah menggunakan perangkat lain. Jadi dari awal kalian sudah tahu aku?" Semua orang di layar mengangguk. "Oh, ada. Aku rasa ID habbagea tidak tahu Bos," imbuh Charles. "Dia tidak tahu aku? Bukankah dia ada di tim kalian sebelum More lahir? Lalu bagaimana kau bisa yakin dia tidak tahu aku, sedang kalian semua sudah tahu?" Charles tersenyum. "Aku berteman dengannya cukup lama. Bahkan aku yang mengenalkan More. Dia menutup wajahnya dengan topeng karena tidak ingin membuka diri. Dia menutup diri dan dia tidak akan mengusik orang lain. Bos, sedikit saja dia memiliki keusilan pada orang lain, gawatlah dunia." Ahsin tersentak. "Dia sehebat itu?" Charles tertawa. "Jangan lupa More teknologi terdaftar di salah satu 100 teratas dan dia pemenang no 1 di sebuah turnamen." "Aku tahu dia memang luar biasa, tapi tak menyangka kalau sehebat itu. Oh iya, kenapa dia tidak muncul hari ini?" "Kemarin dia izin libur selama sebulan. Dia cuma bilang, dia baru menikah dan akan menyelesaikan masalah keluarga. " "Menikah?" sontak pekik beberapa orang di layar, tak terkecuali Ahsin. "Wah, gadis kita telah diculik orang lain," sesal salah seorang. Disahut dengan cekikan juga nada sayang dari teman lain. "Padahal aku sangat berharap dia berjodoh dengan salah satu di antara kita. Akan sangat disayangkan jika dia direkrut orang lain," imbuh yang lain. Charles kembali tertawa. "Tidak semudah itu bisa mengambil dia. Dia punya pendirian sendiri. Jika kalian mau retas perangkat dia, kalian akan tahu rumitnya skema yang dia buat. Skema dia serumit dengan kehidupan nyatanya." "Kehidupan rumit?" gumam seorang laki-laki berwajah bule. "Kehidupan keluarganya cukup rumit. Dan sekarang dia yang pacaran lima tahun malah menikah dengan orang asing." "Mengapa cerita ini sangat familiar?" gumam Ahsin. Ketukan pintu terdengar diiringi dengan muncul Ferry membawa sebuah dokumen. "Tuan Muda, ini dari biro periklanan." Ahsin mengangguk tanpa menoleh. "Kalau begitu aku harus memberi Habba hadiah. Tapi untuk sementara aku belum tahu berbentuk apa. Nanti aku pikirkan." "Wah, Bos murah hati sekali," puji Charles. "Ini sudah seharusnya. Dia juga sangat berjasa pada More. Soal hadiah, kalian bisa memberi saran padaku lewat email. Kalau begitu aku tutup dulu." Ahsin langsung keluar dari circle tanpa menunggu jawaban timnya. Ahsin beralih dan membuka dokumen yang dibawa Ferry. "Tuan Muda." Ahsin menghentikan gerakannya. "Bisakah kau berhenti memanggilku Tuan Muda? Canggung sekali. Kau lihat tadi pertemanan di More. Kami dapat bekerjasama dengan baik karena menghilangkan kesenjangan sosial. Di antara kami tidak ada yang tahu siapa yang paling kaya atau hebat." Mendadak perhatian Ahsin pada pemilik akun idhabagea. Habba ia memanggil gadis virtual bertopeng itu. Ia teringat dulu sangat mengagumi gadis itu meski hanya sosok virtual. Ia berencana akan menemukan gadis itu suatu saat nanti. Siapa sangka gadis itu dan dia telah sama-sama menikah. "Baik Tuan Muda, eh … Bos." Ahsin kembali memfokuskan diri pada dokumen. "Tuan Muda, eh Bos. Boleh saya menyampaikan informasi soal Nona Gea?" Gerakan Ahsin terhenti. Ia langsung menutup dokumen di tangan dan memutar kursi menghadap Ferry. "Prayoga salah satu mitra kerja Buana dengan kontrak besar. Namun, ternyata kontributor terbesar perusahaan Prayoga itu Nona Gea. Tapi pada pesta pertunangan kemarin dia malah mendapatkan perlakuan tidak layak dari tunangannya." Ahsin merapatkan gerahamnya. "Dan tunangannya itu dari Prayoga." "Iya. Dia putra dari Prayoga, Bei Prayoga." Ahsin mengepal genggamannya. "Aku tak menyangka kita bekerjasama dengan perusahaan sekejam itu. Putuskan semua kerjasama dengan Prayoga. Jika mereka menuntut, balas balik. Biarkan mereka mati suri " "Baik, Bos. Siap laksanakan." Ferry langsung meluncur keluar. Ahsin mengambil ponselnya. "Kek, aku punya kabar baik untukmu." *** Di depan teras perusahaan Gea menghentikan mobilnya. Seorang sekuriti langsung menyambut dan membukakan pintu untuknya. Ia turun dan membiarkan sekuriti itu mengambil alih mobilnya. "Yo, kasihan sekali, baru menikah langsung bekerja. Begitulah kalau menikah dengan laki-laki udik, tidak tahu bulan madu atau jangan-jangan tidak bisa baca kalender." Gea mengibas-ngibas tangannya sambil mengenduskan penciumannya ke arah Sinta. "Bau busuk. Merusak pagi indahku." Sinta meradang, tetapi Gea berlalu masuk ke dalam perusahaan. "Mbak Gea, kau menyinggung Tuan Bei? Pagi-pagi sudah dia marah-marah. Dia juga menanyakanmu apa sudah datang," lapor seorang karyawati dengan nada khawatir. "Baik. Aku mengerti." Gea langsung meluncur ke kantor Bei. Baru pintu terbuka, lengannya langsung diseret Bei hingga terduduk ke meja kerja. "Benar kau sudah menikah?" tanya Bei sambil memajukan wajah dengan amarah tertahan.Baru pintu terbuka, lengannya langsung diseret Bei hingga terduduk ke meja kerja. "Benar kau sudah menikah?" tanya Bei sambil memajukan wajah dengan amarah tertahan. "Benar. Pria kemarin yang bersamaku."Bei memegang leher Gea. "Dari mana kau mendapatkan pria liar itu? Sedikit pun tidak bisa dibandingkan denganku."Gea mengibas pergelangan Bei hingga terlepas. "Mengapa? Dia punya tubuh yang bagus dan tampan. Apa lagi?""Apa yang kau harapkan dari seorang buruh?""Ada apa dengan buruh? Penghasilannya sedikit? Kau lupa kalau Prayoga itu dapat bangkit 80 persen dari usahaku?""Kak, bagaimana kau bisa bicara begitu?" Tiba-tiba Sinta muncul membela Bei. "Bagaimanapun Kak Bei bosnya, tidak bisakah kau menghargainya?"Gea tersenyum sinis. "Aku paling benci senyum sinismu," seru Bei dengan wajah memerah."Lalu?" tantang Gea. Sinta menggamit lengan Bei. "Kak Bei, lihatlah emosi dia. Bagaimana dia bisa bekerja dengan kondisi seperti ini?"Bei menghela napasnya. "Gea, aku beri kamu istiraha
"Kakak tau pemenang ketiga lomba desain Green Dot Award tahun kemarin?""Aku tahunya dua pemenang dari sini," sahut Bei."Kak Bei, aku pemenang ketiga itu.""Apa? Kamu serius?"Sinta mengangguk. "Aku penasaran dua pemenang ini, siapa sangka ternyata selalu di sekelilingku. Mengapa kamu sembunyikan ini?""Aku tidak ingin popularitas. Mengatakan ini ke hanya untuk membantu Kak Bei. Sekarang katakan ke perusahaan Buana, kalau Prayoga telah merekrut pemenang ketiga lomba desain Green Dot Award. Aku yakin mereka akan kembali mempertimbangkan kontrak kerjasama."Bei tersenyum haru. "Terima kasih banyak, Sinta. Aku tidak akan melupakan jasamu.""Tak perlu sungkan, demi Kak Bei, apapun akan aku lakukan."****Ahsin langsung berdiri begitu melihat Gea memasuki pintu restoran yang dijanjikan. Ia langsung menyambut dan mengulurkan tangan. Sesaat Gea tercenung melihat uluran tangan Ahsin."Kenapa?" tanya Ahsin sambil menggerakkan tangannya yang masih nganggur. Gea sedikit menengadahkan wajahny
"Iya. Katanya Tuan Buana membatalkan kerjasama dengan Prayoga.""Dan dia menuduhmu?""Iya. Sakit tu orang. Bahkan saat kerjasama aku belum pernah ketemu Tuan Buana, bagaimana lagi sekarang?"Ahsin tersenyum simpul. "Ternyata mereka memang menebaknya. Dan ini ada hubungannya dengan Gea itu memang benar," batin Ahsin."Lalu tadi sepertinya mereka telah menemukan solusinya," pancing Ahsin. "Katanya dia telah merekrut pemenang ketiga lomba desain Green Dot Award.""Kalau begitu mereka akan berhasil?" sahut Ahsin. "Tidak mungkin. Perusahaan Buana tidak semudah itu dikibuli. Kuberitahu, desain dari pemenang ketiga itu punyaku.""Hah?""Itu lukisanku yang kusimpan studio. Ayah memaksa kami ikut lomba desain, Sinta mencuri lukisan itu dan mengirimnya ke lomba.""Saat itu kenapa kau tidak mengkonfirmasi?""Tidak ada yang percaya. Ayah juga melarangku. Kuberitahu satu rahasia lagi. Pemenang satu itu aku."Ahsin tersentak. "Karena sudah terlanjur didaftarkan, aku kerja keras melukis ulang. S
Ahsin membuka mulut, tetapi tidak ada bunyi yang keluar. Gea tertawa kecil. "Kenapa kau syok begitu?""Mmm … tidak menyangka saja, peretas luar biasa dan salah satu pilar More itu sekarang jadi istriku.""Memangnya kenapa? Kau juga mau bilang punya hubungan dengan More?""Bukan begitu. Syok saja.""Sekarang kau sudah tahu, tidak perlu lagi ada yang dicurigai. Jadi percayalah, kau tidak akan melarat bersamaku. Meski sudah resign dari Prayoga, aku masih bekerja di More," seloroh Gea dengan bangga. "Iya, aku percaya," sahut Ashin sambil menghidupkan mesin mobil."Kau ada waktu malam ini? Aku ingin mengajakmu ke mall. Mumpung aku dapat duit. Aku ingin membelikanmu pakaian.""Sebentar," jawab Ahsin kemudian melihat memonya. "Sayang sekali, aku masih ada kerjaan."Gea menatap. "Bahkan malam pun kau bekerja?""Maaf," ucap Ahsin dengan wajah bersalahnya. "Lain kali aku akan mengajakmu jalan-jalan.""Tidak apa. Aku bisa mampir ke toko-toko di pinggir jalan sini. Oh iya, aku akan mengantarmu.
"Tidak apa. Aku tidak sekaget itu jika memang putra Buana. Perusahaan tempat aku bekerja sudah pernah menjalin kerjasama dengan Buana dan mereka memang memiliki etos kerja yang tinggi. Tak heran jika putra Buana memiliki kualifikasi lebih tinggi dari yang kita bayangkan," tutur Gea. "Lalu kenapa kau begitu kaget?""Kebetulan nama suamiku sama dengan putra Buana. Jadi mungkin alam bawah sadarku mengira dia."Giliran Charles yang kaget. Ia memajukan wajahnya. "Setahuku tidak ada nama yang sama dengannya. Nama Ahsin mungkin banyak, tapi siapa yang berani menyematkan nama Buana di belakang?""Mungkin saja. Latar belakang yang jauh berbeda. Mungkin saja orang tuanya tidak tahu di dunia ini ada yang namanya Buana atau saat itu Buana nama diidolakan.""Masuk akal," sela berwajah Afrika. "Namaku Michael Jackson karena orang tuaku mengidolakannya. Dan latar belakang yang jauh berbeda tidak akan mempertemukan kami. Jadi tidak akan menimbulkan masalah.""Kalian benar. Tapi aku penasaran, mengi
"Tidak. Mendengar ceritamu entah kenapa menjadi sedih. Kakek yang memperkenalkan kami. Aku cuma tak menyangka, dia menerimaku karena Kakek.""Kakekmu menyukainya?"Ahsin mengangguk. "Dapat dimengerti. Ia memang punya keluarga, tapi lebih menyedihkan dari yatim piatu. Bekerja bagai kuda seakan-akan bertanggungjawab atas keluarga besar. Wajar jika dia sangat menyukai Kakekmu," urai Charles.Tanpa sadar Ahsin mengangguk. "Bos, jangan khawatir. Selama kau memberi perasaan nyaman dan aman, kau pasti mendapatkan hatinya." "Gea perempuan mandiri. Bagaimana aku bisa ….""Bagaimana pun dia wanita. Dia pasti butuh perlindungan dan rasa nyaman," sahut Charles cepat. Ahsin mengangguk. "Terima kasih, Charles. Gea cerita banyak tentangmu. Aku sangat bersyukur dia bersamamu, hingga akhirnya menghantarnya ke More.""Tak perlu sungkan, Bos. Tanpa bertemu bos, aku tetap melindunginya secara jauh. Ah bukan cuma aku, semua tim di sini sangat menyayanginya. Kami selalu menghargai keputusan Gea.""Bena
Ahsin tersenyum simpul melihat tingkahnya. Ia memberikan kecupan lembut pada dahi Gea. Seketika kedua mata berbulu lentik terbuka dan mengerjap syok. Jari Ahsin mengetuk lembut dahinya. "Sudah tengah malam. Istirahatlah."Gea bangkit setelah Ahsin menjauh. Ia menghela napas lega karena jantungnya telah selamat. Namun, ia tak mengungkiri ada kecewa di sisi lain. "Gea, apa yang kau harapkan darinya?" gerutunya, kemudian segera berlari setelah melihat jam di dinding.***Pagi menyapa, lagi-lagi Gea hanya mendapati secangkir susu dan kali ini sepotong croisan. Ia menyentuh gelas yang sudah dingin itu. "Ahsin mengapa kau bekerja sekeras ini? Aku harus secepatnya mengambil perusahaan Zurra."Ia menikmati sarapan tanpa minat."Kenapa aku jadi seperti ini? Bukankah biasanya aku memang sarapan sendiri?" gumam Gea, kemudian menggigit kasar croisan. Dering ponsel mengalihkan perhatiannya. Seketika bibirnya tersungging ketika melihat nama di layar. "Sudah bangun?" "Iya.""Sudah sarapan?" "
Di lantai bawah sang resepsionis mengajak Bei dan Sinta ke ruang tamu. Saat berjalan Sinta menoleh ke belakang dan sesaat ia terkejut. "Kenapa?" tanya Bei yang menyadari sikapnya. "Entahlah. Tadi aku lihat seperti suami Kak Gea masuk ke ruang konferensi.""Mana mungkin kuli seperti dia menyelinap ke manajemen puncak perusahaan Buana, bahkan pintu masuk pun tidak tahu.""Kak Bei benar. Mungkin aku salah lihat."Bei mengangguk. "Mari, Mbak … Mas," ajak sang resepsionis. Keduanya mengikuti hingga sampai ke ruang tamu. Sang resepsionis menuangkan air putih untuk mereka. "Mohon ditunggu ya, Mbak, Mas."Sinta mengangguk. "Terima kasih, Mbak."Sesaat Bei terpana dengan sikap sopan Sinta. Mengingatkannya pada Gea. Belakangan ia menjadi rindu dengan gadis itu. Namun, bayangan sikap Gea yang pongah membuatnya urung menghubungi atau sekadar menguntit.Waktu berlalu, Bei sudah berkali-kali melirik jam di tangannya. Ia kembali berdiri untuk membuang kebosanan yang ada. "Buana benar-benar con