"Tidak apa. Aku tidak sekaget itu jika memang putra Buana. Perusahaan tempat aku bekerja sudah pernah menjalin kerjasama dengan Buana dan mereka memang memiliki etos kerja yang tinggi. Tak heran jika putra Buana memiliki kualifikasi lebih tinggi dari yang kita bayangkan," tutur Gea. "Lalu kenapa kau begitu kaget?""Kebetulan nama suamiku sama dengan putra Buana. Jadi mungkin alam bawah sadarku mengira dia."Giliran Charles yang kaget. Ia memajukan wajahnya. "Setahuku tidak ada nama yang sama dengannya. Nama Ahsin mungkin banyak, tapi siapa yang berani menyematkan nama Buana di belakang?""Mungkin saja. Latar belakang yang jauh berbeda. Mungkin saja orang tuanya tidak tahu di dunia ini ada yang namanya Buana atau saat itu Buana nama diidolakan.""Masuk akal," sela berwajah Afrika. "Namaku Michael Jackson karena orang tuaku mengidolakannya. Dan latar belakang yang jauh berbeda tidak akan mempertemukan kami. Jadi tidak akan menimbulkan masalah.""Kalian benar. Tapi aku penasaran, mengi
"Tidak. Mendengar ceritamu entah kenapa menjadi sedih. Kakek yang memperkenalkan kami. Aku cuma tak menyangka, dia menerimaku karena Kakek.""Kakekmu menyukainya?"Ahsin mengangguk. "Dapat dimengerti. Ia memang punya keluarga, tapi lebih menyedihkan dari yatim piatu. Bekerja bagai kuda seakan-akan bertanggungjawab atas keluarga besar. Wajar jika dia sangat menyukai Kakekmu," urai Charles.Tanpa sadar Ahsin mengangguk. "Bos, jangan khawatir. Selama kau memberi perasaan nyaman dan aman, kau pasti mendapatkan hatinya." "Gea perempuan mandiri. Bagaimana aku bisa ….""Bagaimana pun dia wanita. Dia pasti butuh perlindungan dan rasa nyaman," sahut Charles cepat. Ahsin mengangguk. "Terima kasih, Charles. Gea cerita banyak tentangmu. Aku sangat bersyukur dia bersamamu, hingga akhirnya menghantarnya ke More.""Tak perlu sungkan, Bos. Tanpa bertemu bos, aku tetap melindunginya secara jauh. Ah bukan cuma aku, semua tim di sini sangat menyayanginya. Kami selalu menghargai keputusan Gea.""Bena
Ahsin tersenyum simpul melihat tingkahnya. Ia memberikan kecupan lembut pada dahi Gea. Seketika kedua mata berbulu lentik terbuka dan mengerjap syok. Jari Ahsin mengetuk lembut dahinya. "Sudah tengah malam. Istirahatlah."Gea bangkit setelah Ahsin menjauh. Ia menghela napas lega karena jantungnya telah selamat. Namun, ia tak mengungkiri ada kecewa di sisi lain. "Gea, apa yang kau harapkan darinya?" gerutunya, kemudian segera berlari setelah melihat jam di dinding.***Pagi menyapa, lagi-lagi Gea hanya mendapati secangkir susu dan kali ini sepotong croisan. Ia menyentuh gelas yang sudah dingin itu. "Ahsin mengapa kau bekerja sekeras ini? Aku harus secepatnya mengambil perusahaan Zurra."Ia menikmati sarapan tanpa minat."Kenapa aku jadi seperti ini? Bukankah biasanya aku memang sarapan sendiri?" gumam Gea, kemudian menggigit kasar croisan. Dering ponsel mengalihkan perhatiannya. Seketika bibirnya tersungging ketika melihat nama di layar. "Sudah bangun?" "Iya.""Sudah sarapan?" "
Di lantai bawah sang resepsionis mengajak Bei dan Sinta ke ruang tamu. Saat berjalan Sinta menoleh ke belakang dan sesaat ia terkejut. "Kenapa?" tanya Bei yang menyadari sikapnya. "Entahlah. Tadi aku lihat seperti suami Kak Gea masuk ke ruang konferensi.""Mana mungkin kuli seperti dia menyelinap ke manajemen puncak perusahaan Buana, bahkan pintu masuk pun tidak tahu.""Kak Bei benar. Mungkin aku salah lihat."Bei mengangguk. "Mari, Mbak … Mas," ajak sang resepsionis. Keduanya mengikuti hingga sampai ke ruang tamu. Sang resepsionis menuangkan air putih untuk mereka. "Mohon ditunggu ya, Mbak, Mas."Sinta mengangguk. "Terima kasih, Mbak."Sesaat Bei terpana dengan sikap sopan Sinta. Mengingatkannya pada Gea. Belakangan ia menjadi rindu dengan gadis itu. Namun, bayangan sikap Gea yang pongah membuatnya urung menghubungi atau sekadar menguntit.Waktu berlalu, Bei sudah berkali-kali melirik jam di tangannya. Ia kembali berdiri untuk membuang kebosanan yang ada. "Buana benar-benar con
"Ada teori seperti itu?" gerutu Gea sambil bergegas menyingkap selimut dan turun dari ranjang. Ahsin tertawa kecil melihatnya."Gea, ternyata kau mempunyai sisi imut," gumam Ahsin. ***Hari sedikit terang ketika mereka selesai menunaikan shalat Subuh berjamaah. Gea mendekati Ahsin yang sedang ngobrol dengan seorang laki-laki tua. "Kami duluan, Kek." Ahsin pamit kepada laki-laki tua. Kakek tua itu mengangguk. "Kakek harap besok dan seterusnya kalian ke sini lagi. Kakek sangat senang melihat ada orang muda ke rumah Allah. Apalagi kalau subuh-subuh begini." "In sya Allah, tiap subuh saya ke masjid, Kek. Hanya saja, hari ini saya ke sini karena mengajak dia. Jadi ambil masjid yang terdekat.”"Begitu. Senang dengarnya. Semoga rumah tangga kalian sakinah mawadah warahmah.""Aamiin," sahut Ahsin dan Gea barengan yang akhirnya mereka tersenyum sipu."Biasanya kau Subuh di mana?" tanya Gea saat mereka sudah di mobil. Terlebih dahulu Ahsin menghidupkan mesin mobil dan berjalan pelan. "Bi
Ferry bergegas masuk ke ruang kerja Ahsin sambil dan memperlihatkan ponselnya yang telah menyala. "Bos, berita trending pertama mengatakan Buana telah membatalkan kontrak kerjasama dengan hanya sepihak. Yang kedua mengatakan Buana tidak menghargai waktu rekan kerja. Apa yang akan kita lakukan?""Bikin saja trending baru," jawab Ahsin sambil menyerahkan ponsel Ferry dan kembali pada pekerjaannya."Apa perlu kita menggunakan lembaga hukum?""Untuk sementara tidak diperlukan," sambil mengambil ponselnya yang berdering. "Ahsin, kau baca trending hari ini?" cecar istrinya di seberang sana. "Iya. Tidak akan mempengaruhi Buana," sahut Ahsin. Ferry yang mau berbalik menjadi terhenti."Mereka keterlaluan. Kau punya kenalan kerja di manajemen Buana? Atau penulis berita? Aku akan kirim beberapa foto mentahan asli punyaku. Tulis saja, Buana membatalkan kontrak kerjasama karena Prayoga merekrut desainer plagiat.""Baiklah."Tak lama masuk tiga foto dari permulaan, sebelum finishing yang ketiga
"Lepaskan! Lepaskan!" teriak Gea. Nyatanya teriakannya hanyalah menambah obsesi kedua pembantu itu. Malika dan Sinta tersenyum puas."Siapa yang berani melakukan itu pada istriku?" Tiba-tiba muncul suara asing dari luar."Kami cuma disuruh Tuan," sahut salah seorang pembantu.Ahsin bergegas mengambil alih Gea, sedang kedua pengawal yang ia bawa mendorong kedua pembantu itu. "Kau tidak apa-apa?" tanya Ahsin sambil menutupi bahu Gea yang tersingkap. Gea menggeleng. "Untung kau datang." "Kau tau, menerobos rumah orang itu ilegal," ucap Sinta dengan congkaknya."Benarkah? Kalau begitu laporkan saja?" sahut Ahsin yang masih memegang bahu Gea. Sinta tersenyum sinis. "Kau mau membelanya? Kuberitahu, dia telah resign dari perusahaan Prayoga. Aku yakin tabungannya hanya bertahan beberapa pekan. Sebaiknya kalian mundur dari tepian mulai sekarang. Atau jangan-jangan tabungan itu sudah habis untuk pertunjukan hari ini?" ejek Sinta sambil memandang dua bodyguard yang berdiri di belakang Ahsin
"Kak Bei, semuanya telah selesai.""Gimana?" tanya Bei di seberang sana."Kak Gea telah mengakuinya. Dia khilaf sesaat. Dia mengakui karena iri dan mengirim berita palsu itu. Dia juga telah minta maaf, jadi anggap semuanya telah usai.""Kau tidak melaporkannya? Ini penting buat namamu dan juga untuk kerjasama dengan Buana.""Tidak. Bagaimana pun kami keluarga, lebih baik mengalah demi keharmonisan keluarga. Soal kerjasama dengan Buana … Kak Bei, tak lama lagi ada pesta tahunan perusahaan Buana. Di sana kita akan langsung bertemu dengan putra Buana. Maukah, Kak Bei bersabar dan memahami situasi keluarga kami?""Sinta, kamu terlalu baik. Gea berkali-kali membuat masalah dan kau masih saja bersikap baik padanya.""Bagaimana pun dia kakakku. Aku yakin, dia bakal insaf suatu hari ini. Dan soal kerjasama ….""Iya, aku setuju denganmu. Soal kerjasama dengan Buana tak terlalu tergesa-gesa. Selama menunggu, kita masih bisa mencari mitra kerja lainnya.""Baiklah. Terima kasih atas pengertiannya
“Gea!” Ahsin memegang bahu Gea. “Tenangkan dirimu.”“Bagaimana bisa tenang, Paman begini karena aku,” sahut Gea panik. “Gea, dengarkan aku.” Ahsin mengguncang bahu Gea. Seketika Gea terdiam. “Jangan menyalahkan diri. Paman melakukannya dengan senang hati. Kau juga lihat ‘kan senyumnya kemarin?”“Tapi ….”Ahsin mengusap wajah istrinya yang basah. “Selain itu, ternyata Paman mempunyai kanker paru-paru, jadi tusukan itu memparah kesehatannya yang buruk.”Gea menggenggam tangan Ahsin. “Kita ke sana ya. Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya.”“Paman belum sadar.”“Dia pasti dengar. Seperti kau bilang kemarin, kau mendengarnya hanya saja tidak bisa memberi respon.”Ahsin menghela napasnya. Ia merapikan rambut Gea. “Kau tidak menanyakan keadaanku? Kau tidak lihat, aku juga mengenakan gelang pasien?” Gea tergagap. Ia baru menyadari gelang yang dikenakan Ahsin. “Bukankah kau kelihatan baik-baik saja sekarang?” kilahnya.“Setidaknya kau bertanya perasaanku?” protes Ahsin dengan memasang
Ahsin sudah merasakan separuh nyawanya melayang. Ia tidak akan pernah rela Gea terluka untuknya. Namun, sepersekian detik ia dikejutkan fakta lain. “Paman?” seru Ahsin. Gea berbalik. Matanya membesar begitu melihat pisau yang dipegang Noura itu berada di badan Tuan Mirja.Noura tersentak. Pisau di tangannya terlepas. Badannya mendadak gemetaran. Ia sulit mempercayai penglihatannya. Bagaimana Tuan Mirja tiba-tiba menghalanginya? Melihat Noura yang syok, Ferry tidak membuang kesempatan itu. Ia berhasil meringkus Noura, sedang bodyguard lain menangkap anak buah Noura. Ferry menyerahkan Noura ke bodyguard lain. Ia segera menelpon ambulan.Ahsin menyambut tubuh Tuan Mirja yang hampir menyentuh tanah. “Kenapa Paman lakukan ini?” sesal Gea. Air matanya mendadak tumpah ruah. Tuan Mirja menyentuh pipi gigi dengan tangannya yang berlumuran darah. Ia menyunggingkan senyum. “Jangan menangis. Paman bahagia bisa melakukan ini. Keinginan Paman untuk menyelamatkan ibumu akhirnya tertunaikan hari
Gea tertawa. “Sekarang kau mengakui kehebatan seseorang yang hanya bisa belajar dengan otodidak?” ejek Gea lemas.Noura tersentil, tapi bukan waktunya memikirkan harga diri. Sudah berapa lama High tidak bisa diakses dan entah berapa milyar kerugian yang ia alami.Pria besar itu menyeret Gea dan mendudukkan ke kursi yang berhadapan dengan laptop. Noura mengambil pisaunya dan menodongkan ke leher. “Bersihkan.”“Kau pikir aku sebodoh itu? Kau akan membunuhku begitu Highmu kembali.”Plak. Sebuah tamparan mendarat ke pipi Gea. “Jangan keras kepala. Jika tidak, kau akan memohon kematian kepadaku.” Peuh. Gea menyemburkan ludahnya yang merah ke muka Noura, kemudian ia memasang wajah ejek. Plak. “Cepat lakukan!” teriak Noura. Ia semakin kesulitan mengendalikan emosinya. Kalau saja bukan karena ingat kerugian dan tuntutan yang akan dialaminya, ia tidak akan sesabar ini. “Begitu cara meminta. Noura, sekarang kau yang membutuhkanku.”Noura mengerjap. Terlihat kebimbangan di matanya. Gea teru
Tuan Mirja beralih pada dokter Austin. “Seberapa buruk, dokter?”“Seharusnya tidak apa, selama emosinya tidak dirangsang dan energinya tidak dikuras.”Mendadak Tuan Mirja jadi panik. “Dalam situasi ini bagaimana dia bisa tenang?” tukas Tuan Mirja. “Maafkan saya,” jawab dokter Austin. Tuan Mirja beralih pada Erwin. “Erwin, aku harus pergi. Tolong jaga Tuan Besar. Langsung saja telepon jika ada kabar.”Erwin mengangguk. Tuan Mirja berlalu, tetapi baru beberapa langkah ia berhenti. “Dokter, bisakah saya meminta waktu tinggal di sini sementara. Saya tidak bisa membayangkan kondisi ayah jika keduanya kenapa-napa.”“Saya mengerti. Pergilah.”“Terima kasih.” Tuan Mirja segera bergegas keluar. ***“Presdir, kemana saja? High diserang. Kami kewalahan.”Dengan gugup Noura membuka aplikasi lewat ponselnya. Benar saja, aplikasi tidak bisa diakses. Parahnya tampilan depan memperlihatkan tengkorak warna merah dengan dua tulang yang disilang. Ponselnya kembali berdering. Kali ini dari kepala bag
“Kau juga tahu itu?” Gea tersengal. Matanya memerah. Selain kesulitan bernapas, ia merasakan matanya nyaris keluar akibat urat lehernya yang dicekik. Tubuhnya bergerak-gerak ingin melakukan perlawanan, tapi apa yang dapat dilakukannya dengan tangan terikat.Noura melepas cekikannya. Napas Gea memburu. Berkali-kali ia batuk. "Aku tidak tahu siapa dia saat itu. Aku kira dia hanya seorang kuli,” ucapnya dengan napas masih tersengal.“Kuli?” Noura tergelak. "Kau pandai berbohong. Kenapa tidak menulis skenario saja? Mana ada orang ngajak nikah seorang kuli? Munafik!”Plak. Sebuah tamparan mendarat di pipi Gea. Seketika pipi putih itu menjadi memerah. Gea tersenyum sinis. “Aku munafik, lalu kau? Kau pura-pura bersikap manis, padahal di belakang menyerang perusahaannya. Merusak rem mobilnya. Ah, aku masih ingat kau memanggilnya Kak Ahsin.” Gea meniru nada Noura di ujung kalimatnya. Amarah Noura memuncak. Ia mendorong dengan segenap tenaga sehingga Gea terlempar dengan kursi. Gea meringis.
“Bagaimana orang asing bisa masuk ke komplek ini?” gumam Ferry. Ahsin hanya bisa terdiam. Selama ini ia hanya curiga kepada pamannya hingga tak terpikirkan ada kemungkinan lain. “Ya.” Ahsin menoleh ke arah Ferry. “Bos, mobil yang dideskripsikan Tuan Muda ternyata kosong.”Ahsin dan Ferry tersentak. Sesaat mereka saling tatap. “Kalian di mana?” tanya Ferry. “Kami di luar kota arah timur.”“Kita dikecohkan,” gumam Ahsin sambil menggenggam kepalan tangannya. “Terus lakukan pencarian!”“Baik, Tuan Muda,” sahut seorang pria lewat telepon itu. Dokter Austin menatap cemas. Tuan Mirja bergabung bersama mereka. “Kau sudah menemukan mereka?”Ahsin menggeleng. “Ferry, hubungi Ricky!”“Baik, Bos.” Ferry langsung menekan nama Ricky dan mengaktifkan speaker ponselnya.“Hallo, Kak Ferry!”“Ricky, Tuan Muda mau bicara.”“Ricky, Gea diculik.”“APA?” pekik Ricky. “Kami kesulitan mencarinya. Dia tidak membawa ponsel juga bros yang kau berikan. Aku tidak tahu bagaimana kalian bisa melakukannya ta
“Eh, sadarkah kau beberapa hal yang dilakukan ibumu untukmu? Dari sini kita melihat ibumu sangat mencintaimu meski dia mengambil keputusan yang merugikannya.”“Di antaranya?”“Dia memberimu Gea Mas'udi. Dulu aku sempat bertanya-tanya mengapa nama belakangmu Mas'ud? Nama keluarga dari ibumu, bukan ayahmu. Dalam Islam itu tidak dibolehkan. Seorang anak harus mengikuti ayahnya.” Satu lagi pemahaman baru yang ia dapatkan. Mendadak kepalanya menjadi kusut. Ia memilih merebahkan kepala ke pangkuan Ahsin. Spontan Ahsin merapikan rambutnya. “Ternyata itu nama asli, bukan sematan. Nama yang tak bisa dihilangkan, seperti kebiasaan banyak orang ketika menikah berpindah ke nama suami. Mas'ud bukan nama belakang, tapi memang bagian dari namamu. Sehingga kemana pun kamu pergi Mas'ud ada dalam namamu. Dari situ, dapat kita pahami, ibumu ingin mengenalkan pada orang bahwa kamu putri Mas'ud. Meski disematkan nama ayahmu, orang-orang akan bisa mengenalimu bagian dari Mas'ud.”“Otakku makin kusut,” sun
“Ahsin, Gea, kalian ada di sini?” tanya Tuan Mirja begitu sampai ke ruang tengah. “Iya, Paman,” sahut Ahsin canggung. “Kenapa Ayah memanggilku?” tanya Tuan Mirja sambil duduk di sofa yang bersisian dengan Kakek. “Ayah tidak apa-apa, kan?” Kakek menggeleng. Ia menunjuk giok di atas meja itu dengan dagu. Melihat itu, seketika Tuan Mirja berubah raut mukanya. Gea yang sejak tadi memperhatikan Tuan Mirja dapat melihat ada luka yang sangat dalam wajah itu. “Paman, maaf. Saya baru menemukan giok ini di perbendaharaan ibu. Saya baru tahu kalau giok ini milik keluarga Buana. Paman, maaf, izinkan saya minta Paman menceritakannya kenapa giok ini ada di tangan ibu?” ucap Gea hati-hati.Tuan Mirja mengambil giok itu dengan raut sedih. Terlihat sebutir cairan bening menetes di pipi. “Kakek pasti sudah cerita pada kalian hubungan Paman dengan ibumu.”Gea mengangguk. Tuan Mirja menghela napas beratnya. Baru kali ini, Ahsin merasa iba dengan pamannya. “Aku sangat mencintai ibumu, bahkan aku tak
“Pamanmu berubah setelah seorang gadis yang bernama Atmiati Mas’ud bekerja di Buana. Sejak itu semuanya telah berubah.”Ahsin dan Gea saling tatap. Gea menahan napasnya. Meski ingatannya samar, Gea percaya ibunya orang baik. Namun, kenapa ibunya menjadi penyebab kekacauan yang dibuat Tuan Mirja? Ia berpikir, mungkinkah dulu ayahnya Ahsin dan Tuan Mirja memperebutkan ibunya?“Maksud Kakek gimana?” tanya Gea cemas. Ia merasakan jelas tangannya kini menjadi dingin. Beruntungnya, Ahsin masih menggenggam tangannya. Setidaknya kehangatan itu dapat membuatnya sedikit lebih tenang. Namun, kemungkinan lain yang kembali membuatnya cemas. Ia takut ibunya mempunyai masa lalu yang membuat dirinya dibenci. “Mirja dan ibumu sempat menjadi sepasang kekasih.”Ahsin dan Gea tersentak, kemudian keduanya saling tatap. “Ibumu sebenarnya karyawan potensial di perusahaan. Kakek juga menyukai kepribadiannya. Sayangnya, Mirja saat itu telah ditunangkan sejak kecil demi memperkuat hubungan dua keluarga, terl