“Ayu! Kamu cepat dong siap-siapnya! Kita mau terlambat nih,” seru Suamiku yang sudah siap di teras rumah menungguku yang sedang mematikan seluruh lampu dan peralatan elektronik yang masih menyala.
Keuangan kami yang pas-pasan dan cenderung kurang membuatku tidak bisa bertahan di gaya hidup sebelumnya. Semasa Suamiku masih menjadi anak konglomerat. Tagihan listrik membludak jika aku tidak berusaha untuk hemat.
“Aku sudah mematikan semuanya. Ayo kita berangkat!” ucapku.
“Haduh, lagian ngapain sih matiin listrik? Kan kita pergi nggak nyampe seharian juga,” kata Jovan dengan santainya.
Aku mendesah dengan lelah, Jovan masih terbiasa dengan kehidupan glamornya. Kemiskinan yang kita alami tidak membuatnya sadar jika sekarang roda tengah berputar.
“Kita harus hemat, Mas! Kamu mana tahu berapa pengeluaran yang aku keluarkan untuk tagihan rumah ini. Tolonglah, kamu membantu sedikit dengan tidak menghambur-hamburkan uang dan berhemat menggunakan listrik. Setidaknya jika kamu belum mendapatkan pekerjaan, tolong untuk menghemat pengeluaran,” kataku mengeluaran unek-unek yang akhirnya aku utarakan.
Air muka Jovan mengeras mendengar itu, dia menyilangkan tangannya di dada dan menatap dengan rendah diriku. Aku tahu, setiap aku membahas masalah finansial dengan suamiku ini dia dengan mudah tersulut emosi. Padahal apa yang aku maksud itu baik demi keberlangsungan rumah tangga kita.
“Ayu! Berani-beraninya sekarang kamu ngomong seperti itu? Kamu pikir uang siapa yang kamu pakai untuk membayar tagihan dan biaya kehidupan kita sehari-hari? Lagian sejak menikah kamulah pelaku yang menghabiskan seluruh hartaku. Kini ketika keluargaku sudah bangkrut kamu sok-sokan menjadi penanggung jawab rumah tangga kita?! Kamu benar-benar nggak tahu malu, ya?” bentak Jovan
Aku terdiam tidak bisa membantah apa yang Suamiku katakan, memang benar aku adalah pelakunya. Semua barang-barang yang pernah aku beli sejak masa kejayaan keluarga Wicaksono masih tersimpan dengan rapih di kamar koleksiku. Aku enggan untuk menjualnya, apa yang akan teman-temanku katakan jika aku menjual koleksi yang aku banggakan dulu?
“Hatiku sakit mendengar hinaan dari Suamiku sendiri. Di mana Jovan penyayang yang aku temui dulu?” bisikku dalam hati.
Melihatku terdiam, Jovan segera berlalu menuju mobil kami. Aku menyusulnya dengan perasaan yang campur aduk. Kami sama-sama terdiam sampai tiba di rumah keluarga Wicaksono yang sudah tidak semegah dulu. Rumahnya masih besar, tetapi dengan model seadanya, tidak seperti rumah klasik konglomerat yang aku puja-puja dulu.
Kami turun dari mobil, Jovan mendahuluiku dengan emosi yang masih memanas. Jovan adalah tipikal temperamental jika keinginannya diprotes atau tidak terpenuhi. Jujur saja sifat kekanak-kanakkan Jovan baru aku sadari setelah kami menikah dan jatuh miskin.
“Eh, udah datang anak kesayangan Mama!” seru Ibu mertuaku dengan lantang.
Jovan memeluk Ibunya dengan tampang datar, anak itu memang sering bertindak sesuka hatinya tanpa memedulikan sopan santun. Namun, karena Jovan adalah anak bungsu dan Jessica sangat menyayanginya sikap Jovan dimaklumi begitu saja.
Aku hanya menunduk sopan ketika memasuki ruang tamu yang dihias seadanya itu. Rutinitasku ketika diundang ke keluarga Wicaksono adalah menjadi pemeran figuran dan sosok yang menjadi topik utama ketika membahas aib Wicaksono. Aku sudah paham akan hal itu, walau harga diriku jatuh aku tidak bisa melakukan apa pun.
“Ayu sudah lama tidak bertemu, bagaimana kabar kamu sekarang?” tanya Angel, istri dari Kakak Jovan.
Angel satu-satunya kakak ipar yang periang dan baik menurutku. Dia tidak pernah mengejekku seperti anggota keluarga lain dan senantiasa mengajakku mengobrol.
“Ah, aku baik Kak Angel! Kabar kakak gimana?” tanyaku, aku memanggil Angel dengan sebutan kakak karena Angel adalah kakak tingkatku saat di kampus dulu.
“Kabarku Ba-“
“Angel! Sini sebentar, Sayang!” Jessica memanggil Angel dengan tiba-tiba. Sontak Angel pamit mengundurkan diri padaku.
Angel berjalan mendekati Jessica yang memandangku dengan tampilan jijik. Jovan dan para lelaki sedang bercengkrama satu sama yang lain. sementara yang Perempuan berkumpul di sekeliling Jessica, si Tuan rumah.
Tinggallah aku sendirian.
Rasanya aku ingin menangis dan berlari pulang merasakan pengasingan yang disengaja ini. apakah ini benar salahku yang dengan berani memasuki lingkungan keluarga elit dengan latar belakang keluarga miskin?
“Angel! Sudah berapa kali Mamah bilang, kamu jangan bercengkrama sama orang miskin itu! Semenjak Jovan menikah dengan Perempuan itu keluarga kita jadi bangkrut! Mamah nggak mau kehidupan kamu yang bagus terkontaminasi sama dia!” ucap Jessica dengan tatapan tajam menusuk jantungku dengan tepat.
Aku bisa mendengarnya, karena aku berdiri tidak jauh dari tempat mereka. Hatiku mencelos tak berdaya, ucapan Jessica bernada keras dan nyaring. Aku tahu Jovan mendengarnya, tetapi Jovan nampak tidak peduli dan asik dengan saudaranya.
Suami yang aku kagumi, aku percayai untuk menjadi tamengku justru berbalik menjadi peluru. Sekarang apa yang harus aku lakukan? Menerima penghinaan ini dengan lapang dada? Tuhan, dahulu aku diam saja karena mereka memenuhi kebutuhanku. Namun, sekarang aku yang harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan aku dan Jovan. Pantaskah aku diperlakukan seperti ini?
“Mas, kita pulang saja yuk? Aku nggak enak badan,” kataku setelah menghampiri Jovan.
Aku memilih untuk pulang karena tidak ada fungsiku di acara ini. Padahal hanya pertemuan rutin keluarga tetapi acara ini sangat menguras energiku.
“Hah? Kamu gila, ya? Kita baru nyampe loh, masa kamu minta pulang? Lagian, cuman nggak enak badan mah tahan aja sampe nanti acaranya selesai!” tukas Jovan menolak permintaanku mentah-mentah.
Aku sudah tidak bisa berkata apapun lagi, kami hanya membawa satu mobil dan aku harus pulang bersama Jovan. Apa Jovan tidak merasa kasihan padaku? Apa telinganya itu sangat tebal sampai tidak mendengar hinaan yang keluarganya lancarkan padaku?
“Duh, kamu ini kenapa sih? Se-nggak suka itu ya kamu dateng di acara keluarga ini? Dasar ya, orang miskin emang semuanya nggak tahu diri. Dulu aja, pas keluarga kita masih jadi konglomerat, kamu pulang paling terakhir tuh sambil nunggu cipratan uang dari Mama mertua!” ucap istri dari Kakak tertua Jovan.
Mulutnya dengan nyalang menyerukan hal tidak pantas di tengah-tengah acara, di mana semua orang bisa mendengarnya. Aku tertunduk dalam, hatiku tertusuk-tusuk duri panas hingga melepuh mendengarnya.
Kilatan merendahkan terpancar dari semua mata keluarga Wicaksono. Aku terpojokkan sendiri, tanpa ada yang berniat membantuku. Bahkan suamiku sendiri. sebenarnya hidup apa yang sedang aku jalani?
“Maaf, maksud Mba apa ya? Saya nggak enak badan, bukan nggak suka hadir di acara ini.” Aku berani menyuarakan pendapatku, walau sebenarnya memang benar aku tidak suka hadir di sini. Sudah cukup untuk aku direndahkan!
“Halah, udah deh kamu ngaku aja. Lagian Jovan nih apes banget sih, dapet kok istri yang nggak bisa apa-apa. Cuman seorang guru dengan gaji kecil, sukanya morotin harta keluarga suami dengan tumpang kaki. Enak ya jadi kamu?” seru Perempuan itu lagi.
Perdebatan menjadi memanas, aku yang sudah tahu dari awal telah kalah memilih diam. Membiarkan harga diriku diinjak-injak. Aku memilih pergi meninggalkan ruangan itu, persetan pulang jalan kaki, lebih baik dari pada berdiam diri di tempat orang munafik. Aku menatap Jovan dengan kecewa sebelum aku benar-benar menghilang dari pandangan mereka.
“Nggak dikejar Van?” tanya Kakak Jovan
“Biarin aja lah, aku capek sama dia.”
Setidaknya percakapan itu yang terakhir aku dengar dari mulut suamiku sendiri. aku tertawa miris pada nasibku yang malang ini.
BRUK!
Aku menabrak bahu keras seseorang saat aku berlari sambil mengusap air mata. Cobaan apalagi, Ya Tuhan. Aku Bersiap untuk mendapat makian kembali, tetapi ….
“Loh? Ayu, ya? Istrinya Jovan?” tanya suara berat lelaki itu dengan senyum maskulinnya. Aku sungguh terpana pada pandangan pertama.
“Marcel?” tanyaku memastikan pada laki-laki yang tengah memegang pundakku ini.“Kamu ingat aku? Iya, aku Marcel.”Kami sama-sama saling memandang, lalu aku tersadar tangan Marcel masih menempel dengan nyaman pada pundakku. Melihat aku yang memandangi tangannya Marcel segera melepaskannya.“Ah, maaf ...,” kata Marcel sembari tersenyum canggung.“Tidak apa-apa.” Aku pun menjadi malu seketika, entah karena apa aku gugup di hadapan Marcel yang ternyata setampan ini dalam jarak dekat.Biasanya aku bertemu Marcel ketika aku diajak Jovan bertemu teman-temannya sewaktu kami masih pacaran. Namun, setelah menikah aku sudah tidak pernah bertemu dengan Marcel lagi. Tidak disangka pemuda yang pendiam ini telah berubah menjadi pria matang yang mempesona.“Ayu?” tanya Marcel ketika melihatku melamun. Aku langsung tersadar dan tersenyum canggung.“Iya?!”“Kamu lagi ngapain di sini? Bukannya hari ini ada acara rutin Wicaksono family? Jovan mana?” tanya Marcel beruntun mencecarku.Aku tertunduk mendeng
Tengah malam, lekas setelah dia dan Ayu bertengkar hebat. Jovan pergi mengendarai mobilnya, membelah cuaca dingin dan menuju dengan cepat ke suatu tempat. Dia tahu betul pasti lelaki yang dia incar ada di sana.Bar IU, sebuah Bar Fancy yang dikelola oleh Marcel.Turun dari mobilnya, Jovan dengan napasnya yang memburu melangkah tanpa ragu memasuki Bar itu. Dia melihat Marcel yang tengah tertawa sembari berbincang dengan para pembeli. “Sialan itu, masih bisa ketawa ya lo!”“Jovan? Ada apa nih, tengah malem begini. Ada masalah a-“ kata-kata Marcel tercekat ketika Jovan dengan segera menarik kerah kemejanya.Lelaki itu terkejut melihat tindakan Jovan, dilihat oleh banyak orang rasanya akan memicu keributan. Marcel harus berkepala dingin di saat seperti ini.“Wih, santai ... santai. Lo kenapa, Bro?” tanya Marcel.“Ada hubungan apa lo sama istri gue?!” tanya Jovan, nadanya pelan tetapi langsung menusuk pada sasarannya.Mengerti pada arah pembicaraannya, Marcel melepaskan tangan Jovan dan me
“Marcel! Nanti Jovan denger gimana?” sentakku berbisik, walaupun begitu kiranya pipiku sudah seperti tomat.Aku lihat Marcel tertawa dengan manisnya sembari ikut membantuku menuntun Jovan menuju ranjang.Lekas kami merebahkan Jovan di ranjang, aku dan Marcel saling menatap satu sama lain. Mata Marcel yang tak goyah menatap diriku membuatku terpaku. Larut malam, berdua, di kamar.“Ah, tidak-tidak . Apa yang ada di otakku? Marcel itu teman suamiku, sadarlah Ayu!” ucapku dalam hati merasa gemas dengan pikiran kotorku sendiri.“Hayo, mikirin apa?” tanya Marcel tersenyum jahil padaku.Lelaki itu berniat mendekat, tapi dengan sigap aku raih tangannya untuk keluar dari kamar. Aku menutup pintu kamar rapat-rapat dengan jantung berdegup cepat, seakan takut Jovan terbangun lalu melihat kami.“Emm ... makasih ya, udah anterin Jovan. Ayo aku antar ke depan,” ucapku dengan cepat sembari melangkahkan kaki menuju teras.Namun, sebuah tangan kekar tiba-tiba mendekapku dari belakang, menghirup dalam-d
Bapak dan Ibu segera memusatkan atensinya padaku. Sejujurnya, aku deg-degan untuk mengatakannya. Namun, kali ini aku akan mencoba berani dalam menyuarakan keinginanku.“Ada apa?” tanya Bapak, Harto.“Aku ingin menikah dengan Jovandi. Kami sudah membicarakannya dan aku menyutujuinya,” jelasku dengan singkat.Aku melihat ekspresi kedua orang tuaku yang terkejut. “Menikah? Kamu kan baru lulus kemarin, Nak. Jovan juga belum lulus, kan?” tanya Ibuku.Aku mengerti apa yang beliau katakan, karena aku juga mengatakan hal serupa pada Jovan sebelumnya. “Aku tahu, Bu. Tapi aku sudah memikirkannya dengan baik, dan aku sudah memutuskan untuk menikah dengan Jovan.”Bapak yang sedari tadi diam mulai mengangkat suara. “Apa yang membuat kamu memutuskan untuk menikah sekarang? Apa kamu tidak peduli pada mimpimu, Nak?”Mimpi? Memangnya setelah menikah aku tidak bisa menggapai mimpi? Aku bukannya tidak peduli pada mimpiku, aku hanya menangkap kesempatan yang ada.“Aku berpikir, apa salahnya menikah muda?
Tring . . . Dering ponsel milikku berbunyi dengan nyaring, aku yang tengah pusing memikirkan masalahku tiba-tiba semakin pusing saat melihat nama yang tercantum di layer ponsel. “Ahh . . . Elisa, pasti mereka mengajakku bertemu lagi. Padahal kan minggu kemarin kita sudah hang out bareng,” kesalku. Aku angkat panggilan itu dan suara Elisa yang lembut menyapa telingaku. “Halo, Yu!” katanya. “O-oh, halo Lis. Kenapa nih?” tanyaku dengan nada yang malas. “Di Plaza XX ada event loh! Kita kan sering belanja di situ, punya member juga, katanya dapat barang gratis setiap pembeliannya. Ke sana, yuk!” Sudah kuduga. Kali ini Plaza XX? Di sana kan mahal-mahal sekali untuk budget keuanganku yang sekarang. Gimana ini? Tapi jika aku tolak nanti Elisa berpikir aku benar-benar jatuh miskin karena keluarga Wicaksono yang bangkrut. “Wah, sekarang banget, nih?” tanyaku berpura-pura seolah sedang sibuk. “Iya dong! Sekarang kan weekend, terus juga persediaannya terbatas! Utami juga ikut,” ucapnya be
Sembari menunggu pesanan kami sampai, kami mengobrol seperti biasanya. “Utami, bagaimana dengan pacarmu yang minggu kemarin? Apakah dia cocok sama kamu?” tanyaku penasaran. Minggu kemarin Utami membangga-banggakan pacar barunya di depan aku dan Elisa. Aku dan Elisa tau betul bagaimana kisah percintaan Utami yang tak pernah berakhir baik. Maka dari itu kita selalu menanyakan bagaimana jalannya hubungan Utami. “A-ah? Yang minggu kemarin? Si Willy? Setelah kupikir-pikir lagi sepertinya kita tidak cocok, dia tidak suka dengan aku yang mementingkan banyak hal. Terutama aku yang selalu sibuk karena aktif dalam kegiatan kuliahku,” jawabnya. “Wah, seperti dugaan. Nggak bertahan lebih dari seminggu?” tanya Elisa. “Yah, begitulah.” Utami hanya tersenyum kaku. Aku tak mengerti mengapa orang yang dia temui tidak pernah cocok dengannya. Se
-POV Author-Ketiga orang tadi yaitu, Elisa, Utami, dan Ayu sudah pulang ke rumah masing-masing. Mari mulai dari Elisa, di rumahnya sudah ada suaminya Galuh yang tengah menunggu kepulangan istrinya. “Loh, Mas? Kapan pulang?” tanya Elisa terkejut karena mendapati suaminya yang pulang dinas. “Bukannya Mas sudah kabarin kamu? Kenapa kamu malah keluar pas Mas mau pulang?” tanya Galuh pada istrinya. Dia melihat beberapa paper bag dari barang-barang branded yang berada di tangan istrinya. Galuh membuang napasnya lelah, lagi dan lagi Elisa menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tak berguna. “Ini sudah yang keberapa kali? Mas kan bilang, simpan uangnya dengan baik, jika perlu untuk sesuatu maka gunakanlah untuk yang bermanfaat. Itu kan uang untuk persiapan kita punya anak, sayang,” ucap Galuh dengan penuh kelembutan pada istrinya itu. “Kamu kenapa sih, Mas? Lihat Istri senang nggak suka, kah? Aku ini malu karena aku kelihatan yang paling nggak ma
Jam 22.00Suara bel kamar apartemen Utami berbunyi nyaring. Perempuan itu dengan malas berdiri dan mempersilakan kekasihnya masuk. “Halo, baby girl!” sapa Sam dengan merentangkan tangannya lebar. Utami dengan wajah berpura-pura bahagia memeluk Sam dengan lembut. Demi barang branded dan uang yang telah dia habiskan siang tadi, Utami harus bekerja lagi melayani Sam, pemuda yang sangat obsessed padanya. “Kamu selalu tepat waktu ya,” kata Utami. Dia menggiring Sam untuk masuk dan mempersilakannya duduk. Sam melingkarkan tangannya di perut Utami, membuat perempuan itu terduduk di pangkuannya. Sam mengendus harumnya tubuh Utami yang khas, bau ini selalu memabukkannya. Entah mengapa tidak ada perempuan yang memiliki wangi secandu Utami. “Ahh . . . aku tidak akan bisa berhenti menghirupnya,” bisiknya di telinga Utami. Dalam hati Utami berdecak, Sam mencarinya ketika lelaki itu menginginkan tubuhnya. Utami tidak benar-benar tahu apakah Sam benar-benar mencintainya atau hanya sekedar menyu
“Bu Ayu sudah cukup tenang sekarang. Mohon untuk tidak menekannya berlebihan,” kata Dokter yang sudah keluar ruangan. Setelah menunggu setidaknya 1 jam, akhirnya Ayu sudah kembali tenang. Marcel menunggu di luar dengan harap cemas luar biasa. Takut-takut Ayu memusuhinya dengan sangat. Lelaki itu bangkit untuk memasuki ruangan. Bunyi pintu terbuka diiringi suasana sunyi di sana. Marcel menatap Ayu yang kini sedang menundukkan kepalanya sambil duduk. “Ayu?” panggil Marcel. Tidak ada jawaban sampai Marcel tiba di sebelah ranjang Wanita itu. Dia duduk di kursi, lelaki itu tidak melakukan apapun lagi. Dia hanya menunggu Ayu sadar akan kehadirannya. “Maaf ….” Cicitan suara terdengar dari mulut Wanita itu. Marcel diam saja, menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh kekasihnya itu. Ayu mendongakkan kepalanya, pada saat itu Marcel melihat mata wanitanya sembab, pipinya dipenuhi buliran air mata. Tampilannya, kacau. “Marcel, maaf! Aku janji nggak akan ngulangin hal itu lagi. Aku
“Ada apa ini ribut-ribut?” tanya Ayu saat sudah sepenuhnya muncul. Semua orang berbisik membicarakan betapa silaunya penampilan Ayu saat ini. Tidak disangka sosok desainer misterius itu memiliki wajah dan tubuh secantik ini. Ayu bertanya pada petugas yang mengatur tiket untuk masuk. “Begini Bu, Nyonya ini ingin menjadi tamu untuk menghadiri acara launching ini dan mengikuti kegiatannya seperti 20 peserta nanti. Namun, kami sudah kehabisan kursi, jadi kami tidak bisa menambah kuota orang yang hadir,” jelas petugas itu. Wajahnya cemas sekaligus ketakutan, Ayu paham betul bagaimana menghadapi arogannya Jessica. Rasakan itu! Bagaimana ketika kamu tidak bisa mendapatkan apa yang kamu mau?! Batin Ayu menyalang. Ayu menatap pada wajah Jessica yang nampak menahan kegeramannya. Wanita itu mengepalkan tangannya seakan siap menghantam sesuatu yang keras untuk meredam emosinya. Sementara Miranda bersembunyi di belakang Jessica tidak mampu mengatakan apapun saking terkejut akan sosok Ayu yang t
“Apa Ayu sudah nggak membutuhkanku lagi, makanya dia dengan enteng bilang akan mengajukan surat perceraian?” tanya Jovan mencurahkan kegelisahan hatinya pada sosok Wanita yang merupakan sahabat istrinya itu. Beberapa hari berlalu semenjak Jovan pergi meninggalkan hotel yang Ayu tinggali. Setiap harinya Jovan menanti kabar dari istrinya itu. Setiap harinya tiada henti Jovan mengirimkan pesan untuk Ayu, berharap Wanita itu luluh. Namun, tidak kunjung ada jawaban. Hingga tiba-tiba stasiun TV memberitakan ada desainer baru Indonesia yang akan launching butik pertamanya di Jakarta. Untuk memulai debutnya seorang desainer itu merahasiakan dirinya dan hanya memberi tahukan nama brandnya. “Sebuah brand fashion terbaru dengan gaya italia yang romantis dan mahal mengusung tema feminisme yang tergambar dalam setiap rancangan desainnya. Seorang desainer pendatang baru ini berhasil memikat para pecinta fashion klasik lewat beberapa karyanya yang dia posting di sosial media baru-baru ini.”Dalam
“Bu Ayu sudah cukup tenang sekarang. Mohon untuk tidak menekannya berlebihan,” kata Dokter yang sudah keluar ruangan. Setelah menunggu setidaknya 1 jam, akhirnya Ayu sudah kembali tenang. Marcel menunggu di luar dengan harap cemas luar biasa. Takut-takut Ayu memusuhinya dengan sangat. Lelaki itu bangkit untuk memasuki ruangan. Bunyi pintu terbuka diiringi suasana sunyi di sana. Marcel menatap Ayu yang kini sedang menundukkan kepalanya sambil duduk. “Ayu?” panggil Marcel. Tidak ada jawaban sampai Marcel tiba di sebelah ranjang Wanita itu. Dia duduk di kursi, lelaki itu tidak melakukan apapun lagi. Dia hanya menunggu Ayu sadar akan kehadirannya. “Maaf ….” Cicitan suara terdengar dari mulut Wanita itu. Marcel diam saja, menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh kekasihnya itu. Ayu mendongakkan kepalanya, pada saat itu Marcel melihat mata wanitanya sembab, pipinya dipenuhi buliran air mata. Tampilannya, kacau. “Marcel, maaf! Aku janji nggak akan ngulangin hal itu lagi. Aku j
“Bagaimana? Apa istri saya baik-baik saja?” tanya Marcel dengan cemas. Lepas Ayu pingsan, buru-buru Marcel membereskan kekacauan yang dia buat dan segera mengantar Ayu ke rumah sakit. Jantungnya berdebar kencang saat menyebut Ayu sebagai istrinya. Masa dia bilang, Ayu kekasih gelapnya? Tidak mungkin! Ayu berbaring di ranjang rumah sakit dan menutup matanya. Tak ada tanda-tanda dia akan bangun cepat. Dokter kini memanggil Marcel untuk menjelaskan secara rinci bagaimana kondisi pasiennya itu. “Apa penyebab pingsannya karena berhubungan intim?” tanya Dokter itu langsung pada intinya. “Saya rasa begitu.” Marcel menjawab ragu-ragu, apakah Ayu pingsan karena ulah Marcel yang berlebihan? “Bagaimana cara mereka bermain sampai istrinya pingsan begini?” batin Dokter tersebut. Ketika Ayu datang, dia mencurigai jika pingsannya karena kelelahan saat berhubungan intim. Dia juga mencium bau aneh yang tercium dari tubuh pasiennya itu. Badan yang lengket dan banyak kiss mark sangat jelas menanda
“Tidak! M-marcel, apa yang mau kamu lakukan?” Ayu gemetaran tat kala Marcel melepaskan sabuk celananya dan menghentak-hentakkannya. Wajahnya tersenyum miring dengan menakutkan. Masih berpakaian lengkap, Marcel mengikatkan sabuk kulitnya ke tangan Ayu. Perempuan itu meronta-ronta, berusaha sebisa mungkin lepas dari cengkraman psikopat gila ini. “Marcel, t-tolong maafkan aku. Kita lakukan seperti biasanya saja, ya?” Ayu mencoba merayu kekasihnya itu. Namun, perkataannya tidak digubris sama sekali, dengan seringai menyeramkannya, Marcel kini telah sukses mengikat tangan Ayu dan diarahkannya ke atas kepala Wanita itu. “Sial, ini ketat!” batin Ayu. Tangannya mungkin akan terluka ketika dilepas nanti. “Jangan banyak bergerak sayang, nanti tangan kamu lecet.” Marcel bertumpu pada tangannya sambil menatap Ayu yang meminta belas kasihannya. Marcel kini bahagia, merasa menang karena Ayu nampak tak berdaya di bawahnya. Puas melihat betapa cantik kekasihnya itu, Marcel beralih melepaskan kem
“Marcel! Kenapa kamu cuekin aku?” Ayu geram. Ucapannya hanya dianggap angin lalu oleh Marcel. Sejak dari bandara sampai kini sudah berjalan hampir sampai di apartemen Marcel, lelaki itu tidak sepatah katapun mengeluarkan kata. Pandangannya hanya jatuh pada ipad untuk mengurusi bisnisnya. Ini benar-benar memunculkan banyak tanda tanya. Ayu malu pada Adimas yang satu mobil dengannya. Namun, rasa malunya tertutup perasaan jengkel pada kekasihnya itu. Ayu dengan berani merebut ipad Marcel dengan cepat.Lelaki itu terkejut dan akhirnya menatap mata Ayu. Namun, bukan tatapan itu yang diinginkan Ayu. Marcel menatapnya dengan alis berkerut dan amarah yang tertahan di sana. “Kembalikan.” Dia akhirnya mengeluarkan suara, tetapi perkataannya sangat dingin menusuk relung hati Ayu. Sebenarnya ada apa dengan kekasihnya itu? Kenapa tiba-tiba seperti orang yang murka padanya? Memangnya apa salah Ayu? “Kamu kenapa sih Marcel? Kok pulang-pulang kayak orang marah sama aku? Emang aku ngelakuin apa sam
“Ke mana mereka pergi?” Jovan mengerutkan keningnya ketika jalan yang mereka tuju terasa membingungkan. Memutar-mutar seperti tidak ada tujuan. Namun, tak lama setelahnya mobil sedan hitam itu berhenti di depan hotel mewah. “Hotel? Ngapain mereka di hotel?” tanya Jovan dalam benaknya. Dia memperhatikan mobil itu dari sebrang hotel. Ayu keluar dari mobil itu, tetapi lelaki yang membukakan pintu Ayu tidak ikut keluar. Ayu turun dan mobil itu pergi begitu saja. “Apa aku salah mengira? Ayu tinggal di hotel itu dan bukan ke rumah orang tuanya? Lalu mobil dan laki-laki itu, jadi mereka tidak memiliki hubungan apapun?” Banyak pertanyaan berseliweran dalam pikiran Jovan. Dia sibuk menerka-nerka mengapa Ayu bersama lelaki itu, kenapa dia tinggal di hotel yang Jovan tahu bukanlah hotel biasa. Apakah Ayu menerima uang sebanyak itu dari sekolahnya? Istrinya itu masuk ke dalam hotel. Sementara Jovan masih bimbang, apa dia harus menyusul Ayu sekarang atau untuk sesaat biarkan Ayu sendirian? “S
Kejadian ini terjadi sebelum Jovan menghampiri Ayu untuk membujuknya pulang. “Bu, sepertinya ada yang mengikuti kita.” Adimas menilik pada spion yang memantulkan sebuah mobil yang mengikuti Ayu dan Adimas lekas dari sekolah sore hari ini. Perempuan itu melihat mobil di belakang mereka, tidak disangka itu adalah mobil Jovan. Untuk apa lelaki itu mengikutinya? Pikir Ayu. Sekarang Adimas dan Ayu hendak kembali ke apartemen Marcel yang sekarang menjadi tempat tinggal Ayu. Namun, Jovan kini mengikuti mereka, akan menjadi pertanyaan besar jika lelaki itu memergoki Ayu ada di apartemen Marcel. “Bagaimana Bu? Apa kita tetap ke apartemen?” tanya Adimas pada Ayu yang terdiam. Ayu menatap geram pada mobil Jovan yang melaju semakin kencang. Mungkin kini lelaki itu juga berpikir Ayu menaiki mobil siapa? Kecurigaan, amarah, dan rasa penasaran mungkin tengah memenuhi benak lelaki itu. Lama berpikir dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan, Adimas buka suara, “Bagaimana kalo sementara Anda tin