Sembari menunggu pesanan kami sampai, kami mengobrol seperti biasanya. “Utami, bagaimana dengan pacarmu yang minggu kemarin? Apakah dia cocok sama kamu?” tanyaku penasaran. Minggu kemarin Utami membangga-banggakan pacar barunya di depan aku dan Elisa.
Aku dan Elisa tau betul bagaimana kisah percintaan Utami yang tak pernah berakhir baik. Maka dari itu kita selalu menanyakan bagaimana jalannya hubungan Utami. “A-ah? Yang minggu kemarin? Si Willy? Setelah kupikir-pikir lagi sepertinya kita tidak cocok, dia tidak suka dengan aku yang mementingkan banyak hal. Terutama aku yang selalu sibuk karena aktif dalam kegiatan kuliahku,” jawabnya.
“Wah, seperti dugaan. Nggak bertahan lebih dari seminggu?” tanya Elisa.
“Yah, begitulah.” Utami hanya tersenyum kaku. Aku tak mengerti mengapa orang yang dia temui tidak pernah cocok dengannya. Seakan ada kejanggalan yang tidak pernah diceritakan oleh Utami.
“Sebenarnya kamu sesibuk apa, sih? Toh, kamu masih bisa kumpul dengan aku dan Elisa,” tanyaku. Rasanya agak aneh saja ketika pacar Utami kekurangan waktu karena Utami sibuk, tetapi Utami sendiri selalu siap sedia saat diajak keluar olehku ataupun Elisa.
“Hmm . . . aku tidak tahu, rasanya saat aku keluar dengan kalian aku lebih nyaman dan merasa fresh dari pada keluar dengan pacarku. Di kampus pun aku begitu sibuk karena selalu menjadi andalan banyak orang meskipun aku adalah mahasiswa tingkat akhir. Aku juga sibuk menyiapkan skripsiku, rencana mendirikan start up bersama teman seprodiku, dan masih banyak lagi.”
“Awalnya aku harap pacarku memaklumi kesibukanku, tetapi nyatanya mereka tidak menerimanya dan memintaku untuk memberi mereka waktu terus menerus. Aku yang sibuk menata masa depanku tentu saja tidak bisa memenuhinya,” jelas Utami dengan panjang lebar.
Yah, Utami memang sesibuk itu. Dia selalu mengagung-agungkan sosok wanita karier, dia juga berjuang dengan keras untuk menggapai cita-citanya. Ketika mendengar cerita Utami, aku begitu iri dengan dia yang masa depannya terlihat cerah. Dia yang sudah banyak mempunyai rencana dan koneksi untuk kariernya. Sedangkan aku, memilih langsung menikah setelah lulus dan tidak bisa mencari uang sendiri.
“Irinya . . . aku sudah terlambat untuk melakukan itu semua. Kini tugasku hanya menikmati saja, urusan uang biarlah suami yang mengurus. Betul begitu, Yu?” tanya Elisa padaku sembari terkekeh. Sementara aku hanya bisa tersenyum pahit, karena nyatanya tidak seindah itu.
Dulu mungkin aku akan sangat setuju karena memang aku hanya menikmati uang yang diberikan keluarga Wicaksono sebagai jatah untuk Jovan. Sekarang, bagaimana ingin mengandalkan suami jika yang menjadi suaminya saja tidak bisa apa-apa?
“Apakah seindah itu realitanya? Bayangkan jika suami kalian di PHK dan kalian sebagai istri tidak bisa mencari uang karena terbiasa bergantung pada suami?” tanya Utami.
Sebenarnya aku tidak perlu membayangkannya karena itu sedang terjadi padaku sekarang. “Kan ada tabungan, kita masih bisa bertahan sampai suami kita mendapat pekerjaannya kembali,” kataku mencoba memberi opini yang hanyalah pembenaran belaka.
“Lalu, gaya hidup kalian? Otomatis akan berubah? Kalian harus berhemat, tidak memakan steak setiap minggunya, tidak ikut kelas premium yoga, tidak pergi ke luar negeri untuk liburan, dan tidak memakai barang branded. Dikucilkan dari kalangan sosialita . . . ahh, aku bahkan tidak ingin membayangkannya,” kata Utami dengan nada yang benar-benar khawatir.
Ahh, harusnya aku berpikir seperti Utami. Membayangkan bagaimana kedepannya jika aku menikah muda dan terjadi sesuatu yang tidak terduga. Perkataan Utami seolah menamparku dan menyudutkanku, sontak aku hanya terdiam saja.
“Maka dari itu kita harus mencari pegawai pemerintah,” celetuk Elisa.
Ya, benar. Suami Elisa adalah seorang pegawai pemerintahan yang minim pemecatan dan cenderung memiliki kehidupan finansial yang stabil.
“Tapi, pegawai pemerintahan tidak mendapat gaji yang besar. Aku selama ini penasaran bagaimana kamu mendapatkan barang-barang branded sementara rumahmu saja biasa saja,” kata Utami.
Entah kenapa perkataan Utami sekarang terasa lebih menusuk. Apakah karena aku sudah jatuh miskin? Aku menjadi sensitive jika menyinggung ekonomi. Namun, yang dikatakan Utami tidak salah. Rumah Elisa biasa saja, Elisa tinggal di perumahan kelas menengah dengan mobil dinas yang bahkan bukan miliknya. Terlihat wajah Elisa sedikit pias, tetapi dia tetap mengumbar senyumnya. Aku tidak tahu apa yang wanita itu pikirkan.
“A-ah, suamiku mempunyai bisnis sampingan. Dia biasanya berinvestasi dan memilliki saham di beberapa perusahaan. Aku memang memiliki rumah yang biasa saja karena aku malas untuk membersihkan rumah yang terlalu besar. Lagi pula kami hanya tinggal berdua saja dan suamiku jarang di rumah,” jelas Elisa.
“Bukannya ada IRT? Kenapa kamu tidak menyewa saja seperti aku?” tanyaku. Walaupun sebenarnya kini IRTku aku suruh pulang kampung karena aku tidak mampu membayarnya.
“O-oh? IRT? Itu . . . itu aku hanya tidak menyukai ada orang lain di rumahku,” jawabnya. Sekarang aku menyadari, ternyata Elisa sangat pandai dalam menjawab pertanyaan yang menyinggungnya.
“Hmm, begitu? Aku kira kamu takut tidak bisa membayarnya,” balasku sedikit tertawa diikuti Elisa dan Utami.
“Hahaha, tentu saja tidak. Aku bisa mempekerjakan IRT di rumahku itu kapanpun jika akum au.”
Cukup lama kami berbincang, tak lama setelahnya pelayan membawakan makanan yang kami pesan. Walaupun daging yang kami pesan bukanlah yang paling mahal tetapi cara penyajian dan tempat yang mereka sediakan cukup menjadi alasan mengapa harga makanan di sini sangat mahal.
“Silakan pesanannya, nikmatilah dengan nyaman.” Pelayan itu pergi setelah kami mengucapkan terima kasih. Kami menikmati makanan yang kami pesan dengan khidmat. Aku memakan daging local yang sebelumnya tak pernah aku pesan.
“Bagaimana rasanya daging local?” tanya Utami dengan nada mengejek.
“Tidak buruk, ini enak,” kataku. Sekarang ini rasanya aku tidak berhak untuk menghakimi makanan disaat aku bahkan tidak mempunyai cukup uang untuk makan beberapa bulan ke depan.
“Ahh, begitu? Syukurlah,” balas Utami.
Waktu berlalu kian cepat, kami pun selesai makan dan memutuskan untuk membayar bill yang sudah dipisah. “Silakan total tagihannya, ingin menggunakan debit atau cash?” tanya pelayannya.
“Saya debit saja, ya,” kataku. Tentu saja, aku tidak bisa menggunakan kredit card karena kartuku sudah diblokir.
“Saya juga,” timpal Elisa.
“Saya scan QRIS,” ucap Utami.
Kami membayar masing-masing, harga makananku 500.000 hanya untuk 200gr daging local dan sesendok spaghetti serta kacang-kacangan. Jika bisa aku ingin memuntahkan kembali makanan yang aku pesan agar aku tidak usah membayarnya.
Saat Elisa mengeluarkan debitnya, aku dan Utami sedikit shock. Itu bukanlah debit yang biasanya kita gunakan. Beberapa bulan lalu, kita bertiga sempat menghakimi jenis debit apa yang cocok untuk kalangan sosialita. Namun, mengapa sekarang Elisa memakai jenis basic? Bahkan dia mengeluarkan tahapan Xpress yang mana itu biasanya digunakan oleh pelajar.
Setelah kami selesai bayar dan pelayan itu pergi, aku dan Utami memandang Elisa dengan tatapan bingung. “Elisa, apa itu tadi? Kamu memakai debit pelajar?” tanyaku.
“Wohoo, bukankah waktu itu kamu yang paling bersemangat menentukan kartu debit jenis apa yang pantas kita pakai? Lantas mengapa sekarang kamu justru menjilat ludah sendiri?” tanya Utami.
“O-Oh itu, itu adalah debit yang aku buat untuk anakku nanti. Kamu tau sendiri aku berencana untuk memiliki anak tahun ini,” katanya.
Aku dan Utami yakin, Elisa kini sedang merutuki dirinya yang bodoh. Mana mungkin kami percaya dengan alasan itu? “Ahh, begitu. Apakah kamu akan memberi anakmu debit saat dia masih bayi? Hahaha,” ejek Utami.
Kami bangkit dan berniat untuk pergi karena tidak ingin memperpanjang masalah hanya karena kartu debit. Terlihat Elisa yang kesal karena ejekan Utami dan Utami yang memandang remeh Elisa. Aku berandai jika mereka tahu keadaanku yang sebenarnya, apakah aku juga akan ditatap remeh seperti itu lagi? Sama seperti dulu saat aku menjadi orang miskin.
“Aku tidak ingin hal seperti itu terjadi. Aku tidak mau miskin!” batinku.
-POV Author-Ketiga orang tadi yaitu, Elisa, Utami, dan Ayu sudah pulang ke rumah masing-masing. Mari mulai dari Elisa, di rumahnya sudah ada suaminya Galuh yang tengah menunggu kepulangan istrinya. “Loh, Mas? Kapan pulang?” tanya Elisa terkejut karena mendapati suaminya yang pulang dinas. “Bukannya Mas sudah kabarin kamu? Kenapa kamu malah keluar pas Mas mau pulang?” tanya Galuh pada istrinya. Dia melihat beberapa paper bag dari barang-barang branded yang berada di tangan istrinya. Galuh membuang napasnya lelah, lagi dan lagi Elisa menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tak berguna. “Ini sudah yang keberapa kali? Mas kan bilang, simpan uangnya dengan baik, jika perlu untuk sesuatu maka gunakanlah untuk yang bermanfaat. Itu kan uang untuk persiapan kita punya anak, sayang,” ucap Galuh dengan penuh kelembutan pada istrinya itu. “Kamu kenapa sih, Mas? Lihat Istri senang nggak suka, kah? Aku ini malu karena aku kelihatan yang paling nggak ma
Jam 22.00Suara bel kamar apartemen Utami berbunyi nyaring. Perempuan itu dengan malas berdiri dan mempersilakan kekasihnya masuk. “Halo, baby girl!” sapa Sam dengan merentangkan tangannya lebar. Utami dengan wajah berpura-pura bahagia memeluk Sam dengan lembut. Demi barang branded dan uang yang telah dia habiskan siang tadi, Utami harus bekerja lagi melayani Sam, pemuda yang sangat obsessed padanya. “Kamu selalu tepat waktu ya,” kata Utami. Dia menggiring Sam untuk masuk dan mempersilakannya duduk. Sam melingkarkan tangannya di perut Utami, membuat perempuan itu terduduk di pangkuannya. Sam mengendus harumnya tubuh Utami yang khas, bau ini selalu memabukkannya. Entah mengapa tidak ada perempuan yang memiliki wangi secandu Utami. “Ahh . . . aku tidak akan bisa berhenti menghirupnya,” bisiknya di telinga Utami. Dalam hati Utami berdecak, Sam mencarinya ketika lelaki itu menginginkan tubuhnya. Utami tidak benar-benar tahu apakah Sam benar-benar mencintainya atau hanya sekedar menyu
Sinar Mentari pagi masuk ke sela-sela kamar kami, tembus dari jendela dan menusuk mataku hingga aku pun akhirnya terbangun. Ku lihat Jovan seperti biasa masih terlelap dari tidurnya, seakan silaunya matahari tidak mengganggunya.“Sayang, mandi dulu gih. Aku mau masak dulu,” kataku membangunkan Jovan yang masih terbaring di kasur. “Eung . . . aku masih ngantuk,” balas Jovan. Seperti biasa, setiap pagi Jovan selalu menolak untuk bangun awal dan bermalas-malasan di kasur. Tidak masalah sebenarnya jika perekonomian kami masih seperti dulu, di mana aku dan Jovan tidak perlu memikirkan uang dan segala macamnya. Namun, sekarang berbeda.Seharusnya Jovan membuang kebiasaan buruknya dan berusaha menjadi kepala keluarga yang baik. “Ah, sudahlah. Mari lupakan soal uang dulu, akan banyak masalah berdatangan jika aku mengungkitnya terus,” gumamku. Aku mendekat ke arah suamiku, aku mengelus rambutnya itu dengan sayang berharap Jovan bangun dan segera
“Eh, itu liat deh. Dia guru honorer baru di sini, padahal denger-denger keluarga suaminya itu konglomerat yang bangkrut itu loh! Apa jangan-jangan dia juga ikutan jatuh miskin, ya? Makanya kerja di sini deh,” seru sosok ibu-ibu yang memakai seragam guru juga. “Sutt, nanti orangnya denger gimana?” kata sosok di sebelahnya. Sialan, dipikir aku tidak mendengarnya apa? Benar, aku sudah jatuh miskin, kenapa? Ingin rasanya aku berteriak di depan wajah mereka. Jika tidak terpaksa akan keadaan, mana mungkin aku mau menekuni pekerjaan dengan gaji receh ini? Memilih untuk pura-pura tuli, aku segera melangkah menuju kelas yang akan aku ajar. Aku mengajar anak SMA dengan mata pelajaran Biologi. Kira-kira baru beberapa minggu aku di sini, aku sudah merasa jengah akan tingkah anak muridku yang kelewat bandel. “Anak-anak, segera kumpulkan pekerjaan rumah kalian di meja ibu agar kita bisa langsung mulai pembahasannya,” kataku Ketika sudah memasuki kelas.
“Halo, Marcel. Aku ada di depan apartemen kamu, kamu ada di dalam?” tanyaku lewat telepon. Lekas pulang dari sekolah, aku urungkan niat untuk pulang ke rumah. Marcel memberikan alamat apartemennya kemarin dan letaknya tak jauh dari halte bus tempat aku turun tadi. “Oh, kamu sudah di depan? Wait sayang, 5 menit lagi aku sampai,” katanya. Telepon pun dia matikan sepihak. Aku menghela napas pada tingkah Marcel yang semakin terang-terangan mengatakan ketertarikannya padaku. Aku tidak tahu apakah Marcel benar-benar menyukaiku atau dia memang lelaki yang senang mempermainkan perempuan? Aku menunggu di lobby karena akan canggung rasanya bila aku berdiri di depan pintu apartemen Marcel. Selang 5 menit kemudian Marcel menemukanku dengan senyum sumringahnya. Mungkin dia merasa tak menyangka jika aku benar-benar datang. “Maaf kamu jadi menunggu,” katanya sembari mengulurkan tangan untuk meraih tanganku. Namun, aku tak menghiraukannya.
“Aku nggak ngerti maksud kamu. Apapun itu mari kita akhiri di sini,” kataku sudah merasa pening mendengar begitu banyak hal mengejutkan dari Marcel. “Tidak! Ini tidak adil bagiku, Ayu!” protes Marcel, dia mengikutiku yang hendak pergi, sekali lagi tanganku dijegal olehnya. Mimiknya memelas, mungkin dia berharap sekali saja aku berpihak padanya. Kini berbalik aku menatapnya dengan rasa kasihan, “Maaf, Marcel itu di luar kuasa aku. Pada siapa kamu meminta keadilan pada hal yang sudah kejadian? Jika memang Jovan merebutku darimu, kenapa kamu menyerah begitu saja? Itu artinya, aku tidak sepenting itu bagimu kan?” Marcel terdiam, kepalanya menunduk dalam, bibirnya kelu untuk membalas perkataanku. Tangannya kian pasrah menggengam lenganku. Ada rasa kecewa dalam hatiku karena Marcel secara tak langsung mengakui apa yang aku katakan memang benar adanya. “Hubunganku dengan Jovan kini membaik berkatmu, terima kasih karena tidak mengatakan yang sebenarny
“Sayang! Aku ketrima! Aku ketrima!” teriak Jovan dari kamarnya. Lelaki itu berlari ke arahku dan seketika mengangkatku tinggi-tinggi. Aku yang sedang memasak tentu saja kaget mendapat perlakuan tersebut tiba-tiba. “Ada apa sih Jovan? Turunin aku dulu!” kesalku. Jovan menurunkanku, masih dengan wajahnya yang berseri-seri dia mengulanginya lagi, “Aku diterima Ayu! Aku diterima kerja!” Sontak aku langsung ikut berteriak, “Akh! Selamat sayang!” Kami berpelukan riang gembira merayakan diterimanya Jovan di Perusahaan pertamanya. Aku sangat bahagia, bukan karena Jovan benar-benar serius pada keinginannya tetapi bahagia karena scenario yang sudah aku rangkai semalaman benar-benar kejadian. Jawabanku untuk Marcel sudah pasti menolak untuk menjadi kekasih gelapnya. “Kamu jangan lupa loh, sama perjanjian kita,” katanya mengingatkanku. “Hahaha, iya deh iya! Tapi Jovan, aku bangga banget sama kamu. Suamiku ini keren juga ya?!”
“Duh, siapa sih. Ganggu aja!” kata Jovan kesal. Tidak biasanya tamu datang sore-sore begini. Siapa gerangan yang menganggu gelora panas kami ini? Aku yang sudah bersiap lebih dulu meninggalkan Jovan yang masih menggerutu. Kubuka pintu utama untuk melihat siapa yang datang. “Marcel?” tanyaku binggung. Lelaki itu menyorotku dengan mata tajamnya dari atas sampai bawah. Peluh keringat yang lupa aku seka mengundang perhatian Marcel. “Kamu … abis olahraga kan Yu?” tanya Marcel. Aku menggaruk tengkukku dengan perasaan canggung. Apa yang harus aku jawab? Namun, terlepas dari itu aku tidak berkewajiban untuk menjawab pertanyaan Marcel kan? “Ah … nampaknya abis olahraga yang lain ya?” tanya Marcel lagi ketika matanya menangkap titik merah yang dibuat Jovan pada leher jenjangku. “Sialan! Aku lupa pakai baju yang nutupin semuanya!” batinku. Saking buru-burunya takut tamu itu adalah ibu mertua atau orang penting lain
“Bu Ayu sudah cukup tenang sekarang. Mohon untuk tidak menekannya berlebihan,” kata Dokter yang sudah keluar ruangan. Setelah menunggu setidaknya 1 jam, akhirnya Ayu sudah kembali tenang. Marcel menunggu di luar dengan harap cemas luar biasa. Takut-takut Ayu memusuhinya dengan sangat. Lelaki itu bangkit untuk memasuki ruangan. Bunyi pintu terbuka diiringi suasana sunyi di sana. Marcel menatap Ayu yang kini sedang menundukkan kepalanya sambil duduk. “Ayu?” panggil Marcel. Tidak ada jawaban sampai Marcel tiba di sebelah ranjang Wanita itu. Dia duduk di kursi, lelaki itu tidak melakukan apapun lagi. Dia hanya menunggu Ayu sadar akan kehadirannya. “Maaf ….” Cicitan suara terdengar dari mulut Wanita itu. Marcel diam saja, menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh kekasihnya itu. Ayu mendongakkan kepalanya, pada saat itu Marcel melihat mata wanitanya sembab, pipinya dipenuhi buliran air mata. Tampilannya, kacau. “Marcel, maaf! Aku janji nggak akan ngulangin hal itu lagi. Aku
“Ada apa ini ribut-ribut?” tanya Ayu saat sudah sepenuhnya muncul. Semua orang berbisik membicarakan betapa silaunya penampilan Ayu saat ini. Tidak disangka sosok desainer misterius itu memiliki wajah dan tubuh secantik ini. Ayu bertanya pada petugas yang mengatur tiket untuk masuk. “Begini Bu, Nyonya ini ingin menjadi tamu untuk menghadiri acara launching ini dan mengikuti kegiatannya seperti 20 peserta nanti. Namun, kami sudah kehabisan kursi, jadi kami tidak bisa menambah kuota orang yang hadir,” jelas petugas itu. Wajahnya cemas sekaligus ketakutan, Ayu paham betul bagaimana menghadapi arogannya Jessica. Rasakan itu! Bagaimana ketika kamu tidak bisa mendapatkan apa yang kamu mau?! Batin Ayu menyalang. Ayu menatap pada wajah Jessica yang nampak menahan kegeramannya. Wanita itu mengepalkan tangannya seakan siap menghantam sesuatu yang keras untuk meredam emosinya. Sementara Miranda bersembunyi di belakang Jessica tidak mampu mengatakan apapun saking terkejut akan sosok Ayu yang t
“Apa Ayu sudah nggak membutuhkanku lagi, makanya dia dengan enteng bilang akan mengajukan surat perceraian?” tanya Jovan mencurahkan kegelisahan hatinya pada sosok Wanita yang merupakan sahabat istrinya itu. Beberapa hari berlalu semenjak Jovan pergi meninggalkan hotel yang Ayu tinggali. Setiap harinya Jovan menanti kabar dari istrinya itu. Setiap harinya tiada henti Jovan mengirimkan pesan untuk Ayu, berharap Wanita itu luluh. Namun, tidak kunjung ada jawaban. Hingga tiba-tiba stasiun TV memberitakan ada desainer baru Indonesia yang akan launching butik pertamanya di Jakarta. Untuk memulai debutnya seorang desainer itu merahasiakan dirinya dan hanya memberi tahukan nama brandnya. “Sebuah brand fashion terbaru dengan gaya italia yang romantis dan mahal mengusung tema feminisme yang tergambar dalam setiap rancangan desainnya. Seorang desainer pendatang baru ini berhasil memikat para pecinta fashion klasik lewat beberapa karyanya yang dia posting di sosial media baru-baru ini.”Dalam
“Bu Ayu sudah cukup tenang sekarang. Mohon untuk tidak menekannya berlebihan,” kata Dokter yang sudah keluar ruangan. Setelah menunggu setidaknya 1 jam, akhirnya Ayu sudah kembali tenang. Marcel menunggu di luar dengan harap cemas luar biasa. Takut-takut Ayu memusuhinya dengan sangat. Lelaki itu bangkit untuk memasuki ruangan. Bunyi pintu terbuka diiringi suasana sunyi di sana. Marcel menatap Ayu yang kini sedang menundukkan kepalanya sambil duduk. “Ayu?” panggil Marcel. Tidak ada jawaban sampai Marcel tiba di sebelah ranjang Wanita itu. Dia duduk di kursi, lelaki itu tidak melakukan apapun lagi. Dia hanya menunggu Ayu sadar akan kehadirannya. “Maaf ….” Cicitan suara terdengar dari mulut Wanita itu. Marcel diam saja, menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh kekasihnya itu. Ayu mendongakkan kepalanya, pada saat itu Marcel melihat mata wanitanya sembab, pipinya dipenuhi buliran air mata. Tampilannya, kacau. “Marcel, maaf! Aku janji nggak akan ngulangin hal itu lagi. Aku j
“Bagaimana? Apa istri saya baik-baik saja?” tanya Marcel dengan cemas. Lepas Ayu pingsan, buru-buru Marcel membereskan kekacauan yang dia buat dan segera mengantar Ayu ke rumah sakit. Jantungnya berdebar kencang saat menyebut Ayu sebagai istrinya. Masa dia bilang, Ayu kekasih gelapnya? Tidak mungkin! Ayu berbaring di ranjang rumah sakit dan menutup matanya. Tak ada tanda-tanda dia akan bangun cepat. Dokter kini memanggil Marcel untuk menjelaskan secara rinci bagaimana kondisi pasiennya itu. “Apa penyebab pingsannya karena berhubungan intim?” tanya Dokter itu langsung pada intinya. “Saya rasa begitu.” Marcel menjawab ragu-ragu, apakah Ayu pingsan karena ulah Marcel yang berlebihan? “Bagaimana cara mereka bermain sampai istrinya pingsan begini?” batin Dokter tersebut. Ketika Ayu datang, dia mencurigai jika pingsannya karena kelelahan saat berhubungan intim. Dia juga mencium bau aneh yang tercium dari tubuh pasiennya itu. Badan yang lengket dan banyak kiss mark sangat jelas menanda
“Tidak! M-marcel, apa yang mau kamu lakukan?” Ayu gemetaran tat kala Marcel melepaskan sabuk celananya dan menghentak-hentakkannya. Wajahnya tersenyum miring dengan menakutkan. Masih berpakaian lengkap, Marcel mengikatkan sabuk kulitnya ke tangan Ayu. Perempuan itu meronta-ronta, berusaha sebisa mungkin lepas dari cengkraman psikopat gila ini. “Marcel, t-tolong maafkan aku. Kita lakukan seperti biasanya saja, ya?” Ayu mencoba merayu kekasihnya itu. Namun, perkataannya tidak digubris sama sekali, dengan seringai menyeramkannya, Marcel kini telah sukses mengikat tangan Ayu dan diarahkannya ke atas kepala Wanita itu. “Sial, ini ketat!” batin Ayu. Tangannya mungkin akan terluka ketika dilepas nanti. “Jangan banyak bergerak sayang, nanti tangan kamu lecet.” Marcel bertumpu pada tangannya sambil menatap Ayu yang meminta belas kasihannya. Marcel kini bahagia, merasa menang karena Ayu nampak tak berdaya di bawahnya. Puas melihat betapa cantik kekasihnya itu, Marcel beralih melepaskan kem
“Marcel! Kenapa kamu cuekin aku?” Ayu geram. Ucapannya hanya dianggap angin lalu oleh Marcel. Sejak dari bandara sampai kini sudah berjalan hampir sampai di apartemen Marcel, lelaki itu tidak sepatah katapun mengeluarkan kata. Pandangannya hanya jatuh pada ipad untuk mengurusi bisnisnya. Ini benar-benar memunculkan banyak tanda tanya. Ayu malu pada Adimas yang satu mobil dengannya. Namun, rasa malunya tertutup perasaan jengkel pada kekasihnya itu. Ayu dengan berani merebut ipad Marcel dengan cepat.Lelaki itu terkejut dan akhirnya menatap mata Ayu. Namun, bukan tatapan itu yang diinginkan Ayu. Marcel menatapnya dengan alis berkerut dan amarah yang tertahan di sana. “Kembalikan.” Dia akhirnya mengeluarkan suara, tetapi perkataannya sangat dingin menusuk relung hati Ayu. Sebenarnya ada apa dengan kekasihnya itu? Kenapa tiba-tiba seperti orang yang murka padanya? Memangnya apa salah Ayu? “Kamu kenapa sih Marcel? Kok pulang-pulang kayak orang marah sama aku? Emang aku ngelakuin apa sam
“Ke mana mereka pergi?” Jovan mengerutkan keningnya ketika jalan yang mereka tuju terasa membingungkan. Memutar-mutar seperti tidak ada tujuan. Namun, tak lama setelahnya mobil sedan hitam itu berhenti di depan hotel mewah. “Hotel? Ngapain mereka di hotel?” tanya Jovan dalam benaknya. Dia memperhatikan mobil itu dari sebrang hotel. Ayu keluar dari mobil itu, tetapi lelaki yang membukakan pintu Ayu tidak ikut keluar. Ayu turun dan mobil itu pergi begitu saja. “Apa aku salah mengira? Ayu tinggal di hotel itu dan bukan ke rumah orang tuanya? Lalu mobil dan laki-laki itu, jadi mereka tidak memiliki hubungan apapun?” Banyak pertanyaan berseliweran dalam pikiran Jovan. Dia sibuk menerka-nerka mengapa Ayu bersama lelaki itu, kenapa dia tinggal di hotel yang Jovan tahu bukanlah hotel biasa. Apakah Ayu menerima uang sebanyak itu dari sekolahnya? Istrinya itu masuk ke dalam hotel. Sementara Jovan masih bimbang, apa dia harus menyusul Ayu sekarang atau untuk sesaat biarkan Ayu sendirian? “S
Kejadian ini terjadi sebelum Jovan menghampiri Ayu untuk membujuknya pulang. “Bu, sepertinya ada yang mengikuti kita.” Adimas menilik pada spion yang memantulkan sebuah mobil yang mengikuti Ayu dan Adimas lekas dari sekolah sore hari ini. Perempuan itu melihat mobil di belakang mereka, tidak disangka itu adalah mobil Jovan. Untuk apa lelaki itu mengikutinya? Pikir Ayu. Sekarang Adimas dan Ayu hendak kembali ke apartemen Marcel yang sekarang menjadi tempat tinggal Ayu. Namun, Jovan kini mengikuti mereka, akan menjadi pertanyaan besar jika lelaki itu memergoki Ayu ada di apartemen Marcel. “Bagaimana Bu? Apa kita tetap ke apartemen?” tanya Adimas pada Ayu yang terdiam. Ayu menatap geram pada mobil Jovan yang melaju semakin kencang. Mungkin kini lelaki itu juga berpikir Ayu menaiki mobil siapa? Kecurigaan, amarah, dan rasa penasaran mungkin tengah memenuhi benak lelaki itu. Lama berpikir dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan, Adimas buka suara, “Bagaimana kalo sementara Anda tin