PoV NiaUcok akhirnya minta maaf lagi, entah apa yang dikatakan Butet pada Anakku ini, dia tiba-tiba sudah mau daftar ulang. Kebetulan Butet pun libur panjang. Bang Parlin menyarankan kami antar Ucok ke Jakarta, sekalian jalan-jalan.Aku tentu saja senang sekali, karena Cantik masih bayi, juga aku yang baru pulih, Bang Parlindungan menyewa mobil mewah, yang di dalamnya bisa rebahan. Bang Parlin mengeluarkan uang dua kali lipat dari ongkos biasa biar dapat mobil mewah seperti ini. Di dalam mobil itu memang sangat leluasa, kami yang cuma empat orang, tapi kursinya ada delapan. Si sopir justru mencopot dua kursi yang di tengah, disulapnya jadi tempat tidur. Bahkan dalam mobil itu aku bisa mengikat ayunan untuk Cantik.Sebelum berangkat aku buatkan story wa di HP Bang Parlin dengan caption. "Otw raun-raun""Mau ke mana, Bang Parlin?" ada yang kirim pesan. Aku kenal pria yang kirim pesan tersebut. Dia teman lama Bang Parlin yang juga teman bisnis jual beli sapi. "Jakarta," balasku singkat
Aku tak bisa menahan emosi lagi, aku jadi benci Salsabila, Ucok di kampung, dia mau beli lahan di kampung. Ucok ke Jakarta, mau kembali pula dia ke Jakarta."Sabar, Dek, kali ini kamu salah," kata Bang Parlin."Kok salah, Bang, aku hanya melindungi anakku dari godaan iblis wanita itu," aku makin emosi "Yang bisa kita lakukan adalah mendidik anak kita, Dek, bukan memarahi anak orang, hubungan itu ada dua arah, jika satu menolak, tak akan terjadi." kata Bang Parlindungan. Sementara Ucok masih tidur."Di Jakarta nanti, pasti orang seperti si Salsabila itu banyak, bahkan lebih parah dari Salsabila, jadi yang kita lakukan membentengi anak kita, bukan melarang anak orang," kata Bang Parlin.Mobil yang kami tumpangi sudah memasuki wilayah Lampung, kami istirahat di sebuah penginapan. Rencananya esok harinya akan menyeberang ke pulau Jawa. "Cok, di Jakarta Kamu tak bisa mendampingimu lagi, kau bertanggung jawab pada dirimu sendiri, tolong, Nak, jangan kecewakan kami orang tuamu, itu saja,"
PoV UcokButet benar, di kota, aku memang tidak adanya apa-apanya, gadis seperti Salsabila banyak. Baru pertama sampai di Jakarta, aku sudah melihat gadis cantik bernama Annisa. Dia putri Kapolres, dan ternyata dia sudah pernah dengar namaku.Dia gadis yang supel, kami cepat akrab, , akan tetapi dia sepertinya memandang rendah orang kampung seperti aku."Juara kelas di kampung, kalau kota itu hanya rangking lima belas," begitu kata Annisa saat kami berbincang-bincang di teras rumah mereka. "Oh ya, kamu rangking berapa?" tanyaku kemudian."Aku rangking tiga, pernah dapat lompat kelas, rangking tiga di sini sudah biasa juara umum di sekolah kampung," katanya lagi. "Ohhh," Ayah justru membeli rumah untuk kutempati di Depok, dekat dengan kampus. Kamar rumah itu ada tiga. Rencananya akan kukontrakkan. Dua kamar, satu juta per kamar per bulan, jadi dapat dua juta, itulah biayaku hidup di kota ini. Aku berjanji dalam hati, tidak akan menyusahkan orang tua lagi.Matematika Ayah memang
Hari berlalu, aku mulai bosan tidak ada kegiatan, sementara di rumah tetap aku sendiri, belum ada juga yang menempati dua kamar kosong tersebut. Saat tiba hari Minggu, aku dapat telepon dari Annisa."Cok, dipanggil Papa," begitu kata Annisa saya telepon tersambung."Mai ngapain ya?" tanyaku."Gak tau, pokoknya datang saja," kata Annisa.Aku pun berangkat ke rumah Annisa, jalan kaki ke jalan besar baru naik angkutan kota. Baru jalan lagi ke komplek perumahan tempat Annisa tinggal.Ketika aku sampai, Pak Ali Akhir sedang duduk di teras rumah bersama Annisa."Ucok!" bapak itu memelukku."Maaf ya, Cok, jika sambutan kami kurang ramah," kata polisi tersebut."Iya, Pak,""Bagaimana, sudah dapat tempat kos?" tanya Bapak itu lagi."Sudah, Pak, ayah beli rumah," jawabku jujur."Beli rumah?" kata Annisa."Iya,""Jadi rumah kos itu milikmu?""Ya, begitulah,""Kulihat kau jalan kaki, gak ada kendaraan ya?" tanya Pak Ali Akhir lagi."Belum ada, Pak,""Itu lihat di garasi, pilih yang mana saja, amb
Ada apa dengan Supra ini? Begitu pertanyaan dalam hatiku, aku coba ketik Supra Bapak di pencarian F*, ternyata itu istilah untuk orang yang naik Supra, karena Supra model lama yang sering dinaiki bapak-bapak. Sampai Magrib, teman baruku belum pulang juga, apakah dia memang pulang kerja malam hari? Untuk bertanya tak punya nomornya, aku juga tidak tahu apa dia punya HP. Sehabis magrib, akhirnya pria itu pulang juga, aku merasa lega. "Pinjam motor bentar, beli nasi," kata pria tersebut begitu dia sampe rumah. Aku pun memberikan kunci motor. Akan tetapi, setengah jam berlalu dia belum muncul juga, aku mulai khawatir, sampai kemudian satu jam lebih. Apakah aku sudah ditipu? Tunggu punya tunggu, pria itu tidak datamg juga. Aku cuba tanya tetangga, justru aku dibilang bodoh mau saja memberikan motor pada orang yang baru kenal. Aku coba keluar rumah untuk mencari, akan tetapi sia-sia. Mungkin pria itu sudah melarikan motorku. Dengan menumpang ojek online, aku datang ke rumah Annisa, ak
"Tolonglah, Bang Ucok," kata Salsabila lagi. Jika sudah ada kata tolong, aku tak bisa mengelak lagi. Sama dengan ayah yang konon tak bisa menolak orang yang minta tolong. "Ok, tunggu di situ," kataku akhirnya.Kupesan taksi online, menuju bandara Sukarno Hatta. Cukup mahal juga ongkosnya dari tempatku. Sampai di sana, Salsabila sudah duduk menunggu di ruang tunggu. Begitu Aku datang, dia membentangkan tangan hendak memeluk. Aku menolak dengan cara menunjukkan telapak tangan. "Bang Ucok, akhirnya kita di sini, ini kota yang bebas, takkan ada yang nyinyir jika berpelukan," kata Salsabila. "Aku tak mau dipeluk bukan karena takut nyinyiran orang, tapi takut murka Allah," kataku seraya menunjuk ke atas. "Bang Ucok, Bang Ucok," "Terserah kamu mau bilang kampungan atau apa, tapi saya tetap tidak pacaran, tolong menjauh," kataku lagi ketika Salsabila mulai merapatkan tubuhnya. "Okeh, okeh," "Sekarang kamu mau diantar ke mana?" "Ke tempat Abang lah," "Memangnya kami tidak punya
Aku terus berzikir sampai tiba waktu salat Magrib, setelah itu azan lagi dan jadi imam lagi. Apakah orang-orang di daerah ini super sibuk semua, yang ikut salat magrib berjamaah terhitung dengan jari, itu pun kebanyakan anak-anak. Aku jadi tertantang menghidupkan mesjid ini.Setelah selesai salat Magrib, aku pulang ke rumah, sebelum sampai ke rumah, aku dicegat seorang bapak-bapak."Hei, sini dulu," katanya."Iya, Pak," jawabku seraya menghentikan motor."Jangan pulang ke rumah dulu, Kamu dicari orang," katanya seraya menyebut nama salah satu organisasi kepemudaan."Waduh, ngapain, Pak?""Tidak tahu, makanya, kalau pendatang Itu tahu diri," katanya lagi-lagi."Terima kasih, Pak, permisi," kataku serata menghidupkan motor kembali. Saat tiba di rumah, sudah ada beberapa orang di depan rumahku. Beberapa pria berpakaian loreng khas organisasi kelompok Pemuda."Assalamualaikum, sapaku dengan sopan,""Waalaikum salam," jawab salah satu pria tersebut. Sepertinya Pria ini ketuanya."Ada apa
Semenjak kejadian itu, ada yang berubah, setiap aku lewat hendak ke mesjid, para tetangga akan menyapa ramah. Tetangga sebelah rumah jadi tiba-tiba rajin antar makanan, seperti pagi itu, aku baru pulang dari mesjid. "Bang Ucok, ini sarapan," kata ibu tersebut seraya memberikan seporsi bubur ayam.Entah kenapa makanan di kota ini sangat sulit cocok di lidahku, bubur ayam ini pun justru aku jijik melihatnya saja, wujudnya seperti muntahan kucing, sama sekali aku tidak selera. Akhirnya Bambang yang makan."Bang Ucok, bagaimana caranya Abang Ucok bisa panggil polisi, langsung Kapolres yang datang?" tanya Bang Bambang lagi itu, Saat itu dia lagi makan bubur ayam pemberian tetangga."Jangan panggil Abang napa, Bang, panggil saja Ucok," kataku. Satu lagi kebiasaan orang di sini yang membuat akun risih, semuanya manggil Bang, Mas, sama ibu-ibu pun manggilnya Bang, padahal di kampung kami, panggilan Abang Itu untuk orang yang lebih tua, di sini ibu-ibu pun manggilnya Bang, untuk sesaat aku ja
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga