PoV ButetSetelah Bang Ucok pergi ke Jakarta, banyak yang berubah di rumah. Mamak tampak selalu sedih, sebentar-sebentar mau menelepon, tapi Ayah selalu melarang, kata ayah tidak boleh terlalu sering menelepon, karena bisa membuat Bang Ucok tidak fokus belajar.Bisa dimaklumi, semenjak kecil, baru kali ini mamak terpisah dengan Bang Ucok, kata orang, anak sulung itu selalu jadi anak kesayangan. Aku juga banyak berubah, kini aku mulai belajar bawa motor, sudah bisa, akan tetapi tetap tidak boleh bawa motor ke sekolah. Padahal aku hampir tujuh belas tahun. Sedangkan anak tetangga masih SD sudah bawa motor."Aku bawa motor saja lah, Mak, kasihan ayah harus antar jemput tiap hari," kataku di suatu sore."Belum tujuh belas tahun, belum juga punya SIM, gak boleh," kata mamak."Itu masih kelas enam SD sudah bawa motor, bonceng mamaknya lagi," kataku kemudian."Butet, kau kan tahu hukum, bacaanmu buku hukum, masa kau gak tau, lagi pula kau itu anak kepala desa, harus bisa jadi contoh pada
PoV ButetBaru kali ini aku tidak tahu harus bilang apa, biasanya aku dengan mudah bisa mematahkan pendapat Bang Ucok, akan tetapi kali ini, sungguh aku tidak tahu harus memihak siapa. Mamak dan Bang Ucok ada benarnya. "Udahlah, Mak, biar sajalah Bang Ucok," kataku akhirnya."Butet, kok ngomong gitu?""Mau bagaimana lagi, Mak, sudah terlanjur diterima Bang Ucok, dikembalikan pun nenek itu sakit hati, jadi biar saja," kataku seraya mematikan panggilan video."Butet ada betulnya, Dek, biar sajalah dia mencari jati dirinya di Jakarta, kita percayakan saja semuanya, jika kita sudah tak mampu, menengadah lah ke atas, serahkan semuanya pada yang maha kuasa," kata Ayah."Tapi Ucok masih labil, Bang, masih butuh arahan kita," kata Mamak lagi."Betul, Tapi Ucok nya merasa sudah dewasa, merasa sudah bisa memutuskan sendiri, buktinya dia renovasi rumah pun tak minta pendapat kita lagi." kata Ayah."Jadi kita lepas kendali, gitu maksud Abang?" kata Mamak."Bukan, Dek, kita mengawasi saja, sehar
PoV UcokKadang jika pun kita sudah merasa benar, akan tetapi tetap salah di mata orang tua. Aku sudah merenovasi rumah tanpa bantuan orang tua, tetap juga salah, padahal niatku baik. Ingin bantu orang dan menggapai cita-cita. Aku tetap disalahkan saat menerima uang dari nenek, padahal aku tidak minta, bukan pula memohon. Ada teman kuliahku sampai memohon biar diberikan beasiswa, aku tidak. Hanya berusaha sendiri, tanpa menyusahkan orang tua. Aku hanya ingin membuktikan pada dunia, aku sudah dewasa, aku bisa seperti ayah, yang kaya raya sebelum menikah.Mamak sepertinya takut termakan budi, padahal nenek itu yang mau balas budi, tidak mungkin orang yang balas budi kemudian kita merasa termakan budi? Misalnya ada orang punya utang sama kita, kemudian dia bayar, apakah kita merasakan berutang lagi karena dia bayar? Tentu tidak? Dalam hal ini aku merasa benar, terbukti Butet yang selalu punya jawaban kali ini diam, padahal mamak sudah menyuruh dia bicara.Bang Bambang ternyata cukup
Aku tak mau ditampar kesombongan sendiri lagi, tidak akan ambil keputusan sendiri. Ini masalah uang sepuluh juta, aku akan minta pendapat keluarga."Tunggu sebentar, ya, Annisa," kataku kemudian.Aku lalu mencari tempat untuk bicara' dengan orang tuaku. Langsung kutelepon mamak, ternyata Mamak dan Ayah lagi di kantor desa, sedangkan Butet di sekolah. Aku pun video call."Mak, Ayah, apa kabar, sehat?" tanyaku basa-basi."Alhamdulillah sehat," "Ini, Mak, Yah, Butet mana ya?" tanyaku lagi."Sekolah, memang kenapa?""Aku mau minta pendapat," kataku kemudian."Alhamdulillah," jawab mamak. Baru saja aku bilang minta pendapat, Mamak sudah mengucapkan syukur."Apa, Cok?" ayah ikut bertanya."Begini, Mak, Ayah, kan uang emas itu enam puluh tiga juta, jadi sama teman serumah tiga belas juta, jadi Annisa minta sepuluh juta, katanya untuk bayar uang kuliah," kataku coba menerangkan."Sebentar, itu yang tiga belas juta kenapa kau tidak minta pendapat ngasihnya, sementara sepuluh juga kau minta p
Tukang parkir itu ikut mengintip ke dalam mobil, akan tetapi tidak bisa dilihat juga. Aku tetap yakin Annisa ada dalam mobil tersebut. Karena jelas sekali aku melihat dia masuk. "Yang punya mobil di mana, Bang?" tanyaku pada tukang parkir tersebut."Ya, di dalam,""Panggil?" kataku lagi."Gini lo, Mas, kalau memang mereka betul penculik, kira-kira mau gak mereka dipanggil-panggil? Nggak kan?" kata tukang parkir tersebut.Betul juga, tapi bagaimana caraku biar bisa menyelamatkan Annisa? "Kalau memang Mas sudah yakin, kita pecahkan kacanya, tapi aku tidak tanggung jawab ya," kata tukang parkir Itu lagi."Yakin sekali," kataku kemudian.Akan tetapi tukang parkir itu seperti berubah pikiran, padahal dia sudah ambil batu. "Kenapa, Bang?""Aku tidak berani, Mas, pekerjaanku taruhannya, nanti tidak betul bagaimana, sebaiknya hubungi pihak berwajib saja," kata tukang parkir tersebut.Aku coba menghubungi Pak Ali Akhir, siapa tahu dia bisa mengirim anggotanya ke mari. Seperti biasa ajudan
Annisa tetap bersikeras tidak mau menunjukkan identitasnya. Akhirnya seorang polwan menangani Annisa. Aku dan Annisa dan beberapa orang pengunjung akhirnya dibawa ke kantor polisi. Gadis itu memakai masker saat hendak dibawa. Entah apa salahku, kata polisi karena aku punya KTP luar kota. Entahlah, apakah orang luar kota tidak boleh masuk tempat hiburan?Sampai di kantor polisi, kami disuruh untuk menghubungi orang tua masing-masing. "Silakan hubungi orang tuanya," kata polisi tersebut, saat aku tetap diam."Maaf, Pak, orang tua saya di Medan," kataku kemudian."Iya, biarpun di manapun tetap hubungi, harus orang tua yang jemput kalian dan menandatangani ini," kata polisi tersebut."Apa salah saya, Pak?" tanyaku kemudian."Anda masih di bawah umur,""Saya sudah delapan belas tahun, Pak?""Belum genap, kurang satu bulan lagi," kata polisi tersebut.Aku tetap tidak mau hubungi orang tua, tak bisa kubayangkan marahnya mamak kalau tahu anaknya masuk tempat hiburan malam. Untunglah Pak Al
PoV NiaHati siapa yang tidak sedih, saat menanyakan kabar putra sulung yang selalu dirindukan, dia bilang kabar buruk. Dia sampai mempertanyakan wajahnya, dan kenapa gadis yang dia kenal selalu brengsek."Ucok, pertama orang beriman yang dapat ujian, kedua, kamu itu terlalu pemilih dalam bergaul, Cok. Kalau gak putri bupati, putri Kapolres," kataku coba memberikan pengertian."Oh ya, Mak, bagaimana mamak calon wakil bupati itu?" tanyaku lagi."Masih Mamak pikirkan, Cok, salat istikharah dulu," jawabku."Gak usah terima, Mak," kata Ucok."Belum pasti, Cok, mamak masih ingin berbakti di siswa umur ini," kataku lagi."Mak, aku kangen," kata Ucok lagi."Iya, Nak, mamak juga kangen," "Aku rindu diomeli mamak," "Hahaha," Kenapa Ucok ini tiba-tiba manja, ataukah ada lagi perempuan yang membuat hatinya terluka? Aku justru jadi tak tenang malam itu."Bang, Ucok tiba-tiba berubah, bilang kangen lah," kataku pada Bang Parlin. Saat itu kami lagi berduaan di kamar."Dia baru dapat ujian pertam
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga