Setelah selesai bertelepon, Bang Parlin melihat ke arahku, pandangannya seperti minta pendapat, aku angkat bahu tanda tak tahu."Kasihan Fikar, Dek?" kata Bang Parlin."Iya, Bang, tapi mau bagaimana lagi, Abang itu bukan malaikat yang bisa urus masalah semua orang," kataku."Kok malaikat, Mak?" tiba-tiba Butet sudah muncul lagi."Ayahmu itu," kataku kemudian."Iya, Mak, kok ayah seperti malaikat, malaikat itu kan pesuruh Tuhan," kata Butet lagi."Iya, Tet," *Teruskan kok kasihan sama Om Fikar, kan dia yang gak pulang-pulang?* kata Butet lagi.Butet pasti sudah nguping lagi, sangat sulit bagiku untuk menjelaskan ini pada Butet, padahal dua sudah lima belas tahun, pintar lagi, dia biasa hapal semua presiden Amerika, tapi tidak paham soal beginian."Tanya ayahmu, Tet," aku melempar pada Bang Parlin, seraya aku masuk kamar.Dari kamar, aku tetap mencoba curi dengar pembicaraan Butet dengan Ayahnya. "Tet, berhentilah yang curi dengar itu aja, ada beberapa hal yang tidak baik untuk dideng
Imron akhirnya diberikan kepercayaan menangani acara makan-makan. Total dana tiga juta diberikan pada lelaki kemayu tersebut. Bang Parlin berinisiatif membantu kekurangan dana, hasil penjualan pupuk hanya dua juta seratus sekian, Bang Parlin menggenapkan jadi tiga juta. Saat hari H tiba, Imron dibantu dua temannya sudah sibuk. Ternyata dia mau buat makan ala prasmanan, yang ambil sendiri. Itu sesuatu yang baru di desa ini, jika ada pesta pun, makanan biasanya dibungkus dan dibawa pulang. Imron sepertinya buat gebrakan dia buat hal baru.Tenda sudah didirikan di depan kantor desa. Prasmanan ada disediakan. Kata Imron lauknya ayam goreng dan sayur campuran, serta sambal cobek. Pulang salat Jumat, orang sudah mulai berkumpul, aku pun mulai berpidato."Bapak-bapak ibu-ibu, ini adalah acara syukuran, karena desa kita terpilih mendapatkan bantuan pupuk gratis. Saya juga sedang memperjuangkan supaya kita dapat bantuan bibit dan obat-obatan. Semoga bisa terwujud, sebagai bentuk rasa syukur
Kulihat Bang Parlin memegang dahinya. Mungkin suamiku itu lagi berpikir betapa rumitnya kasus Fikar ini. Dia minta didampingi."Memang sebaiknya tidak usah pulang dulu, Fikar, emosi itu biasa membuat gelap mata," kata Bang Parlin."Itulah, Bang," "Jadi kapan kamu sampai?""Baru saja, begitu sampai aku langsung ke mari, Bang, aku minta didampingi karena gak ngerti hukum, Bu Kades sama Bang Parlindungan kan sudah sering berkasus, punya saudara polisi," kata Fikar."Kenapa gak ceraikan saja, selesai?" tanyaku kemudian."Sakit di sini, Bu Kades, sakit sekali," kata Fikar seraya menampar dadanya.Aku coba hubungi Umar, polisi yang bertugas di Polsek itu bilang, dia akan datang ke kantor desa. "Itulah yang aku salut sama kalian, Bu Kades, polisi pun bisa kalian panggil-panggil," kata Fikar, aku hanyalah tersenyum mendengar pujian Fikar. Dulu Fikar bekerja sebagai kuli angkut sawit, lalu Bang Parlin mengajarinya bawa truk, sekarang dia bekerja di perusahaan terkenal sebagai supir. Perusah
"Bang!" Aku berteriak memanggil Bang Parlin. "Ada apa, Mak," malah Ucok yang datang."Mana ayahmu?""Belum pulang dari masjid,""Aduh, gawat ini, pergi panggil dulu," perintahku kemudian. Ucok langsung pergi ke masjid yang jaraknya hanya beberapa puluh meter."Ada apa, Mak?" Butet ikut bertanya."Ayahmu, Tet, dia sudah membuat orang salah paham, kali ini fatal akibatnya," kataku kemudian."Kok bisa gitu, Mak?" Butet tampak bingung."Sandy mau ditangkap polisi gara-gara ayahmu," kataku."Kok bisa?""Aduh, tunggu ayahmu datang saja," kataku kemudian.Bang Parlin sudah beberapa kali membuat orang sakit perutnl, akan tetapi kali ini lain, bukan karena ada pencuri, tapi karena Bang Parlindungan geram Umar tidak percaya agama. Aku jadi merasa bersalah, karena aku yang memancing mereka untuk berdebat.Akibatnya pun lain, Sandy jadi tertuduh."Ada apa, Dek?" Bang Parlin datang juga akhirnya."Sandy ditangkap polisi," "Lo, kenapa""Gara-gara Abang berdzikir," jawabku."Kok bisa gitu, Mak, ja
"Bagaimana, Bang?" tanyaku pada Bang Parlin.Aku merasa sasarannya kali ini salah, Umar bukan pencuri, dia mungkin hanya tersesat."Bagaimana lagi ya, Dek, kita berusaha bantu, tapi kalau dia tidak mau dibantu bagaimana?" kata Bang Parlin."Ini tanggungjawab Abang, Abang yang buat dia begitu," kataku lagi."Jadi bagaimana?""Ayo kita ke rumah sakit," ajakku."Tapi kan sudah malam ini, kasihan Cantik Jelita," kata Bang Parlin."Kasihan juga si Umar, dia tidak tahu apa yang sedang menimpanya," kataku kemudian."Bukan tidak tahu, Mak, kan kita sudah kasih tahu, dia hanya gak percaya, mau bagaimana lagi, ayo kita pulanglah," kata Ucok.Kami semuanya akhirnya pulang ke rumah. Akan tetapi aku tetap merasa tidak tenang, terbayang terus Umar yang meringis kesakitan. Dokter tidak akan bisa mengobatinya. Sampai di rumah, aku suruh Butet video call lagi dengan Umar."Sudah bagaimana, Umar?" tanyaku setelah panggilan video tersambung."Belum ada perubahan, tadi sudah diperiksa dokter semua, belum
Umar lalu memberikan HP tersebut padaku, " Ayahku ingin bicara' dengan kalian" kata Umar.Terus kulihat di layar HP ada permintaan untuk video call, segera kusetujui."Ibu Nia," kata Pria di seberang telepon. Wajahnya seperti tak asing, Akan tetapi aku sungguh lupa siapa."Heh, kamu itu Ali Akhir," kata Bang Parlin."Ya, Allah, Bang Parlin, dunia- ini memang sempit, aku tak menyangka lo, Bang, doaku terkabul," kata Ali Akhir. Ternyata dia Kapolsek yang mengidolakan Bang Parlin. Kami sudah pernah ke rumahnya dulu, sudah lama sekali, Ucok saat itu masih dua tahun atau tiga tahun."Si Umar ini anakmu?" tanya Bang Parlin."Betul, aku tiru Bang Parlin, Alhamdulillah sudah punya lima anak angkat, si Umar ini salah satunya, tau gak Bang Parlin, aku selalu berdoa supaya dia bertemu Bang Parlin, sampai dia tugas di sana pun aku yang mengusulkan ke atasan. Dia tersesat, Bang Parlin, sudah kubawa ke pondok pesantren pun gagal, akhirnya bertemu Bang Parlin, duh, aku sangat terharu," kata Ali Akhi
"Jadi maksudnya, Pak?" aku bertanya sambil melihat Bu Juleha."Saudara Mardani tidak mengaku mencuri, tapi dikasih, karena kunci dan suratnya juga dikasih," kata Kapolsek tersebut."Benar, Mardani,?" tanyaku."Iya, Bu Kades," kata Mardani.Bang Parlin berdiri, lalu berpindah duduk di dekat kapolsek yang baru."Maaf, Pak, kalau mau bicara, bicara saja, saya tidak terima bisik-bisik," kata Kapolsek ini."Bukan mau bisik-bisik, Pak, cuma mau minta tolong, urusan ini biar kami yang selesaikan secara kekeluargaan, ini masalah rumit, menyangkut banyak pihak," kata Bang Parlin."Baik, baik, saya justru senang, urusan begini memang sebaiknya diselesaikan dengan kekeluargaan saja," kata Kapolsek tersebut.Mudah sekali berurusan Kapolsek yang baru ini, dia langsung setuju saja. Akhirnya beberapa berkas kami tanda tangani, dan keluar dari Polsek tersebut.Umar mengantar kami sampai ke mobil."Kapolsek yang ini baik ya?" tanyaku pada Umar."Dia hanya gak mau berurusan dengan Ibu, karena dia sudah
"Bagaimana, Fikar?" tanya Bang Parlin di suatu hari. Saat itu Fikar pamit hendak pergi kembali bekerja. "Beginilah, Bang," jawab Fikar. "Bagaimana perasaanmu?" tanya Bang Parlin. "Entahlah, Bang, menurut Abang aku ini bagaimana?" Fikar justru balik bertanya. "Kamu gagal, suami gagal, orang tua gagal," kata Bang Parlin. "Tapi, Bang, istriku yang selingkuh, kok aku yang gagal?" "Kamu gak bisa didik istrimu," "Oh, gitu ya, Bang," "Ya, jelas, kau tinggal sebulan, pulang-pulang hanya kasih uang, kau pikir itu cukup, selain kasih uang, istri itu juga butuh kasih sayang, kasih senang, kasih goyang," kata Bang Parlin. "Iya, Bang, ini pelajaran berharga bagiku, " kata Fikar. "Iya, jangan ditinggal istri lama-lama," kata Bang Parlin lagi. "Iya, Bang," "Fikar pun pergi kerja, katanya dia juga sudah malu tinggal di desa, dia akan tinggal di kota kabupaten saja. Coba cari jodoh lagi di kota. Setelah Fikar pergi, aku mencubit paha Bang Parlin. Saat itu pagi menjelang siang. Ucok dan Bu
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga