"Jadi maksudnya, Pak?" aku bertanya sambil melihat Bu Juleha."Saudara Mardani tidak mengaku mencuri, tapi dikasih, karena kunci dan suratnya juga dikasih," kata Kapolsek tersebut."Benar, Mardani,?" tanyaku."Iya, Bu Kades," kata Mardani.Bang Parlin berdiri, lalu berpindah duduk di dekat kapolsek yang baru."Maaf, Pak, kalau mau bicara, bicara saja, saya tidak terima bisik-bisik," kata Kapolsek ini."Bukan mau bisik-bisik, Pak, cuma mau minta tolong, urusan ini biar kami yang selesaikan secara kekeluargaan, ini masalah rumit, menyangkut banyak pihak," kata Bang Parlin."Baik, baik, saya justru senang, urusan begini memang sebaiknya diselesaikan dengan kekeluargaan saja," kata Kapolsek tersebut.Mudah sekali berurusan Kapolsek yang baru ini, dia langsung setuju saja. Akhirnya beberapa berkas kami tanda tangani, dan keluar dari Polsek tersebut.Umar mengantar kami sampai ke mobil."Kapolsek yang ini baik ya?" tanyaku pada Umar."Dia hanya gak mau berurusan dengan Ibu, karena dia sudah
"Bagaimana, Fikar?" tanya Bang Parlin di suatu hari. Saat itu Fikar pamit hendak pergi kembali bekerja. "Beginilah, Bang," jawab Fikar. "Bagaimana perasaanmu?" tanya Bang Parlin. "Entahlah, Bang, menurut Abang aku ini bagaimana?" Fikar justru balik bertanya. "Kamu gagal, suami gagal, orang tua gagal," kata Bang Parlin. "Tapi, Bang, istriku yang selingkuh, kok aku yang gagal?" "Kamu gak bisa didik istrimu," "Oh, gitu ya, Bang," "Ya, jelas, kau tinggal sebulan, pulang-pulang hanya kasih uang, kau pikir itu cukup, selain kasih uang, istri itu juga butuh kasih sayang, kasih senang, kasih goyang," kata Bang Parlin. "Iya, Bang, ini pelajaran berharga bagiku, " kata Fikar. "Iya, jangan ditinggal istri lama-lama," kata Bang Parlin lagi. "Iya, Bang," "Fikar pun pergi kerja, katanya dia juga sudah malu tinggal di desa, dia akan tinggal di kota kabupaten saja. Coba cari jodoh lagi di kota. Setelah Fikar pergi, aku mencubit paha Bang Parlin. Saat itu pagi menjelang siang. Ucok dan Bu
"Bu Kades, tolong jangan beritahu orang-orang ya, malu aku punya anak begnyi, suka sama ustadz malah pura-pura kesurupan," kata ibu gadis itu."Iya, Bu Kades, tolong ya, jangan ada yang tahu selain kita bertiga, aku malu, Bu," kata gadis itu.Gadis itu juga bercerita, sudah tiga orang ustadz dari pesantren kami datang mengobatinya, akan tetapi tak ada ustadz Rizal, sementara dia hanya mau sembuh jika diobati ustadz Rizal."Baiklah," kataku kemudian."Janji, ya, Bu,""Janji," Pintu pun dibuka, orang kembali ramai, gadis itu sudah baikan. Tak lagi kesurupan. Aku mendekat ke Bang Parlin, suamiku ini menatapku aneh."Apa, Bang, kok ngeri kali nengoknya?" tanyaku."Benaran obatnya itu, Dek?" tanya Bang Parlin.Aku hanya jawab dengan tawa. "Kok malah tertawa?""Udah, ayo kita pulang," kataku seraya meraih Cantik dari gendongan Bang Parlin."Tak disangka kamu berbakat juga jadi dukun," kata Bang Parlin saat kami dalam perjalanan pulang."Hahahaha,""Aku jadi dapat ide ini, Dek, bagaimana k
Bang Parlin menatapku lagi, pandangannya akhir-akhir ini penuh selidik saja kelihatan. "Dek, kamu jangan bercanda ya, ini bukan waktunya bercanda," kata Bang Parlin."Nggak, Bang, aku serius," "Hmmm, bagaimana pula caramu mengatasi ini, ini masalah serius lo, Dek, taruhannya pesantren kita dipindahkan, mau pindah ke mana coba, biaya pemindahannya tidak sedikit," kata Bang Parlin lagi."Udah, Bang, tenang saja, pokoknya aku yang bereskan," kataku kemudian sambil berdiri."Ngapain lagi, dek,""Aku mau menikmati jadi pahlawan dulu," kataku seraya mengambil nafas panjang."Hahahaha, Mamak ini, pun, belum beraksi sudah jadi pahlawan," kata Butet.Aku lalu mengajak Bang Parlin ke rumah Roy ini. Ucok dan Butet justru minta ikut, jadilah kami semua pergi."Bang, lebih penting mana memegang janji atau pesantren tercoreng nama baiknya?" tanyaku ke Bang Parlin saat kami dalam perjalanan."Gak ada yang pilihan di situ, Dek, ada pilihan lain, tetap teguh memegang janji dan pesantren terselamatka
Akhirnya disepakati, ritual pengusiran makhluk halus akan dilakukan di pesantren. Semua sudah disiapkan, rencana pura-pura yang membuat aku geli juga. Akan tetapi Ucok protes."Ayah, aku gak setuju kita ikut-ikutan berpura-pura," kata Ucok, padahal persiapan sudah hampir selesai. Dari tadinya Ucok memang tidak banyak bicara."Tapi ini jalan terbaik, Cok," jawab Bang Parlin."Kita harus berpikir ke depan, Yah, selamanya orang akan menganggap pesantren kita ada penunggunya, kita ikut berbohong, Hanya karena seorang gadis yang cari perhatian ke ustadz," kata Ucok."Jadi bagaimana, Cok?" tanyaku.Di keluarga kami memang sudah terbiasa diskusi, sudah sering pendapat anak-anak yang kamu ikuti. "Kita suruh saja gadisnya itu ngaku," kata Ucok."Malu dia, Cok,""Lebih malu lagi kita, Mak, kita harus ikut pura-pura, si Butet pun ikut-ikutan pura-pura pakai sesajen ayam bakar, ini tidak benar, bertentangan dengan nilai-nilai agama itu sendiri, jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga,"
"Maaf, Nak Resti, tidak boleh begitu, masih jauh lima tahun lagi, siapa tahu besok lusa ketemu yang lebih baik dari ustadz itu, lagi pula Ustaz Rizal bilangnya, Mungkin, kata Mungkin ini bisa berarti tidak jadi, lagian jodoh di tangan Tuhan, kalau sudah jodoh, Asam di gunung, garam di laut bertemu juga dalam kuali," kata Bang Parlin."Benar sekali, Resti, seperti kami contohnya, aku garam asin yang ada di pantai, Om Parlin asam yang ada di bukit merah, bertemu juga di KUA, bukan kuali ya," sambungku."Hahahaha," Roy malah tertawa ngakak.Mereka pun permisi pulang, setelah mereka pulang, aku langsung ke dapur, Ucok dan Butet sedang makan dengan lahapnya."Enak kali ayam bakar mereka, Mak," kata Butet."Iyalah, enak-enak kau bilang tapi udah habis," kataku."Butet makan dua potong, Mak," lapor Ucok."Udah, udah, kalian makanlah, besok Mamak pesan ayam mereka," kataku kemudian.Aku kembali ruang tamu, Bang Parlin masih duduk di sofa."Gak jadi pergi ke kebun, Bang?" tanyaku."Adek bilang
Salsabila, gadis itu memang sudah memberi warna pada keluarga kami. Entah kenapa masalah hidupnya selalu datang ke kami. Mulai dari dia korban penculikan, Ibunya yang bunuh diri, Ibu tirinya yang melarikan uang ayahnya. Kimi dia dia digosipkan terlibat prostitusi online artis. Setahuku artis memang banyak yang nyambi seperti itu. Akan tetapi Salsabila masih enam belas tahun?Ucok-anakku pun seperti merasa bersalah, padahal Salsabila punya dua saudara, juga masih punya ayah. Ucok yang jadi mereka bersalah. "Cok, berhentilah merasa bersalah, Cok," mataku pada Ucok, saat itu dia duduk termenung di teras."Iya, Mak, lihat ini berita online, bukan cuma inisialnya lagi, tapi sudah namanya," kata Ucok seraya menunjukkan berita online di HP-nya."Udah, Cok, gak usah cari tahu tentang Salsabila lagi, dia yang memang ingin jadi artis, artis ya, resikonya begitu," kataku lagi."Setelah tamat SMA aku kuliah di Jakarta ya, Mak?" Katar Ucok."Mau ngapain di Jakarta, mau urus Salsabila ya, mamak ga
PoV ButetUntuk pertama kali aku kagum melihat lelaki, selama ini ayahku lah pria terhebat yang kutahu, akan tetapi melihat Ustaz Rizal, aku sungguh terpesona. Dia sangat sopan, memandangku saja dia tak berani. Saat ada pembicaraan di pesantren, berkali-kali aku mencuri pandang pada Ustadz tersebut, akan tetapi dia menundukkan pandangannya jika mata kami beradu.Siang itu sepulang sekolah aku sengaja mampir ke pesantren. Bang Ucok lama pulang karena ada extra kulikuler, aku pulang sendiri hari itu. Akan tetapi di pintu gerbang aku ditahan Ustadz Rizal. "Assalamu'alaikum, Ning,""Waalaikum salam, jangan panggil Ning lah,""Oh, maaf, Ibu memasuki wilayah wajib jilbab," katanya. Aku baru sadar tak memakai jilbab. Akan tetapi timbul niatku ingin menguji Ustadz ini."Aku Putri pemilik pesantren ini, ya," kataku."Benar, Bu, saya tahu," "Kok manggil Bu sih, emang aku setua itu?""Maaf, biarpun Anda Putri pemilik pesantren , peraturan tetap peraturan," katanya kemudian.Wah, tegas sekali.
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga