PoV NiaInikah yang namanya bulan madu kedua? Entahlah, padahal Cantik Jelita belum tiga bulan, akan tetapi perasaan seperti baru menikah saja. Baru tadi malam aku naik haji Parlin, sudah pengen lagi. Suasana rumah juga mendukung, bayiku masih tertidur lelap. Aku masih digendong belakang sama Bang Parlin. Dari kamar mandi Bang Parlin jalan ke depan, aku masih nempel di punggungnya."Ini baru the real naik haji," kataku sambil tertawa. Lalu pintu dikuncinya dari dalam, Bang Parlin lalu membawaku ke kamar mandi lagi. Kami lalu mandi bersama."Mandi bersama itu berpahala lo, Dek," kata Bang Parlin seraya menggosok punggungku."Iya , Bang, tapi jarang-jarang bisa mandi gini ya," jawabku."Ada satu keajaiban dunia, Dek," kata Bang Parlin lagi."Apa itu, Bang," "Seorang wanita ditimpa seratus kilo gram tidak mati, malah asyik," "Apa pula itu, Bang?""Keajaiban dunia," "Iya, di mana itu?""Itu yang suaminya seratus kilo lebih, malam-malam dia dia timpa istrinya." kata Bang Parllin."Aku
Butet memang kritis, dia lihat perubahan pada ayahnya, dan dia mempertanyakan. "Begini, Butet, ini bukan pertama kali ayah begini, saat Bang Ucokmu dan kamu lahir, ayah juga gak kerja. Fokus pada keluarga. Bukan karena malas, tapi mengalihkan fokus saja. Kebetulan kita diberikan Allah rezeki yang lumayan. Sehingga tidak kerja pun tetap ada rezekinya. Kemudian karena kesalahan ayah kita bangkrut, rumah dan mobil terpaksa dijual. Dari situ awal mula ayah rajin lagi, sekarang sudah ada sawit, sapi, pesantren. Ayah mau istirahat lagi, fokus keluarga," Bang Parlin tampak coba menjelaskan."Ayah yang selalu bilang, pengalaman guru paling berharga, ayah sudah pernah bangkrut karena gak kerja, mau ayah ulangi lagi," kata Butet lagi."Kita bangkrut bukan karena tak kerja tapi ayah tergiur dengan pekerjaan lain, tergiur dengan untung banyak," kata Bang Parlin.Diskusi itu berakhir dengan sikap Butet yang masih belum bisa menerima perubahan pada ayahnya. Saat pagi tiba, Bang Parlin sudah sibuk
Kami kembali bergabung dengan pasangan suami isteri tersebut. Aku lalu mempersilakan Bang Parlin yang bicara."Begini, Pak, Bu, karena pemilik sapi itu anak kami, jadi kita tunggu saja dulu dia pulang, semua nanti tergantung Butet," kata Bang Parlin."Baik, Pak, kami tunggu di sini saja," kata ibu tersebut."Maaf, bukan mau ngusir, ya, tapi Butet pulangnya jam dua," kata Bang Parlin lagi."Tidak apa-apa, Pak, kami tunggu saja," kata pria itu.Bang Parlin lalu pergi keluar, lalu datang lagi dengan minuman botol dua. Dia hidangkan ke orang tersebut. Pria itu minum, sekali teguk habis satu botol."Sudah sarapan, Pak?" kataku kemudian."Mmm, belum, Bu," "Bang, beli dulu sarapan di sana," kataku kemudian, yang dijawab Bang Parlin dengan gerakan menghormat lagi."Siap, Bu Kades," "Sebetulnya, saya malu bilangnya, Bu, kami belum makan dari kemarin," kata ibu itu lagi."Wah, kok bisa gitu, kan baru jual sapi?""Penjualan sapi hanya lima puluh juta, Bu, bayar semua hutang tinggal sepuluhan j
Apa yang terjadi dengan suamiku ini, saat pulang dari ladang, dan bayiku sedang tidur, dia langsung menarikku ke kamar, tak lupa mengunci pintu. Seperti baru nikah saja tiap hari minta jatah.. "Nanti Butet pulang sekolah lo, Bang," kataku."Ini masih jam dua belas," kata Bang Parlin. Akhirnya kami berpacu dalam asmara di siang bolong itu. Setelah selesai, lanjut mandi bersama, bayiku pun seperti paham dengan orang tuanya, dia tidak bangun dari tadi. Lanjut salat Zuhur, terus makan siang. Baru Butet dan Ucok pulang dari sekolah.Ada tamu datang, seorang pria naik motor matic besar."Assalamualaikum, Bang Haji," salamnya dari depan."Alaikum salam, eh, Pak Beni, ada apa ya," kata Bang Parlin."Ini, Bang Haji, si Arman itu, dia gak ada di rumahnya, mereka bilang, kerja sama Abang Haji dia," kata pria yang bernama Beni tersebut."Gak usah panggil Bang Haji lah, Pak," jawab Bang Parlin."Lo, kenapa, memang sudah haji', kan?""Iya, Pak, tapi gak udah panggil haji,""Abang ini aneh, orang
Saat kami pulang dari pinggir sungai, kami singgah lagi di rumah yang ditempati Arman. akan tetapi mereka tidak ada di rumah."Kan, apa kubilang, mereka pasti sudah pergi foya-foya ini," kata Ucok."Jangan berprasangka buruk dulu, Cok," kata Bang Parlin."Aku sama sekali gak percaya mereka, Yah, mereka bisa jual punya orang, kemudian pura-pura jadi korban, apa namanya, playing victim," kata Ucok.Kami lalu bertanya para seorang pekerja lain."Bang, itu Arman, orang' baru itu pergi ke mana?" tanyaku kemudian."Oh, katanya mau bayar utang, Bu, mereka pinjam motorku tadi," jawab pria tersebut."Dengar itu, Cok, pergi bayar utang, gak nunggu waktu besok, mereka langsung bayar utang," kata Bang Parlin."Aku tetap tidak yakin, Yah," Ucok sepertinya tetap pada pendiriannya.Kami pun pulang ke rumah. Dalam perjalanan, lagi-lagi Bang Parlin ambil suara. "Menurut kalian, apakah benar Arman dan istrinya pergi bayar utang?" tanya Bang Parlin."Gak percaya, Yah, andaipun mereka pergi bayar utang,
Saat kami sampai di kebun, langsung ke rumah kayu tempat tinggal Arman, rumah itu cukup besar, dulu kami tinggal di situ, rumah kayu bertingkat dua. Di depan rumah ada sumur bor. Semenjak Butet punya sapi, rumah' itu kami berikan untuk ditempati pekerja. Karena sapi Butet tepat di belakang rumah tersebut.Akan tetapi rumah itu tampak kosong, pintunya dikunci dari luar. Seorang pria datang."Pak, itu orang baru ke mana ya?" dia yang duluan bertanya."Justru itu yang ingin kami tanyakan," kata Bang Parlin."Tapi kemarin mereka mau pergi bayar hutang katanya, motorku dibawa," kata bapak itu."Motor bapak dibawa?""Iya, Pak, ini aku perlu motor, dia gak datang-datang," jawab Bapak tersebut.Bang Parlindungan lalu buka paksa pintu tersebut, ternyata memang mereka sudah lari, tidak ada lagi barang mereka di rumah tersebut. Bang Parlin tampak geram."Waduh, Pak, motornya itu masih belum lunas kreditnya," kata bapak pekerja kami itu."Sabar, Pak,"Bagaimana, mana mereka?" tanya Pak Beni."Sud
Aku duduk di tangga menunggu Bang Parlin selesai berdzikir, Bapak pemilik motor itu duduk sekitar sepuluhan meter dariku. Kuperhatikan bapak tersebut, beliau tampak sudah berumur. Bapak ini sudah lama kerja dengan kami, sebelum aku ke sini beliau sudah ada. Pekerja Bang Parlindungan rata-rata sukses setelah berhenti. Karena ada tabungan dalam bentuk sapi untuk masing-masing mereka. Sudahlah tempat tinggal gratis, gaji sesuai UMR, ada lagi sampingan beternak sapi atau bertani sayur mayur.Firman contohnya, atau paling sukses adalah Torkis. Kemudian mataku tertuju ker Sumut bor tersebut. "Pak, ini sumur kok di depan ya, gak di belakang?" tanyaku pada bapak itu."Oh, dulu belum ada mesinnya, Bu, jadi pakai pompa, kalau di belakang kan capek angkat air," kata bapak tersebut."Iyalah, Pak, kenapa dekat tangga, bukan di samping atau halaman?" tanyaku lagi."Kurang tahu, Bu, Pak Parlindungan bilang di sini, kata Bang Parlindungan dulu, biar mudah ambil wudhu," jawab Bapak itu.Sumut bor ini
Desa itu masih satu wilayah, akan tetapi beda kecamatan, perjalanan dua jam dari desa kami. Ucok dan Butet di belakang, aku dan bayi di depan."Kayaknya kita butuh mobil baru ini, Bang," kataku pada Bang Parlin, saat kami dalam perjalanan."Mobil kita empat lo, Dek," jawab Bang Parlin."Iya, Bang, gak ada yang beres, lihat itu dua anakmu di belakang," "Iyalah, Dek, Abang cari mobil seken dulu," "Mobil yang kayak dulu ya, Bang, Mitsubishi Strada yang doble kabin," "Itu mobil kesukaan Abang," Arah desa tujuan kami searah dengan tempat rekreasi milik Firman. Sampai di desa itu, Bang Parlin langsung bertanya di mana rumahnya Arman. Ternyata yang ada rumah orang tua istri Arman. Kami pun menuju ke sana. Sampai di sana, kami dipersilahkan masuk oleh seorang ibu tua. Arman dan istrinya terbaring lemah di ruang tamu rumah tersebut. Begitu kami sampai. Arman terlibat berusaha duduk sambil memegang perutnya."Maafkan, kami, Pak," kata Arman dengan suara lemah."Aku sudah memperingatkan, ta
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga