Desa itu masih satu wilayah, akan tetapi beda kecamatan, perjalanan dua jam dari desa kami. Ucok dan Butet di belakang, aku dan bayi di depan."Kayaknya kita butuh mobil baru ini, Bang," kataku pada Bang Parlin, saat kami dalam perjalanan."Mobil kita empat lo, Dek," jawab Bang Parlin."Iya, Bang, gak ada yang beres, lihat itu dua anakmu di belakang," "Iyalah, Dek, Abang cari mobil seken dulu," "Mobil yang kayak dulu ya, Bang, Mitsubishi Strada yang doble kabin," "Itu mobil kesukaan Abang," Arah desa tujuan kami searah dengan tempat rekreasi milik Firman. Sampai di desa itu, Bang Parlin langsung bertanya di mana rumahnya Arman. Ternyata yang ada rumah orang tua istri Arman. Kami pun menuju ke sana. Sampai di sana, kami dipersilahkan masuk oleh seorang ibu tua. Arman dan istrinya terbaring lemah di ruang tamu rumah tersebut. Begitu kami sampai. Arman terlibat berusaha duduk sambil memegang perutnya."Maafkan, kami, Pak," kata Arman dengan suara lemah."Aku sudah memperingatkan, ta
Sampai di rumah, tetangga pada heran, perginya tadi numpang mobil orang, pulangnya sudah naik mobil Hilux. "Bu Kades memang hebat," begitu kata tetangga seraya menunjukkan jempolnya.Sampai di rumah, Bang Parlin harus langsung ke kebun, ada sapi Butet yang harus diurus, pulangnya sudah malam menjelang isya. Langsung makan malam bersama."Ayah, kemarin-kemarin aku kesal ayah gak kerja, sekarang aku kasihan Ayah harus urus sapi lagi," kata Butet."Iya, Tet, jangan kasih daster sama Ayah lagi, ya," kata Bang Parlin."Nggak, Yah, kalau tidak ada juga yang urus, sapinya kita jual saja, Yah?" kata Butet lagi."Sayang, Tet, Bentar lagi juga ada," kata Bang Parlin.Aku berinisiatif buat iklan di media sosial, isinya adalah ;"Dibutuhkan segera pengurus sapi, sistim bagi hasil. Disediakan tempat tinggal dan pekerjaan lain, diutamakan yang sudah berumah tangga," Tak sampai sepuluh menit sudah ada yang menghubungi. Akan tetapi setelah banyak yang kubalas, tidak ada juga yang cocok. Besok pagi
Bang Parlindungan malah tampak bingung, begitu memang suamiku ini dari dulu, dalam bidang teknologi dia akan mudah bingung."Coba Abang pikirkan, kenapa ada nama Bang Pain Sayang? Rara kan sudah meninggal?" kataku lagi."Aduh, Dek, tanya dia lah, dia yang bikin itu," kata Bang Parlin seraya menunjuk Sandy."Bukan, Om, bukan saya," jawab Sandy."Jadi siapa lagi, di Hp-mu kok," kata Bang Parlin."Begini, Om, ada orang yang menamai Om di HP-nya, bukan saya," kata Sandy.Ucok dan Butet datang, begitu datang, Butet langsung ambil makanan, anakku ini sepertinya gagal diet, tempo hari dia sudah diet dengan cara tak makan siang. "Ada apa, kok tengang sekali?" tanya Butet kemudian."Ini, Tet, Om tadi minta nomornya dimasukkan ke get contacts , jadi ada munculnya ini, Bang Pain sayang Dan ayang Parlin," Sandy malah menjelaskan."Gitu saja diributin?" kata Butet."Iyalah, Tet, kenapa ada Ayang Parlin, kenapa ada Bang Pain Sayang?" kataku kemudian."Gini Mak, ini kemungkinannya ya, Ada yang tuli
Penasaran juga apa itu yang sepuluh persen. Aku coba bertanya ke Mbah Google, semua pertanyaan biasanya dia punya jawaban. Aku ketik sepuluh persen dari lelaki, yang muncul malah rumus matematika. Apa itu sepuluh persen? aku makin penasaran.Butet dan Ucok lagi belajar di kamar masing-masing, mungkin mereka tahu, aku segera memanggil Butet."Iya, Mak," Butet muncul dengan rambut kusut."Itu rambut disisir dulu napa?" kataku."Mamak manggilnya tiba-tiba, mana sempat sisir rambut," jawab Butet."Itu lengan bajumu kok dilipat gitu, hampir nampak tu ketiak?" kataku lagi."Aduh, Mak, mamak manggil aku untuk apa?" Butet malah bertanya.Kemudian aku berpikir, Butet tidak mungkin tahu, otaknya buntu jika masalah laki-laki dan perempuan. Dia taunya jika ditanyakan masalah hukum. Aku justru jadi greget dengan penampilan Butet yang acak-acakan, Butet duduk di sofa."Macam jantan aja kau, Tet, caramu duduk itu gak benar, gini, Tet, kaki itu dirapatkan, bukan ngangkang gitu," kataku lagi."Macam g
Imron berlalu dengan gaya melambainya. Dulu, aku suka padanya, dia pandai masak, Pandai merias, tingkahnya juga selalu bikin lucu. Pernah suatu hari buah rambutan yang di samping kantor desa lagi berbuah, ada beberapa yang masak. Aku suruh dia untuk memanjat."Aduh, Bu Kades, aku gak bisa, lagi datang bulan," katanya seraya memegang selangkangannya. Saat itu aku tertawa ngakak. Selain pandai masak dan merias, dia juga pandai menyanyi. Dulu aku suka, sekarang setelah kutahu dia menaruh hati pada Bang Parlin, aku jadi benci sekali."Kenapa kamu hari ini, Dek, pe em es kah?" tanya Bang Parlin."Abang ini suami macam apa, masa gak hapal jadwal bulan istri," kataku."Waduh, aku salah ngomong lagi," kata Bang Parlin seraya memegang mulutnya.Imron datang lagi mengantarkan pesananku, mie instan goreng dan es jeruk dia letakkan di atas meja. "Berapa semua?" tanya Bang Parlin."Kopi lima ribu, es jeruk lima ribu, Indomie goreng sepuluh ribu, jadi dua puluh ribu, untuk Abang Parlin, diskon se
Bantuan pupuk ini sangat menyita tenaga, yang menentukan dapat tidaknya seseorang itu adalah kepala desa. Karena bukan bantuan dari dinas sosial, melainkan bantuan dari dinas pertanian. Seharusnya yang mengurus bantuan ini adalah kelompok tani. Akan tetapi di desa kami tidak ada kelompok tani, akhirnya kepala dusun yang mendata, kepala desa yang menentukan. Ini sangat sulit bagiku, karena hampir semua penduduk desa adalah petani. Sementara pupuk yang dijatah untuk desa terbatas. Hanya dua ton. Jika masing-masing petani dapat 100 kilo gram, berarti hanya dua puluh petani yang dapat. Harga pupuk non subsidi memang makin mahal, satu sak isi lima puluh kilo gram harganya tujuh ratusan ribu.Malam itu, kami semua lagi di rumah, Bu Juleha datang. Aku sudah bisa menduga maksud kedatangannya."Bu Kades, masukkan namaku ya, kemarin aku sudah gak dapat," kata Bu Juleha."Pupuk gak bisa dimakan, lo, Bu," Bang Parlindungan yang jawab."Idih, Bang Parlin, ya, tentu saja gak bisa dimakan," jawab B
Subuh itu, Bang Parlin pergi ke kebun seperti biasa. Pagi-pagi sapi sudah harus makan. Kandangnya harus dibersihkan. Jadilah aku dan Butet yang masak sarapan."Mak, kurasa ayah pencipta lagu ya?" tanya Butet saat kami di dapur pagi itu."Kenapa kamu bilang begitu, Tet?" tanyaku penasaran."Ayah kok bisa nyanyi pas dengan situasi saat nyanyi itu, pencipta lagu saja butuh waktu lama menyusun syair, ayah detik itu juga, pas pula itu," kata Butet."Pas yang mana, Tet, ooo, kamu nguping ya?" kataku kemudian."Nggak, aku mau ke kamar mandi, kudengar ayah nyanyi," "Butet, nguping itu tidak baik, Tet apalagi nguping pembicaraan orang tua, gak boleh, Tet," "Jadi jika mamak sama ayah bicara', aku harus tutup kuping gitu?" tanya Butet."Bukan gitu, Tet, misalnya ayah dan mamak di kamar, gak usah dengarkan apa yang kami bicarakan," aku coba memberikan pengertian."Terbalik itu, Mak,' "Kok terbalik pula?""Seharusnya gini, jika bicara di kamar, suaranya pelan saja jangan sampai kedengaran anak-
Saat kami tiba di aula desa, orang sudah mulai ramai. Semua yang hadir adalah yang didata oleh kepala dusun. Jumlahnya mencapai enam puluh kepala keluarga. Sementara pupuk bantuan hanya empat ratus sak. Dibagikan satu sak pun kurang. "Begini Bapak-bapak ibu-ibu sekalian, desa kita dapat bantuan pupuk dari dinas pertanian. Saya sebagai kepala desa yang ditugaskan menyeleksi penerima. Pupuk itu hanya dua ton, empat puluh sak ukuran lima puluh kilo gram, jadi idealnya dapat seratus kilo satu keluarga, tapi kurang pupuknya, untuk itu terpaksa diseleksi, selanjutnya Penasehat Desa yang bicara," kataku seraya menunjuk Bang Parlin."Terima kasih, Bu Kades yang baik hati, ramah dan rajin menabung,' canda Bang Parlin. Para hadirin tertawa."Kadang ingin kuambil saja semua pupuk ini," Bang Parlin masih lanjut bercanda. "Aku juga punya kebun, ini semua pupuk cukup untuk pupuk dua tahun bagi kami, akan tetapi apakah aku pantas menerima pupuk bantuan? Tentu tidak, sawit sudah panen, dari hasil
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga