Ada temanmu yang bisa balikkan akun yang kena bajak, Butet?" tanya Bu Juleha."Ada sih, Bu, tapi kurasa bayar itu," kataku kemudian, otak jahatku tiba-tiba muncul. Memang sangat sulit berbuat baik pada orang yang sudah berbuat jahat pada kita."Bayar pun aku mau, Butet, aku sangat khawatir isi akunku itu, nanti ada yang inbok bagaimana?" kata Bu Juleha."Kok takut sekali, Bu?" tanya mamak."Banyak kali berteman dengan orang prindavan, Bu Kades,""Apa itu Prindavan?""Itu lo, orang India,""Ohh,""Itulah, Bu kades, nanti ada yang inbok macam-macam, terus kalau akun kita dibajak, apakah inbok kita yang lama kelihatan," kata Bu Juleha lagi."Kelihatan, Bu, semua," jawabku. Entah kenapa aku senang melihat Bu Juleha jadi ketar-ketir begini."Aduh, tolong dulu, Butet, kenalkan dulu aku sama temanmu itu," katanya lagi."Nanti kubilang, Bu," jawabku kemudian.Bu Juleha pun pergi, mamak mulai mengomel lagi."Butet, satu sifat ayahmu yang sangat mamak salut, yaitu mau berbuat baik pada orang ya
"Buat minum dulu untuk tamunya," perintah mamak saat aku tiba di dapur."Oh, iya, Mak," jawabku seraya ambil minum air putih dua gelas.Saat kuantar ke depan, dua orang itu ternyata masih berdebat."Tumben bawa motor, gak kesasar lagi ya?" kata Bang Umar."Tentu tidak lagi, pengalaman guru paling berharga," jawab Bang Sandy."Minum dulu Abang-abang, " kataku seraya menghidangkan air putih dua gelas."Heh, Butet, aku mau ajak kau ini," kata Bang Sandy."Ke mana?" "Jalan-jalan ke tempat Om Firman," kata Bang Sandy lagi."Gak takut kesasar lagi?" kata Bang Umar."Jelas nggak dong, kan ada ini," kata Bang Sandy seraya menunjukkan hp-nya."Jangan mau, Tet, motornya belum ada plat nomor polisinya," kata Bang Umar."Gak apa-apa, namanya baru," Bang Sandy yang jawab."Kamu punya SIM?' tanya Bang Umar lagi."Lagi diurus,""Gak boleh bawa motor,""Kamu polisi lalu lintas sekarang?""Bukan, tapi aku punya teman polisi lalu lintas, begitu kamu jalan, stop, tilang," kata Bang Umar."Kok serius k
Malam itu desa kami banyak dikunjungi orang, mulai dari polsek, Koramil sampai camat berkumpul di desa. Tujuannya adalah mencari anak umur dua tahun yang hilang tak berbekas.Banyak pendapat, semuanya justru ditampung mamak sebagai kepala desa yang bertanggung jawab di desa tersebut. Menurut Polisi dan tim SAR, anak tersebut terbangun, dia turun dari ayunan dan berjalan menuju sungai kecil. Turun ke sungai dan hanyut ke hilir. Sungai kecil itu bermuara ke sungai yang besar, sungai besar itu lah yang mereka sisir sampai ke muara. Belum ada hasil, tapi mereka mau lanjut malam itu juga.Sementara para pemuda desa diarahkan seorang nenek tua ke hutan lindung. Hutan tersebut konon banyak dihuni di orang bunian. Nenek tua itu bilang anak tersebut diculik orang bunian."Menurutmu siapa yang culik, Butet?" tanya Mamak. Saat itu kami sudah di rumah. Bang Umar pergi entah ke mana sedangkan Bang Sandy pulang dengan motor barunya."Gak tau, Mak," "Kamu percaya dengan perkataan nenek itu, dicul
Orang sudah cari sampai muara, dasarnya sungai diselam tim penyelam. Hutan lindung disisir, ternyata anak itu tidur dalam gerobak. Setelah bangun dikasih es krim sama pria tersebut. Anak itu enteng saja dalam gerobak, mungkin dia merasa seperti jalan-jalan. "Ini anakku, anakku," kata pria itu. Dia seperti orang tidak waras, akan tetapi bagaimana bisa orang tidak waras bawa gerobak yang ditarik pake motor. Gerobaknya juga banyak barang-barang bekas, pria ini sepertinya pemulung.Bang Umar melihatku, mungkin minta kepastian apa benar ini anak yang hilang tersebut. "Itu anak Bu Leni," kataku kemudian.Pria itu diringkus, tangannya diborgol Bang Umar, lalu membawanya ke dalam mobil. "Sandy, gerobaknya bawa ke kantor, itu barang bukti," perintah Bang Umar."Enak saja nyuruh orang, aku bukan bawahanmu," kata Bang Sandy."Jadi siapa yang bawa?""Panggil kawanmu, jika perlu satu pasukan," kata Bang Sandy lagi.Bang Umar pun berusaha memanggil temannya, ternyata tidak ada yang bisa, masing
"Bukan begitu, Mak, cuma aku merasa lebih berguna jadi orang," kataku lagi."Butet, dari dulu kau tetap berguna, kamu tetap kesayangan ayah dan mamak, dari dulu kamu juga sudah sering pecahkan kasus, masih ingat gak, Salsa, ibunya salsa, ibu tirinya Salsa, Wak Haji dan banyak lagi, kamu dari kecil memang sudah berbakat, kebetulan saja saat ayahmu naik haji, tiga kasus datang," kata Mamak lagi."Iya, Mak,""Jangan pernah berpikir begitu ya, Butet, mamak tahu yang kamu pikirkan, kamu bisa tanpa ayah dan Abang Ucok," kata mamak lagi."Gak sampai begitu, sih, Mak, cuma aku merasa lebih bisa berbuat, gitu, Mak,"Tiba hari kedatangan ayah, kami sudah siap menyambutnya di pesantren. Santri pesantren itu baru lima puluh orang, yang mengelola pesantren adalah abang angkatku. Yang dulu disekolahkan ayah di pesantren. Ada juga beberapa guru dari luar. Ternyata Bang Torkis ikut mengantar, Ayah turun dari mobil diikuti Bang Ucok. Mereka pakai peci putih khas haji. Yang pertama didekati ayah adal
PoV NiaAda yang berubah dari Bang Parlin setelah jadi haji, yaitu, dia seperti lebih menghargaiku, tak membiarkanku kerja berat. Seharian dia hanya menemaniku."Bang, itu sapi gak diurus lagi rupanya?" tanyaku di suatu hari, aku heran, semenjak pulang dari tanah suci, Bang Parlin belum pernah ke kebun melihat sapinya, padahal biasanya jika pulang dari luar daerah, yang pertama dia lihatl adalah sapi dan sawitnya. Ini sudah tiga hari setelah jadi haji, dia tak pergi juga."Biarlah itu diurus orang, Dek, fokus Abang sekarang adalah mengurusmu dan Cantik Jelita ," begitu kata Bang Parlin.Saat malam tiba Bang Parlin mengerjakan sesuatu yang selama ini tak pernah dia kerjakan, yaitu ikat kelambu. Selama ini Bang Parlin punya prinsip urusan tidur itu urusan perempuan. Dia tak pernah mau rapihkan tempat tidur, atau ikat kelambu. Kali ini dia kerjakan. Ranjang bayi pun dia buat kelambunya."Dek, gak ingin naik haji kah?" kata Bang Parlin setelah anak bayi kami tidur."Masih ada bayi, Bang,"
Bang Parlin ikut bergabung dengan kami. Suamiku itu lalu di duduk di kursi plastik."Ada apa ini?" tanya Bang Parlin. Dia melihat orang satu persatu. Rumah kami memang jadi ramai, ada Umar dan temannya, ada Sandy dengan laptopnya. "Begini, Yah, kan ada sapi hilang dari desa ini, lima ekor, jadi menurut Abang polisi ini ahli sapi yang bisa melacaknya," kata Butet."Siapa lagi ahli sapi di desa ini, pasti ayah," sambung Ucok."Ayah tahu jika sapi sakit, jika sapi ngamuk, bukan jika sapi hilang?" kata Bang Parlin.Semua terdiam. "Udahlah, kalian lanjutkan lah, kalian yang muda-muda harapan desa," kata Bang Parlin lagi seraya berdiri dan kembali' masuk kamar. Aku mengikuti Bang Parlin masuk kamar."Abang kok gak kayak biasanya?" kataku seraya duduk di pinggir ranjang."Gak kayak biasa macam mana, Dek?""Biasanya jika ada yang butuh bantuan, Abang paling gercep, ini orang kehilangan sapi lima ekor lo, Bang, kasihan sekali," kataku kemudian."Biarlah itu urusan anak muda, Dek," jawab Bang
PoV ButetEntah apa yang terjadi dengan ayahku, semenjak jadi haji justru jadi malas. Dulu ayah orang yang tidak bisa diam, masih subuh sudah mulai aktivitas. Mulai dari ambil rumput, ngurus sapi, ngurus pesantren. Kini setelah jadi haji justru di rumah terus. Sudah tiga hati ayah berkurung di rumah terus. Malam itu aku penasaran, ada apa dengan ayah? Akhirnya aku nguping lagi, duduk di depan pintu kamar orang tuaku. Ini tindakan paling konyol yang sering kulakukan."Dek, gak ingin naik haji, kah?" kudengar Ayah bicara'."Tapi, bayi kita, Bang?" jawab mamak.Aku segera pergi, sudah tahu apa masalahnya, ayah merasa tidak enak hati karena pergi naik haji tanpa mamak. Aku berjanji dalam hati, jika lima sapiku sudah besar, akan jual, uangnya bawah mamak ke Mekkah.Ayah benar-benar jadi pemalas, saat ada kasus yang butuh keahlian ayah, beliau tetap tidak mau ikut terlibat. Katanya biarlah itu urusan anak muda. Akan tetapi aku yakin ayah bisa membantu. Dia sudah beternak sapi puluhan tahun
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga