PoV NiaEntah apa yang terjadi dengan anakku ini, Ucok tiba-tiba saja berani' adu argumen. Biasanya dia hanya iya-iya saja, kali ini dia berani mendebatku. Aku sangat kesal Saat tahu dia sembunyi-sembunyi bertemu Salsa lagi, aku tahu justru dari HP. Saat itu iseng-iseng aku buka Facebook Salsabila, penasaran juga pada gadis itu yang Ucok bilang sudah berubah. Akan tetapi aku tidak melihat perubahan itu. Dia masih saja buat story dengan pakaian minim.Aku terkejut, ada siaran langsung Blbaru yang menandai Salsabila, makin terkejut karena kulihat Ucok ada di situ. Siaran langsung itu sepertinya dibuat salah satu fans Salsabila."Ada Salsabila makan di warung pinggir jalan," begitu kata orang yang buat siaran langsung, terlihat di videonya Salsabila lagi duduk bersama Ucok, duduk mereka rapat sekali. Aku geram, segera kusuruh Butet memanggilnya.Ucok sampai marah' pada adiknya juga, tak biasa Ucok seperti ini. Akhirnya aku mengalah, sepertinya cara keras tidak akan berhasil."Cok, sini,
PoV UcokAku lolos lewat jalur undangan, Jakarta akan jadi tempat tinggalku berikutnya. Akan tetapi aku kurang bersemangat. Aku ikut daftar kuliah di Jakarta hanya karena Salsabila. Gadis cantik yang terjerumus. Salsabila, Gadis Itu sudah banyak mengalami penderitaan batin. Ibunya bunuh diri, ibu tirinya ternyata selingkuh. Banyak lagi cobaan hidupnya.Aku ingin jadi pahlawan baginya, entah kenapa ada rasa bersalah dia sampai terjerumus. Aku pilih kuliah di Jakarta hanya karena ingin menyelamatkan gadis cantik tersebut.Akan tetapi sungguh aku kecewa, teramat kecewa saat dia begitu mudahnya bilang sudah tiga kali gonta-ganti pacar di Jakarta. Dan satu lagi dia memutuskan berhenti jadi artis, ingin meniru Ayahku punya lahan dan ternak sapi. Untuk apa lagi kelulusan ini?Mamak pun tiba-tiba ingin mundur dari jabatannya, entahlah, padahal Mamak kepala desa terbaik, setidaknya begitu kata bupati. Dan aku melihat Mamak mencintai pekerjaannya. Kenapa tiba-tiba mengundurkan diri, padahal sak
PoV UcokDi lingkungan desa kami, aku adalah pemuda idaman. Banyak ibu-ibu yang bilang aku adalah calon menantu idaman. Akan tetapi Butet, adikku sendiri ternyata menganggapku hanya orang yang punya mata satu di tengah-tengah orang buta. Aku paham maksudnya Butet, karena ini desa, Pemuda di sini pun hanya puluhan orang. Tentu saja aku yang paling idaman, aku putra kepala desa. Orang terkaya di desa ini."Mak, jangan karena aku mamak mundur dari jabatan," kataku pada mamak. Saat itu aku bawa mamak jalan-jalan sore. Mamak sudah mulai bisar berjalan pelan-pelan. Ustadz Rizal bilang musti sering dilatih. Yang tidak boleh mamak lakukan adalah menunduk, berpaling dengan cara memutarkan badan. Mamak hanya diam, beliau justru terus berjalan sambil memegangiku. "Mak, aku sudah ikut menandatangani petisi, menolak mamak mundur," kataku lagi.Sebagai kelua remaja masjid, kami memang ikut demontrasi ke kota, aku akhirnya ikut tanda tangan. "Itulah kau, Cok, memang sukanya membantah," kata mamak
Urusan bicara Butet memang selalu bisa diandalkan, karena itu aku langsung mengangkat dia jadi juru bicara ketika mamak memberikan amanah ini padaku. Sekali ngomong dia langsung bisa membuat orang kena mental. Harus aku akui, Butet memang jago.Sidang pun lanjut, Pak Angga pun menuturkan keberatannya tanah warisan mereka dikuasai adiknya. Dia minta setengahnya, yang katanya itu sebagai haknya. "Saya minta pemerintah desa ini membantu saya mendapatkan hak saya sebagai ahli waris," kata Angga."Baiklah, kita dengarkan penuturan Pak Anggi," kataku kemudian. Pak Anggi berdiri, lalu mulai salam dan kata-kata pembukaan."Kami dua orang bersaudara, ayah kami sudah meninggal sejak lama, sekitar dua puluh tahun lalu, Abangku Angga mau merantau ke pulau Jawa, Ibu kami saat itu sudah tua dan sakit-sakitan, dia minta modal merantau ke ibu kami, aku ingat saat itu, Bang Angga bilang, aku jual bagianku, lagi pula aku tidak ada niat kembali' ke sini lagi," begitu kata Bang Angga." "Keberatan, sa
Pada akhirnya Pak Angga kalah argumen, kalah dukungan, tak ada warga yang mendukungnya. Semua mendukung sang adik. "Baiklah, aku terima opsi pertama tadi, kita selesaikan secara kekeluargaan," kata Pak Angga."Jangan mau, Bang!" seorang warga berteriak dari kerumunan orang."Aku terima berapa saja pun diberikan," kata Pak Angga lagi."Jangan, Pak!" lagi-lagi seorang warga yang menjawab. Mungkin warga desa sudah kesal dengan ulah Angga ini. Akhirnya Pak Angga memohon supaya dikasih ongkos pulang ke Jawa saja, adiknya itu menyetujui memberikan sejumlah uang. Sidang pun ditutup, lega rasanya, tugasku sebagai kepala desa berjalan lancar.Aku sudah resmi lulus dari SMA, pengumuman kelulusan sudah lewat. Kini saatnya aku harus melengkapi berkas pendaftaran ulang. Akan tetapi aku mulai ragu. Jabatan kepala desa tak resmi ini mulai kusukai. Ada rasa bangga saat berpapasan dengan warga, mereka akan menunduk seraya menyapa ...."Pak Kades," Padahal ini tidaklah resmi, sesuai hukum yang berla
Rasa cemburu ini makin membara saat Salsabila bersikap manja kepada pria tersebut. Dia bergelayut di lengan pria itu. "Baru ini nemu kepala desa semuda ini, bukankah calon kepala desa minimal dua puluh lima tahun?" kata pria itu lagi."Kalian mau bahas umur kepala desa ya, jauh-jauh ke mari?" kataku lagi."Aku mau investasi, Bang Ucok," jawab Salsabila."Kalau boleh minta tolong, tolong pertemukan kami dengan yang punya tanah itu, ada nomor telepon tertulis di situ tapi gak bisa dihubungi," kata Pria itu kemudian."Itu tanah bermasalah, gak akan dijual," kataku menegaskan. Aku tahu karena tanah yang mereka maksudkan adalah milik Pak Anggi, mungkin Pak Angga dulu memasang pengumuman dijual di situ, jadi belum sempat dicopot."Ya, Udah, kami permisi dulu, Bang Ucok," kata Salsabila seraya menggandeng tangan pria itu keluar.Aku memandangi mereka pergi dari kantor desa, laki-laki itu membuka pintu mobil untuk Salsa. Ada rasa cemburu, marah, ada rasa kasihan, ada juga rasa bersalah. Sals
PoV Nia Ada yang berubah dengan Ucok, dia seperti kehilangan semangat untuk lanjut kuliah, padahal dia sudah diterima di UI. Aku dulu sangat ingin kuliah di sana tapi tidak lolos. Dia lolos jalur undangan, yang konon dari kabupaten kami hanya anakku yang lolos jalur tersebut. Aku bangga. Akan tetapi tinggal daftar ulang dia sudah kurang semangat. Saat kucek di HP, daftar ulang waktunya hampir habis. "Bang, itu Ucok sepertinya malas daftar ulang," kataku pada Bang Parlindungan di suatu malam."Iya, Dek, sekarang dia sudah merasa dewasa, sebaiknya kita biarkan saja bagaimana maunya," kata Bang Parlin."Mana bisa begitu, Bang,""Jadi harus bagaimana lagi, Dek, dipaksakan tidak mungkin, kita hanya berdoa semoga dia memilih yang terbaik untuk hidupnya, seandainya kita berhasil memaksanya pun dia tetap tidak akan semangat," kata Bang Parlin."Karena apa kira-kira ya, Bang?""Perempuan, Dek, dulu Ucok anak yang cerdas dan penurut, setelah dia kenal Salsabila jadi begitu, buah memang tida
PoV UcokAku selalu kagum pada Ayah, ilmunya yang tinggi tapi rendah hati, jika sudah berzikir bisa membuat orang sakit perut. Akan tetapi kekagumanku berkurang ketika tahu ternyata Ayah ikut mendoakan. Bahkan bukan cuma doa dan zikir, Ayah yang ternyata menyuruh Salsabila datang. Jika selama ini ayah membuat pencuri sakit perut, kini aku yang dibuatnya sakit hati, teramat sakit, aku jadi patah hati.Salsabila datang lagi, akan tetapi aku enggan untuk menemui. Mereka bicara dengan ayah dan Mamak. "Kenapa Bang Ucok, Tante, tadi kami tanya dia, dia bilang tanah itu gak dijual, padahal dijual," terdengar Salsabila bicara."Kemarin memang tanah itu lagi sengketa, tapi sudah beres, Kok," kata Mamak kemudian."Oh, begitu, Tante, kami sudah tanya tadi, harganya sudah deal, besok pengukuran tanah," terdengar lagi Salsabila bicara. Gak nyangka dia ternyata serius beli tanah itu.Saat aku daftar kuliah biar dekat dengannya, dia justru datang ke mari, dengan cowok pula. Akan tetapi aku masih
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga