Ucok merajuk, ini sesuatu yang sangat jarang terjadi. Dia masuk kamarnya dan menutupi pintu. Butet dan Salsa hanya berpandangan. "Cok, buka pintu, Cok," aku mengetuk pintu kamar Ucok.Pintu terbuka, wajah Ucok cemberut, dia lalu membenamkan wajahnya di kasur."Cok, ayahmu hanya menjaga kamu supaya tak seperti dirinya, Cok," kataku seraya mengelus rambut anakku tersebut."Aku selaku dituduh caper, Mak," kata Ucok."Iya, Cok, mama ngerti, tapi itu dilakukan ayahmu karena takut kau seperti dirinya, lihat ayahmu, sampai sekarang gak bisa lepas dari masa lalu, dia termakan budi, ayahmu tidak ingin kau seperti itu, berhenti coba ambil hati cewek," kataku lagi."Tapi, kan hanya menolong, Mak, aku pernah dengar cerita ayah, tangannya kena sebetan pisau hanya karena menolong seorang cewek, apa ayah cari perhatian?" kata Ucok lagi."Cok, percaya saja, aturan apapun yang dibuat ayahmu itu untuk kebaikanmu juga," kataku kemudian."Iya, Mak,""Ya, udah, sana minta maaf sama ayahmu," kataku lagi.
Hari itu jadi hari yang ramai di rumah kami, tiga anak mantan bupati, ditambah mantan bupati itu sendiri berkumpul di rumah. Anak mantan bupati yang paling besar bernama Candra, katanya sudah lulus S-2, tapi belum ada kerjaan. Yang nomor dua bernama Putra, yang ini HP tak pernah lepas dari tangannya, sambil bicara pun dia sambil main game online. "Susah cari kerjaan jaman sekarang," jawab Chandra saat aku bertanya dia kerja apa, saat itu kami lagi kumpul sambil cerita-cerita."Ada kerjaan jika kau mau," kata Bang Parlin."Oh, ya, pekerjaan apa, Om?""Itu ada lima pedet, mengurusnya lah," kata Bang Parlin lagi."Aku sarjana lo, Om, S-2 lagi," kata Chandra."Berarti kau kalah sama anak baru tamat SMP," kata Bang Parlin."Kok kalah pula?""Itu si Salsa sudah mulai, dia punya tiga sapi sekarang, sapi Limosin, dalam dua tahun, akan jadi sapi limousin besar, harganya bisa ratusan juta," kata Bang Parlin lagi."Hahaha, ini jaman sudah canggih, Om, aku S-2, Om, urus sapi itu untuk yang gsk s
Perjalanan ke rumah Firman akhirnya sampai juga. Begitu kami sampai sudah disambut Firman di pintu gerbang. Langsung disuguhi minuman nira dan ikan nila panggang. Kami makan dengan lahap.Tempat Firman makin maju saja, lokasi ini dulu dia beli murah. Karena tanahnya yang tidak subur dan berbukit-bukit. Hingga susah untuk ditanami apa pun. Akan tetapi di tangan Firman berubah jadi indah. Sungai kecil itu jadi penambah daya tarik, dia bahkan membuat air terjun buatan di tempat itu."Gak pernah banjir di sini kah?" tanya Bang Parlin."Pernah, tiap tahun," jawab Firman."Wah, kalau banjir bagaimana?""Aku sudah antisipasi, sudah hapal kapan musim hujan, jika musim hujan, ikan akan kami panen semua, baru pergi mengungsi," kata Firman."Wah, gak repot itu,""Tidak juga, Bang, kami anggap liburan, kami sudah punya rumah di kota, tempat mengungsi jika musim hujan."Kami lalu lanjutkan acara mancing. Sebenarnya mancing ini bukan hobby bang Parlin. Menurut Bang Parlin, memancing itu pekerjaan o
Tugirin belum pergi juga, entah kenapa aku sulit mengontrol emosi, jadi benci pria itu. Dia selalu datang jika ada masalahnya. Rata-rata teman Bang Parlin memang seperti itu, datang hanya jika butuh. Syukur juga sekarang Bang Parlin sudah mulai sadar jika dimanfaatkan orang."Kenapa harus walinya Bang Parlin?" tanyaku penasaran."Kan penghulu di desa sekarang anak angkat Bang Parlin," jawab Tugirin."Ya, sama penghulu sana minta wali hakim," kataku lagi.Tugirin bukannya pulang, dia malah bergabung' dengan kami. Padahal kami sudah mau pulang. Gadis yang ikut bersamanya sepertinya menurut saja sama Tugirin. Saat Tugirin pergi mancing, aku menginterogasi hadis tersebut."Ranti, kok mau nikah sama dia?" tanyaku kemudian."Begini, aku lelah hidup sendiri, orang tua tidak punya lagi," kata Ranti."Kenapa harus dia, dari sekian banyak laki-laki di muka bumi ini?" tanyaku lagi."Begini, Bu, suatu malam aku salat dan berdoa pada Tuhan supaya didatangkan jodohku, pagi harinya, Bapak itu yang d
"Masa lalu itu gak usah dikenang- kenang," kata Bang Parlin."Aku selalu mengenang masa lalu, Bang, itu sebagai cambukan untukku supaya bisa menghargai hidup, supaya bisa menghargai orang yang mau hidup denganku, dulu aku sangat susah, tak ada perempuan yang mau, saat kecil aku selalu di-bully, semenjak bekerja dengan Abang hidupku berubah, aku tak bisa lupakan itu semua, saat aku misalnya mau malas kerja, terbayang kesulitan hidup yang lalu, saat istri buat hati kesal, terbayang kalau aku dulu yang tak laku-laku," kata Firman, dia tak tertawa lagi."Iyalah, kau gitu Firman, tapi aku beda, masa lalu bukan membuat semangat hidup, tapi membuat kami sering bertengkar, sembilan puluh sembilan persen pertengkaran kami karena masa lalu," kata Bang Parlin."Lo, kok bisa gitu, Bang, aku sudah lihat masa Abang dulu, gak pernah punya pacar, pacarannya sama sapi, apa yang membuat bertengkar?" kata Firman.Bang Parlin menatapku, dia seperti minyak izin cerita tentang Rara. "Abang gak pernah neko
Akan tetapi aku justru penasaran dengan rahasia Bang Parlin itu, yang menurut Tugirin hanya diketahui sesama toke sawit. Akan tetapi Butet ada benarnya. Tak semuanya harus diketahui, kadang diketahui pun membuat hati sakit.Tugirin pergi juga akhirnya, usahanya sia-sia untuk menyuapku. Untung juga ada Butet. "Tet, mamak mau cerita," kataku pada Butet. Mungkin anak gadisku ini sudah bisa jadi tempat curhat. Seperti Bang Parlin bilang, Butet lebih dewasa' dari usianya."Cerita apa, Mak?" tanya Butet."Ayahmu banyak rahasia, aku tahu bagimu ayahmu itu pahlawan, tapi makin ke sini, mamak makin sering sakit' hati," kataku lagi."Contohnya, Mak?""Aku gak tau apa kamu paham ini, Tet, tapi mamak merasa ayahmu dari dulu tak pernah mencintai mamak," kataku lagi."Mak, mamak, bukan mau bela ayah, Mak, tapi percaya saja samaku, ayah sayang mamak sayang Butet, sayang Bang Ucok," kata Butet."Cinta, Tet, bukan sayang, tapi cinta, ah, mungkin kami masih terlalu muda untuk paham," kataku lagi."Ak
Lagi-lagi aku merasa bersyukur Butet ada di sini bersamaku, hampir saja aku tergoda dengan tawaran Tugirin. Andaikan Butet tidak melarang, mungkin aku sudah dapatkan info dari orang lain yang tentunya bertambah atau berkurang. Aku mulai paham, mungkin saat Bang Parlin di cafe, datang anak kecil manggil ayah, bisa dibayangkan pandangan orang yang sesama toke, seperti orang selalu bilang. Toke sawit itu banyak yang bertingkah jika di luaran.Bang Parlin memberikan uang pada ibu tersebut. Tak bisa kubayangkan penderitaan ibu ini. Keadaannya lumpuh, hanya bisa berbaring. Cucunya yang baru sembilan tahun yang mengurusnya. Anak sudah meninggal, menantunya depresi."Kenapa biasa ibu anak-anak ini depresi, Bang?" tanyaku pada Bang Parlin."Sebenarnya bukan gila beneran, Dek," Bang Parlin berbisik."Jadi, bagaimana?""Sebenarnya yang bertingkah, ibu ini selalu bilang gila, karena tingkahnya memang gila," kata Bang Parlin."Oh, gitu,""Iya, Dek, beliau bilang menantunya gila untuk menjaga nama
Selamat kami di kafe itu, Mbak Helen tidak berani' lagi mendekat, padahal aku sudah minta maaf. Mungkin dia takut karena sempat kubentak tadi. Aku kah yang terlalu sensitif, atau keadaan memang membuat aku mudah marah.Aku coba runut kembali kejadian hari ini, dua kali aku salah sangka, dua kali aku mintak maaf. Akan tetapi jiwa wanita tak pernah salahku muncul. Ini semua salah Bang Parlin."Bang, coba kemarin-kemarin Abang jujur, kan aku gak curiga," kataku setelah kami selesai makan."Ini tentang apa, Dek?" tanya Bang Parlin."Tentang Abang punya anak angkat perempuan, tentang ada gadis cadel," kataku."Iya, Dek, iya, Abang minta maaf," kata Bang Parlin."Lo, tumben cepat kali minta maaf, Bang?" tanyaku kemudian."Waduh, jadi harus bagaimana, Dek,""Biasanya Abang jago ngeles," "Ya, Ampun," Saat kami sudah hendak pulang, ada mobil parkir di depan kafe tersebut. Aku kenal mobil itu, itu mobil Tugirin. "Eh, Bang Parlin, Tumben bawa poltob ini?" kata Tugirin."Razia, Bang Haji," jaw
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga