Aku jadi bingung, di satu sisi, aku suka memecahkan kasus, tapi perkataan Bang Sandy ada benarnya, Bang Umar hanya memanfaatkan aku. Lagi pula jika Bang Ucok tahu, aku akan diomeli lagi. "Ayolah, Tet, ini kasus di desamu, lo," Bang Umar mengulangi ajakannya."Aku mau jika Bang Sandy ikut?" kataku akhirnya. Ini hampir mustahil, Bang Sandy pasti tidak akan mau."Bang Umar melihat Bang Sandy, aku menunggu bagaimana tanggapan Bang Sandy."Sebenarnya kami butuh ahli IT," kata Bang Umar."Buat apa?" tanya Bang Sandy."Untuk melacak HP itu," "Apakah kepolisian negara republik Indonesia kekurangan sumber daya manusia?" tanya Bang Sandy."Kamu itu selalu sinis begitu, kenapa? Aku kerja bukan di polres atau polda, ini hanya polsek kecil di daerah pedalaman, tidak ada kejahatan cyber di sini, jadi belum dibutuhkan," kata Bang Umar."Tadi katanya butuh, ini sudah gak dibutuhkan," kata Bang Sandy.Aku menyimak dua orang ini bicara, Bang Sandy ada betulnya, Bang Umar juga, akan tetapi Bang Sandy
Kami bertiga berangkat naik mobil, Ibunya Mardani datang mendekatiku yang hendak naik ke mobil."Tet, kamu kenal Mardani, kan, kamu pasti tahu dia bukan orang jahat, tolong bilang pak polisi Mardani jangan dipukuli ya, Tet," kata Ibu tersebut."Iya, Bu," jawabku.Aku memang kenal Mardani, dia baru saja tamat SMA, dia memang pemuda yang baik, tak kusangka dia mau melarikan motor orang begini.Lokasi yang disebut Bang Sandy adalah ibukota kecamatan, kira-kira lima belas kilo meter dari desa kami, heran juga, kenapa sedekat itu pelarian Mardani?Saat kami tiba di lokasi, Bang Sandy menunjuk satu rumah agak besar. "Lokasinya di situ?" kata Bang Sandy.Aku memilih tidak ikut masuk, warung pinggir jalan jadi pilihanku menunggu, dua pria itu lalu masuk rumah. Makin aneh rasanya, Mardani kok pelariannya ke rumah orang?Saat menunggu, aku usir rasa bosan dengan buka HP, scroll beranda lihat-lihat status orang. Tak ada yang menarik, aku lanjut ke aplikasi wa, aku penasaran dengan status wa Ban
Saat kami hendak pergi, orang tua Mardani datang mendekati kami lagi."Bagaimana anak kami, Pak?" tanya ibunya Mardani."Sudah lari, Bu, mungkin pergi merantau, karena kasusnya sudah diadukan ke polsek, dia akan jadi buronan selamanya," kata Bang Umar."Ya, Allah, anakku, jadi artinya dia gak bisa pulang?"kata ibu itu lagi."Kira-kira begitulah, Bu, tapi ada cara lain, ibu dan ibu Juleha melakukan perdamaian, kerugian ibu Juleha ibu ganti, pengaduan dicabut," kata Bang Umar."Oh, gitu ya, Pak, aku akan coba cari pinjaman untuk mengganti kerugian Bu Juleha," kata ibunya Mardani."Tapi, Bu, menurut saya, Mardani itu kan sudah delapan belas tahun, biar saja dia mempertangungjawabkan perbuatannya sendiri," kata Bang Umat lagi."Ibu mana yang tega anaknya dikejar-kejar polisi, Pak," "Iya, juga ya, Bu,"Kami pun permisi, aku diantar Bang Umar sampai ke rumah. Sampai di rumah mamak sudah menunggu."Singgah dulu, Pak Polisi, minum kopi dulu," kata mamak."Oh, terima kasih, Bu," jawab Bang U
Bu Juleha tetap tidak mau terima jika tak dapat. Heran juga ibu yang satu ini, dia sudah kehilangan motor karena masalah ingin tampak miskin, masih ngotot' juga harus dapat."Begini saja, Bu, berapakah orang yang ikut daftar tapi gak dapat?" kata ibu Juleha."Hanya tiga orang," jawab Mamak."Demi keadilan sosial bagi seluruh warga desa, yang dapat itu potong lima puluh ribu per orang, kali enam puluh, jadi tiga juta, itulah untuk kami, yang tidak dapat," kata Bu Juleha."Tidak bisa seperti itu, Bu, tidak ada potongan apapun," kata mamak."Gak adil nih kepala desa, percuma kami pilih ibu dulu," kata Bu Juleha lagi."Apakah ibu tidak malu, banyak yang lebih susah dari ibu, tapi tidak ngotot begini," suara mamak sepertinya sudah mulai berubah. "Orang bodoh itu orang yang tidak bisa menuntut haknya," kata Bu Juleha lagi."Orang zalim itu yang ambil hak orang lain, suaminya kan supir truk, gajinya lumayan, lihat ibu ini, beliau orang tua tunggal, tapi tidak ngotot datang mendaftar, saya y
Di depan rumah sudah ramai orang, dua truk parkir. "Masuk dulu, ibu-ibu, ada apakah ini?" kata mamak. "Gak muat kami semu masuk, Bu Kades, di sini saja," jawab seorang ibu. "Oh, ada apa ya, Bu-ibu?" "Begini, Bu, kami sudah pergi tadi pagi ke kantor pos, dan Alhamdulillaah sudah cair tiga bulan, masing-masing sembilan ratus ribu." kata ibu tersebut. "Alhamdulillah," aku lega, ternyata rombongan penerima PKH, pantas saja mamak dari tadi tenang saja. Aku tadi sempat berpikir, warga ini gagal dapat PKH, sehingga mau untuk rasa ke kepala desa. "Jadi begini, Bu, ibu sudah mendatangi rumah kami satu persatu, menjemput data, sambil bawa anak bayi lagi, kami sangat berterima kasih sekali, jadi sebagai bentuk terima kasih kami, tolong terima ini, Bu Kades, kami sadar, secara materi Bu Kades sudah berlebihan, tapi kami memberikan sebagai bentuk terimakasih kasih kami," kata seorang ibu seraya memberikan amplop cokelat. "Apa ini?" tanya mamak. "Uang, Bu, kami kumpulkan dua puluh ribu per
Benar saja, Bu Juleha langsung buat foto dan video acara kami, narasinya sungguh membuat kesal."PKH hanya untuk kepala desa dan kroni-kroninya, setelah cair mereka pesta pora. Lokasinya desa Sawit Nauli," begitu narasi yang dibuat oleh Bu Juleha.Video itu gak sempat menyebar luas sudah hilang, apakah Bu Juleha sudah hapus. Lalu muncul video itu lagi, isunya sudah positif, narasi yang pun sangat enak untuk dibaca, begini narasinya."Sawit Nauli nama desa itu, dipimpin oleh seorang kepala desa perempuan. Kepala desa itu mendatangi warga yang pantas dapat BLT, jemput bola langsung ke rumah. Setelah cair, warga berinisiatif memberikan uang lelah untuk Bu Kades, banyaknya memang hanya dua puluh ribu, akan tetapi ditotal semua jadi satu juta dua ratus. Kepala desa itu tidak mau menerima, luar biasa, andaikan camat begitu, andaikan bupati seperti Bu Kades ini, atau bahkan andaikan presiden' seperti Bu Kades, negara ini mungkin akan makmur. Uang itu justru diberikan ke warga kembali dalam b
Ada temanmu yang bisa balikkan akun yang kena bajak, Butet?" tanya Bu Juleha."Ada sih, Bu, tapi kurasa bayar itu," kataku kemudian, otak jahatku tiba-tiba muncul. Memang sangat sulit berbuat baik pada orang yang sudah berbuat jahat pada kita."Bayar pun aku mau, Butet, aku sangat khawatir isi akunku itu, nanti ada yang inbok bagaimana?" kata Bu Juleha."Kok takut sekali, Bu?" tanya mamak."Banyak kali berteman dengan orang prindavan, Bu Kades,""Apa itu Prindavan?""Itu lo, orang India,""Ohh,""Itulah, Bu kades, nanti ada yang inbok macam-macam, terus kalau akun kita dibajak, apakah inbok kita yang lama kelihatan," kata Bu Juleha lagi."Kelihatan, Bu, semua," jawabku. Entah kenapa aku senang melihat Bu Juleha jadi ketar-ketir begini."Aduh, tolong dulu, Butet, kenalkan dulu aku sama temanmu itu," katanya lagi."Nanti kubilang, Bu," jawabku kemudian.Bu Juleha pun pergi, mamak mulai mengomel lagi."Butet, satu sifat ayahmu yang sangat mamak salut, yaitu mau berbuat baik pada orang ya
"Buat minum dulu untuk tamunya," perintah mamak saat aku tiba di dapur."Oh, iya, Mak," jawabku seraya ambil minum air putih dua gelas.Saat kuantar ke depan, dua orang itu ternyata masih berdebat."Tumben bawa motor, gak kesasar lagi ya?" kata Bang Umar."Tentu tidak lagi, pengalaman guru paling berharga," jawab Bang Sandy."Minum dulu Abang-abang, " kataku seraya menghidangkan air putih dua gelas."Heh, Butet, aku mau ajak kau ini," kata Bang Sandy."Ke mana?" "Jalan-jalan ke tempat Om Firman," kata Bang Sandy lagi."Gak takut kesasar lagi?" kata Bang Umar."Jelas nggak dong, kan ada ini," kata Bang Sandy seraya menunjukkan hp-nya."Jangan mau, Tet, motornya belum ada plat nomor polisinya," kata Bang Umar."Gak apa-apa, namanya baru," Bang Sandy yang jawab."Kamu punya SIM?' tanya Bang Umar lagi."Lagi diurus,""Gak boleh bawa motor,""Kamu polisi lalu lintas sekarang?""Bukan, tapi aku punya teman polisi lalu lintas, begitu kamu jalan, stop, tilang," kata Bang Umar."Kok serius k
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga