Shareefa mundur beberapa langkah. Ia mencoba mencari tempat persembunyian. Dan, lewat otaknya yang cerdas secepat mungkin menemukan tempat persembunyian terbaik, tak lain adalah di belakang Bianca.Tubuh Efa memang tertutupi oleh tubuh berisi Bianca, namun bahunya yang lebih tinggi tetap terlihat meskipun kepalanya sudah ditundukkan.“Shareefa Al-Attar!” Suara Nisha menggelegar.‘Mampus! Kalau Mama sudah manggil pakai nama lengkap begitu artinya sedang marah,’ simpul benak Efa ketakutan.Nisha tentu saja bisa menemukan dengan mudah sosok anak perempuannya itu. Tapi, yang dipanggil ngga juga benar-benar menampakkan diri.Sikap canggung Nisha terlihat jelas saat tanpa sengaja manik matanya melirik ke arah kiri Bianca, sosok Andreas. Andreas memang sudah sedari tadi menunggu manik mata kecoklatan itu menatapnya. Tanpa membuang kesempatan, ia melambaikan singkat tangannya seraya tersenyum lebar.Tanpa bisa menghindar, Nisha hanya mengangguk pelan, lantas berpaling cepat ke arah Efa.Ting
“Mama ngapain ngaca melulu?” tanya Shareefa pada akhirnya. Sedari tadi ia perhatikan terus ibu kandungnya itu menatap cermin, memperbaiki jilbabnya, lantas men-touch up dandanannya. Nisha terus saja memerhatikan pantulan dirinya di cermin. Ia hanya menoleh sekilas saat menyahut. “Mama mau pergi.”“Pergi?!” seru Efa agak kaget. “Sst! Jangan heboh, entar Bahri denger,” larang Nisha cepat sambil menempelkan telunjuk di bibir. Kalau anak keduanya itu dengar, bisa merengek ingin ikut. Sementara Nisha sudah janji sama Vika dan Elza kalau ngga bawa ‘buntut’ siang ini.Serentak, kedua orang itu menatap ke arah Bahri yang tengah bermain mobil-mobilan di luar bersama beberapa anak pemilik toko yang lain.“Entar dia lihat Mama pergi gimana?” tanya Efa seolah hendak lepas tanggung jawab.“Bilang aja pergi deket sini, cuma bentar.”“Mama ngajarin Efa bohong?” tuding sang anak.Nisha berdecak lalu menoleh dengan tatapan tajam. “Sorry,” ucap Efa acuh tak acuh. “Memangnya Mama mau ke mana, sih? N
Karena tidak diperbolehkan ikut masuk ke ruang UGD, Nisha pun duduk menunggu di luar ruangan itu. Padahal, dia penasaran apa yang terjadi di dalam.Ia melirik setiap orang yang berlalu lalang. Tidak ada yang dikenalnya. Namun, itu bisa mengurangi kejenuhannya dalam menunggu.Tiba-tiba ada gerakan kecil di dalam tasnya. Ternyata ponselnya bergetar hebat. Nisha ngga menunda untuk menerima panggilan itu.“Assalamu'alaikum,” ucapnya.“Nisha, jadi ke sini apa ngga?” Suara Vika terdengar setengah emosi di ujung panggilan.Nisha menggeleng, meskipun sahabatnya itu tidak dapat melihatnya. “Kayaknya aku ngga bisa datang hari ini.”“Yah, kenapa gitu, Nis? Kita sudah janjian jauh-jauh hari, lho,” protes Vika ngga terima.“Tadi aku sudah di jalan. Tapi, mendadak ada halangan. Ini lagi di UGD.”“Kenapa? Kamu kecelakaan, Nis?!” Suara Vika terdengar tercekat dan panik.“Ngga. Bukan aku. Tapi, orang lain. Aku lagi di rumah sakit nemenin orang itu. Ngga enak mau pergi,” jawab Nisha agak memelankan vol
Ana keluar dari restoran pempek miliknya. Semula tujuannya adalah hendak memanggil Bahri, yang masih saja asyik bermain, padahal matahari tengah beranjak tenggelam.Akan tetapi, sesosok pria tidak terlalu jauh dari pintu butik menarik perhatian Ana. Ia pun datang menghampiri.“Permisi,” panggilnya ramah nan sopan. Sesungguhnya sikap pria itu yang celingak-celinguk tidak jelas sangatlah mengganggu, namun Ana masih bersabar.Pria itu menoleh. Tampaklah buket bunga mawar berada dalam pelukan lengan kanannya.“Cari siapa, ya?” tanya Ana tanpa berbasa-basi. Lebih ke ketus. Tante sama keponakan ngga beda jauh perangainya. Malah, Ana lebih ke tomboi.“Nisha. Ada?”Ana memerhatikan pria itu dari atas hingga bawah. Tidak ada yang minus, semuanya berada di atas rata-rata. Baik wajah tampan, gaya berpakaian yang fashionable, juga posturnya yang tegap. “Oh, Kak Nisha.”Andreas mengangguk mantap. Tersirat kelegaan di raut wajahnya, yang sumringah hanya mendengar nama itu disebut. “Ada?”“Kak Nisha
Dari seluruh restoran atau tempat makan yang ada di muka bumi Bogor tercinta ini, haruskah mantan rekan-rekan kerjanya itu memilih restoran ini? Al Attar Restaurant and Cafe adalah milik suami Queen —yang masih berhubungan darah kental dengan Muhammad Firdaus Al-Attar.Dulu —kala masih menjadi Nyonya Firdaus— restoran yang dipenuhi dengan menu dan dekor ala arabian ini adalah tempat yang dihindari oleh Nisha.Setiap kali dia makan di sini, entah hanya dengan anak-anak atau teman-temannya selalu tidak diperbolehkan membayar oleh Queen. Malah, sering kali ditambahin bungkusan untuk Ana dan Emak. Nisha jadi segan kalau keseringan, makanya mulai jarang datang, padahal menu di sini enak-enak buat disantap.“Nisha! Sini!” suara Ade membahana. Setelah tidak jadi rekan kerja Nisha, dia jadi ramah banget. Mungkin karena ada sejumput kerinduan akan ketidakhadiran Nisha di kantor.Fadli dan teman-temannya menoleh cepat. Tidak menyangka akan kehadiran seseorang yang ternyata sangat terasa jika ia
“Pak Akbar, ikut, yuk,” ajak Bu Fauziah dari dalam mobilnya.Akbar mendekat seraya mengendarai motornya. Kaca helmnya terangkat. “Ke mana, Bu?”“Makan-makan,” jawab Bu Hidayati yang ada di kursi samping Bu Fauziah.“Anak bujang juga ngapain di rumah. Ayoklah. Itu Si Feri juga ikut.”Sesuai informasi Bu Fauziah, Akbar melihat ke arah Feri yang sedang bersiap di atas motornya. Guru olahraga yang masih berstatus honor itu memang penurut kalau sudah disuruh atau diajak oleh tetua di sekolah ini. Untuk apa lagi kalau bukan digunakan sebagai seksi dokumentasi.Karena merasa sedikit kasihan juga sama Feri, yang nantinya hanya seorang diri di antara perempuan-perempuan hebat ini, Akbar pun memutuskan ikut. Toh, ia sedang tidak ada jadwal lain hari ini. Bosan juga hanya di rumah seorang diri.Ternyata ibu-ibu yang sebagian besar hampir mendekati umur pensiun ini memilih tempat makan yang digandrungi anak muda, malah kian hits setiap tahunnya. Al-Attar Restaurant Cafe.Saat mereka tiba belum te
“Pak Akbar?!” seru Nisha seraya terperangah kaget. Ini benar-benar suatu kebetulan bertemu dengan Akbar di tempat ini, juga pada moment yang kurang baik ini.Nisha sempat memalingkan wajahnya sesaat. ‘Kenapa dia harus melihat kejadian memalukan ini, sih?’“He?” Akbar menatap balik Nisha, ia pun tersenyum tipis. Lantas, menatap tangannya yang menggenggam lengan Firdaus. ‘Subhanallah, kenapa tanganku terlalu ringan sampai selugas itu menangkap tangan orang ini?’Bola mata Firdaus yang semula membulat menatap Akbar, lalu beralih ke arah Nisha. “Kau mengenalnya?” Tersirat kesinisan dibalut kecemburuan yang muncul dalam kalimat itu.Nisha hendak menjawab setelah terdiam beberapa detik. Dia bingung bagaimana menjelaskan tentang Akbar pada Firdaus. Kalau dibilang guru Efa, tapi kenapa sikapnya seperti ini. Kecurigaan mantan suaminya itu pasti kian menjadi.“Oh, pacarmu?” tebak Firdaus seraya menyeringai. Dihempasnya pergelangan tangannya hingga terbebas dari cengkraman Akbar, yang memang ber
“Shareefa! Cepat! Mama ada acara launching ini!” Teriakan melengking Nisha dari pintu depan itu terdengar hingga kamar Efa yang ada di bagian belakang. Jemari gadis tanggung itu sempat terhenti saat memasukkan jilbab ke kepala. Perlahan, ia menurunkan jilbab hingga wajahnya terlihat.“Hah?! Kok Mama udah siap? Bukannya tadi masih pakai daster doang sambil tiduran natap dinding?” tanya Efa pada dirinya sendiri. Nisha memang sudah bilang dari semalam kalau jam setengah tujuh kurang harus siap berangkat. Tapi, tadi jam enam kurang sepuluh menit, Efa sempat mengintip ke dalam kamar Nisha. Penasaran juga, emangnya Mama lagi apa, pikirnya. Pas dilihat, ternyata lagi tiduran sambil mainin rambut ngeliat langit-langit kamar.‘Oh, berarti Mama ngga buru-buru banget, dong,’ simpul Efa seraya memutuskan tidak akan terlalu cepat mempersiapkan diri. Santai aja. Tapi, sekarang jam enam lewat dua puluh menit, malahan Nisha sudah siap duluan. Mencengangkan buat Efa. Kapan mama-nya itu siap-siapnya