“Ah!”
“LILY!”
Semua mata tertuju kepada Lily yang kini berjongkok memungut pecahan gelas dan piring. Dia baru saja menjatuhkan makanan dan minuman pesanan pelanggan kafe tempatnya bekerja.
“Gila, ya, kamu! Belum seminggu kerja di sini udah bikin rugi banyak. Udah lebih dari lima kali kamu mecahin peralatan makan kafe. Kamu kalau nggak niat kerja, ya, jangan kerja. Bisa bangkrut kafe ini kalau kamu terus bekerja di sini. Heran banget sama Mas Lucas, bisa-bisanya bawa kamu ke sini.” Manajer kafe memarahi Lily di tengah padatnya pengunjung.
“Maaf, Bu,” cicit Lily yang tak berani mendongakkan wajah. Rasa sesal, kesal, dan malu menyelimutinya.
“Maaf kamu itu ngg—”
“Lily, ke ruangan saya setelah membereskan itu.” Lucas, lelaki yang menyerempet sekaligus menolong Lily, menginterupsi omelan sang manajer galak.
Kini di sinilah Lily, duduk di hadapan Lucas. Kepalanya tertunduk. Lily tahu pasti dirinya akan dipecat. Bos mana yang mau menggaji karyawan yang tidak becus bekerja. Entah bagaimana nasib Lily setelah ini.
“Saya sudah bilang kalau ini bukan kafe saya pribadi. Jadi, saya tidak bisa seenaknya mempertahankan kamu yang ‘seperti ini’,” kata Lucas.
“Maafkan saya, Mas.” Lily mengulangi permintaan maafnya. Istilah ‘seperti ini’ yang diucapkan Lucas sudah langsung bisa Lily mengerti. Dirinya memang seceroboh itu.
“Saya ada proyek film baru.”
“Ya?” Lily mendongak untuk mengamati Lucas. Lily benar-benar tidak mengerti dengan ucapan Lucas. Apa hubungannya dengan dirinya yang akan dipecat?
Lucas terlihat mengembuskan napas kesal. “Saya sutradara. Kamu nggak tahu?”
Lily menggeleng. “Maaf, Mas, saya memang kurang mengikuti perfilman Indonesia. Jadi, kurang tahu sutradara-sutradara film.” Buru-buru Lily menambahi manakala melihat raut Lucas makin butek.
“Saya butuh asisten karena banyak tempat yang saya datangi untuk syuting.”
Lily mencoba mencerna maksud ucapan-ucapan Lucas. Sampai akhirnya gadis itu menyimpulkan, “Mas Lucas butuh saya sebagai asisten?”
Lucas berdeham. “Kalau kamu mau aja.”
“Mau, Mas. Saya mau. Yang penting saya tetap bekerja,” sahut Lily cepat. Sepasang netra gadis itu berbinar-binar.
Sekarang di pikiran Lily tidak ada lagi shopping dan hangout sana-sini. Lily hanya ingin bertahan hidup untuk dirinya sendiri. Siapa tahu suatu saat nanti, dari kerja kerasnya sekarang ini Lily bisa membuat sang ayah bangga.
***
“CUT!”
Teriakan Lucas menghentikan adegan yang dimainkan dua aktris di depan kamera. Lily gegas menghampiri Lucas setelah pria itu mengatakan waktu istirahat 30 menit. Lily menyodorkan kopi hitam yang dibuatnya untuk Lucas.
“Kopinya, Mas.”
Lucas menerima tumbler kopi yang Lily serahkan. “Too sweet,” ucap Lucas usai meneguk kopi itu.
Lily mengambil lagi tumbler kopi itu. Tatapannya kepada Lucas penuh tanya. “Jadi, saya buat ulang, Mas?” Lebih baik memastikan daripada terkena semprot Lucas.
Lucas menatap Lily dengan tajam. Tatapan itu seolah pengganti kalimat, “Hal yang sudah pasti seperti itu masih kamu tanyakan?”
“Baik, akan saya buatkan segera, Mas. Yang tidak terlalu manis.” Lily bergegas pergi ke tempat pembuatan kopi.
“Eh, kamu Lily ceweknya Hansel, ‘kan?” Salah seorang aktris yang tadi baru saja berlakon tiba-tiba menghampiri Lily.
Lily mengernyit pada perempuan itu karena merasa tidak kenal. Kendati begitu Lily menjawab, “Bukan.”
“Iya, aku yakin. Aku liat postingan Hansel waktu kalian lamaran. Kok kamu kerja di sini, sih? Kamu dari keluarga Barata dan kalian juga mau nikah, ‘kan? Aku udah dapat undangan juga dari Hansel.”
Lily yang sempat menghentikan gerakannya membuat kopi, kini kembali meneruskan kegiatannya. Tidak ia pedulikan ocehan perempuan yang mengaku mendapat undangan pernikahan dari Hansel itu.
“Salah orang, Mbak.” Hanya itu balasan Lily.
Dari ekor matanya, Lily tahu jika perempuan itu akhirnya pergi. Mungkin karena respons Lily yang cuek sehingga perempuan itu kesal.
“Ma, please, aku lagi sibuk syuting film baru. Nggak ada waktu ikut perjodohan yang Mama bikin. Aku belum mau menikah, Ma. Jadi, tolong jangan jodohin aku lagi.”
Lily tak bermaksud menguping pembicaraan Lucas di telepon. Namun, Lucas yang tiba-tiba datang ke tempat Lily berada. Mungkin niat Lucas mencari tempat aman agar privasinya terjaga.
Lucas melihat ke arah Lily sebelum perempuan itu berbalik. “Jaga rahasia tentang yang kamu dengar.”
Lily tentu saja mengangguk patuh. Dia tentu tidak ingin kehilangan pekerjaan dari Lucas. Apalagi Lucas sudah memberinya uang di awal untuk menyewa indekos.
“Kalau ada yang mem-bully kamu, bilang. Saya tidak mau ada yang membuat masalah di proyek saya ini,” ucap Lucas.
“Nggak ada, Mas,” balas Lily. Lily tidak merasa dirundung selama dua hari menjadi asisten Lucas. Hm … atau mungkin belum.
“Bukankah ada aktris yang ke sini tadi?” tanya Lucas seraya mendekati Lily.
Lily melangkah mundur saat Lucas mendekat dengan mata menyorot tajam. Mendadak Lily diserang rasa takut.
“Kopi saya.” Tangan Lucas terulur karena Lily terus menjauh.
“Oh.” Lily baru sadar kalau ternyata Lucas mendekat untuk meminta kopi. Buru-buru Lily mengulurkan tumbler yang sudah ia ganti isinya.
Lily mengamati Lucas yang mencicipi kopi buatannya. Bukan apa-apa, Lily hanya ingin tahu respons Lucas. Kalau kopi buatannya sudah pas berarti Lily harus mengingat-ingat takarannya.
Kepala Lucas mengangguk dua kali sebelum meminum lagi kopi yang masih panas itu. Di saat bersamaan Lily bersyukur di dalam hati. Dia lega karena ada juga pekerjaannya yang benar dalam dua kali percobaan.
“Jadi, kamu dari keluarga Barata? Barata Corp?”
Pertanyaan Lucas membuat Lily tersentak. Lily memang tidak menceritakan dari keluarga mana ia berasal. Lily hanya bercerita jika dia diusir dari rumah karena telah mengecewakan sang ayah dan tidak ada temannya yang mau membantu.
“Kamu juga mau menikah sebentar lagi?” Belum juga pertanyaan yang pertama dijawab, Lucas kembali melemparkan tanya pada Lily.
Lily akhirnya menjawab dengan sebuah anggukan.
“Kenapa waktu itu kamu minta bantuan sama saya? Bukankah harusnya ke calon suami kamu?”
Lily tersenyum pedih mendengar pertanyaan beruntun itu dari Lucas. “Sumber kesengsaraan saya sekarang ini asalnya dari dia, Mas. Saya membatalkan pernikahan sama cowok itu dan berakhir diusir. Padahal kami sudah kenal dan pacaran selama bertahun-tahun, tapi tetap aja belum benar-benar mengenalnya. Dia selingkuh. Papa saya nggak percaya kalau saya memergoki dia dan kakak tiri saya berhubungan badan. Saya yang anak kandung, tapi papa saya lebih percaya dengan kakak tiri saya itu,” ungkap Lily.
“Kamu tidak ingin membalas mereka?” Lucas tampak serius bertanya setelah diam sejenak.
“Dengan cara apa saya membalas, Mas? Saya saja nggak punya prestasi apa pun dibandingkan kakak tiri saya untuk dibanggakan. Saat ini saya juga nggak punya uang. Saya nggak bisa apa-apa.”
“Menikah dengan saya.”
Mata Lily membola. Perempuan yang tampak mungil di hadapan Lucas itu melayangkan tatapan tidak habis pikir.
“Kita bisa saling memberi untung dengan menikah. Kamu bisa membalas sakit hati pada mantan pacar dan kakak tirimu. Tunjukkan kalau pengkhianatan mereka tidak berarti apa-apa,” papar Lucas.
“Sebentar, Mas.” Lily membuat isyarat dengan tangan untuk menghentikan Lucas. “Maksudnya tadi yang menikah saya dengan Mas Lucas ?”
“Iya.” Balasan Lucas singkat saja.
“Yang benar aja, Mas ….” Lily geregetan pada Lucas.
“Jangan salah paham arti menikah di sini. Saya bilang tadi kita saling memberi untung. Saya tidak ingin terus dijodohkan oleh ibu saya.”
“Jadi, kita menikah … kontrak?”
***
“Kamu mau menikah, tapi bukan dengan Hansel. Otak kamu di mana, Lily?”Bentakan Andrean memenuhi ruang tamu kediaman Barata. Lily bersampingan dengan Lucas di hadapan Andrean. Namun, tidak hanya ada mereka bertiga. Sania dan Melati pun turut duduk di sana.“Jadi, sebenarnya yang berkhianat itu kamu atau Hansel, Ly?” tanya Sania yang lebih terdengar seperti cemoohan.“Apa nggak bikin malu keluarga Barata, ya, Ly? Tiba-tiba kamu mau nikah sama cowok lain. Maaf kalau Kakak ngomong begini.” Melati ikut bersuara.Lily memandang Sania dan Melati dengan kekesalan secara bergantian. Pasalnya, Lily tahu kalau ibu dan kakak tirinya itu sedang mengejeknya secara halus. Lily duga, mereka berdua pasti sengaja berkata demikian untuk menambah amarah Andrean padanya. Wajah asli di balik topeng baik ibu dan anak itu sudah Lily ketahui.Pandangan Lily kembali tertuju pada papanya. “Pa, tapi aku benar-benar ingin menikah dengan Mas Lucas. Mas Lucas orang yang baik, Pa,” ucap Lily meyakinkan sang papa.“
Lily menatap bangunan megah di hadapannya dengan bingung. Rumah mewah di depannya itu jauh lebih bagus dibandingkan rumah papa Lily. Tanahnya juga lebih luas. Dari gerbang ke teras rumah Lily rasa ada 200 meter.“Mas ini rumah siapa? Mas Lucas tadi bilang mau pulang.” Lily menyuarakan kebingungannya. “Ini rumah orang tuaku.” Lucas meraih helm yang masih dipakai oleh Lily.Lily mengerjapkan matanya berkali-kali. Dia masih terpaku. Antara kaget dengan perlakuan manis Lucas atau jawaban pria yang baru menjadi suaminya itu.“Ayo, masuk.” Lucas menarik tangan Lily naik ke teras rumah megah yang diakui sebagai rumah orang tuanya itu.“Mas Lucas kenapa nggak bilang kalau … kalau dari keluarga yang—”“Saya cuma sutradara amatir dan salah satu pemilik saham di kafe kecil,” potong Lucas.Belum juga Lily menanggapi sanggahan Lucas, pintu dengan ukiran indah terbuka. Seorang perempuan paruh baya yang masih sangat cantik keluar dari balik pintu itu.“Bersikap seperti pasangan normal, please,” bis
“It’s your room.”Lily mengangguk. Ia tidak heran jika diberikan kamar sendiri alias terpisah dari Lucas. Lily tidak perlu repot bertanya alasannya. Kendati tidak ada kontrak di atas kertas, pernikahannya dengan Lucas tetap bukanlah pernikahan normal.“Wait!”Kaki Lily yang hendak melangkah menuju kamar yang diperuntukkan Lucas untuknya urung. “Kenapa, Mas?” tanya Lily.Tangan Lucas terulur kepada Lily. Di antara jarinya terselip kartu tipis berlogo sebuah bank. Lily pandangi kartu itu, tetapi tidak tergerak untuk mengambilnya.“Ini … apa, Mas?”“I told you before. Selama kita terikat pernikahan, everythings about you menjadi tanggung jawab saya.” Lucas menjawab sembari memandang Lily. Tangannya mengibaskan kartu itu di hadapan perempuan berstatus istrinya tersebut—tanda agar Lily gegas menerimanya.Akhirnya Lily menerima kartu yang mirip dengan miliknya yang ia kembalikan kepada Andrean. Ah, bukan milik Lily. Kartu itu hanya dipinjamkan Andrean kepadanya. Kartu yang Lily pegang saat i
Lily menggantikan Lucas memeluk Anggika yang menangis di depan ruang operasi. Seperempat jam lalu, saat Lily datang bersama Lucas, operasi sudah berlangsung selama 30 menit. Namun, sampai sekarang lampu tanda berlangsungnya operasi belum juga padam.Sepasang netra Lily tertuju pada Lucas. Lelaki itu bersandar di dinding dengan wajah muram. Lily tahu rasanya berada di posisi Lucas. Bedanya dulu yang di dalam ruang operasi adalah mama Lily.“Mama, udah nangisnya, ya. Kita berdoa aja semoga operasinya lancar dan segera selesai. Lily beliin minum hangat buat Mama, ya.”“Nggak usah, Ly. Mama nggak haus,” jawab Anggika dengan sendu. Ibu Lucas itu menarik diri dari pelukan Lily.Lily menggenggam tangan ibu mertuanya sebagai dukungan. “Mama nanti kalau matanya sembap jadi nggak kelihatan cantik di depan Papa, lho. Nanti pas sadar Papa pangling sama Mama,” kata Lily mencoba menghibur.Anggika tidak tersenyum, tetapi tangannya memberi tepukan lemah pada lengan Lily.Bibir Lily terbuka untuk mel
“Mulai hari ini Lily akan menggantikan saya sampai batas waktu yang belum ditentukan. Semua hal harus berjalan sesuai persetujuan Lily. Jika Lily belum memberi keputusan, maka tidak ada yang boleh mendahului keputusannya. Mohon dimengerti. Terima kasih.”Lily berdiri di sebelah Lucas yang sedang memberi pengumuman kepada seluruh karyawan sekaligus beberapa perwakilan dari mitra ImajinasiKu.“Mohon bantuan dan bimbingannya,” ucap Lily sebelum membungkuk sejenak kepada semua orang.“Apakah pengumuman ini bisa dimengerti dan dilaksanakan?” tanya Lucas mempertegas.“Bisa, Pak!” Serempak semua menjawab.“Oke, kalau begitu saya tinggal.”Lily dan Lucas bertatapan sekilas, lalu mengangguk bersamaan. Lucas lantas meninggalkan ruang meeting kantor ImajinasiKu. Kini tinggal Lily yang menghadapi 10 orang yang menatapnya ragu. Rasa canggung dan bingung tak bisa Lily singkirkan.“Bu, ini tab kerja Ibu. Semua laporan dan hal yang perlu Anda pelajari ada di sini.”Atensi Lily teralih kepada seorang l
“Aku hanya salah lihat. Aku pasti salah lihat.”Lily terus merapalkan kalimat yang sama sepanjang ia melangkah. Seolah-olah itu adalah mantra penolak bala. Untung saja sepanjang lorong Lily tidak bertemu dengan siapa pun. Kalau saja berpapasan dengan orang lain, mungkin ia akan disangka aneh.Sesampainya di ujung lorong, Lily tidak masuk ke dalam kotak lift. Ia justru berbelok menuju tangga darurat. Lily langsung mendudukkan diri pada anak tangga begitu pintu tangga darurat tertutup. Air mata yang ditahannya seketika mengalir deras bak air bah. Satu tangannya menutup mulut agar isaknya tidak terdengar keluar. Sementara tangannya yang lain mencengkeram gagang rantang dengan kuat.“Aku salah lihat. Salah lihat,” lantun Lily lirih. Kedua pipi Lily sudah sepenuhnya basah. Ketika memejamkan mata, apa yang dilihatnya tadi justru semakin jelas.“Mereka nggak mungkin tega mengkhianati aku, ‘kan?” tanya Lily yang tidak mendapatkan jawaban karena dia sendirian. Perempuan 24 tahun itu makin terg
“Ayo, kita ketemu.”Pagi-pagi sekali Lily sudah menelepon Hansel. Semalaman dia tidak tidur. Waktunya habis untuk menangisi kisah cintanya dengan Hansel serta merutuki kebodohannya sendiri.[Kangen, ya, Babe?]Kalau biasanya Lily akan menjawab dengan manja, maka kali ini Lily mengernyit jijik mendengar balasan dari Hansel. Lily yakin sebenarnya Hansel sudah tahu dari Melati perihal kemarin. Namun, lelaki yang menjabat sebagai pacar Lily selama tiga tahun itu pura-pura tidak mengetahui.“Nanti aku share waktu dan tempat pertemuan kita.” Tanpa menunggu jawaban dari Hansel, Lily menutup sambungan telepon.Lily menaruh ponselnya di atas nakas dan kembali merebahkan diri. Otaknya mulai menyusun rencana untuk hari ini. Lily akan menginterogasi Hansel habis-habisan. Siapa tahu nanti bisa digunakan sebagai bukti perselingkuhan lelaki itu dengan Melati.Kepala Lily terarah ke kanan. Matanya langsung menangkap pigura dengan potret sang ibu yang bernama Nina. Nina sudah meninggal sejak Lily bera