Share

6. Niatnya Hidup Berdua

It’s your room.”

Lily mengangguk. Ia tidak heran jika diberikan kamar sendiri alias terpisah dari Lucas. Lily tidak perlu repot bertanya alasannya. Kendati tidak ada kontrak di atas kertas, pernikahannya dengan Lucas tetap bukanlah pernikahan normal.

Wait!”

Kaki Lily yang hendak melangkah menuju kamar yang diperuntukkan Lucas untuknya urung. “Kenapa, Mas?” tanya Lily.

Tangan Lucas terulur kepada Lily. Di antara jarinya terselip kartu tipis berlogo sebuah bank. Lily pandangi kartu itu, tetapi tidak tergerak untuk mengambilnya.

“Ini … apa, Mas?”

I told you before. Selama kita terikat pernikahan, everythings about you menjadi tanggung jawab saya.” Lucas menjawab sembari memandang Lily. Tangannya mengibaskan kartu itu di hadapan perempuan berstatus istrinya tersebut—tanda agar Lily gegas menerimanya.

Akhirnya Lily menerima kartu yang mirip dengan miliknya yang ia kembalikan kepada Andrean. Ah, bukan milik Lily. Kartu itu hanya dipinjamkan Andrean kepadanya. Kartu yang Lily pegang saat ini pun statusnya sama. Lucas hanya meminjami selama Lily menjadi istrinya.

Thank you, Mas.” Lily memberi Lucas senyum singkat.

“Istirahatlah. Besok pagi-pagi kita harus ke lokasi syuting. Kalau kamu lapar di tengah malam ada beberapa makanan instan dan buah,” kata Lucas.

“Aku nggak biasa makan tengah malam, Mas,” balas Lily.

“Saya suka bahasa kamu. I mean, from ‘saya’ to ‘aku’, tapi bisakah di lokasi syuting diubah kembali?”

Lily memberi anggukan. Ia paham maksud Lucas. Tidak ada orang di lokasi syuting yang boleh tahu jika mereka menikah. At least, sampai resepsi seperti keinginan ibu Lucas diadakan. Meski kemarin Anggika mengumumkan Lily sebagai menantunya, Anggika mewanti-wanti agar berita itu tidak bocor. Bahkan ada ancaman halus yang Anggika lontarkan untuk memperingati semua orang yang hadir di acara penggalangan dana kemarin.

“Aku paham dengan kesepakatan kita, Mas.”

Giliran Lucas yang mengangguk. Pria itu pergi menuju pintu yang ada di sebelah kamar Lily tanpa mengatakan apa pun lagi. Lily menyapukan pandangan ke sekeliling apartemen mewah yang berdesain interior minimalis itu dengan bebas. Usai puas meneliti apartemen Lucas, Lily pun masuk ke kamarnya.

“Aku nggak nyangka dengan apa yang terjadi dua hari ini.” 

Lily rebah di ranjang empuk yang tidak bisa dibandingkan dengan kasur kamar indekosnya. Jemari tangan kanannya diangkat hingga mata Lily bisa melihat cincin pernikahan yang Lucas sematkan.

“Mama Anggika baik dan perhatian banget. Papa Edward irit ngomong, tapi perhatian juga.” Lily menggulingkan tubuhnya hingga berbaring menyamping. “Mereka tulus menerima aku sebagai menantu, tapi pernikahan aku dan Mas Lucas hanya pernikahan main-main. Aku berdosa banget sama mereka.”

Lily terus menyesali keputusan impulsif yang dia ambil atas tawaran Lucas tempo hari. Hingga akhirnya Lily tertidur setelah lelah berpikir.

***

Lily membuka tutup beef teriyaki rice bowl yang dipesannya melalui layanan pesan-antar. Dia duduk bersebelahan dengan Lucas di meja sutradara. Di sekeliling mereka lumayan sepi karena para kru dan pemain sedang istirahat makan siang di tempat prasmanan. 

Iya, prasmanan. Lucas selalu menyediakan makan secara prasmanan setidaknya seminggu sekali untuk semua orang yang terlibat dalam proyek filmnya. Itu merupakan hal yang bagus. Namun, Lily pernah mendengar ada yang mengatai Lucas terkait caranya men-treat kru dan pemain. Katanya, PH dan proyek film Lucas tidak ada yang sukses karena terlalu banyak biaya produksi untuk hal tidak penting. Padahal makan itu penting, ‘kan?

“Makan!”

Ucapan Lucas menyadarkan Lily dari pikiran tentang orang-orang munafik yang ada di sekitar Lucas. Lily mulai menyendokkan sesuap nasi yang sudah bercampur beef teriyaki.

“Kenapa Mas Lucas nggak ikut makan masakan katering?” tanya Lily setelah menelan kunyahannya. “Saya lihat menunya enak-enak. Apa memang lagi pengin makan beef teriyaki?”

“Agar tidak mengurangi jatah mereka.”

Mata Lily melebar memandang Lucas. Jawaban yang baru saja keluar dari mulut Lucas bukan jawaban yang diprediksi Lily. Kok bisa Lucas berkata demikian?

“Berkurang satu porsi lagi nggak akan bikin mereka kekurangan makan, lho, Mas.” Lily menyuarakan ketidaksetujuannya dengan pendapat Lucas.

Lucas tak menjawab lagi. Lelaki yang lebih tua dari Lily itu hanya sibuk mengunyah.

“Padahal kalau Mas Lucas begini mereka malah makin nggak suka. Pasti dinyinyirin sombong,” gumam Lily. Lily mengaduk makananya dengan kasar. Lucas yang digosipkan, Lily yang emosi.

Getaran ponsel Lucas yang berada di hadapan keduanya menarik atensi. Nama ‘Mama’ dan foto Anggika tertampil di layar ponsel. Lucas mengernyit melihat itu. Akhirnya, Lily yang meraih ponsel itu dan menerima panggilan. Namun, segera Lucas mengambil alih ponselnya.

“Hai, Ma. Ada apa telepon?” sambut Lucas. Lucas kembali menyuap. Hal itu diikuti oleh Lily.

[Lucas ….]

Getar suara Anggika yang sampai di pendengarannya membuat Lily menghentikan gerakan menyuap. 

“Kenapa, Ma?” tanya Lucas dirayapi panik. Punggung lelaki itu menegap.

Lily yang berada di sebelah Lucas ikut panik. Perempuan itu sedikit mencondongkan badannya ke arah Lucas.

“Ma, ada apa? Mama kenapa nangis?” Lucas bertanya beruntun.

Lily makin menempel kepada sang suami.

“Papa kecelakaan, Luke. Papa ….” Ucapan Anggika putus dan diikuti gugu tangisannya.

Lily refleks mengelus lengan Lucas. Dia juga tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Namun, saat ini Lily harus bisa menenangkan Lucas. Lucas menatap LIly dengan ponsel masih menempel di telinga.

Everythings gonna be okay,” bisik Lily. Lucas mengangguk.

“Ma, tenang, ya. Lucas ke sana. Di rumah sakit mana?”

Terdengar Anggika menyebutkan nama sebuah rumah sakit swasta. Lucas menutup panggilan setelah kembali memberi kalimat penguatan. Lily pun dengan sigap membereskan bungkus makanan yang belum habis mereka makan.

“Mas, mendingan Mas Lucas kasih pengarahan ke semuanya dulu. Aku juga akan beresin barang-barang Mas.”

Tanpa menjawab Lucas gegas menemui para kru dan artis. Sementara Lily memasukkan perlengkapan pribadi Lucas yang ada di meja sutradara ke tas.

“Lily, ayo!” Lucas kembali bertepatan dengan Lily yang menutup ritsleting tas Lucas.

“Iya, Mas.”

Keduanya menuju parkiran dengan sedikit berlari. Lily menghentikan tangan Lucas yang hendak meraih helm-nya. Tanpa pikir panjang atau membuat pertimbangan lebih dulu, Lily memeluk Lucas. Tangannya mengusap-usap punggung Lucas.

“Bukan cuma Mama yang harus tenang. Kamu juga harus tenang dulu.” Lily melembutkan bicaranya selembut mungkin.

Tak lama Lucas membalas pelukan Lily. “I’m scared. Mama sampai nangis kayak tadi. Keadaan Papa pasti—”

“Ssst … Papa Edward pasti baik-baik aja. Gimana pun kondisinya saat ini.” Lily hentikan kalimat penuh ketakutan Lucas. Dia terus mengelus punggung sang suami sampai nanti dirasakannya Lucas sudah relaks.

“Kita harus menjadi penenang dan penguat Mama. Jadi, kita juga harus bisa mengolah rasa takut dan khawatir kita dulu.”

Lily merasakan anggukan kepada Lucas di bahu kecilnya usai ia mengucapkan kalimat itu. Kemudian pria itu mengurai pelukan mereka.

Better?” tanya Lily.

“Ya. Makasih.”

“Bisa nyetir motornya? Kalau nggak kita bisa pesan taksi aja.”

Kepala Lucas memberikan gelengan. “No. Aku bisa. Apalagi aku bawa kamu. Aku nggak akan bikin kamu terluka.”

***

Dera_05

Halo, buat yang baca cerita ini, jangan lupa tambahkan ke perpustakaan~

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status