“It’s your room.”
Lily mengangguk. Ia tidak heran jika diberikan kamar sendiri alias terpisah dari Lucas. Lily tidak perlu repot bertanya alasannya. Kendati tidak ada kontrak di atas kertas, pernikahannya dengan Lucas tetap bukanlah pernikahan normal.
“Wait!”
Kaki Lily yang hendak melangkah menuju kamar yang diperuntukkan Lucas untuknya urung. “Kenapa, Mas?” tanya Lily.
Tangan Lucas terulur kepada Lily. Di antara jarinya terselip kartu tipis berlogo sebuah bank. Lily pandangi kartu itu, tetapi tidak tergerak untuk mengambilnya.
“Ini … apa, Mas?”
“I told you before. Selama kita terikat pernikahan, everythings about you menjadi tanggung jawab saya.” Lucas menjawab sembari memandang Lily. Tangannya mengibaskan kartu itu di hadapan perempuan berstatus istrinya tersebut—tanda agar Lily gegas menerimanya.
Akhirnya Lily menerima kartu yang mirip dengan miliknya yang ia kembalikan kepada Andrean. Ah, bukan milik Lily. Kartu itu hanya dipinjamkan Andrean kepadanya. Kartu yang Lily pegang saat ini pun statusnya sama. Lucas hanya meminjami selama Lily menjadi istrinya.
“Thank you, Mas.” Lily memberi Lucas senyum singkat.
“Istirahatlah. Besok pagi-pagi kita harus ke lokasi syuting. Kalau kamu lapar di tengah malam ada beberapa makanan instan dan buah,” kata Lucas.
“Aku nggak biasa makan tengah malam, Mas,” balas Lily.
“Saya suka bahasa kamu. I mean, from ‘saya’ to ‘aku’, tapi bisakah di lokasi syuting diubah kembali?”
Lily memberi anggukan. Ia paham maksud Lucas. Tidak ada orang di lokasi syuting yang boleh tahu jika mereka menikah. At least, sampai resepsi seperti keinginan ibu Lucas diadakan. Meski kemarin Anggika mengumumkan Lily sebagai menantunya, Anggika mewanti-wanti agar berita itu tidak bocor. Bahkan ada ancaman halus yang Anggika lontarkan untuk memperingati semua orang yang hadir di acara penggalangan dana kemarin.
“Aku paham dengan kesepakatan kita, Mas.”
Giliran Lucas yang mengangguk. Pria itu pergi menuju pintu yang ada di sebelah kamar Lily tanpa mengatakan apa pun lagi. Lily menyapukan pandangan ke sekeliling apartemen mewah yang berdesain interior minimalis itu dengan bebas. Usai puas meneliti apartemen Lucas, Lily pun masuk ke kamarnya.
“Aku nggak nyangka dengan apa yang terjadi dua hari ini.”
Lily rebah di ranjang empuk yang tidak bisa dibandingkan dengan kasur kamar indekosnya. Jemari tangan kanannya diangkat hingga mata Lily bisa melihat cincin pernikahan yang Lucas sematkan.
“Mama Anggika baik dan perhatian banget. Papa Edward irit ngomong, tapi perhatian juga.” Lily menggulingkan tubuhnya hingga berbaring menyamping. “Mereka tulus menerima aku sebagai menantu, tapi pernikahan aku dan Mas Lucas hanya pernikahan main-main. Aku berdosa banget sama mereka.”
Lily terus menyesali keputusan impulsif yang dia ambil atas tawaran Lucas tempo hari. Hingga akhirnya Lily tertidur setelah lelah berpikir.
***
Lily membuka tutup beef teriyaki rice bowl yang dipesannya melalui layanan pesan-antar. Dia duduk bersebelahan dengan Lucas di meja sutradara. Di sekeliling mereka lumayan sepi karena para kru dan pemain sedang istirahat makan siang di tempat prasmanan.
Iya, prasmanan. Lucas selalu menyediakan makan secara prasmanan setidaknya seminggu sekali untuk semua orang yang terlibat dalam proyek filmnya. Itu merupakan hal yang bagus. Namun, Lily pernah mendengar ada yang mengatai Lucas terkait caranya men-treat kru dan pemain. Katanya, PH dan proyek film Lucas tidak ada yang sukses karena terlalu banyak biaya produksi untuk hal tidak penting. Padahal makan itu penting, ‘kan?
“Makan!”
Ucapan Lucas menyadarkan Lily dari pikiran tentang orang-orang munafik yang ada di sekitar Lucas. Lily mulai menyendokkan sesuap nasi yang sudah bercampur beef teriyaki.
“Kenapa Mas Lucas nggak ikut makan masakan katering?” tanya Lily setelah menelan kunyahannya. “Saya lihat menunya enak-enak. Apa memang lagi pengin makan beef teriyaki?”
“Agar tidak mengurangi jatah mereka.”
Mata Lily melebar memandang Lucas. Jawaban yang baru saja keluar dari mulut Lucas bukan jawaban yang diprediksi Lily. Kok bisa Lucas berkata demikian?
“Berkurang satu porsi lagi nggak akan bikin mereka kekurangan makan, lho, Mas.” Lily menyuarakan ketidaksetujuannya dengan pendapat Lucas.
Lucas tak menjawab lagi. Lelaki yang lebih tua dari Lily itu hanya sibuk mengunyah.
“Padahal kalau Mas Lucas begini mereka malah makin nggak suka. Pasti dinyinyirin sombong,” gumam Lily. Lily mengaduk makananya dengan kasar. Lucas yang digosipkan, Lily yang emosi.
Getaran ponsel Lucas yang berada di hadapan keduanya menarik atensi. Nama ‘Mama’ dan foto Anggika tertampil di layar ponsel. Lucas mengernyit melihat itu. Akhirnya, Lily yang meraih ponsel itu dan menerima panggilan. Namun, segera Lucas mengambil alih ponselnya.
“Hai, Ma. Ada apa telepon?” sambut Lucas. Lucas kembali menyuap. Hal itu diikuti oleh Lily.
[Lucas ….]
Getar suara Anggika yang sampai di pendengarannya membuat Lily menghentikan gerakan menyuap.
“Kenapa, Ma?” tanya Lucas dirayapi panik. Punggung lelaki itu menegap.
Lily yang berada di sebelah Lucas ikut panik. Perempuan itu sedikit mencondongkan badannya ke arah Lucas.
“Ma, ada apa? Mama kenapa nangis?” Lucas bertanya beruntun.
Lily makin menempel kepada sang suami.
“Papa kecelakaan, Luke. Papa ….” Ucapan Anggika putus dan diikuti gugu tangisannya.
Lily refleks mengelus lengan Lucas. Dia juga tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Namun, saat ini Lily harus bisa menenangkan Lucas. Lucas menatap LIly dengan ponsel masih menempel di telinga.
“Everythings gonna be okay,” bisik Lily. Lucas mengangguk.
“Ma, tenang, ya. Lucas ke sana. Di rumah sakit mana?”
Terdengar Anggika menyebutkan nama sebuah rumah sakit swasta. Lucas menutup panggilan setelah kembali memberi kalimat penguatan. Lily pun dengan sigap membereskan bungkus makanan yang belum habis mereka makan.
“Mas, mendingan Mas Lucas kasih pengarahan ke semuanya dulu. Aku juga akan beresin barang-barang Mas.”
Tanpa menjawab Lucas gegas menemui para kru dan artis. Sementara Lily memasukkan perlengkapan pribadi Lucas yang ada di meja sutradara ke tas.
“Lily, ayo!” Lucas kembali bertepatan dengan Lily yang menutup ritsleting tas Lucas.
“Iya, Mas.”
Keduanya menuju parkiran dengan sedikit berlari. Lily menghentikan tangan Lucas yang hendak meraih helm-nya. Tanpa pikir panjang atau membuat pertimbangan lebih dulu, Lily memeluk Lucas. Tangannya mengusap-usap punggung Lucas.
“Bukan cuma Mama yang harus tenang. Kamu juga harus tenang dulu.” Lily melembutkan bicaranya selembut mungkin.
Tak lama Lucas membalas pelukan Lily. “I’m scared. Mama sampai nangis kayak tadi. Keadaan Papa pasti—”
“Ssst … Papa Edward pasti baik-baik aja. Gimana pun kondisinya saat ini.” Lily hentikan kalimat penuh ketakutan Lucas. Dia terus mengelus punggung sang suami sampai nanti dirasakannya Lucas sudah relaks.
“Kita harus menjadi penenang dan penguat Mama. Jadi, kita juga harus bisa mengolah rasa takut dan khawatir kita dulu.”
Lily merasakan anggukan kepada Lucas di bahu kecilnya usai ia mengucapkan kalimat itu. Kemudian pria itu mengurai pelukan mereka.
“Better?” tanya Lily.
“Ya. Makasih.”
“Bisa nyetir motornya? Kalau nggak kita bisa pesan taksi aja.”
Kepala Lucas memberikan gelengan. “No. Aku bisa. Apalagi aku bawa kamu. Aku nggak akan bikin kamu terluka.”
***
Halo, buat yang baca cerita ini, jangan lupa tambahkan ke perpustakaan~
Lily menggantikan Lucas memeluk Anggika yang menangis di depan ruang operasi. Seperempat jam lalu, saat Lily datang bersama Lucas, operasi sudah berlangsung selama 30 menit. Namun, sampai sekarang lampu tanda berlangsungnya operasi belum juga padam.Sepasang netra Lily tertuju pada Lucas. Lelaki itu bersandar di dinding dengan wajah muram. Lily tahu rasanya berada di posisi Lucas. Bedanya dulu yang di dalam ruang operasi adalah mama Lily.“Mama, udah nangisnya, ya. Kita berdoa aja semoga operasinya lancar dan segera selesai. Lily beliin minum hangat buat Mama, ya.”“Nggak usah, Ly. Mama nggak haus,” jawab Anggika dengan sendu. Ibu Lucas itu menarik diri dari pelukan Lily.Lily menggenggam tangan ibu mertuanya sebagai dukungan. “Mama nanti kalau matanya sembap jadi nggak kelihatan cantik di depan Papa, lho. Nanti pas sadar Papa pangling sama Mama,” kata Lily mencoba menghibur.Anggika tidak tersenyum, tetapi tangannya memberi tepukan lemah pada lengan Lily.Bibir Lily terbuka untuk mel
“Mulai hari ini Lily akan menggantikan saya sampai batas waktu yang belum ditentukan. Semua hal harus berjalan sesuai persetujuan Lily. Jika Lily belum memberi keputusan, maka tidak ada yang boleh mendahului keputusannya. Mohon dimengerti. Terima kasih.”Lily berdiri di sebelah Lucas yang sedang memberi pengumuman kepada seluruh karyawan sekaligus beberapa perwakilan dari mitra ImajinasiKu.“Mohon bantuan dan bimbingannya,” ucap Lily sebelum membungkuk sejenak kepada semua orang.“Apakah pengumuman ini bisa dimengerti dan dilaksanakan?” tanya Lucas mempertegas.“Bisa, Pak!” Serempak semua menjawab.“Oke, kalau begitu saya tinggal.”Lily dan Lucas bertatapan sekilas, lalu mengangguk bersamaan. Lucas lantas meninggalkan ruang meeting kantor ImajinasiKu. Kini tinggal Lily yang menghadapi 10 orang yang menatapnya ragu. Rasa canggung dan bingung tak bisa Lily singkirkan.“Bu, ini tab kerja Ibu. Semua laporan dan hal yang perlu Anda pelajari ada di sini.”Atensi Lily teralih kepada seorang l
“Aku hanya salah lihat. Aku pasti salah lihat.”Lily terus merapalkan kalimat yang sama sepanjang ia melangkah. Seolah-olah itu adalah mantra penolak bala. Untung saja sepanjang lorong Lily tidak bertemu dengan siapa pun. Kalau saja berpapasan dengan orang lain, mungkin ia akan disangka aneh.Sesampainya di ujung lorong, Lily tidak masuk ke dalam kotak lift. Ia justru berbelok menuju tangga darurat. Lily langsung mendudukkan diri pada anak tangga begitu pintu tangga darurat tertutup. Air mata yang ditahannya seketika mengalir deras bak air bah. Satu tangannya menutup mulut agar isaknya tidak terdengar keluar. Sementara tangannya yang lain mencengkeram gagang rantang dengan kuat.“Aku salah lihat. Salah lihat,” lantun Lily lirih. Kedua pipi Lily sudah sepenuhnya basah. Ketika memejamkan mata, apa yang dilihatnya tadi justru semakin jelas.“Mereka nggak mungkin tega mengkhianati aku, ‘kan?” tanya Lily yang tidak mendapatkan jawaban karena dia sendirian. Perempuan 24 tahun itu makin terg
“Ayo, kita ketemu.”Pagi-pagi sekali Lily sudah menelepon Hansel. Semalaman dia tidak tidur. Waktunya habis untuk menangisi kisah cintanya dengan Hansel serta merutuki kebodohannya sendiri.[Kangen, ya, Babe?]Kalau biasanya Lily akan menjawab dengan manja, maka kali ini Lily mengernyit jijik mendengar balasan dari Hansel. Lily yakin sebenarnya Hansel sudah tahu dari Melati perihal kemarin. Namun, lelaki yang menjabat sebagai pacar Lily selama tiga tahun itu pura-pura tidak mengetahui.“Nanti aku share waktu dan tempat pertemuan kita.” Tanpa menunggu jawaban dari Hansel, Lily menutup sambungan telepon.Lily menaruh ponselnya di atas nakas dan kembali merebahkan diri. Otaknya mulai menyusun rencana untuk hari ini. Lily akan menginterogasi Hansel habis-habisan. Siapa tahu nanti bisa digunakan sebagai bukti perselingkuhan lelaki itu dengan Melati.Kepala Lily terarah ke kanan. Matanya langsung menangkap pigura dengan potret sang ibu yang bernama Nina. Nina sudah meninggal sejak Lily bera
“Ah!”“LILY!”Semua mata tertuju kepada Lily yang kini berjongkok memungut pecahan gelas dan piring. Dia baru saja menjatuhkan makanan dan minuman pesanan pelanggan kafe tempatnya bekerja.“Gila, ya, kamu! Belum seminggu kerja di sini udah bikin rugi banyak. Udah lebih dari lima kali kamu mecahin peralatan makan kafe. Kamu kalau nggak niat kerja, ya, jangan kerja. Bisa bangkrut kafe ini kalau kamu terus bekerja di sini. Heran banget sama Mas Lucas, bisa-bisanya bawa kamu ke sini.” Manajer kafe memarahi Lily di tengah padatnya pengunjung.“Maaf, Bu,” cicit Lily yang tak berani mendongakkan wajah. Rasa sesal, kesal, dan malu menyelimutinya.“Maaf kamu itu ngg—”“Lily, ke ruangan saya setelah membereskan itu.” Lucas, lelaki yang menyerempet sekaligus menolong Lily, menginterupsi omelan sang manajer galak.Kini di sinilah Lily, duduk di hadapan Lucas. Kepalanya tertunduk. Lily tahu pasti dirinya akan dipecat. Bos mana yang mau menggaji karyawan yang tidak becus bekerja. Entah bagaimana na
“Kamu mau menikah, tapi bukan dengan Hansel. Otak kamu di mana, Lily?”Bentakan Andrean memenuhi ruang tamu kediaman Barata. Lily bersampingan dengan Lucas di hadapan Andrean. Namun, tidak hanya ada mereka bertiga. Sania dan Melati pun turut duduk di sana.“Jadi, sebenarnya yang berkhianat itu kamu atau Hansel, Ly?” tanya Sania yang lebih terdengar seperti cemoohan.“Apa nggak bikin malu keluarga Barata, ya, Ly? Tiba-tiba kamu mau nikah sama cowok lain. Maaf kalau Kakak ngomong begini.” Melati ikut bersuara.Lily memandang Sania dan Melati dengan kekesalan secara bergantian. Pasalnya, Lily tahu kalau ibu dan kakak tirinya itu sedang mengejeknya secara halus. Lily duga, mereka berdua pasti sengaja berkata demikian untuk menambah amarah Andrean padanya. Wajah asli di balik topeng baik ibu dan anak itu sudah Lily ketahui.Pandangan Lily kembali tertuju pada papanya. “Pa, tapi aku benar-benar ingin menikah dengan Mas Lucas. Mas Lucas orang yang baik, Pa,” ucap Lily meyakinkan sang papa.“
Lily menatap bangunan megah di hadapannya dengan bingung. Rumah mewah di depannya itu jauh lebih bagus dibandingkan rumah papa Lily. Tanahnya juga lebih luas. Dari gerbang ke teras rumah Lily rasa ada 200 meter.“Mas ini rumah siapa? Mas Lucas tadi bilang mau pulang.” Lily menyuarakan kebingungannya. “Ini rumah orang tuaku.” Lucas meraih helm yang masih dipakai oleh Lily.Lily mengerjapkan matanya berkali-kali. Dia masih terpaku. Antara kaget dengan perlakuan manis Lucas atau jawaban pria yang baru menjadi suaminya itu.“Ayo, masuk.” Lucas menarik tangan Lily naik ke teras rumah megah yang diakui sebagai rumah orang tuanya itu.“Mas Lucas kenapa nggak bilang kalau … kalau dari keluarga yang—”“Saya cuma sutradara amatir dan salah satu pemilik saham di kafe kecil,” potong Lucas.Belum juga Lily menanggapi sanggahan Lucas, pintu dengan ukiran indah terbuka. Seorang perempuan paruh baya yang masih sangat cantik keluar dari balik pintu itu.“Bersikap seperti pasangan normal, please,” bis