Lily menggantikan Lucas memeluk Anggika yang menangis di depan ruang operasi. Seperempat jam lalu, saat Lily datang bersama Lucas, operasi sudah berlangsung selama 30 menit. Namun, sampai sekarang lampu tanda berlangsungnya operasi belum juga padam.
Sepasang netra Lily tertuju pada Lucas. Lelaki itu bersandar di dinding dengan wajah muram. Lily tahu rasanya berada di posisi Lucas. Bedanya dulu yang di dalam ruang operasi adalah mama Lily.
“Mama, udah nangisnya, ya. Kita berdoa aja semoga operasinya lancar dan segera selesai. Lily beliin minum hangat buat Mama, ya.”
“Nggak usah, Ly. Mama nggak haus,” jawab Anggika dengan sendu. Ibu Lucas itu menarik diri dari pelukan Lily.
Lily menggenggam tangan ibu mertuanya sebagai dukungan. “Mama nanti kalau matanya sembap jadi nggak kelihatan cantik di depan Papa, lho. Nanti pas sadar Papa pangling sama Mama,” kata Lily mencoba menghibur.
Anggika tidak tersenyum, tetapi tangannya memberi tepukan lemah pada lengan Lily.
Bibir Lily terbuka untuk melontarkan kalimat baru, tetapi urung saat melihat Lucas mendekat. Mata Lily mengikuti pergerakan sang suami. Lucas berjongkok di depan Anggika. Benak Lily menduga-duga apa yang akan lelaki itu lakukan.
Tangan Lucas terulur ke wajah sang ibu. Dihapusnya sisa air mata yang menghiasi pipi Anggika. “Lily benar, Ma. Udah nangisnya. Nanti Papa nggak kenal sama Mama kalau matanya sembap,” ucapnya kemudian.
Anggika membungkuk untuk memeluk sang putra. “I’ll try. Mama akan kuat demi Papa,” lirih Anggika.
Tangan Lily tergerak untuk memberi penguatan kepada dua orang baru dalam hidupnya. Satu tangannya mengelus lengan Anggika, sedangkan satu lagi mengelus punggung lebar sang suami.
“Aku ke bawah sebentar, ya. Mau beli makan. Mama sama Mas Lucas mau request sesuatu?” tanya Lily saat suasana sedih dan mengharu-biru usai.
“Sa–aku aja, Ly.” Lucas mengajukan diri.
Lily menggeleng. “Aku aja, Mas. Jadi, ada permintaan mau makan atau minum apa?” Lily ulangi pertanyaanya.
“Apa aja. Terserah kamu, Sayang.” Tentu saja ini bukan ucapan Lucas.
“Oke, Ma,” balas Lily.
“Ini.” Tiba-tiba Lucas menyerahkan dompet kulit berwarna cokelat gelap ke arah Lily.
“Ini … maksudnya, Mas?” tanya Lily tidak mengerti.
“Uang buat beli makan,” jawab Lucas lugas.
“Aku ada. Kartu yang Mas Lucas kasih kemarin itu,” tolak Lily.
“Nggak ada cash, ‘kan?”
Lily tersadar. Dia memang tidak memiliki banyak uang tunai. Seingatnya hanya beberapa puluh ribu saja yang ada di dalam dompet. Kartu ATM dari Lucas belum didaftarkan di ponselnya. Sementara dompet digital serta m-banking Lily jelas tak ada isinya. Tangan Lily pun akhirnya menerima dompet Lucas.
Rasa hangat menjalari sepasang pipi Lily. Ini pertama kalinya Lily akan membuka dompet pasangannya. Bertahun-tahun bersama Hansel tidak pernah Lily diberi kesempatan untuk memegang, apalagi melihat isinya. Berbeda sekali dengan Lucas. Padahal Lucas bisa sekadar memberi uang tunai kepada Lily, bukan malah sedompet-dompetnya begini. Namun, Lily … suka caranya.
***
Ini adalah hari ketiga setelah operasi ayah Lucas dinyatakan sukses. Akan tetapi, kondisi Edward tidak bisa sepenuhnya melegakan keluarga. Ayah mertua Lily itu masih berada di ICU karena sampai hari ini belum sadarkan diri.
“Luke, kamu lihat sendiri kondisi papamu. Sampai saat ini Papa belum sadar. Sementara perusahaan butuh pemimpin. Banyak proyek yang sedang dijalankan. Ada satu proyek besar yang harus diawasi papamu sendiri.” Tatapan Anggika tertuju ke arah suaminya yang terlihat dari kaca.
Lily melirik Lucas. Dia melihat bimbang membayangi sorot mata Lucas. Lily tidak bisa menebak apa jawaban suaminya tersebut.
“Cuma kamu satu-satunya harapan Mama yang bisa menggantikan Papa. Kalau kamu masih berat menjadi penerus Papa, anggap Mama sedang minta tolong. Bantuan kamu sifatnya hanya sementara, bukan selamanya.” Kali ini tatapan lemah Anggika ditujukan untuk sang putra.
“Aku diskusi sama Lily dulu, ya, Ma.” Lucas memberi kode agar Lily mengikutinya setelah mendapat persetujuan Anggika.
Lily berjalan di belakang Lucas. Langkah kaki jenjangnya tidak sebanding dengan langkah sang suami. Jadi, Lily sedikit tergesa mengikuti lelaki berwajah bule itu.
“Mau beli minum atau snacks dulu?” tanya Lucas ketika berada di depan pintu elevator.
“Nggak usah, Mas.” Lily langsung menolak. Daripada minum, Lily lebih butuh mengetahui apa yang akan diucapkan Lucas padanya.
Glabela Lily berkerut manakala melihat angka yang dipencet oleh Lucas. Setahunya, angka yang dipilih Lucas adalah lantai teratas rumah sakit ini. Lily tidak mengerti kenapa Lucas membawanya ke sana alih-alih ke kantin atau kafe rumah sakit.
“Naik tangga sedikit, ya,” kata Lucas saat pintu elevator terbuka.
“Oke,” jawab Lily dengan nada ragu.
“Nggak sampai sepanjang tangga rumah Mama, kok. Nggak akan lelah.” Lucas berusaha meyakinkan, tetapi sebenarnya salah sangka.
“Bukan begitu, Mas. Aku penasaran aja apa yang mau kita obrolkan sampai harus ke rooftop dan memangnya kita bisa ke sana? Pasti dikunci karena bukan untuk umum,” jelas Lily.
“Saya butuh suasana yang menenangkan.”
“Tapi apa bisa?” Lily menaiki anak tangga terakhir. Tangannya lantas menunjuk pintu besi yang dikunci rapat. “Tuh, apa aku bila—”
Ucapan Lily terputus karena indra penglihatnya menangkap ada kunci di tangan Lucas. Lily sampai menganga dibuatnya. Heran seheran-herannya saat Lucas membuka pintu besi di hadapan mereka.
“Papa ada sedikit saham di rumah sakit ini.” Lucas menjelaskan sebelum pertanyaan terlontar dari bibir Lily. Dagu mengedik tanda agar Lily keluar lebih dulu.
Terpaan angin cukup kuat menyambut Lily. Pandangannya mengedar memperhatikan rooftop luas tempatnya berpijak. Di belakangnya, Lucas menutup kembali pintu, tetapi tidak rapat.
“Jangan bilang yang ngasih itu Mas Lucas,” tebak Lily kala melihat ada kursi panjang dan meja lengkap dengan payung yang menaungi.
“Hm.”
Total sekali, pikir Lily. Lily dan Lucas pun mendudukkan diri di kursi itu. Tentu mereka duduk bersebelahan. Tidak ada obrolan apa pun untuk beberapa saat. Baik Lily maupun Lucas asyik menikmati semilir angin. Lily sendiri merasa bukan kewajibannya menjadi pihak yang memulai obrolan.
“What’s your opinion?” tanya Lucas setelah bermenit-menit bungkam.
Tidak perlu ditanyakan lagi arah ‘opinion’ yang ditanyakan oleh Lucas. Tentu itu merujuk pada ucapan Anggika tadi. Sebenarnya Lily sudah memiliki pendapat sejak mendengar permintaan Anggika, tetapi tadi ia merasa bukan kapasitasnya untuk berpendapat. Sekali lagi, pernikahannya dengan Lucas bukan pernikahan normal.
“Aku sependapat dengan Mama. Menurutku itu memang tanggung jawab Mas Lucas. Nggak perlu Mama memohon seperti tadi. Siapa lagi yang menjadi tumpuan Mama saat seperti ini kalau bukan Mas Lucas.” Karena diminta, jadi Lily sampaikan saja isi kepalanya.
Lucas mengangguk sekali. Lelaki itu kemudian menarik napas dalam. “Kamu benar. Berarti kamu juga akan punya tugas baru.”
“Tugas baru? Jadi asisten Mas di kantor?” Lily memastikan.
Lucas menggeleng. “Gantikan saya mengurus ImajinasiKu sekaligus proyek film terbaru kita.”
“HAH? NGGAK BISA, DONG!” Lily refleks berteriak.
“You can do it.”
Lily menggeleng heboh. Mana bisa dia me-manage production house milik Lucas sedangkan dirinya tidak memiliki pengalaman dan kemampuan apa pun?
“You said before, sebagai istri akan mengikuti apa kata suami. Apa saya salah dengar waktu itu?”
***
“Mulai hari ini Lily akan menggantikan saya sampai batas waktu yang belum ditentukan. Semua hal harus berjalan sesuai persetujuan Lily. Jika Lily belum memberi keputusan, maka tidak ada yang boleh mendahului keputusannya. Mohon dimengerti. Terima kasih.”Lily berdiri di sebelah Lucas yang sedang memberi pengumuman kepada seluruh karyawan sekaligus beberapa perwakilan dari mitra ImajinasiKu.“Mohon bantuan dan bimbingannya,” ucap Lily sebelum membungkuk sejenak kepada semua orang.“Apakah pengumuman ini bisa dimengerti dan dilaksanakan?” tanya Lucas mempertegas.“Bisa, Pak!” Serempak semua menjawab.“Oke, kalau begitu saya tinggal.”Lily dan Lucas bertatapan sekilas, lalu mengangguk bersamaan. Lucas lantas meninggalkan ruang meeting kantor ImajinasiKu. Kini tinggal Lily yang menghadapi 10 orang yang menatapnya ragu. Rasa canggung dan bingung tak bisa Lily singkirkan.“Bu, ini tab kerja Ibu. Semua laporan dan hal yang perlu Anda pelajari ada di sini.”Atensi Lily teralih kepada seorang l
“Aku hanya salah lihat. Aku pasti salah lihat.”Lily terus merapalkan kalimat yang sama sepanjang ia melangkah. Seolah-olah itu adalah mantra penolak bala. Untung saja sepanjang lorong Lily tidak bertemu dengan siapa pun. Kalau saja berpapasan dengan orang lain, mungkin ia akan disangka aneh.Sesampainya di ujung lorong, Lily tidak masuk ke dalam kotak lift. Ia justru berbelok menuju tangga darurat. Lily langsung mendudukkan diri pada anak tangga begitu pintu tangga darurat tertutup. Air mata yang ditahannya seketika mengalir deras bak air bah. Satu tangannya menutup mulut agar isaknya tidak terdengar keluar. Sementara tangannya yang lain mencengkeram gagang rantang dengan kuat.“Aku salah lihat. Salah lihat,” lantun Lily lirih. Kedua pipi Lily sudah sepenuhnya basah. Ketika memejamkan mata, apa yang dilihatnya tadi justru semakin jelas.“Mereka nggak mungkin tega mengkhianati aku, ‘kan?” tanya Lily yang tidak mendapatkan jawaban karena dia sendirian. Perempuan 24 tahun itu makin terg
“Ayo, kita ketemu.”Pagi-pagi sekali Lily sudah menelepon Hansel. Semalaman dia tidak tidur. Waktunya habis untuk menangisi kisah cintanya dengan Hansel serta merutuki kebodohannya sendiri.[Kangen, ya, Babe?]Kalau biasanya Lily akan menjawab dengan manja, maka kali ini Lily mengernyit jijik mendengar balasan dari Hansel. Lily yakin sebenarnya Hansel sudah tahu dari Melati perihal kemarin. Namun, lelaki yang menjabat sebagai pacar Lily selama tiga tahun itu pura-pura tidak mengetahui.“Nanti aku share waktu dan tempat pertemuan kita.” Tanpa menunggu jawaban dari Hansel, Lily menutup sambungan telepon.Lily menaruh ponselnya di atas nakas dan kembali merebahkan diri. Otaknya mulai menyusun rencana untuk hari ini. Lily akan menginterogasi Hansel habis-habisan. Siapa tahu nanti bisa digunakan sebagai bukti perselingkuhan lelaki itu dengan Melati.Kepala Lily terarah ke kanan. Matanya langsung menangkap pigura dengan potret sang ibu yang bernama Nina. Nina sudah meninggal sejak Lily bera
“Ah!”“LILY!”Semua mata tertuju kepada Lily yang kini berjongkok memungut pecahan gelas dan piring. Dia baru saja menjatuhkan makanan dan minuman pesanan pelanggan kafe tempatnya bekerja.“Gila, ya, kamu! Belum seminggu kerja di sini udah bikin rugi banyak. Udah lebih dari lima kali kamu mecahin peralatan makan kafe. Kamu kalau nggak niat kerja, ya, jangan kerja. Bisa bangkrut kafe ini kalau kamu terus bekerja di sini. Heran banget sama Mas Lucas, bisa-bisanya bawa kamu ke sini.” Manajer kafe memarahi Lily di tengah padatnya pengunjung.“Maaf, Bu,” cicit Lily yang tak berani mendongakkan wajah. Rasa sesal, kesal, dan malu menyelimutinya.“Maaf kamu itu ngg—”“Lily, ke ruangan saya setelah membereskan itu.” Lucas, lelaki yang menyerempet sekaligus menolong Lily, menginterupsi omelan sang manajer galak.Kini di sinilah Lily, duduk di hadapan Lucas. Kepalanya tertunduk. Lily tahu pasti dirinya akan dipecat. Bos mana yang mau menggaji karyawan yang tidak becus bekerja. Entah bagaimana na
“Kamu mau menikah, tapi bukan dengan Hansel. Otak kamu di mana, Lily?”Bentakan Andrean memenuhi ruang tamu kediaman Barata. Lily bersampingan dengan Lucas di hadapan Andrean. Namun, tidak hanya ada mereka bertiga. Sania dan Melati pun turut duduk di sana.“Jadi, sebenarnya yang berkhianat itu kamu atau Hansel, Ly?” tanya Sania yang lebih terdengar seperti cemoohan.“Apa nggak bikin malu keluarga Barata, ya, Ly? Tiba-tiba kamu mau nikah sama cowok lain. Maaf kalau Kakak ngomong begini.” Melati ikut bersuara.Lily memandang Sania dan Melati dengan kekesalan secara bergantian. Pasalnya, Lily tahu kalau ibu dan kakak tirinya itu sedang mengejeknya secara halus. Lily duga, mereka berdua pasti sengaja berkata demikian untuk menambah amarah Andrean padanya. Wajah asli di balik topeng baik ibu dan anak itu sudah Lily ketahui.Pandangan Lily kembali tertuju pada papanya. “Pa, tapi aku benar-benar ingin menikah dengan Mas Lucas. Mas Lucas orang yang baik, Pa,” ucap Lily meyakinkan sang papa.“
Lily menatap bangunan megah di hadapannya dengan bingung. Rumah mewah di depannya itu jauh lebih bagus dibandingkan rumah papa Lily. Tanahnya juga lebih luas. Dari gerbang ke teras rumah Lily rasa ada 200 meter.“Mas ini rumah siapa? Mas Lucas tadi bilang mau pulang.” Lily menyuarakan kebingungannya. “Ini rumah orang tuaku.” Lucas meraih helm yang masih dipakai oleh Lily.Lily mengerjapkan matanya berkali-kali. Dia masih terpaku. Antara kaget dengan perlakuan manis Lucas atau jawaban pria yang baru menjadi suaminya itu.“Ayo, masuk.” Lucas menarik tangan Lily naik ke teras rumah megah yang diakui sebagai rumah orang tuanya itu.“Mas Lucas kenapa nggak bilang kalau … kalau dari keluarga yang—”“Saya cuma sutradara amatir dan salah satu pemilik saham di kafe kecil,” potong Lucas.Belum juga Lily menanggapi sanggahan Lucas, pintu dengan ukiran indah terbuka. Seorang perempuan paruh baya yang masih sangat cantik keluar dari balik pintu itu.“Bersikap seperti pasangan normal, please,” bis
“It’s your room.”Lily mengangguk. Ia tidak heran jika diberikan kamar sendiri alias terpisah dari Lucas. Lily tidak perlu repot bertanya alasannya. Kendati tidak ada kontrak di atas kertas, pernikahannya dengan Lucas tetap bukanlah pernikahan normal.“Wait!”Kaki Lily yang hendak melangkah menuju kamar yang diperuntukkan Lucas untuknya urung. “Kenapa, Mas?” tanya Lily.Tangan Lucas terulur kepada Lily. Di antara jarinya terselip kartu tipis berlogo sebuah bank. Lily pandangi kartu itu, tetapi tidak tergerak untuk mengambilnya.“Ini … apa, Mas?”“I told you before. Selama kita terikat pernikahan, everythings about you menjadi tanggung jawab saya.” Lucas menjawab sembari memandang Lily. Tangannya mengibaskan kartu itu di hadapan perempuan berstatus istrinya tersebut—tanda agar Lily gegas menerimanya.Akhirnya Lily menerima kartu yang mirip dengan miliknya yang ia kembalikan kepada Andrean. Ah, bukan milik Lily. Kartu itu hanya dipinjamkan Andrean kepadanya. Kartu yang Lily pegang saat i