Lily menggantikan Lucas memeluk Anggika yang menangis di depan ruang operasi. Seperempat jam lalu, saat Lily datang bersama Lucas, operasi sudah berlangsung selama 30 menit. Namun, sampai sekarang lampu tanda berlangsungnya operasi belum juga padam.
Sepasang netra Lily tertuju pada Lucas. Lelaki itu bersandar di dinding dengan wajah muram. Lily tahu rasanya berada di posisi Lucas. Bedanya dulu yang di dalam ruang operasi adalah mama Lily.
“Mama, udah nangisnya, ya. Kita berdoa aja semoga operasinya lancar dan segera selesai. Lily beliin minum hangat buat Mama, ya.”
“Nggak usah, Ly. Mama nggak haus,” jawab Anggika dengan sendu. Ibu Lucas itu menarik diri dari pelukan Lily.
Lily menggenggam tangan ibu mertuanya sebagai dukungan. “Mama nanti kalau matanya sembap jadi nggak kelihatan cantik di depan Papa, lho. Nanti pas sadar Papa pangling sama Mama,” kata Lily mencoba menghibur.
Anggika tidak tersenyum, tetapi tangannya memberi tepukan lemah pada lengan Lily.
Bibir Lily terbuka untuk melontarkan kalimat baru, tetapi urung saat melihat Lucas mendekat. Mata Lily mengikuti pergerakan sang suami. Lucas berjongkok di depan Anggika. Benak Lily menduga-duga apa yang akan lelaki itu lakukan.
Tangan Lucas terulur ke wajah sang ibu. Dihapusnya sisa air mata yang menghiasi pipi Anggika. “Lily benar, Ma. Udah nangisnya. Nanti Papa nggak kenal sama Mama kalau matanya sembap,” ucapnya kemudian.
Anggika membungkuk untuk memeluk sang putra. “I’ll try. Mama akan kuat demi Papa,” lirih Anggika.
Tangan Lily tergerak untuk memberi penguatan kepada dua orang baru dalam hidupnya. Satu tangannya mengelus lengan Anggika, sedangkan satu lagi mengelus punggung lebar sang suami.
“Aku ke bawah sebentar, ya. Mau beli makan. Mama sama Mas Lucas mau request sesuatu?” tanya Lily saat suasana sedih dan mengharu-biru usai.
“Sa–aku aja, Ly.” Lucas mengajukan diri.
Lily menggeleng. “Aku aja, Mas. Jadi, ada permintaan mau makan atau minum apa?” Lily ulangi pertanyaanya.
“Apa aja. Terserah kamu, Sayang.” Tentu saja ini bukan ucapan Lucas.
“Oke, Ma,” balas Lily.
“Ini.” Tiba-tiba Lucas menyerahkan dompet kulit berwarna cokelat gelap ke arah Lily.
“Ini … maksudnya, Mas?” tanya Lily tidak mengerti.
“Uang buat beli makan,” jawab Lucas lugas.
“Aku ada. Kartu yang Mas Lucas kasih kemarin itu,” tolak Lily.
“Nggak ada cash, ‘kan?”
Lily tersadar. Dia memang tidak memiliki banyak uang tunai. Seingatnya hanya beberapa puluh ribu saja yang ada di dalam dompet. Kartu ATM dari Lucas belum didaftarkan di ponselnya. Sementara dompet digital serta m-banking Lily jelas tak ada isinya. Tangan Lily pun akhirnya menerima dompet Lucas.
Rasa hangat menjalari sepasang pipi Lily. Ini pertama kalinya Lily akan membuka dompet pasangannya. Bertahun-tahun bersama Hansel tidak pernah Lily diberi kesempatan untuk memegang, apalagi melihat isinya. Berbeda sekali dengan Lucas. Padahal Lucas bisa sekadar memberi uang tunai kepada Lily, bukan malah sedompet-dompetnya begini. Namun, Lily … suka caranya.
***
Ini adalah hari ketiga setelah operasi ayah Lucas dinyatakan sukses. Akan tetapi, kondisi Edward tidak bisa sepenuhnya melegakan keluarga. Ayah mertua Lily itu masih berada di ICU karena sampai hari ini belum sadarkan diri.
“Luke, kamu lihat sendiri kondisi papamu. Sampai saat ini Papa belum sadar. Sementara perusahaan butuh pemimpin. Banyak proyek yang sedang dijalankan. Ada satu proyek besar yang harus diawasi papamu sendiri.” Tatapan Anggika tertuju ke arah suaminya yang terlihat dari kaca.
Lily melirik Lucas. Dia melihat bimbang membayangi sorot mata Lucas. Lily tidak bisa menebak apa jawaban suaminya tersebut.
“Cuma kamu satu-satunya harapan Mama yang bisa menggantikan Papa. Kalau kamu masih berat menjadi penerus Papa, anggap Mama sedang minta tolong. Bantuan kamu sifatnya hanya sementara, bukan selamanya.” Kali ini tatapan lemah Anggika ditujukan untuk sang putra.
“Aku diskusi sama Lily dulu, ya, Ma.” Lucas memberi kode agar Lily mengikutinya setelah mendapat persetujuan Anggika.
Lily berjalan di belakang Lucas. Langkah kaki jenjangnya tidak sebanding dengan langkah sang suami. Jadi, Lily sedikit tergesa mengikuti lelaki berwajah bule itu.
“Mau beli minum atau snacks dulu?” tanya Lucas ketika berada di depan pintu elevator.
“Nggak usah, Mas.” Lily langsung menolak. Daripada minum, Lily lebih butuh mengetahui apa yang akan diucapkan Lucas padanya.
Glabela Lily berkerut manakala melihat angka yang dipencet oleh Lucas. Setahunya, angka yang dipilih Lucas adalah lantai teratas rumah sakit ini. Lily tidak mengerti kenapa Lucas membawanya ke sana alih-alih ke kantin atau kafe rumah sakit.
“Naik tangga sedikit, ya,” kata Lucas saat pintu elevator terbuka.
“Oke,” jawab Lily dengan nada ragu.
“Nggak sampai sepanjang tangga rumah Mama, kok. Nggak akan lelah.” Lucas berusaha meyakinkan, tetapi sebenarnya salah sangka.
“Bukan begitu, Mas. Aku penasaran aja apa yang mau kita obrolkan sampai harus ke rooftop dan memangnya kita bisa ke sana? Pasti dikunci karena bukan untuk umum,” jelas Lily.
“Saya butuh suasana yang menenangkan.”
“Tapi apa bisa?” Lily menaiki anak tangga terakhir. Tangannya lantas menunjuk pintu besi yang dikunci rapat. “Tuh, apa aku bila—”
Ucapan Lily terputus karena indra penglihatnya menangkap ada kunci di tangan Lucas. Lily sampai menganga dibuatnya. Heran seheran-herannya saat Lucas membuka pintu besi di hadapan mereka.
“Papa ada sedikit saham di rumah sakit ini.” Lucas menjelaskan sebelum pertanyaan terlontar dari bibir Lily. Dagu mengedik tanda agar Lily keluar lebih dulu.
Terpaan angin cukup kuat menyambut Lily. Pandangannya mengedar memperhatikan rooftop luas tempatnya berpijak. Di belakangnya, Lucas menutup kembali pintu, tetapi tidak rapat.
“Jangan bilang yang ngasih itu Mas Lucas,” tebak Lily kala melihat ada kursi panjang dan meja lengkap dengan payung yang menaungi.
“Hm.”
Total sekali, pikir Lily. Lily dan Lucas pun mendudukkan diri di kursi itu. Tentu mereka duduk bersebelahan. Tidak ada obrolan apa pun untuk beberapa saat. Baik Lily maupun Lucas asyik menikmati semilir angin. Lily sendiri merasa bukan kewajibannya menjadi pihak yang memulai obrolan.
“What’s your opinion?” tanya Lucas setelah bermenit-menit bungkam.
Tidak perlu ditanyakan lagi arah ‘opinion’ yang ditanyakan oleh Lucas. Tentu itu merujuk pada ucapan Anggika tadi. Sebenarnya Lily sudah memiliki pendapat sejak mendengar permintaan Anggika, tetapi tadi ia merasa bukan kapasitasnya untuk berpendapat. Sekali lagi, pernikahannya dengan Lucas bukan pernikahan normal.
“Aku sependapat dengan Mama. Menurutku itu memang tanggung jawab Mas Lucas. Nggak perlu Mama memohon seperti tadi. Siapa lagi yang menjadi tumpuan Mama saat seperti ini kalau bukan Mas Lucas.” Karena diminta, jadi Lily sampaikan saja isi kepalanya.
Lucas mengangguk sekali. Lelaki itu kemudian menarik napas dalam. “Kamu benar. Berarti kamu juga akan punya tugas baru.”
“Tugas baru? Jadi asisten Mas di kantor?” Lily memastikan.
Lucas menggeleng. “Gantikan saya mengurus ImajinasiKu sekaligus proyek film terbaru kita.”
“HAH? NGGAK BISA, DONG!” Lily refleks berteriak.
“You can do it.”
Lily menggeleng heboh. Mana bisa dia me-manage production house milik Lucas sedangkan dirinya tidak memiliki pengalaman dan kemampuan apa pun?
“You said before, sebagai istri akan mengikuti apa kata suami. Apa saya salah dengar waktu itu?”
***
“Mulai hari ini Lily akan menggantikan saya sampai batas waktu yang belum ditentukan. Semua hal harus berjalan sesuai persetujuan Lily. Jika Lily belum memberi keputusan, maka tidak ada yang boleh mendahului keputusannya. Mohon dimengerti. Terima kasih.”Lily berdiri di sebelah Lucas yang sedang memberi pengumuman kepada seluruh karyawan sekaligus beberapa perwakilan dari mitra ImajinasiKu.“Mohon bantuan dan bimbingannya,” ucap Lily sebelum membungkuk sejenak kepada semua orang.“Apakah pengumuman ini bisa dimengerti dan dilaksanakan?” tanya Lucas mempertegas.“Bisa, Pak!” Serempak semua menjawab.“Oke, kalau begitu saya tinggal.”Lily dan Lucas bertatapan sekilas, lalu mengangguk bersamaan. Lucas lantas meninggalkan ruang meeting kantor ImajinasiKu. Kini tinggal Lily yang menghadapi 10 orang yang menatapnya ragu. Rasa canggung dan bingung tak bisa Lily singkirkan.“Bu, ini tab kerja Ibu. Semua laporan dan hal yang perlu Anda pelajari ada di sini.”Atensi Lily teralih kepada seorang l
Lily tidak menoleh. Ia berdiri di depan wastafel—yang artinya bersebelahan dengan salah satu dari perempuan penggosip itu. Lily berusaha menampilkan ekspresi datar. Kemarahan ia tekan sampai ke dasar jurang hatinya.Dari ekor matanya Lily melihat dua perempuan berbaju kurang bahan untuk bekerja itu saling bersikutan. Lily cuek saja. Ia tetap mencuci tangan dengan khusyuk. Saat Lily menarik tisu, suara dari si Perempuan Rok Mini menyapa rungunya.“B-Bu kami mi-minta m-maaf,” ucapnya terbata.Lily belum memberi atensi. Tangannya sudah kering, tetapi Lily masih pura-pura sibuk mengelap tangannya.“Kami benar-benar minta maaf, Bu.” Kali ini gantian perempuan yang memakai celana mini. Dia menarik temannya mendekati Lily.Lily terpaksa menyerongkan badan untuk bertatapan dengan dua perempuan—yang kata Jo—dari tim promosi. “Nggak perlu minta maaf sama saya. Saya nggak apa-apa, kok,” sahut Lily mencoba santai.Kedua perempuan di hadapan Lily terlihat menghela napas lega. Lily tersenyum sinis.
“Benar mau dipotong sependek ini, Cyin?”Lily menatap pantulan kaca di hadapannya. Di kaca itu ada figur Lily dan ‘lelaki melambai’ yang memegang rambutnya. Rambut yang Lily rawat dengan baik hingga tumbuh sehat dan panjang, relakah Lily memangkasnya?Sejak keluar dari rumah, Lily memang ingin mengubah beberapa hal dalam dirinya. Memangkas dan mengubah warna rambut mungkin memang diperlukan. Perubahan penampilan fisik akan menjadi pertanda perubahan hidup Lily.“Iya. Tolong potong segitu.” Lily menjawab mantap.Selagi menunggu kapster mempersiapkan perlengkapan ‘eksekusi’, Lily mengambil potret terakhir dirinya dengan rambut panjang berwarna dark brown. Lily mengembuskan napas keras sebelum memakai jubah pelindung pangkas rambut.Kapster yang selalu memproklamirkan namanya Alisa itu mulai mangkas rambut lembut Lily. Lily tidak mau memperhatikan. Jadi, perempuan itu lebih memilih bermain ponsel.“Udah, Cyin. Jadi ganti warna nggak?” Setelah beberapa menit, kapster kemayu itu menyadarka
“Tolong antar saya ke rumah sakit aja.”Sore ini Lily ingin mengunjungi ayah mertuanya sepulang bekerja. Ayah mertuanya sudah sadar dari koma, tetapi belum diizinkan untuk pulang. Lily belum sempat mengunjungi Edward lagi. Jadi, dia putuskan akan mampir ke rumah sakit lebih dulu sebelum pulang.Jo mengangguk mengerti. “Mau mampir beli buah tangan dulu, Mbak?” tanyanya kemudian.Lily berpikir sejenak. Sebenarnya di rumah sakit pasti sudah banyak makanan. Apalagi kamar mertuanya adalah kelas tertinggi. Orang yang menunggui pasien juga sudah mendapat jatah makan lengkap. Namun, pada akhirnya Lily menyebutkan sebuah toko kue dan buah premium.Saat sampai rumah sakit, ternyata Jo ikut Lily menjenguk Edward. Mereka berjalan beriringan menuju kamar rawat Edward tanpa suara. Lily mengetuk pintu sebelum masuk dengan mengucapkan salam. Anggika semringah melihat Lily. Perempuan itu berdiri menyambut.“Wah … siapa ini, kok cantik banget,” sambut Anggika menggoda.Lily tersipu di pelukan Anggika.
Waktu menunjukkan hampir tengah malam. Lily baru saja terbangun karena merasakan kantung kemihnya penuh. Karena besok weekend, tadi sore Lily dan Lucas mampir ke rumah sakit lagi. Mereka cukup lama di sana. Lily pun banyak minum sehingga malam-malam dia harus terbangun untuk menuntaskan hajat.Sebelum kembali ke ranjang, Lily melirik sofa bed tempat tidur Lucas selama di rumah orang tuanya. Melihat posisi selimut yang melorot, Lily berinisiatif memperbaikinya. Saat berdiri di samping Lucas tidur baru Lily sadari jika sofa bed itu tidak mampu menampung tinggi badan Lucas.Lily terenyuh. Lucas pasti menahan ketidaknyamannya. Padahal ini di rumahnya sendiri, tetapi Lucas malah tidak tidur dengan baik.“Mas, bangun.”Lily menepuk lengan Lucas yang tidur di sofa bed. Beberapa kali tepukan Lucas tak kunjung bangun. Pria itu terlihat begitu pulas. Di wajahnya juga terdapat gurat kelelahan. Akan tetapi, kasihan kalau dibiarkan tetap tidur di tempat tidak nyaman begitu. Pada akhirnya, Lily me
“Astaga!”Lengkingan serta gerakan heboh Lily membuat lelaki yang tidur satu ranjang dengannya terganggu.“What’s wrong?” tanya Lucas serak. Matanya terbuka sekejap, lalu terpejam lagi.“Kita kesiangan, Mas,” jawab Lily sambil lalu. Lily melesat ke walk in closet untuk mengambil baju ganti. Berlari kecil Lily menuju kamar mandi. Ini memang akhir pekan, tetapi Lily dan Lucas ada agenda pagi ini. Sekarang sudah terlambat 20 menit dari waktu seharusnya mereka pergi. Gara-gara mengobrol sampai dini hari Lily dan Lucas terlambat bangun.Tidak selama biasanya Lily berada di kamar mandi. Ia hanya melakukan aktivitas di kamar mandi dengan kilat. Dia sudah mencoba bersiap secepat yang dirinya bisa, tetapi saat kembali ke kamar Lily dibuat kesal.Lucas masih bergelung di balik selimut. Sepertinya pria itu tidur lagi. Rasanya Lily mau mencak-mencak.“Terserah, deh. Aku pergi sendiri aja. Minta diantar sopir aja,” ucap Lily bicara sendiri.Lily tidak sempat merias wajah. Dia hanya menggunakan ba
Lily menghapus air mata yang diam-diam keluar. Ia terharu melihat pemandangan di hadapannya. Celine sedang memeluk Edward di atas ranjang rumah sakit setelah menangis tersedu. Celine yang ceria kini hilang. Adik Lucas itu sudah tidak mampu menutupi kesedihan mendengar sang ayah sakit.Serapat-rapatnya keluarga menutupi dari Celine, pada akhirnya dia mengetahui jika Edward kecelakaan dan tengah dirawat. Itulah alasan Celine pulang dari London. Saat menelepon untuk mengonfirmasi kebenaran berita tentang Edward memang Celine menangis, tetapi sekadar menitikkan air mata.Kepala Lily menoleh ke samping kala dirasa ada yang memeluk bahunya. Ternyata itu datang dari sang suami. Lucas menatap lurus ke depan. Kini Lily menelengkan kepalanya agar bisa melihat ke mata Lucas. Mungkin karena merasa diperhatikan, Lucas menoleh kepada Lily.“Apa?” gumam Lucas.Gelengan Lily berikan untuk Lucas.Lucas mendengkus, tetapi kepalanya kembali diarahkan ke depan. Lily pun mengikuti gerakan itu.“Udah, ya,
Kaki jenjang Lily membawa perempuan itu ke depan meja resepsionis AnA Construction. Siang ini Lily datang ke perusahaan tempat sang suami bekerja. Selain untuk menyampaikan suatu hal yang penting, juga untuk makan siang bersama. Lily datang sendiri sebab Jo sedang memantau persiapan syuting miniseri.“Permisi, saya mau bertemu Pak Lucas Andromeda,” ucap Lily.“Sudah ada janji, Bu?” tanya sang resepsionis sesuai standar.“Tadi saya sudah kirim pesan ke Pak Lucas langsung tadi.”“Baik. Saya konfirmasi ke sekretaris Pak Lucas sebentar, ya, Bu. Atas nama Ibu siapa?” Tanggapan resepsionis itu kian ramah.“Bilang saja atas nama Lilyana dari ImajinasiKu.”Setelah mendapat jawaban dari sekretaris Lucas, Lily dipersilakan naik. Sesampainya di lantai yang dituju Lily diminta menunggu. Ternyata Lucas sedang rapat. Di pojok ruangan dengan 3 sofa single dan meja bundar yang cukup nyaman itu Lily duduk seorang diri. Kaca besar yang menampilkan pemandangan kota menjadi perhatian Lily.“Silakan dimin
BAB 17BERTEMU PAPA“Ly, are you okay?”Lily terkesiap kala bahunya ditepuk pelan oleh Celine. “Apa, Lin? Maaf aku nggak dengar.”Celine menggeleng. “Yuk, kita cari tempat duduk,” jawab Celine tidak bertanya lagi.Lily berjalan dengan tangan yang kini dirangkul oleh Celine. Sesekali netranya melirik ke meja yang menyita perhatiannya tadi. Konsentrasi Lily kembali buyar sampai-sampai mejanya telah penuh makanan.“Ly, aku nggak tahu kamu lagi kenapa. Tapi kamu harus makan. Ini makanan yang kita pesan udah datang, lho. Aku nggak mungkin habisin semua ini sendirian.”“Oh, iya.” Lily kembali tergeragap.Tangan Lily menyentuh sendok. Ia harus fokus agar tidak membuat Celine khawatir. Selera makannya tidak ada, tetapi Lily terpaksa menyuap.“Ly, setelah ini kita pulang aja, ya,” ucap Celine setelah beberapa saat hanya sibuk makan.Lily mengangkat wajah. “Bukannya kamu mau beli buku dulu?” tanya Lily.“Udah besok aja,” jawab Celine ringan.Rasa bersalah menyusup di hati Lily. Celine pasti mem
“Jawab dengan jujur, Lily. Apa yang terjadi?”Lily meringis mendengar pertanyaan Lucas. Dia yang mewanti-wanti agar Jo tidak melaporkan kepada Lucas tentang apa yang terjadi. Namun, Lily dengan bodoh malah membongkarnya sendiri.“Ehmm ….” Lily memutar otak mencari alasan yang masuk akal.“Lilyana?” Suara Lucas sarat intimidasi.Sepasang kelopak Lily tertutup. Memang mau dibuat-buat sebagaimana pun tetap tidak ketemu alasan masuk akal untuk menjawab Lucas. Sepertinya Lily harus mengatakan dengan jujur apa yang terjadi di rumah produksi yang Lucas dirikan.“Sebenarnya, aku ngasih SP buat dua orang tim promosi. Namanya Sherly sama Dania. Dua orang itu berpakaian kurang sopan di kantor. Niatnya cuma kutegur, tapi mereka ketahuan ngata-ngatain aku. Sejujurnya, ….” Lily mengamati perubahan ekspresi Lucas, tetapi tidak ada perubahan berarti.Karena itu, Lily berani melanjutkan ceritanya. “Sejujurnya, apa yang aku lakukan itu kekanak-kanakan. Aku ambil keputusan karena emosi. Aku udah nggak pr
Kaki jenjang Lily membawa perempuan itu ke depan meja resepsionis AnA Construction. Siang ini Lily datang ke perusahaan tempat sang suami bekerja. Selain untuk menyampaikan suatu hal yang penting, juga untuk makan siang bersama. Lily datang sendiri sebab Jo sedang memantau persiapan syuting miniseri.“Permisi, saya mau bertemu Pak Lucas Andromeda,” ucap Lily.“Sudah ada janji, Bu?” tanya sang resepsionis sesuai standar.“Tadi saya sudah kirim pesan ke Pak Lucas langsung tadi.”“Baik. Saya konfirmasi ke sekretaris Pak Lucas sebentar, ya, Bu. Atas nama Ibu siapa?” Tanggapan resepsionis itu kian ramah.“Bilang saja atas nama Lilyana dari ImajinasiKu.”Setelah mendapat jawaban dari sekretaris Lucas, Lily dipersilakan naik. Sesampainya di lantai yang dituju Lily diminta menunggu. Ternyata Lucas sedang rapat. Di pojok ruangan dengan 3 sofa single dan meja bundar yang cukup nyaman itu Lily duduk seorang diri. Kaca besar yang menampilkan pemandangan kota menjadi perhatian Lily.“Silakan dimin
Lily menghapus air mata yang diam-diam keluar. Ia terharu melihat pemandangan di hadapannya. Celine sedang memeluk Edward di atas ranjang rumah sakit setelah menangis tersedu. Celine yang ceria kini hilang. Adik Lucas itu sudah tidak mampu menutupi kesedihan mendengar sang ayah sakit.Serapat-rapatnya keluarga menutupi dari Celine, pada akhirnya dia mengetahui jika Edward kecelakaan dan tengah dirawat. Itulah alasan Celine pulang dari London. Saat menelepon untuk mengonfirmasi kebenaran berita tentang Edward memang Celine menangis, tetapi sekadar menitikkan air mata.Kepala Lily menoleh ke samping kala dirasa ada yang memeluk bahunya. Ternyata itu datang dari sang suami. Lucas menatap lurus ke depan. Kini Lily menelengkan kepalanya agar bisa melihat ke mata Lucas. Mungkin karena merasa diperhatikan, Lucas menoleh kepada Lily.“Apa?” gumam Lucas.Gelengan Lily berikan untuk Lucas.Lucas mendengkus, tetapi kepalanya kembali diarahkan ke depan. Lily pun mengikuti gerakan itu.“Udah, ya,
“Astaga!”Lengkingan serta gerakan heboh Lily membuat lelaki yang tidur satu ranjang dengannya terganggu.“What’s wrong?” tanya Lucas serak. Matanya terbuka sekejap, lalu terpejam lagi.“Kita kesiangan, Mas,” jawab Lily sambil lalu. Lily melesat ke walk in closet untuk mengambil baju ganti. Berlari kecil Lily menuju kamar mandi. Ini memang akhir pekan, tetapi Lily dan Lucas ada agenda pagi ini. Sekarang sudah terlambat 20 menit dari waktu seharusnya mereka pergi. Gara-gara mengobrol sampai dini hari Lily dan Lucas terlambat bangun.Tidak selama biasanya Lily berada di kamar mandi. Ia hanya melakukan aktivitas di kamar mandi dengan kilat. Dia sudah mencoba bersiap secepat yang dirinya bisa, tetapi saat kembali ke kamar Lily dibuat kesal.Lucas masih bergelung di balik selimut. Sepertinya pria itu tidur lagi. Rasanya Lily mau mencak-mencak.“Terserah, deh. Aku pergi sendiri aja. Minta diantar sopir aja,” ucap Lily bicara sendiri.Lily tidak sempat merias wajah. Dia hanya menggunakan ba
Waktu menunjukkan hampir tengah malam. Lily baru saja terbangun karena merasakan kantung kemihnya penuh. Karena besok weekend, tadi sore Lily dan Lucas mampir ke rumah sakit lagi. Mereka cukup lama di sana. Lily pun banyak minum sehingga malam-malam dia harus terbangun untuk menuntaskan hajat.Sebelum kembali ke ranjang, Lily melirik sofa bed tempat tidur Lucas selama di rumah orang tuanya. Melihat posisi selimut yang melorot, Lily berinisiatif memperbaikinya. Saat berdiri di samping Lucas tidur baru Lily sadari jika sofa bed itu tidak mampu menampung tinggi badan Lucas.Lily terenyuh. Lucas pasti menahan ketidaknyamannya. Padahal ini di rumahnya sendiri, tetapi Lucas malah tidak tidur dengan baik.“Mas, bangun.”Lily menepuk lengan Lucas yang tidur di sofa bed. Beberapa kali tepukan Lucas tak kunjung bangun. Pria itu terlihat begitu pulas. Di wajahnya juga terdapat gurat kelelahan. Akan tetapi, kasihan kalau dibiarkan tetap tidur di tempat tidak nyaman begitu. Pada akhirnya, Lily me
“Tolong antar saya ke rumah sakit aja.”Sore ini Lily ingin mengunjungi ayah mertuanya sepulang bekerja. Ayah mertuanya sudah sadar dari koma, tetapi belum diizinkan untuk pulang. Lily belum sempat mengunjungi Edward lagi. Jadi, dia putuskan akan mampir ke rumah sakit lebih dulu sebelum pulang.Jo mengangguk mengerti. “Mau mampir beli buah tangan dulu, Mbak?” tanyanya kemudian.Lily berpikir sejenak. Sebenarnya di rumah sakit pasti sudah banyak makanan. Apalagi kamar mertuanya adalah kelas tertinggi. Orang yang menunggui pasien juga sudah mendapat jatah makan lengkap. Namun, pada akhirnya Lily menyebutkan sebuah toko kue dan buah premium.Saat sampai rumah sakit, ternyata Jo ikut Lily menjenguk Edward. Mereka berjalan beriringan menuju kamar rawat Edward tanpa suara. Lily mengetuk pintu sebelum masuk dengan mengucapkan salam. Anggika semringah melihat Lily. Perempuan itu berdiri menyambut.“Wah … siapa ini, kok cantik banget,” sambut Anggika menggoda.Lily tersipu di pelukan Anggika.
“Benar mau dipotong sependek ini, Cyin?”Lily menatap pantulan kaca di hadapannya. Di kaca itu ada figur Lily dan ‘lelaki melambai’ yang memegang rambutnya. Rambut yang Lily rawat dengan baik hingga tumbuh sehat dan panjang, relakah Lily memangkasnya?Sejak keluar dari rumah, Lily memang ingin mengubah beberapa hal dalam dirinya. Memangkas dan mengubah warna rambut mungkin memang diperlukan. Perubahan penampilan fisik akan menjadi pertanda perubahan hidup Lily.“Iya. Tolong potong segitu.” Lily menjawab mantap.Selagi menunggu kapster mempersiapkan perlengkapan ‘eksekusi’, Lily mengambil potret terakhir dirinya dengan rambut panjang berwarna dark brown. Lily mengembuskan napas keras sebelum memakai jubah pelindung pangkas rambut.Kapster yang selalu memproklamirkan namanya Alisa itu mulai mangkas rambut lembut Lily. Lily tidak mau memperhatikan. Jadi, perempuan itu lebih memilih bermain ponsel.“Udah, Cyin. Jadi ganti warna nggak?” Setelah beberapa menit, kapster kemayu itu menyadarka
Lily tidak menoleh. Ia berdiri di depan wastafel—yang artinya bersebelahan dengan salah satu dari perempuan penggosip itu. Lily berusaha menampilkan ekspresi datar. Kemarahan ia tekan sampai ke dasar jurang hatinya.Dari ekor matanya Lily melihat dua perempuan berbaju kurang bahan untuk bekerja itu saling bersikutan. Lily cuek saja. Ia tetap mencuci tangan dengan khusyuk. Saat Lily menarik tisu, suara dari si Perempuan Rok Mini menyapa rungunya.“B-Bu kami mi-minta m-maaf,” ucapnya terbata.Lily belum memberi atensi. Tangannya sudah kering, tetapi Lily masih pura-pura sibuk mengelap tangannya.“Kami benar-benar minta maaf, Bu.” Kali ini gantian perempuan yang memakai celana mini. Dia menarik temannya mendekati Lily.Lily terpaksa menyerongkan badan untuk bertatapan dengan dua perempuan—yang kata Jo—dari tim promosi. “Nggak perlu minta maaf sama saya. Saya nggak apa-apa, kok,” sahut Lily mencoba santai.Kedua perempuan di hadapan Lily terlihat menghela napas lega. Lily tersenyum sinis.