Share

7. Haruskah Ikuti Kata Suami?

Lily menggantikan Lucas memeluk Anggika yang menangis di depan ruang operasi. Seperempat jam lalu, saat Lily datang bersama Lucas, operasi sudah berlangsung selama 30 menit. Namun, sampai sekarang lampu tanda berlangsungnya operasi belum juga padam.

Sepasang netra Lily tertuju pada Lucas. Lelaki itu bersandar di dinding dengan wajah muram. Lily tahu rasanya berada di posisi Lucas. Bedanya dulu yang di dalam ruang operasi adalah mama Lily.

“Mama, udah nangisnya, ya. Kita berdoa aja semoga operasinya lancar dan segera selesai. Lily beliin minum hangat buat Mama, ya.”

“Nggak usah, Ly. Mama nggak haus,” jawab Anggika dengan sendu. Ibu Lucas itu menarik diri dari pelukan Lily.

Lily menggenggam tangan ibu mertuanya sebagai dukungan. “Mama nanti kalau matanya sembap jadi nggak kelihatan cantik di depan Papa, lho. Nanti pas sadar Papa pangling sama Mama,” kata Lily mencoba menghibur.

Anggika tidak tersenyum, tetapi tangannya memberi tepukan lemah pada lengan Lily.

Bibir Lily terbuka untuk melontarkan kalimat baru, tetapi urung saat melihat Lucas mendekat. Mata Lily mengikuti pergerakan sang suami. Lucas berjongkok di depan Anggika. Benak Lily menduga-duga apa yang akan lelaki itu lakukan.

Tangan Lucas terulur ke wajah sang ibu. Dihapusnya sisa air mata yang menghiasi pipi Anggika. “Lily benar, Ma. Udah nangisnya. Nanti Papa nggak kenal sama Mama kalau matanya sembap,” ucapnya kemudian.

Anggika membungkuk untuk memeluk sang putra. “I’ll try. Mama akan kuat demi Papa,” lirih Anggika.

Tangan Lily tergerak untuk memberi penguatan kepada dua orang baru dalam hidupnya. Satu tangannya mengelus lengan Anggika, sedangkan satu lagi mengelus punggung lebar sang suami.

“Aku ke bawah sebentar, ya. Mau beli makan. Mama sama Mas Lucas mau request sesuatu?” tanya Lily saat suasana sedih dan mengharu-biru usai.

“Sa–aku aja, Ly.” Lucas mengajukan diri.

Lily menggeleng. “Aku aja, Mas. Jadi, ada permintaan mau makan atau minum apa?” Lily ulangi pertanyaanya.

“Apa aja. Terserah kamu, Sayang.” Tentu saja ini bukan ucapan Lucas.

“Oke, Ma,” balas Lily.

“Ini.” Tiba-tiba Lucas menyerahkan dompet kulit berwarna cokelat gelap ke arah Lily.

“Ini … maksudnya, Mas?” tanya Lily tidak mengerti.

“Uang buat beli makan,” jawab Lucas lugas.

“Aku ada. Kartu yang Mas Lucas kasih kemarin itu,” tolak Lily.

“Nggak ada cash, ‘kan?”

Lily tersadar. Dia memang tidak memiliki banyak uang tunai. Seingatnya hanya beberapa puluh ribu saja yang ada di dalam dompet. Kartu ATM dari Lucas belum didaftarkan di ponselnya. Sementara dompet digital serta m-banking Lily jelas tak ada isinya. Tangan Lily pun akhirnya menerima dompet Lucas. 

Rasa hangat menjalari sepasang pipi Lily. Ini pertama kalinya Lily akan membuka dompet pasangannya. Bertahun-tahun bersama Hansel tidak pernah Lily diberi kesempatan untuk memegang, apalagi melihat isinya. Berbeda sekali dengan Lucas. Padahal Lucas bisa sekadar memberi uang tunai kepada Lily, bukan malah sedompet-dompetnya begini. Namun, Lily … suka caranya.

***

Ini adalah hari ketiga setelah operasi ayah Lucas dinyatakan sukses. Akan tetapi, kondisi Edward tidak bisa sepenuhnya melegakan keluarga. Ayah mertua Lily itu masih berada di ICU karena sampai hari ini belum sadarkan diri.

“Luke, kamu lihat sendiri kondisi papamu. Sampai saat ini Papa belum sadar. Sementara perusahaan butuh pemimpin. Banyak proyek yang sedang dijalankan. Ada satu proyek besar yang harus diawasi papamu sendiri.” Tatapan Anggika tertuju ke arah suaminya yang terlihat dari kaca.

Lily melirik Lucas. Dia melihat bimbang membayangi sorot mata Lucas. Lily tidak bisa menebak apa jawaban suaminya tersebut.

“Cuma kamu satu-satunya harapan Mama yang bisa menggantikan Papa. Kalau kamu masih berat menjadi penerus Papa, anggap Mama sedang minta tolong. Bantuan kamu sifatnya hanya sementara, bukan selamanya.” Kali ini tatapan lemah Anggika ditujukan untuk sang putra.

“Aku diskusi sama Lily dulu, ya, Ma.” Lucas memberi kode agar Lily mengikutinya setelah mendapat persetujuan Anggika.

Lily berjalan di belakang Lucas. Langkah kaki jenjangnya tidak sebanding dengan langkah sang suami. Jadi, Lily sedikit tergesa mengikuti lelaki berwajah bule itu.

“Mau beli minum atau snacks dulu?” tanya Lucas ketika berada di depan pintu elevator.

“Nggak usah, Mas.” Lily langsung menolak. Daripada minum, Lily lebih butuh mengetahui apa yang akan diucapkan Lucas padanya.

Glabela Lily berkerut manakala melihat angka yang dipencet oleh Lucas. Setahunya, angka yang dipilih Lucas adalah lantai teratas rumah sakit ini. Lily tidak mengerti kenapa Lucas membawanya ke sana alih-alih ke kantin atau kafe rumah sakit.

“Naik tangga sedikit, ya,” kata Lucas saat pintu elevator terbuka.

“Oke,” jawab Lily dengan nada ragu.

“Nggak sampai sepanjang tangga rumah Mama, kok. Nggak akan lelah.” Lucas berusaha meyakinkan, tetapi sebenarnya salah sangka. 

“Bukan begitu, Mas. Aku penasaran aja apa yang mau kita obrolkan sampai harus ke rooftop dan memangnya kita bisa ke sana? Pasti dikunci karena bukan untuk umum,” jelas Lily.

“Saya butuh suasana yang menenangkan.”

“Tapi apa bisa?” Lily menaiki anak tangga terakhir. Tangannya lantas menunjuk pintu besi yang dikunci rapat. “Tuh, apa aku bila—”

Ucapan Lily terputus karena indra penglihatnya menangkap ada kunci di tangan Lucas. Lily sampai menganga dibuatnya. Heran seheran-herannya saat Lucas membuka pintu besi di hadapan mereka.

“Papa ada sedikit saham di rumah sakit ini.” Lucas menjelaskan sebelum pertanyaan terlontar dari bibir Lily. Dagu mengedik tanda agar Lily keluar lebih dulu.

Terpaan angin cukup kuat menyambut Lily. Pandangannya mengedar memperhatikan rooftop luas tempatnya berpijak. Di belakangnya, Lucas menutup kembali pintu, tetapi tidak rapat.

“Jangan bilang yang ngasih itu Mas Lucas,” tebak Lily kala melihat ada kursi panjang dan meja lengkap dengan payung yang menaungi.

“Hm.”

Total sekali, pikir Lily. Lily dan Lucas pun mendudukkan diri di kursi itu. Tentu mereka duduk bersebelahan. Tidak ada obrolan apa pun untuk beberapa saat. Baik Lily maupun Lucas asyik menikmati semilir angin. Lily sendiri merasa bukan kewajibannya menjadi pihak yang memulai obrolan.

What’s your opinion?” tanya Lucas setelah bermenit-menit bungkam.

Tidak perlu ditanyakan lagi arah ‘opinion’ yang ditanyakan oleh Lucas. Tentu itu merujuk pada ucapan Anggika tadi. Sebenarnya Lily sudah memiliki pendapat sejak mendengar permintaan Anggika, tetapi tadi ia merasa bukan kapasitasnya untuk berpendapat. Sekali lagi, pernikahannya dengan Lucas bukan pernikahan normal.

“Aku sependapat dengan Mama. Menurutku itu memang tanggung jawab Mas Lucas. Nggak perlu Mama memohon seperti tadi. Siapa lagi yang menjadi tumpuan Mama saat seperti ini kalau bukan Mas Lucas.” Karena diminta, jadi Lily sampaikan saja isi kepalanya.

Lucas mengangguk sekali. Lelaki itu kemudian menarik napas dalam. “Kamu benar. Berarti kamu juga akan punya tugas baru.”

“Tugas baru? Jadi asisten Mas di kantor?” Lily memastikan.

Lucas menggeleng. “Gantikan saya mengurus ImajinasiKu sekaligus proyek film terbaru kita.”

“HAH? NGGAK BISA, DONG!” Lily refleks berteriak.

You can do it.”

Lily menggeleng heboh. Mana bisa dia me-manage production house milik Lucas sedangkan dirinya tidak memiliki pengalaman dan kemampuan apa pun?

You said before, sebagai istri akan mengikuti apa kata suami. Apa saya salah dengar waktu itu?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status