Lily menatap bangunan megah di hadapannya dengan bingung. Rumah mewah di depannya itu jauh lebih bagus dibandingkan rumah papa Lily. Tanahnya juga lebih luas. Dari gerbang ke teras rumah Lily rasa ada 200 meter.
“Mas ini rumah siapa? Mas Lucas tadi bilang mau pulang.” Lily menyuarakan kebingungannya.
“Ini rumah orang tuaku.” Lucas meraih helm yang masih dipakai oleh Lily.
Lily mengerjapkan matanya berkali-kali. Dia masih terpaku. Antara kaget dengan perlakuan manis Lucas atau jawaban pria yang baru menjadi suaminya itu.
“Ayo, masuk.” Lucas menarik tangan Lily naik ke teras rumah megah yang diakui sebagai rumah orang tuanya itu.
“Mas Lucas kenapa nggak bilang kalau … kalau dari keluarga yang—”
“Saya cuma sutradara amatir dan salah satu pemilik saham di kafe kecil,” potong Lucas.
Belum juga Lily menanggapi sanggahan Lucas, pintu dengan ukiran indah terbuka. Seorang perempuan paruh baya yang masih sangat cantik keluar dari balik pintu itu.
“Bersikap seperti pasangan normal, please,” bisik Lucas.
“Aduh, pengantin baru mesra sekali,” sambut ramah ibu Lucas.
Lily tersenyum dan mencoba menghilangkan gugupnya. “Halo, Tante, saya Lily. Maaf baru memperkenalkan diri sekarang,” ucap Lily seraya mengulurkan tangan kanannya yang bebas dari gandengan Lucas.
Tangan Lily disambut oleh ibu Lucas. “Jangan panggil Tante, dong. Panggil Mama, ya. Nama Mama, Anggika,” balas Anggika.
“Ba-baik, Ma.” Lily menjawab terbata. Saat Lily akan menarik tangannya, Anggika justru menariknya hingga Lily masuk ke dalam pelukan ibu Lucas itu.
Sekarang posisi Lily dipeluk oleh Anggika, tetapi tangan kirinya masih digenggam Lucas. Lily merasakan elusan tangan Anggika di punggungnya.
“Terima kasih, ya, Lily. Terima kasih karena kamu bersedia menjadi istri Lucas dan menantu Mama. Tolong maklumi anak sulung Mama, ya. Tapi kalau dia macam-macam, kamu bisa langsung lapor Mama.”
Lily terharu. Ucapan mama Lucas begitu tulus. Lily juga diserang rasa bersalah karena pernikahannya dengan Lucas hanya sebuah kesepakatan saling menguntungkan.
“Ma, sampai kapan kita berdiri di sini?” Lucas menginterupsi dengan nada lelah.
Anggika melepaskan pelukannya pada Lily. Mertua Lily itu berdecak menatap kesal sang putra. “Kamu ganggu momen manis Mama sama Lily aja.”
“Kasihan istriku, Ma. Dia capek berdiri terus,” balas Lucas beralasan.
Mendadak ekspresi Anggika berubah. Ibu Lucas itu memandang Lily dan Lucas bergantian dengan ekspresi … aneh. Entah apa arti tatapan itu, Lily tidak tahu.
Lily di bawa masuk ke rumah yang lebih mewah dari rumahnya itu. Begitu masuk Lily langsung disuguhi foto keluarga berukuran besar. Dari foto itu Lily tahu bahwa wajah blasteran Lucas berasal dari sang ayah. Dari sana juga Lily tahu kalau Lucas memiliki adik perempuan yang sepertinya berusia di bawah Lily.
Anggika membawa Lily berkeliling di lantai satu. Hanya lantai satu dan belum keseluruhan ruangan dikenalkan, tetapi sudah membuat Lily lelah. Kalau Lucas tidak menginterupsi seperti tadi, Lily tidak akan dibiarkan lepas dari tangan Anggika.
“Kamu istirahat di kamar Lucas, di lantai dua, ya.” Anggika mengelus lengan Lily dengan lembut, lalu beralih pada Lucas. “Biarkan istrimu tidur siang dengan nyenyak. Jangan diapa-apain. Nanti Lily tambah lelah.”
Lily mengernyit mendengar pesan Anggika kepada Lucas. Akan tetapi, Lily tidak berniat bertanya lebih lanjut. Dia ingin segera merebahkan tubuhnya.
“Oh, ya, Lily Sayang, besok siang temani Mama ke event penggalangan dana tahunan, ya. Gaunnya biar Mama yang urus.” Ucapan Anggika membuat langkah Lily dan Lucas terhenti.
“Baik, Ma,” jawab Lily patuh.
“Kamu nggak masalah kita tidur sekamar, ‘kan? Cuma malam ini. Besok kita tinggal di apartemen saya.” Lucas berucap setelah menutup pintu kamar.
Lily tersadar dengan hal itu. Jantungnya langsung berdentum-dentum mengingat fakta yang ada.
“Saya belum tahu bagaimana kita ke depannya, tapi saya akan menjamin keamanan dan kebutuhan kamu selama kita terikat pernikahan. Nggak perlu surat perjanjian di atas meterai karena saya pasti menjalankan tanggung jawab saya dan apa yang sudah saya ucapkan. Kamu bisa percaya dengan saya, Lily.”
***
Lily celingukan mencari mertuanya. Tadi dirinya dan sang ibu mertua berpisah karena Lily mendadak ingin ke kamar mandi. Kini Lily kesulitan mencari Anggika di tengah banyaknya orang.
Nahasnya, alih-alih bertemu dengan sang mertua Lily justru bertemu pandang dengan Melati. Lily tidak menyangka akan ada Melati di acara ini. Lily sudah bersiap untuk pura-pura tidak mengenal Melati, tetapi kakak tirinya itu malah menghampirinya bersama dengan seorang wanita muda.
“Lily, Kakak nggak tahu kamu bisa datang ke acara ini.” Melati menyapa Lily dengan topeng baik dan lembutnya.
Lily tidak balas menyapa. Dia hanya mengangguk tanpa senyum.
“Nana, ini adikku yang batal menikah dengan Hansel dari keluarga Wiratmaja. Namanya Lily.” Melati memperkenalkan Lily pada perempuan yang terlihat glamour.
“Oh, kenapa batal?” Perempuan yang dipanggil Nana oleh Melati itu memindai penampilan Lily. Tatapannya penuh penilaian.
“Ya, namanya juga nggak jodoh.” Bukan Lily yang menjawab, melainkan Melati.
“Lily kerja di mana? Apa nggak ikut di Barata Corp kayak kamu, Mel?” Teman Melati kembali bertanya.
“Lily ini nggak kerja. Maklumlah, masih muda. Makanya masih asyik nongkrong sana-sini dan foya-foya dengan para temannya. Nanti kalau udah siap kerja juga pasti ikut di perusahaan keluarga.” Melati tertawa dengan sok anggun.
Lily benar-benar muak dengan sikap dan ucapan Melati. Apalagi Melati sedikit mengeraskan suaranya saat mengatakan itu. Beberapa orang di sekitar mereka sampai menatapi Lily. Namun, Lily menahan diri. Lily tidak ingin mempermalukan mertuanya.
“Lily!” Anggika melambai kepada Lily.
Panggilan Anggika itu mengeluarkan Lily dari situasi menyebalkan yang diciptakan Melati. Lily segera berjalan ke arah ibu mertuanya dengan anggun. Di samping mertuanya Lily disambut dengan baik.
Acara penggalangan dana tahunan yang isinya perempuan semua itu dimulai. Lily baru tahu kalau mertuanya merupakan pemimpin gerakan sosial yang ia datangi ini. Anggika dipanggil ke depan untuk memberikan sambutan.
“Terima kasih atas kedatangannya di event penggalangan dana tahun ini. Saya selaku pengurus sangat senang dengan bertambahnya anggota di komunitas ini. Apa yang Anda semua berikan bisa membantu meringankan beban saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Dalam acara ini saya juga ingin memperkenalkan menantu saya. Jika saya tidak bisa hadir mengikuti setiap acara sosial kita mungkin nanti menantu saya yang mewakili.”
Anggika mengode Lily agar maju ke tempatnya berada. Mau tidak mau Lily menghampiri sang mertua dan seketika menjadi pusat perhatian.
“Ini Lily Santika, menantu saya. Anak saya Lucas Andromeda baru saja menikah dengan Lily. Nanti saat resepsi pernikahan mereka, saya pasti akan mengundang Anda sekalian.”
Lily membungkuk memberi hormat kepada seluruh tamu. Saat dia menegakkan tubuh, matanya bersiborok dengan Melati. Lily tersenyum sinis melihat keterkejutan perempuan pengkhianat itu. Lily puas, sangat-sangat puas.
***
“It’s your room.”Lily mengangguk. Ia tidak heran jika diberikan kamar sendiri alias terpisah dari Lucas. Lily tidak perlu repot bertanya alasannya. Kendati tidak ada kontrak di atas kertas, pernikahannya dengan Lucas tetap bukanlah pernikahan normal.“Wait!”Kaki Lily yang hendak melangkah menuju kamar yang diperuntukkan Lucas untuknya urung. “Kenapa, Mas?” tanya Lily.Tangan Lucas terulur kepada Lily. Di antara jarinya terselip kartu tipis berlogo sebuah bank. Lily pandangi kartu itu, tetapi tidak tergerak untuk mengambilnya.“Ini … apa, Mas?”“I told you before. Selama kita terikat pernikahan, everythings about you menjadi tanggung jawab saya.” Lucas menjawab sembari memandang Lily. Tangannya mengibaskan kartu itu di hadapan perempuan berstatus istrinya tersebut—tanda agar Lily gegas menerimanya.Akhirnya Lily menerima kartu yang mirip dengan miliknya yang ia kembalikan kepada Andrean. Ah, bukan milik Lily. Kartu itu hanya dipinjamkan Andrean kepadanya. Kartu yang Lily pegang saat i
Lily menggantikan Lucas memeluk Anggika yang menangis di depan ruang operasi. Seperempat jam lalu, saat Lily datang bersama Lucas, operasi sudah berlangsung selama 30 menit. Namun, sampai sekarang lampu tanda berlangsungnya operasi belum juga padam.Sepasang netra Lily tertuju pada Lucas. Lelaki itu bersandar di dinding dengan wajah muram. Lily tahu rasanya berada di posisi Lucas. Bedanya dulu yang di dalam ruang operasi adalah mama Lily.“Mama, udah nangisnya, ya. Kita berdoa aja semoga operasinya lancar dan segera selesai. Lily beliin minum hangat buat Mama, ya.”“Nggak usah, Ly. Mama nggak haus,” jawab Anggika dengan sendu. Ibu Lucas itu menarik diri dari pelukan Lily.Lily menggenggam tangan ibu mertuanya sebagai dukungan. “Mama nanti kalau matanya sembap jadi nggak kelihatan cantik di depan Papa, lho. Nanti pas sadar Papa pangling sama Mama,” kata Lily mencoba menghibur.Anggika tidak tersenyum, tetapi tangannya memberi tepukan lemah pada lengan Lily.Bibir Lily terbuka untuk mel
“Mulai hari ini Lily akan menggantikan saya sampai batas waktu yang belum ditentukan. Semua hal harus berjalan sesuai persetujuan Lily. Jika Lily belum memberi keputusan, maka tidak ada yang boleh mendahului keputusannya. Mohon dimengerti. Terima kasih.”Lily berdiri di sebelah Lucas yang sedang memberi pengumuman kepada seluruh karyawan sekaligus beberapa perwakilan dari mitra ImajinasiKu.“Mohon bantuan dan bimbingannya,” ucap Lily sebelum membungkuk sejenak kepada semua orang.“Apakah pengumuman ini bisa dimengerti dan dilaksanakan?” tanya Lucas mempertegas.“Bisa, Pak!” Serempak semua menjawab.“Oke, kalau begitu saya tinggal.”Lily dan Lucas bertatapan sekilas, lalu mengangguk bersamaan. Lucas lantas meninggalkan ruang meeting kantor ImajinasiKu. Kini tinggal Lily yang menghadapi 10 orang yang menatapnya ragu. Rasa canggung dan bingung tak bisa Lily singkirkan.“Bu, ini tab kerja Ibu. Semua laporan dan hal yang perlu Anda pelajari ada di sini.”Atensi Lily teralih kepada seorang l
“Aku hanya salah lihat. Aku pasti salah lihat.”Lily terus merapalkan kalimat yang sama sepanjang ia melangkah. Seolah-olah itu adalah mantra penolak bala. Untung saja sepanjang lorong Lily tidak bertemu dengan siapa pun. Kalau saja berpapasan dengan orang lain, mungkin ia akan disangka aneh.Sesampainya di ujung lorong, Lily tidak masuk ke dalam kotak lift. Ia justru berbelok menuju tangga darurat. Lily langsung mendudukkan diri pada anak tangga begitu pintu tangga darurat tertutup. Air mata yang ditahannya seketika mengalir deras bak air bah. Satu tangannya menutup mulut agar isaknya tidak terdengar keluar. Sementara tangannya yang lain mencengkeram gagang rantang dengan kuat.“Aku salah lihat. Salah lihat,” lantun Lily lirih. Kedua pipi Lily sudah sepenuhnya basah. Ketika memejamkan mata, apa yang dilihatnya tadi justru semakin jelas.“Mereka nggak mungkin tega mengkhianati aku, ‘kan?” tanya Lily yang tidak mendapatkan jawaban karena dia sendirian. Perempuan 24 tahun itu makin terg
“Ayo, kita ketemu.”Pagi-pagi sekali Lily sudah menelepon Hansel. Semalaman dia tidak tidur. Waktunya habis untuk menangisi kisah cintanya dengan Hansel serta merutuki kebodohannya sendiri.[Kangen, ya, Babe?]Kalau biasanya Lily akan menjawab dengan manja, maka kali ini Lily mengernyit jijik mendengar balasan dari Hansel. Lily yakin sebenarnya Hansel sudah tahu dari Melati perihal kemarin. Namun, lelaki yang menjabat sebagai pacar Lily selama tiga tahun itu pura-pura tidak mengetahui.“Nanti aku share waktu dan tempat pertemuan kita.” Tanpa menunggu jawaban dari Hansel, Lily menutup sambungan telepon.Lily menaruh ponselnya di atas nakas dan kembali merebahkan diri. Otaknya mulai menyusun rencana untuk hari ini. Lily akan menginterogasi Hansel habis-habisan. Siapa tahu nanti bisa digunakan sebagai bukti perselingkuhan lelaki itu dengan Melati.Kepala Lily terarah ke kanan. Matanya langsung menangkap pigura dengan potret sang ibu yang bernama Nina. Nina sudah meninggal sejak Lily bera
“Ah!”“LILY!”Semua mata tertuju kepada Lily yang kini berjongkok memungut pecahan gelas dan piring. Dia baru saja menjatuhkan makanan dan minuman pesanan pelanggan kafe tempatnya bekerja.“Gila, ya, kamu! Belum seminggu kerja di sini udah bikin rugi banyak. Udah lebih dari lima kali kamu mecahin peralatan makan kafe. Kamu kalau nggak niat kerja, ya, jangan kerja. Bisa bangkrut kafe ini kalau kamu terus bekerja di sini. Heran banget sama Mas Lucas, bisa-bisanya bawa kamu ke sini.” Manajer kafe memarahi Lily di tengah padatnya pengunjung.“Maaf, Bu,” cicit Lily yang tak berani mendongakkan wajah. Rasa sesal, kesal, dan malu menyelimutinya.“Maaf kamu itu ngg—”“Lily, ke ruangan saya setelah membereskan itu.” Lucas, lelaki yang menyerempet sekaligus menolong Lily, menginterupsi omelan sang manajer galak.Kini di sinilah Lily, duduk di hadapan Lucas. Kepalanya tertunduk. Lily tahu pasti dirinya akan dipecat. Bos mana yang mau menggaji karyawan yang tidak becus bekerja. Entah bagaimana na
“Kamu mau menikah, tapi bukan dengan Hansel. Otak kamu di mana, Lily?”Bentakan Andrean memenuhi ruang tamu kediaman Barata. Lily bersampingan dengan Lucas di hadapan Andrean. Namun, tidak hanya ada mereka bertiga. Sania dan Melati pun turut duduk di sana.“Jadi, sebenarnya yang berkhianat itu kamu atau Hansel, Ly?” tanya Sania yang lebih terdengar seperti cemoohan.“Apa nggak bikin malu keluarga Barata, ya, Ly? Tiba-tiba kamu mau nikah sama cowok lain. Maaf kalau Kakak ngomong begini.” Melati ikut bersuara.Lily memandang Sania dan Melati dengan kekesalan secara bergantian. Pasalnya, Lily tahu kalau ibu dan kakak tirinya itu sedang mengejeknya secara halus. Lily duga, mereka berdua pasti sengaja berkata demikian untuk menambah amarah Andrean padanya. Wajah asli di balik topeng baik ibu dan anak itu sudah Lily ketahui.Pandangan Lily kembali tertuju pada papanya. “Pa, tapi aku benar-benar ingin menikah dengan Mas Lucas. Mas Lucas orang yang baik, Pa,” ucap Lily meyakinkan sang papa.“