Lily menatap bangunan megah di hadapannya dengan bingung. Rumah mewah di depannya itu jauh lebih bagus dibandingkan rumah papa Lily. Tanahnya juga lebih luas. Dari gerbang ke teras rumah Lily rasa ada 200 meter.
“Mas ini rumah siapa? Mas Lucas tadi bilang mau pulang.” Lily menyuarakan kebingungannya.
“Ini rumah orang tuaku.” Lucas meraih helm yang masih dipakai oleh Lily.
Lily mengerjapkan matanya berkali-kali. Dia masih terpaku. Antara kaget dengan perlakuan manis Lucas atau jawaban pria yang baru menjadi suaminya itu.
“Ayo, masuk.” Lucas menarik tangan Lily naik ke teras rumah megah yang diakui sebagai rumah orang tuanya itu.
“Mas Lucas kenapa nggak bilang kalau … kalau dari keluarga yang—”
“Saya cuma sutradara amatir dan salah satu pemilik saham di kafe kecil,” potong Lucas.
Belum juga Lily menanggapi sanggahan Lucas, pintu dengan ukiran indah terbuka. Seorang perempuan paruh baya yang masih sangat cantik keluar dari balik pintu itu.
“Bersikap seperti pasangan normal, please,” bisik Lucas.
“Aduh, pengantin baru mesra sekali,” sambut ramah ibu Lucas.
Lily tersenyum dan mencoba menghilangkan gugupnya. “Halo, Tante, saya Lily. Maaf baru memperkenalkan diri sekarang,” ucap Lily seraya mengulurkan tangan kanannya yang bebas dari gandengan Lucas.
Tangan Lily disambut oleh ibu Lucas. “Jangan panggil Tante, dong. Panggil Mama, ya. Nama Mama, Anggika,” balas Anggika.
“Ba-baik, Ma.” Lily menjawab terbata. Saat Lily akan menarik tangannya, Anggika justru menariknya hingga Lily masuk ke dalam pelukan ibu Lucas itu.
Sekarang posisi Lily dipeluk oleh Anggika, tetapi tangan kirinya masih digenggam Lucas. Lily merasakan elusan tangan Anggika di punggungnya.
“Terima kasih, ya, Lily. Terima kasih karena kamu bersedia menjadi istri Lucas dan menantu Mama. Tolong maklumi anak sulung Mama, ya. Tapi kalau dia macam-macam, kamu bisa langsung lapor Mama.”
Lily terharu. Ucapan mama Lucas begitu tulus. Lily juga diserang rasa bersalah karena pernikahannya dengan Lucas hanya sebuah kesepakatan saling menguntungkan.
“Ma, sampai kapan kita berdiri di sini?” Lucas menginterupsi dengan nada lelah.
Anggika melepaskan pelukannya pada Lily. Mertua Lily itu berdecak menatap kesal sang putra. “Kamu ganggu momen manis Mama sama Lily aja.”
“Kasihan istriku, Ma. Dia capek berdiri terus,” balas Lucas beralasan.
Mendadak ekspresi Anggika berubah. Ibu Lucas itu memandang Lily dan Lucas bergantian dengan ekspresi … aneh. Entah apa arti tatapan itu, Lily tidak tahu.
Lily di bawa masuk ke rumah yang lebih mewah dari rumahnya itu. Begitu masuk Lily langsung disuguhi foto keluarga berukuran besar. Dari foto itu Lily tahu bahwa wajah blasteran Lucas berasal dari sang ayah. Dari sana juga Lily tahu kalau Lucas memiliki adik perempuan yang sepertinya berusia di bawah Lily.
Anggika membawa Lily berkeliling di lantai satu. Hanya lantai satu dan belum keseluruhan ruangan dikenalkan, tetapi sudah membuat Lily lelah. Kalau Lucas tidak menginterupsi seperti tadi, Lily tidak akan dibiarkan lepas dari tangan Anggika.
“Kamu istirahat di kamar Lucas, di lantai dua, ya.” Anggika mengelus lengan Lily dengan lembut, lalu beralih pada Lucas. “Biarkan istrimu tidur siang dengan nyenyak. Jangan diapa-apain. Nanti Lily tambah lelah.”
Lily mengernyit mendengar pesan Anggika kepada Lucas. Akan tetapi, Lily tidak berniat bertanya lebih lanjut. Dia ingin segera merebahkan tubuhnya.
“Oh, ya, Lily Sayang, besok siang temani Mama ke event penggalangan dana tahunan, ya. Gaunnya biar Mama yang urus.” Ucapan Anggika membuat langkah Lily dan Lucas terhenti.
“Baik, Ma,” jawab Lily patuh.
“Kamu nggak masalah kita tidur sekamar, ‘kan? Cuma malam ini. Besok kita tinggal di apartemen saya.” Lucas berucap setelah menutup pintu kamar.
Lily tersadar dengan hal itu. Jantungnya langsung berdentum-dentum mengingat fakta yang ada.
“Saya belum tahu bagaimana kita ke depannya, tapi saya akan menjamin keamanan dan kebutuhan kamu selama kita terikat pernikahan. Nggak perlu surat perjanjian di atas meterai karena saya pasti menjalankan tanggung jawab saya dan apa yang sudah saya ucapkan. Kamu bisa percaya dengan saya, Lily.”
***
Lily celingukan mencari mertuanya. Tadi dirinya dan sang ibu mertua berpisah karena Lily mendadak ingin ke kamar mandi. Kini Lily kesulitan mencari Anggika di tengah banyaknya orang.
Nahasnya, alih-alih bertemu dengan sang mertua Lily justru bertemu pandang dengan Melati. Lily tidak menyangka akan ada Melati di acara ini. Lily sudah bersiap untuk pura-pura tidak mengenal Melati, tetapi kakak tirinya itu malah menghampirinya bersama dengan seorang wanita muda.
“Lily, Kakak nggak tahu kamu bisa datang ke acara ini.” Melati menyapa Lily dengan topeng baik dan lembutnya.
Lily tidak balas menyapa. Dia hanya mengangguk tanpa senyum.
“Nana, ini adikku yang batal menikah dengan Hansel dari keluarga Wiratmaja. Namanya Lily.” Melati memperkenalkan Lily pada perempuan yang terlihat glamour.
“Oh, kenapa batal?” Perempuan yang dipanggil Nana oleh Melati itu memindai penampilan Lily. Tatapannya penuh penilaian.
“Ya, namanya juga nggak jodoh.” Bukan Lily yang menjawab, melainkan Melati.
“Lily kerja di mana? Apa nggak ikut di Barata Corp kayak kamu, Mel?” Teman Melati kembali bertanya.
“Lily ini nggak kerja. Maklumlah, masih muda. Makanya masih asyik nongkrong sana-sini dan foya-foya dengan para temannya. Nanti kalau udah siap kerja juga pasti ikut di perusahaan keluarga.” Melati tertawa dengan sok anggun.
Lily benar-benar muak dengan sikap dan ucapan Melati. Apalagi Melati sedikit mengeraskan suaranya saat mengatakan itu. Beberapa orang di sekitar mereka sampai menatapi Lily. Namun, Lily menahan diri. Lily tidak ingin mempermalukan mertuanya.
“Lily!” Anggika melambai kepada Lily.
Panggilan Anggika itu mengeluarkan Lily dari situasi menyebalkan yang diciptakan Melati. Lily segera berjalan ke arah ibu mertuanya dengan anggun. Di samping mertuanya Lily disambut dengan baik.
Acara penggalangan dana tahunan yang isinya perempuan semua itu dimulai. Lily baru tahu kalau mertuanya merupakan pemimpin gerakan sosial yang ia datangi ini. Anggika dipanggil ke depan untuk memberikan sambutan.
“Terima kasih atas kedatangannya di event penggalangan dana tahun ini. Saya selaku pengurus sangat senang dengan bertambahnya anggota di komunitas ini. Apa yang Anda semua berikan bisa membantu meringankan beban saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Dalam acara ini saya juga ingin memperkenalkan menantu saya. Jika saya tidak bisa hadir mengikuti setiap acara sosial kita mungkin nanti menantu saya yang mewakili.”
Anggika mengode Lily agar maju ke tempatnya berada. Mau tidak mau Lily menghampiri sang mertua dan seketika menjadi pusat perhatian.
“Ini Lily Santika, menantu saya. Anak saya Lucas Andromeda baru saja menikah dengan Lily. Nanti saat resepsi pernikahan mereka, saya pasti akan mengundang Anda sekalian.”
Lily membungkuk memberi hormat kepada seluruh tamu. Saat dia menegakkan tubuh, matanya bersiborok dengan Melati. Lily tersenyum sinis melihat keterkejutan perempuan pengkhianat itu. Lily puas, sangat-sangat puas.
***
“It’s your room.”Lily mengangguk. Ia tidak heran jika diberikan kamar sendiri alias terpisah dari Lucas. Lily tidak perlu repot bertanya alasannya. Kendati tidak ada kontrak di atas kertas, pernikahannya dengan Lucas tetap bukanlah pernikahan normal.“Wait!”Kaki Lily yang hendak melangkah menuju kamar yang diperuntukkan Lucas untuknya urung. “Kenapa, Mas?” tanya Lily.Tangan Lucas terulur kepada Lily. Di antara jarinya terselip kartu tipis berlogo sebuah bank. Lily pandangi kartu itu, tetapi tidak tergerak untuk mengambilnya.“Ini … apa, Mas?”“I told you before. Selama kita terikat pernikahan, everythings about you menjadi tanggung jawab saya.” Lucas menjawab sembari memandang Lily. Tangannya mengibaskan kartu itu di hadapan perempuan berstatus istrinya tersebut—tanda agar Lily gegas menerimanya.Akhirnya Lily menerima kartu yang mirip dengan miliknya yang ia kembalikan kepada Andrean. Ah, bukan milik Lily. Kartu itu hanya dipinjamkan Andrean kepadanya. Kartu yang Lily pegang saat i
Lily menggantikan Lucas memeluk Anggika yang menangis di depan ruang operasi. Seperempat jam lalu, saat Lily datang bersama Lucas, operasi sudah berlangsung selama 30 menit. Namun, sampai sekarang lampu tanda berlangsungnya operasi belum juga padam.Sepasang netra Lily tertuju pada Lucas. Lelaki itu bersandar di dinding dengan wajah muram. Lily tahu rasanya berada di posisi Lucas. Bedanya dulu yang di dalam ruang operasi adalah mama Lily.“Mama, udah nangisnya, ya. Kita berdoa aja semoga operasinya lancar dan segera selesai. Lily beliin minum hangat buat Mama, ya.”“Nggak usah, Ly. Mama nggak haus,” jawab Anggika dengan sendu. Ibu Lucas itu menarik diri dari pelukan Lily.Lily menggenggam tangan ibu mertuanya sebagai dukungan. “Mama nanti kalau matanya sembap jadi nggak kelihatan cantik di depan Papa, lho. Nanti pas sadar Papa pangling sama Mama,” kata Lily mencoba menghibur.Anggika tidak tersenyum, tetapi tangannya memberi tepukan lemah pada lengan Lily.Bibir Lily terbuka untuk mel
“Mulai hari ini Lily akan menggantikan saya sampai batas waktu yang belum ditentukan. Semua hal harus berjalan sesuai persetujuan Lily. Jika Lily belum memberi keputusan, maka tidak ada yang boleh mendahului keputusannya. Mohon dimengerti. Terima kasih.”Lily berdiri di sebelah Lucas yang sedang memberi pengumuman kepada seluruh karyawan sekaligus beberapa perwakilan dari mitra ImajinasiKu.“Mohon bantuan dan bimbingannya,” ucap Lily sebelum membungkuk sejenak kepada semua orang.“Apakah pengumuman ini bisa dimengerti dan dilaksanakan?” tanya Lucas mempertegas.“Bisa, Pak!” Serempak semua menjawab.“Oke, kalau begitu saya tinggal.”Lily dan Lucas bertatapan sekilas, lalu mengangguk bersamaan. Lucas lantas meninggalkan ruang meeting kantor ImajinasiKu. Kini tinggal Lily yang menghadapi 10 orang yang menatapnya ragu. Rasa canggung dan bingung tak bisa Lily singkirkan.“Bu, ini tab kerja Ibu. Semua laporan dan hal yang perlu Anda pelajari ada di sini.”Atensi Lily teralih kepada seorang l
Lily tidak menoleh. Ia berdiri di depan wastafel—yang artinya bersebelahan dengan salah satu dari perempuan penggosip itu. Lily berusaha menampilkan ekspresi datar. Kemarahan ia tekan sampai ke dasar jurang hatinya.Dari ekor matanya Lily melihat dua perempuan berbaju kurang bahan untuk bekerja itu saling bersikutan. Lily cuek saja. Ia tetap mencuci tangan dengan khusyuk. Saat Lily menarik tisu, suara dari si Perempuan Rok Mini menyapa rungunya.“B-Bu kami mi-minta m-maaf,” ucapnya terbata.Lily belum memberi atensi. Tangannya sudah kering, tetapi Lily masih pura-pura sibuk mengelap tangannya.“Kami benar-benar minta maaf, Bu.” Kali ini gantian perempuan yang memakai celana mini. Dia menarik temannya mendekati Lily.Lily terpaksa menyerongkan badan untuk bertatapan dengan dua perempuan—yang kata Jo—dari tim promosi. “Nggak perlu minta maaf sama saya. Saya nggak apa-apa, kok,” sahut Lily mencoba santai.Kedua perempuan di hadapan Lily terlihat menghela napas lega. Lily tersenyum sinis.
“Benar mau dipotong sependek ini, Cyin?”Lily menatap pantulan kaca di hadapannya. Di kaca itu ada figur Lily dan ‘lelaki melambai’ yang memegang rambutnya. Rambut yang Lily rawat dengan baik hingga tumbuh sehat dan panjang, relakah Lily memangkasnya?Sejak keluar dari rumah, Lily memang ingin mengubah beberapa hal dalam dirinya. Memangkas dan mengubah warna rambut mungkin memang diperlukan. Perubahan penampilan fisik akan menjadi pertanda perubahan hidup Lily.“Iya. Tolong potong segitu.” Lily menjawab mantap.Selagi menunggu kapster mempersiapkan perlengkapan ‘eksekusi’, Lily mengambil potret terakhir dirinya dengan rambut panjang berwarna dark brown. Lily mengembuskan napas keras sebelum memakai jubah pelindung pangkas rambut.Kapster yang selalu memproklamirkan namanya Alisa itu mulai mangkas rambut lembut Lily. Lily tidak mau memperhatikan. Jadi, perempuan itu lebih memilih bermain ponsel.“Udah, Cyin. Jadi ganti warna nggak?” Setelah beberapa menit, kapster kemayu itu menyadarka
“Tolong antar saya ke rumah sakit aja.”Sore ini Lily ingin mengunjungi ayah mertuanya sepulang bekerja. Ayah mertuanya sudah sadar dari koma, tetapi belum diizinkan untuk pulang. Lily belum sempat mengunjungi Edward lagi. Jadi, dia putuskan akan mampir ke rumah sakit lebih dulu sebelum pulang.Jo mengangguk mengerti. “Mau mampir beli buah tangan dulu, Mbak?” tanyanya kemudian.Lily berpikir sejenak. Sebenarnya di rumah sakit pasti sudah banyak makanan. Apalagi kamar mertuanya adalah kelas tertinggi. Orang yang menunggui pasien juga sudah mendapat jatah makan lengkap. Namun, pada akhirnya Lily menyebutkan sebuah toko kue dan buah premium.Saat sampai rumah sakit, ternyata Jo ikut Lily menjenguk Edward. Mereka berjalan beriringan menuju kamar rawat Edward tanpa suara. Lily mengetuk pintu sebelum masuk dengan mengucapkan salam. Anggika semringah melihat Lily. Perempuan itu berdiri menyambut.“Wah … siapa ini, kok cantik banget,” sambut Anggika menggoda.Lily tersipu di pelukan Anggika.
Waktu menunjukkan hampir tengah malam. Lily baru saja terbangun karena merasakan kantung kemihnya penuh. Karena besok weekend, tadi sore Lily dan Lucas mampir ke rumah sakit lagi. Mereka cukup lama di sana. Lily pun banyak minum sehingga malam-malam dia harus terbangun untuk menuntaskan hajat.Sebelum kembali ke ranjang, Lily melirik sofa bed tempat tidur Lucas selama di rumah orang tuanya. Melihat posisi selimut yang melorot, Lily berinisiatif memperbaikinya. Saat berdiri di samping Lucas tidur baru Lily sadari jika sofa bed itu tidak mampu menampung tinggi badan Lucas.Lily terenyuh. Lucas pasti menahan ketidaknyamannya. Padahal ini di rumahnya sendiri, tetapi Lucas malah tidak tidur dengan baik.“Mas, bangun.”Lily menepuk lengan Lucas yang tidur di sofa bed. Beberapa kali tepukan Lucas tak kunjung bangun. Pria itu terlihat begitu pulas. Di wajahnya juga terdapat gurat kelelahan. Akan tetapi, kasihan kalau dibiarkan tetap tidur di tempat tidak nyaman begitu. Pada akhirnya, Lily me
“Astaga!”Lengkingan serta gerakan heboh Lily membuat lelaki yang tidur satu ranjang dengannya terganggu.“What’s wrong?” tanya Lucas serak. Matanya terbuka sekejap, lalu terpejam lagi.“Kita kesiangan, Mas,” jawab Lily sambil lalu. Lily melesat ke walk in closet untuk mengambil baju ganti. Berlari kecil Lily menuju kamar mandi. Ini memang akhir pekan, tetapi Lily dan Lucas ada agenda pagi ini. Sekarang sudah terlambat 20 menit dari waktu seharusnya mereka pergi. Gara-gara mengobrol sampai dini hari Lily dan Lucas terlambat bangun.Tidak selama biasanya Lily berada di kamar mandi. Ia hanya melakukan aktivitas di kamar mandi dengan kilat. Dia sudah mencoba bersiap secepat yang dirinya bisa, tetapi saat kembali ke kamar Lily dibuat kesal.Lucas masih bergelung di balik selimut. Sepertinya pria itu tidur lagi. Rasanya Lily mau mencak-mencak.“Terserah, deh. Aku pergi sendiri aja. Minta diantar sopir aja,” ucap Lily bicara sendiri.Lily tidak sempat merias wajah. Dia hanya menggunakan ba
“Jawab dengan jujur, Lily. Apa yang terjadi?”Lily meringis mendengar pertanyaan Lucas. Dia yang mewanti-wanti agar Jo tidak melaporkan kepada Lucas tentang apa yang terjadi. Namun, Lily dengan bodoh malah membongkarnya sendiri.“Ehmm ….” Lily memutar otak mencari alasan yang masuk akal.“Lilyana?” Suara Lucas sarat intimidasi.Sepasang kelopak Lily tertutup. Memang mau dibuat-buat sebagaimana pun tetap tidak ketemu alasan masuk akal untuk menjawab Lucas. Sepertinya Lily harus mengatakan dengan jujur apa yang terjadi di rumah produksi yang Lucas dirikan.“Sebenarnya, aku ngasih SP buat dua orang tim promosi. Namanya Sherly sama Dania. Dua orang itu berpakaian kurang sopan di kantor. Niatnya cuma kutegur, tapi mereka ketahuan ngata-ngatain aku. Sejujurnya, ….” Lily mengamati perubahan ekspresi Lucas, tetapi tidak ada perubahan berarti.Karena itu, Lily berani melanjutkan ceritanya. “Sejujurnya, apa yang aku lakukan itu kekanak-kanakan. Aku ambil keputusan karena emosi. Aku udah nggak pr
Kaki jenjang Lily membawa perempuan itu ke depan meja resepsionis AnA Construction. Siang ini Lily datang ke perusahaan tempat sang suami bekerja. Selain untuk menyampaikan suatu hal yang penting, juga untuk makan siang bersama. Lily datang sendiri sebab Jo sedang memantau persiapan syuting miniseri.“Permisi, saya mau bertemu Pak Lucas Andromeda,” ucap Lily.“Sudah ada janji, Bu?” tanya sang resepsionis sesuai standar.“Tadi saya sudah kirim pesan ke Pak Lucas langsung tadi.”“Baik. Saya konfirmasi ke sekretaris Pak Lucas sebentar, ya, Bu. Atas nama Ibu siapa?” Tanggapan resepsionis itu kian ramah.“Bilang saja atas nama Lilyana dari ImajinasiKu.”Setelah mendapat jawaban dari sekretaris Lucas, Lily dipersilakan naik. Sesampainya di lantai yang dituju Lily diminta menunggu. Ternyata Lucas sedang rapat. Di pojok ruangan dengan 3 sofa single dan meja bundar yang cukup nyaman itu Lily duduk seorang diri. Kaca besar yang menampilkan pemandangan kota menjadi perhatian Lily.“Silakan dimin
Lily menghapus air mata yang diam-diam keluar. Ia terharu melihat pemandangan di hadapannya. Celine sedang memeluk Edward di atas ranjang rumah sakit setelah menangis tersedu. Celine yang ceria kini hilang. Adik Lucas itu sudah tidak mampu menutupi kesedihan mendengar sang ayah sakit.Serapat-rapatnya keluarga menutupi dari Celine, pada akhirnya dia mengetahui jika Edward kecelakaan dan tengah dirawat. Itulah alasan Celine pulang dari London. Saat menelepon untuk mengonfirmasi kebenaran berita tentang Edward memang Celine menangis, tetapi sekadar menitikkan air mata.Kepala Lily menoleh ke samping kala dirasa ada yang memeluk bahunya. Ternyata itu datang dari sang suami. Lucas menatap lurus ke depan. Kini Lily menelengkan kepalanya agar bisa melihat ke mata Lucas. Mungkin karena merasa diperhatikan, Lucas menoleh kepada Lily.“Apa?” gumam Lucas.Gelengan Lily berikan untuk Lucas.Lucas mendengkus, tetapi kepalanya kembali diarahkan ke depan. Lily pun mengikuti gerakan itu.“Udah, ya,
“Astaga!”Lengkingan serta gerakan heboh Lily membuat lelaki yang tidur satu ranjang dengannya terganggu.“What’s wrong?” tanya Lucas serak. Matanya terbuka sekejap, lalu terpejam lagi.“Kita kesiangan, Mas,” jawab Lily sambil lalu. Lily melesat ke walk in closet untuk mengambil baju ganti. Berlari kecil Lily menuju kamar mandi. Ini memang akhir pekan, tetapi Lily dan Lucas ada agenda pagi ini. Sekarang sudah terlambat 20 menit dari waktu seharusnya mereka pergi. Gara-gara mengobrol sampai dini hari Lily dan Lucas terlambat bangun.Tidak selama biasanya Lily berada di kamar mandi. Ia hanya melakukan aktivitas di kamar mandi dengan kilat. Dia sudah mencoba bersiap secepat yang dirinya bisa, tetapi saat kembali ke kamar Lily dibuat kesal.Lucas masih bergelung di balik selimut. Sepertinya pria itu tidur lagi. Rasanya Lily mau mencak-mencak.“Terserah, deh. Aku pergi sendiri aja. Minta diantar sopir aja,” ucap Lily bicara sendiri.Lily tidak sempat merias wajah. Dia hanya menggunakan ba
Waktu menunjukkan hampir tengah malam. Lily baru saja terbangun karena merasakan kantung kemihnya penuh. Karena besok weekend, tadi sore Lily dan Lucas mampir ke rumah sakit lagi. Mereka cukup lama di sana. Lily pun banyak minum sehingga malam-malam dia harus terbangun untuk menuntaskan hajat.Sebelum kembali ke ranjang, Lily melirik sofa bed tempat tidur Lucas selama di rumah orang tuanya. Melihat posisi selimut yang melorot, Lily berinisiatif memperbaikinya. Saat berdiri di samping Lucas tidur baru Lily sadari jika sofa bed itu tidak mampu menampung tinggi badan Lucas.Lily terenyuh. Lucas pasti menahan ketidaknyamannya. Padahal ini di rumahnya sendiri, tetapi Lucas malah tidak tidur dengan baik.“Mas, bangun.”Lily menepuk lengan Lucas yang tidur di sofa bed. Beberapa kali tepukan Lucas tak kunjung bangun. Pria itu terlihat begitu pulas. Di wajahnya juga terdapat gurat kelelahan. Akan tetapi, kasihan kalau dibiarkan tetap tidur di tempat tidak nyaman begitu. Pada akhirnya, Lily me
“Tolong antar saya ke rumah sakit aja.”Sore ini Lily ingin mengunjungi ayah mertuanya sepulang bekerja. Ayah mertuanya sudah sadar dari koma, tetapi belum diizinkan untuk pulang. Lily belum sempat mengunjungi Edward lagi. Jadi, dia putuskan akan mampir ke rumah sakit lebih dulu sebelum pulang.Jo mengangguk mengerti. “Mau mampir beli buah tangan dulu, Mbak?” tanyanya kemudian.Lily berpikir sejenak. Sebenarnya di rumah sakit pasti sudah banyak makanan. Apalagi kamar mertuanya adalah kelas tertinggi. Orang yang menunggui pasien juga sudah mendapat jatah makan lengkap. Namun, pada akhirnya Lily menyebutkan sebuah toko kue dan buah premium.Saat sampai rumah sakit, ternyata Jo ikut Lily menjenguk Edward. Mereka berjalan beriringan menuju kamar rawat Edward tanpa suara. Lily mengetuk pintu sebelum masuk dengan mengucapkan salam. Anggika semringah melihat Lily. Perempuan itu berdiri menyambut.“Wah … siapa ini, kok cantik banget,” sambut Anggika menggoda.Lily tersipu di pelukan Anggika.
“Benar mau dipotong sependek ini, Cyin?”Lily menatap pantulan kaca di hadapannya. Di kaca itu ada figur Lily dan ‘lelaki melambai’ yang memegang rambutnya. Rambut yang Lily rawat dengan baik hingga tumbuh sehat dan panjang, relakah Lily memangkasnya?Sejak keluar dari rumah, Lily memang ingin mengubah beberapa hal dalam dirinya. Memangkas dan mengubah warna rambut mungkin memang diperlukan. Perubahan penampilan fisik akan menjadi pertanda perubahan hidup Lily.“Iya. Tolong potong segitu.” Lily menjawab mantap.Selagi menunggu kapster mempersiapkan perlengkapan ‘eksekusi’, Lily mengambil potret terakhir dirinya dengan rambut panjang berwarna dark brown. Lily mengembuskan napas keras sebelum memakai jubah pelindung pangkas rambut.Kapster yang selalu memproklamirkan namanya Alisa itu mulai mangkas rambut lembut Lily. Lily tidak mau memperhatikan. Jadi, perempuan itu lebih memilih bermain ponsel.“Udah, Cyin. Jadi ganti warna nggak?” Setelah beberapa menit, kapster kemayu itu menyadarka
Lily tidak menoleh. Ia berdiri di depan wastafel—yang artinya bersebelahan dengan salah satu dari perempuan penggosip itu. Lily berusaha menampilkan ekspresi datar. Kemarahan ia tekan sampai ke dasar jurang hatinya.Dari ekor matanya Lily melihat dua perempuan berbaju kurang bahan untuk bekerja itu saling bersikutan. Lily cuek saja. Ia tetap mencuci tangan dengan khusyuk. Saat Lily menarik tisu, suara dari si Perempuan Rok Mini menyapa rungunya.“B-Bu kami mi-minta m-maaf,” ucapnya terbata.Lily belum memberi atensi. Tangannya sudah kering, tetapi Lily masih pura-pura sibuk mengelap tangannya.“Kami benar-benar minta maaf, Bu.” Kali ini gantian perempuan yang memakai celana mini. Dia menarik temannya mendekati Lily.Lily terpaksa menyerongkan badan untuk bertatapan dengan dua perempuan—yang kata Jo—dari tim promosi. “Nggak perlu minta maaf sama saya. Saya nggak apa-apa, kok,” sahut Lily mencoba santai.Kedua perempuan di hadapan Lily terlihat menghela napas lega. Lily tersenyum sinis.
“Mulai hari ini Lily akan menggantikan saya sampai batas waktu yang belum ditentukan. Semua hal harus berjalan sesuai persetujuan Lily. Jika Lily belum memberi keputusan, maka tidak ada yang boleh mendahului keputusannya. Mohon dimengerti. Terima kasih.”Lily berdiri di sebelah Lucas yang sedang memberi pengumuman kepada seluruh karyawan sekaligus beberapa perwakilan dari mitra ImajinasiKu.“Mohon bantuan dan bimbingannya,” ucap Lily sebelum membungkuk sejenak kepada semua orang.“Apakah pengumuman ini bisa dimengerti dan dilaksanakan?” tanya Lucas mempertegas.“Bisa, Pak!” Serempak semua menjawab.“Oke, kalau begitu saya tinggal.”Lily dan Lucas bertatapan sekilas, lalu mengangguk bersamaan. Lucas lantas meninggalkan ruang meeting kantor ImajinasiKu. Kini tinggal Lily yang menghadapi 10 orang yang menatapnya ragu. Rasa canggung dan bingung tak bisa Lily singkirkan.“Bu, ini tab kerja Ibu. Semua laporan dan hal yang perlu Anda pelajari ada di sini.”Atensi Lily teralih kepada seorang l