“Kamu mau menikah, tapi bukan dengan Hansel. Otak kamu di mana, Lily?”
Bentakan Andrean memenuhi ruang tamu kediaman Barata. Lily bersampingan dengan Lucas di hadapan Andrean. Namun, tidak hanya ada mereka bertiga. Sania dan Melati pun turut duduk di sana.
“Jadi, sebenarnya yang berkhianat itu kamu atau Hansel, Ly?” tanya Sania yang lebih terdengar seperti cemoohan.
“Apa nggak bikin malu keluarga Barata, ya, Ly? Tiba-tiba kamu mau nikah sama cowok lain. Maaf kalau Kakak ngomong begini.” Melati ikut bersuara.
Lily memandang Sania dan Melati dengan kekesalan secara bergantian. Pasalnya, Lily tahu kalau ibu dan kakak tirinya itu sedang mengejeknya secara halus. Lily duga, mereka berdua pasti sengaja berkata demikian untuk menambah amarah Andrean padanya. Wajah asli di balik topeng baik ibu dan anak itu sudah Lily ketahui.
Pandangan Lily kembali tertuju pada papanya. “Pa, tapi aku benar-benar ingin menikah dengan Mas Lucas. Mas Lucas orang yang baik, Pa,” ucap Lily meyakinkan sang papa.
“Baik kalau tidak bisa mencukupi kamu juga tidak ada gunanya, Ly. Tante lihat kendaraannya cuma motor. Kerjaannya juga nggak jelas. Dia bukan sutradara film box office, ‘kan? Penghasilan pegiat seni di negara ini belum menjanjikan. Bagaimana dia bisa memenuhi pengeluaran kamu seperti yang selama ini Papa lakukan?” Lagi, Sania menyumbangkan suara. Istri Andrean itu menghina Lucas seolah Lucas tidak ada di hadapannya.
“Mama benar, Ly. Kamu pikirkan lagi, ya. Pikirkan juga reputasi Papa. Jangan gegabah,” tambah Melati.
“Tante sama Kak Melati tenang aja. Mas Lucas itu punya kafe juga, kok. Lagi pula aku udah nggak kayak dulu,” balas Lily.
“Baru dalam hitungan minggu apa kamu yakin sudah berubah, Ly?”
“Benaran berubah atau belum saya rasa itu bukan urusan Tante. Nantinya saya sebagai suami yang akan memenuhi semua kebutuhan Lily.” Lucas yang diam setelah memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud kedatangannya kini berbicara lagi.
Lily menunduk kala tangannya merasakan lingkupan tangan hangat pada jemarinya. Lucas menggenggam tangan Lily.
“Om, mohon berikan kami restu. Karena Lily hanya mau menikah dengan saya kalau Om memberikan restu. Saya janji, saya akan memperlakukan Lily dengan baik. Saya juga akan memenuhi semua kebutuhan Lily sebagaimana yang sudah Om lakukan selama ini,” janji Lukas sungguh-sungguh.
Andai tidak ada kesepakatan menikah kontrak Lily pasti akan tersentuh dengan kesungguhan yang diperlihatkan oleh Lucas. Apa yang dilakukan oleh Lukas di depan papanya ini hanyalah sandiwara. Jadi, Lily tidak boleh terkesan terlalu dalam.
“Sampai kapan pun saya tidak akan merestui Lily menikah dengan lelaki yang tidak selevel. Hanya Hansel yang pantas menjadi suami Lily.” Andrean berdiri.
Lily turut berdiri. Ia melepaskan genggaman Lucas sebelum mendekati Andrean. Lily bersimpuh di kaki sang ayah. “Tolong restui Lily sama Mas Lucas, Pa. Lily nggak mau menikah sama Hansel. Hansel bukan laki-laki baik, Pa. Lily mohon Papa percaya sama Lily,” pinta Lily dengan mata berkaca-kaca.
Andrean menunduk membalas ratapan Lily. “Syaratnya masih sama. Kalau kamu tidak menikah dengan Hansel berarti kamu bukan lagi bagian dari keluarga ini. Silakan kamu pergi dan melakukan semua yang menjadi pilihanmu. Saya tidak akan ikut campur lagi dalam hidupmu. Silakan keluar dari sini sekarang juga,” tegas Andrean yang tidak iba sama sekali Lily.
Lily tergugu manakala sang papa meninggalkannya yang masih bersimpuh. “Papa …,” lirihnya.
Sania berdiri menjulang di depan Lily. Ibu sambung Lily itu tidak repot-repot berjongkok. “Tante juga nggak setuju kamu menikah dengan orang yang levelnya jauh dengan keluarga kita, Ly. Kalau kamu mau menikah dengan lelaki pilihanmu itu Tante dan Melati nggak bisa datang. Papa nanti marah. Jujur saja, Tante juga masih sakit hati kamu menuduh kakakmu berselingkuh dengan Hansel. Tante nenangin Papa dulu,” ucap Sania yang langsung melangkah pergi.
Lily tidak menggubris ucapan ibu tirinya itu. Dia menghapus air matanya yang tidak berhenti mengalir. Uluran tangan Melati di depan wajahnya membuat gerakan Lily terhenti. Namun, Lily tidak sudi menyambut tangan orang yang sudah mengkhianatinya itu.
“Oh, nggak mau,” kata Melati sinis. Perempuan itu menegakkan badannya dan bersedekap. Ekspresi Melati berubah total. Kelembutan yang biasa diperlihatkan kepada Lily selama belasan tahun sirna.
Kedua lengan atas Lily disentuh oleh Lucas. Lucas mengajak Lily berdiri. Tentu saja Lily menurut.
“Wah, hebat … dalam hitungan hari kamu udah punya pengganti Hansel, ya. Ganteng, sih, sayangnya pangeran kamu ini nggak punya harta kayak Hansel. Eh, tapi sekarang kamu juga nggak punya, sih. Cocok jadinya,” ejek Melati yang diakhiri dengan tawa merendahkan.
“Lawan. Kamu punya saya,” bisik Lucas. Lelaki berambut gondrong yang dikucir rapi itu lantas merangkul Lily.
Sesaat Lily merasa merinding karena bisikan dan rangkulan Lucas. Namun, kekehan mengejek Melati menyadarkan Lily. Fokus Lily pun kembali kepada manusia pengkhianat yang berdiri angkuh di hadapannya.
“Kamu dan Hansel juga cocok. Sama-sama pengkhianat.” Lily mengatakan kalimatnya itu dengan anggun. Perempuan bermata sipit itu menarik lengan Lucas yang merangkulnya untuk digandeng. Lantas Lily mengajak Lucas pergi.
“Kamu nggak mau pamit sama kakakmu ini, Lily Sayang?” Melati melembutkan ucapannya.
“Kamu bukan kakakku,” sahut Lily sebelum beranjak.
“Selamat menikmati kehidupan keremu, Adik Tersayang.”
***
“Mas, memangnya kita bisa menikah hari ini juga?” Lily kembali bertanya setelah turun dari motor Lucas.
“Bisa.” Lelaki bertinggi lebih dari 185 sentimeter itu menjawab pendek.
“Bukan harus daftar dulu, ya? Setahu saya nggak bisa langsung menikah,” kata Lily.
“Sudah saya urus semuanya.”
“Masa cuma selang empat hari dari Mas ngajak nikah terus bisa langsung nikah.” Lily masih merongrong Lucas terkait pernikahan mereka yang bisa dikatakan instan.
Lucas menghentikan langkah. Lily otomatis ikut berhenti. “Eh, kenapa berhenti, Mas?”
Lelaki bertubuh atletis itu menunjuk ke depan dengan dagunya. Lily mengikuti arah gidikan dagu Lucas. Ternyata di depan mereka adalah pintu menuju ruang pernikahan. Lily tersenyum malu kepada calon suami kontraknya.
Jantung Lily berdegup kencang ketika Lucas membuka pintu itu. Memang bukan pernikahan impiannya, bahkan jauh dari harapannya, tetapi Lily tetap saja gugup. Sebentar lagi dirinya akan menjadi istri dari Lucas—lelaki yang baru dikenalnya. Tidak peduli karena ada kesepakatan saling menguntungkan atau karena cinta, yang namanya pernikahan tetaplah pernikahan. Sesuatu ikatan yang sakral. Janji yang dibuat bukan saja kepada manusia, tetapi pada Sang Pencipta.
“Pasangan yang mau menikah atas nama Lucas Andromeda dengan Lily Santika Barata, ya?” tanya petugas.
Lily dan Lucas kompak mengangguk. Mereka berdua dipersilakan duduk.
Prosesi pernikahan tahu-tahu sudah selesai. Hanya dalam hitungan menit. Saat ini Lily dan Lucas sudah resmi menikah. Di tangan mereka sudah ada berkas pernyataan resmi jika keduanya merupakan suami-istri. Di jari manis Lily pun terdapat cincin yang tampak indah—yang entah kapan Lucas beli.
Lily masih linglung dengan apa yang baru saja terjadi. Dia berjalan mengikuti lucas dengan pikiran kosong.
“Sebentar, ibu saya telepon.” Perkataan Lucas menarik Lily pada kewarasan.
“Ma, aku sudah menikah. Baru saja. Aku serius. Istriku namanya Lily. Aku mau bawa dia ke apartemenku.”
Lily bisa mendengar teriakan orang yang bicara di balik sambungan telepon. Dia meringis saat Lucas menjauhkan ponsel dari telinga.
“Oke, aku akan bawa pulang sekarang juga.” Lucas mematikan sambungan telepon dan memasukkan ponselnya lagi ke saku celana.
“Mas Lucas benar-benar nggak kasih tahu keluarga, ya?”
“Laki-laki dewasa bebas menikah tanpa izin orang tua,” sahut Lucas. “Kita pulang ke rumah orang tuaku dulu.”
Lily mengangguk. “Aku istri Mas Lucas sekarang. Aku nurut apa pun ucapan Mas.”
***
Lily menatap bangunan megah di hadapannya dengan bingung. Rumah mewah di depannya itu jauh lebih bagus dibandingkan rumah papa Lily. Tanahnya juga lebih luas. Dari gerbang ke teras rumah Lily rasa ada 200 meter.“Mas ini rumah siapa? Mas Lucas tadi bilang mau pulang.” Lily menyuarakan kebingungannya. “Ini rumah orang tuaku.” Lucas meraih helm yang masih dipakai oleh Lily.Lily mengerjapkan matanya berkali-kali. Dia masih terpaku. Antara kaget dengan perlakuan manis Lucas atau jawaban pria yang baru menjadi suaminya itu.“Ayo, masuk.” Lucas menarik tangan Lily naik ke teras rumah megah yang diakui sebagai rumah orang tuanya itu.“Mas Lucas kenapa nggak bilang kalau … kalau dari keluarga yang—”“Saya cuma sutradara amatir dan salah satu pemilik saham di kafe kecil,” potong Lucas.Belum juga Lily menanggapi sanggahan Lucas, pintu dengan ukiran indah terbuka. Seorang perempuan paruh baya yang masih sangat cantik keluar dari balik pintu itu.“Bersikap seperti pasangan normal, please,” bis
“It’s your room.”Lily mengangguk. Ia tidak heran jika diberikan kamar sendiri alias terpisah dari Lucas. Lily tidak perlu repot bertanya alasannya. Kendati tidak ada kontrak di atas kertas, pernikahannya dengan Lucas tetap bukanlah pernikahan normal.“Wait!”Kaki Lily yang hendak melangkah menuju kamar yang diperuntukkan Lucas untuknya urung. “Kenapa, Mas?” tanya Lily.Tangan Lucas terulur kepada Lily. Di antara jarinya terselip kartu tipis berlogo sebuah bank. Lily pandangi kartu itu, tetapi tidak tergerak untuk mengambilnya.“Ini … apa, Mas?”“I told you before. Selama kita terikat pernikahan, everythings about you menjadi tanggung jawab saya.” Lucas menjawab sembari memandang Lily. Tangannya mengibaskan kartu itu di hadapan perempuan berstatus istrinya tersebut—tanda agar Lily gegas menerimanya.Akhirnya Lily menerima kartu yang mirip dengan miliknya yang ia kembalikan kepada Andrean. Ah, bukan milik Lily. Kartu itu hanya dipinjamkan Andrean kepadanya. Kartu yang Lily pegang saat i
Lily menggantikan Lucas memeluk Anggika yang menangis di depan ruang operasi. Seperempat jam lalu, saat Lily datang bersama Lucas, operasi sudah berlangsung selama 30 menit. Namun, sampai sekarang lampu tanda berlangsungnya operasi belum juga padam.Sepasang netra Lily tertuju pada Lucas. Lelaki itu bersandar di dinding dengan wajah muram. Lily tahu rasanya berada di posisi Lucas. Bedanya dulu yang di dalam ruang operasi adalah mama Lily.“Mama, udah nangisnya, ya. Kita berdoa aja semoga operasinya lancar dan segera selesai. Lily beliin minum hangat buat Mama, ya.”“Nggak usah, Ly. Mama nggak haus,” jawab Anggika dengan sendu. Ibu Lucas itu menarik diri dari pelukan Lily.Lily menggenggam tangan ibu mertuanya sebagai dukungan. “Mama nanti kalau matanya sembap jadi nggak kelihatan cantik di depan Papa, lho. Nanti pas sadar Papa pangling sama Mama,” kata Lily mencoba menghibur.Anggika tidak tersenyum, tetapi tangannya memberi tepukan lemah pada lengan Lily.Bibir Lily terbuka untuk mel
“Mulai hari ini Lily akan menggantikan saya sampai batas waktu yang belum ditentukan. Semua hal harus berjalan sesuai persetujuan Lily. Jika Lily belum memberi keputusan, maka tidak ada yang boleh mendahului keputusannya. Mohon dimengerti. Terima kasih.”Lily berdiri di sebelah Lucas yang sedang memberi pengumuman kepada seluruh karyawan sekaligus beberapa perwakilan dari mitra ImajinasiKu.“Mohon bantuan dan bimbingannya,” ucap Lily sebelum membungkuk sejenak kepada semua orang.“Apakah pengumuman ini bisa dimengerti dan dilaksanakan?” tanya Lucas mempertegas.“Bisa, Pak!” Serempak semua menjawab.“Oke, kalau begitu saya tinggal.”Lily dan Lucas bertatapan sekilas, lalu mengangguk bersamaan. Lucas lantas meninggalkan ruang meeting kantor ImajinasiKu. Kini tinggal Lily yang menghadapi 10 orang yang menatapnya ragu. Rasa canggung dan bingung tak bisa Lily singkirkan.“Bu, ini tab kerja Ibu. Semua laporan dan hal yang perlu Anda pelajari ada di sini.”Atensi Lily teralih kepada seorang l
Lily tidak menoleh. Ia berdiri di depan wastafel—yang artinya bersebelahan dengan salah satu dari perempuan penggosip itu. Lily berusaha menampilkan ekspresi datar. Kemarahan ia tekan sampai ke dasar jurang hatinya.Dari ekor matanya Lily melihat dua perempuan berbaju kurang bahan untuk bekerja itu saling bersikutan. Lily cuek saja. Ia tetap mencuci tangan dengan khusyuk. Saat Lily menarik tisu, suara dari si Perempuan Rok Mini menyapa rungunya.“B-Bu kami mi-minta m-maaf,” ucapnya terbata.Lily belum memberi atensi. Tangannya sudah kering, tetapi Lily masih pura-pura sibuk mengelap tangannya.“Kami benar-benar minta maaf, Bu.” Kali ini gantian perempuan yang memakai celana mini. Dia menarik temannya mendekati Lily.Lily terpaksa menyerongkan badan untuk bertatapan dengan dua perempuan—yang kata Jo—dari tim promosi. “Nggak perlu minta maaf sama saya. Saya nggak apa-apa, kok,” sahut Lily mencoba santai.Kedua perempuan di hadapan Lily terlihat menghela napas lega. Lily tersenyum sinis.
“Benar mau dipotong sependek ini, Cyin?”Lily menatap pantulan kaca di hadapannya. Di kaca itu ada figur Lily dan ‘lelaki melambai’ yang memegang rambutnya. Rambut yang Lily rawat dengan baik hingga tumbuh sehat dan panjang, relakah Lily memangkasnya?Sejak keluar dari rumah, Lily memang ingin mengubah beberapa hal dalam dirinya. Memangkas dan mengubah warna rambut mungkin memang diperlukan. Perubahan penampilan fisik akan menjadi pertanda perubahan hidup Lily.“Iya. Tolong potong segitu.” Lily menjawab mantap.Selagi menunggu kapster mempersiapkan perlengkapan ‘eksekusi’, Lily mengambil potret terakhir dirinya dengan rambut panjang berwarna dark brown. Lily mengembuskan napas keras sebelum memakai jubah pelindung pangkas rambut.Kapster yang selalu memproklamirkan namanya Alisa itu mulai mangkas rambut lembut Lily. Lily tidak mau memperhatikan. Jadi, perempuan itu lebih memilih bermain ponsel.“Udah, Cyin. Jadi ganti warna nggak?” Setelah beberapa menit, kapster kemayu itu menyadarka
“Tolong antar saya ke rumah sakit aja.”Sore ini Lily ingin mengunjungi ayah mertuanya sepulang bekerja. Ayah mertuanya sudah sadar dari koma, tetapi belum diizinkan untuk pulang. Lily belum sempat mengunjungi Edward lagi. Jadi, dia putuskan akan mampir ke rumah sakit lebih dulu sebelum pulang.Jo mengangguk mengerti. “Mau mampir beli buah tangan dulu, Mbak?” tanyanya kemudian.Lily berpikir sejenak. Sebenarnya di rumah sakit pasti sudah banyak makanan. Apalagi kamar mertuanya adalah kelas tertinggi. Orang yang menunggui pasien juga sudah mendapat jatah makan lengkap. Namun, pada akhirnya Lily menyebutkan sebuah toko kue dan buah premium.Saat sampai rumah sakit, ternyata Jo ikut Lily menjenguk Edward. Mereka berjalan beriringan menuju kamar rawat Edward tanpa suara. Lily mengetuk pintu sebelum masuk dengan mengucapkan salam. Anggika semringah melihat Lily. Perempuan itu berdiri menyambut.“Wah … siapa ini, kok cantik banget,” sambut Anggika menggoda.Lily tersipu di pelukan Anggika.
Waktu menunjukkan hampir tengah malam. Lily baru saja terbangun karena merasakan kantung kemihnya penuh. Karena besok weekend, tadi sore Lily dan Lucas mampir ke rumah sakit lagi. Mereka cukup lama di sana. Lily pun banyak minum sehingga malam-malam dia harus terbangun untuk menuntaskan hajat.Sebelum kembali ke ranjang, Lily melirik sofa bed tempat tidur Lucas selama di rumah orang tuanya. Melihat posisi selimut yang melorot, Lily berinisiatif memperbaikinya. Saat berdiri di samping Lucas tidur baru Lily sadari jika sofa bed itu tidak mampu menampung tinggi badan Lucas.Lily terenyuh. Lucas pasti menahan ketidaknyamannya. Padahal ini di rumahnya sendiri, tetapi Lucas malah tidak tidur dengan baik.“Mas, bangun.”Lily menepuk lengan Lucas yang tidur di sofa bed. Beberapa kali tepukan Lucas tak kunjung bangun. Pria itu terlihat begitu pulas. Di wajahnya juga terdapat gurat kelelahan. Akan tetapi, kasihan kalau dibiarkan tetap tidur di tempat tidak nyaman begitu. Pada akhirnya, Lily me
BAB 17BERTEMU PAPA“Ly, are you okay?”Lily terkesiap kala bahunya ditepuk pelan oleh Celine. “Apa, Lin? Maaf aku nggak dengar.”Celine menggeleng. “Yuk, kita cari tempat duduk,” jawab Celine tidak bertanya lagi.Lily berjalan dengan tangan yang kini dirangkul oleh Celine. Sesekali netranya melirik ke meja yang menyita perhatiannya tadi. Konsentrasi Lily kembali buyar sampai-sampai mejanya telah penuh makanan.“Ly, aku nggak tahu kamu lagi kenapa. Tapi kamu harus makan. Ini makanan yang kita pesan udah datang, lho. Aku nggak mungkin habisin semua ini sendirian.”“Oh, iya.” Lily kembali tergeragap.Tangan Lily menyentuh sendok. Ia harus fokus agar tidak membuat Celine khawatir. Selera makannya tidak ada, tetapi Lily terpaksa menyuap.“Ly, setelah ini kita pulang aja, ya,” ucap Celine setelah beberapa saat hanya sibuk makan.Lily mengangkat wajah. “Bukannya kamu mau beli buku dulu?” tanya Lily.“Udah besok aja,” jawab Celine ringan.Rasa bersalah menyusup di hati Lily. Celine pasti mem
“Jawab dengan jujur, Lily. Apa yang terjadi?”Lily meringis mendengar pertanyaan Lucas. Dia yang mewanti-wanti agar Jo tidak melaporkan kepada Lucas tentang apa yang terjadi. Namun, Lily dengan bodoh malah membongkarnya sendiri.“Ehmm ….” Lily memutar otak mencari alasan yang masuk akal.“Lilyana?” Suara Lucas sarat intimidasi.Sepasang kelopak Lily tertutup. Memang mau dibuat-buat sebagaimana pun tetap tidak ketemu alasan masuk akal untuk menjawab Lucas. Sepertinya Lily harus mengatakan dengan jujur apa yang terjadi di rumah produksi yang Lucas dirikan.“Sebenarnya, aku ngasih SP buat dua orang tim promosi. Namanya Sherly sama Dania. Dua orang itu berpakaian kurang sopan di kantor. Niatnya cuma kutegur, tapi mereka ketahuan ngata-ngatain aku. Sejujurnya, ….” Lily mengamati perubahan ekspresi Lucas, tetapi tidak ada perubahan berarti.Karena itu, Lily berani melanjutkan ceritanya. “Sejujurnya, apa yang aku lakukan itu kekanak-kanakan. Aku ambil keputusan karena emosi. Aku udah nggak pr
Kaki jenjang Lily membawa perempuan itu ke depan meja resepsionis AnA Construction. Siang ini Lily datang ke perusahaan tempat sang suami bekerja. Selain untuk menyampaikan suatu hal yang penting, juga untuk makan siang bersama. Lily datang sendiri sebab Jo sedang memantau persiapan syuting miniseri.“Permisi, saya mau bertemu Pak Lucas Andromeda,” ucap Lily.“Sudah ada janji, Bu?” tanya sang resepsionis sesuai standar.“Tadi saya sudah kirim pesan ke Pak Lucas langsung tadi.”“Baik. Saya konfirmasi ke sekretaris Pak Lucas sebentar, ya, Bu. Atas nama Ibu siapa?” Tanggapan resepsionis itu kian ramah.“Bilang saja atas nama Lilyana dari ImajinasiKu.”Setelah mendapat jawaban dari sekretaris Lucas, Lily dipersilakan naik. Sesampainya di lantai yang dituju Lily diminta menunggu. Ternyata Lucas sedang rapat. Di pojok ruangan dengan 3 sofa single dan meja bundar yang cukup nyaman itu Lily duduk seorang diri. Kaca besar yang menampilkan pemandangan kota menjadi perhatian Lily.“Silakan dimin
Lily menghapus air mata yang diam-diam keluar. Ia terharu melihat pemandangan di hadapannya. Celine sedang memeluk Edward di atas ranjang rumah sakit setelah menangis tersedu. Celine yang ceria kini hilang. Adik Lucas itu sudah tidak mampu menutupi kesedihan mendengar sang ayah sakit.Serapat-rapatnya keluarga menutupi dari Celine, pada akhirnya dia mengetahui jika Edward kecelakaan dan tengah dirawat. Itulah alasan Celine pulang dari London. Saat menelepon untuk mengonfirmasi kebenaran berita tentang Edward memang Celine menangis, tetapi sekadar menitikkan air mata.Kepala Lily menoleh ke samping kala dirasa ada yang memeluk bahunya. Ternyata itu datang dari sang suami. Lucas menatap lurus ke depan. Kini Lily menelengkan kepalanya agar bisa melihat ke mata Lucas. Mungkin karena merasa diperhatikan, Lucas menoleh kepada Lily.“Apa?” gumam Lucas.Gelengan Lily berikan untuk Lucas.Lucas mendengkus, tetapi kepalanya kembali diarahkan ke depan. Lily pun mengikuti gerakan itu.“Udah, ya,
“Astaga!”Lengkingan serta gerakan heboh Lily membuat lelaki yang tidur satu ranjang dengannya terganggu.“What’s wrong?” tanya Lucas serak. Matanya terbuka sekejap, lalu terpejam lagi.“Kita kesiangan, Mas,” jawab Lily sambil lalu. Lily melesat ke walk in closet untuk mengambil baju ganti. Berlari kecil Lily menuju kamar mandi. Ini memang akhir pekan, tetapi Lily dan Lucas ada agenda pagi ini. Sekarang sudah terlambat 20 menit dari waktu seharusnya mereka pergi. Gara-gara mengobrol sampai dini hari Lily dan Lucas terlambat bangun.Tidak selama biasanya Lily berada di kamar mandi. Ia hanya melakukan aktivitas di kamar mandi dengan kilat. Dia sudah mencoba bersiap secepat yang dirinya bisa, tetapi saat kembali ke kamar Lily dibuat kesal.Lucas masih bergelung di balik selimut. Sepertinya pria itu tidur lagi. Rasanya Lily mau mencak-mencak.“Terserah, deh. Aku pergi sendiri aja. Minta diantar sopir aja,” ucap Lily bicara sendiri.Lily tidak sempat merias wajah. Dia hanya menggunakan ba
Waktu menunjukkan hampir tengah malam. Lily baru saja terbangun karena merasakan kantung kemihnya penuh. Karena besok weekend, tadi sore Lily dan Lucas mampir ke rumah sakit lagi. Mereka cukup lama di sana. Lily pun banyak minum sehingga malam-malam dia harus terbangun untuk menuntaskan hajat.Sebelum kembali ke ranjang, Lily melirik sofa bed tempat tidur Lucas selama di rumah orang tuanya. Melihat posisi selimut yang melorot, Lily berinisiatif memperbaikinya. Saat berdiri di samping Lucas tidur baru Lily sadari jika sofa bed itu tidak mampu menampung tinggi badan Lucas.Lily terenyuh. Lucas pasti menahan ketidaknyamannya. Padahal ini di rumahnya sendiri, tetapi Lucas malah tidak tidur dengan baik.“Mas, bangun.”Lily menepuk lengan Lucas yang tidur di sofa bed. Beberapa kali tepukan Lucas tak kunjung bangun. Pria itu terlihat begitu pulas. Di wajahnya juga terdapat gurat kelelahan. Akan tetapi, kasihan kalau dibiarkan tetap tidur di tempat tidak nyaman begitu. Pada akhirnya, Lily me
“Tolong antar saya ke rumah sakit aja.”Sore ini Lily ingin mengunjungi ayah mertuanya sepulang bekerja. Ayah mertuanya sudah sadar dari koma, tetapi belum diizinkan untuk pulang. Lily belum sempat mengunjungi Edward lagi. Jadi, dia putuskan akan mampir ke rumah sakit lebih dulu sebelum pulang.Jo mengangguk mengerti. “Mau mampir beli buah tangan dulu, Mbak?” tanyanya kemudian.Lily berpikir sejenak. Sebenarnya di rumah sakit pasti sudah banyak makanan. Apalagi kamar mertuanya adalah kelas tertinggi. Orang yang menunggui pasien juga sudah mendapat jatah makan lengkap. Namun, pada akhirnya Lily menyebutkan sebuah toko kue dan buah premium.Saat sampai rumah sakit, ternyata Jo ikut Lily menjenguk Edward. Mereka berjalan beriringan menuju kamar rawat Edward tanpa suara. Lily mengetuk pintu sebelum masuk dengan mengucapkan salam. Anggika semringah melihat Lily. Perempuan itu berdiri menyambut.“Wah … siapa ini, kok cantik banget,” sambut Anggika menggoda.Lily tersipu di pelukan Anggika.
“Benar mau dipotong sependek ini, Cyin?”Lily menatap pantulan kaca di hadapannya. Di kaca itu ada figur Lily dan ‘lelaki melambai’ yang memegang rambutnya. Rambut yang Lily rawat dengan baik hingga tumbuh sehat dan panjang, relakah Lily memangkasnya?Sejak keluar dari rumah, Lily memang ingin mengubah beberapa hal dalam dirinya. Memangkas dan mengubah warna rambut mungkin memang diperlukan. Perubahan penampilan fisik akan menjadi pertanda perubahan hidup Lily.“Iya. Tolong potong segitu.” Lily menjawab mantap.Selagi menunggu kapster mempersiapkan perlengkapan ‘eksekusi’, Lily mengambil potret terakhir dirinya dengan rambut panjang berwarna dark brown. Lily mengembuskan napas keras sebelum memakai jubah pelindung pangkas rambut.Kapster yang selalu memproklamirkan namanya Alisa itu mulai mangkas rambut lembut Lily. Lily tidak mau memperhatikan. Jadi, perempuan itu lebih memilih bermain ponsel.“Udah, Cyin. Jadi ganti warna nggak?” Setelah beberapa menit, kapster kemayu itu menyadarka
Lily tidak menoleh. Ia berdiri di depan wastafel—yang artinya bersebelahan dengan salah satu dari perempuan penggosip itu. Lily berusaha menampilkan ekspresi datar. Kemarahan ia tekan sampai ke dasar jurang hatinya.Dari ekor matanya Lily melihat dua perempuan berbaju kurang bahan untuk bekerja itu saling bersikutan. Lily cuek saja. Ia tetap mencuci tangan dengan khusyuk. Saat Lily menarik tisu, suara dari si Perempuan Rok Mini menyapa rungunya.“B-Bu kami mi-minta m-maaf,” ucapnya terbata.Lily belum memberi atensi. Tangannya sudah kering, tetapi Lily masih pura-pura sibuk mengelap tangannya.“Kami benar-benar minta maaf, Bu.” Kali ini gantian perempuan yang memakai celana mini. Dia menarik temannya mendekati Lily.Lily terpaksa menyerongkan badan untuk bertatapan dengan dua perempuan—yang kata Jo—dari tim promosi. “Nggak perlu minta maaf sama saya. Saya nggak apa-apa, kok,” sahut Lily mencoba santai.Kedua perempuan di hadapan Lily terlihat menghela napas lega. Lily tersenyum sinis.