“Kamu mau menikah, tapi bukan dengan Hansel. Otak kamu di mana, Lily?”
Bentakan Andrean memenuhi ruang tamu kediaman Barata. Lily bersampingan dengan Lucas di hadapan Andrean. Namun, tidak hanya ada mereka bertiga. Sania dan Melati pun turut duduk di sana.
“Jadi, sebenarnya yang berkhianat itu kamu atau Hansel, Ly?” tanya Sania yang lebih terdengar seperti cemoohan.
“Apa nggak bikin malu keluarga Barata, ya, Ly? Tiba-tiba kamu mau nikah sama cowok lain. Maaf kalau Kakak ngomong begini.” Melati ikut bersuara.
Lily memandang Sania dan Melati dengan kekesalan secara bergantian. Pasalnya, Lily tahu kalau ibu dan kakak tirinya itu sedang mengejeknya secara halus. Lily duga, mereka berdua pasti sengaja berkata demikian untuk menambah amarah Andrean padanya. Wajah asli di balik topeng baik ibu dan anak itu sudah Lily ketahui.
Pandangan Lily kembali tertuju pada papanya. “Pa, tapi aku benar-benar ingin menikah dengan Mas Lucas. Mas Lucas orang yang baik, Pa,” ucap Lily meyakinkan sang papa.
“Baik kalau tidak bisa mencukupi kamu juga tidak ada gunanya, Ly. Tante lihat kendaraannya cuma motor. Kerjaannya juga nggak jelas. Dia bukan sutradara film box office, ‘kan? Penghasilan pegiat seni di negara ini belum menjanjikan. Bagaimana dia bisa memenuhi pengeluaran kamu seperti yang selama ini Papa lakukan?” Lagi, Sania menyumbangkan suara. Istri Andrean itu menghina Lucas seolah Lucas tidak ada di hadapannya.
“Mama benar, Ly. Kamu pikirkan lagi, ya. Pikirkan juga reputasi Papa. Jangan gegabah,” tambah Melati.
“Tante sama Kak Melati tenang aja. Mas Lucas itu punya kafe juga, kok. Lagi pula aku udah nggak kayak dulu,” balas Lily.
“Baru dalam hitungan minggu apa kamu yakin sudah berubah, Ly?”
“Benaran berubah atau belum saya rasa itu bukan urusan Tante. Nantinya saya sebagai suami yang akan memenuhi semua kebutuhan Lily.” Lucas yang diam setelah memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud kedatangannya kini berbicara lagi.
Lily menunduk kala tangannya merasakan lingkupan tangan hangat pada jemarinya. Lucas menggenggam tangan Lily.
“Om, mohon berikan kami restu. Karena Lily hanya mau menikah dengan saya kalau Om memberikan restu. Saya janji, saya akan memperlakukan Lily dengan baik. Saya juga akan memenuhi semua kebutuhan Lily sebagaimana yang sudah Om lakukan selama ini,” janji Lukas sungguh-sungguh.
Andai tidak ada kesepakatan menikah kontrak Lily pasti akan tersentuh dengan kesungguhan yang diperlihatkan oleh Lucas. Apa yang dilakukan oleh Lukas di depan papanya ini hanyalah sandiwara. Jadi, Lily tidak boleh terkesan terlalu dalam.
“Sampai kapan pun saya tidak akan merestui Lily menikah dengan lelaki yang tidak selevel. Hanya Hansel yang pantas menjadi suami Lily.” Andrean berdiri.
Lily turut berdiri. Ia melepaskan genggaman Lucas sebelum mendekati Andrean. Lily bersimpuh di kaki sang ayah. “Tolong restui Lily sama Mas Lucas, Pa. Lily nggak mau menikah sama Hansel. Hansel bukan laki-laki baik, Pa. Lily mohon Papa percaya sama Lily,” pinta Lily dengan mata berkaca-kaca.
Andrean menunduk membalas ratapan Lily. “Syaratnya masih sama. Kalau kamu tidak menikah dengan Hansel berarti kamu bukan lagi bagian dari keluarga ini. Silakan kamu pergi dan melakukan semua yang menjadi pilihanmu. Saya tidak akan ikut campur lagi dalam hidupmu. Silakan keluar dari sini sekarang juga,” tegas Andrean yang tidak iba sama sekali Lily.
Lily tergugu manakala sang papa meninggalkannya yang masih bersimpuh. “Papa …,” lirihnya.
Sania berdiri menjulang di depan Lily. Ibu sambung Lily itu tidak repot-repot berjongkok. “Tante juga nggak setuju kamu menikah dengan orang yang levelnya jauh dengan keluarga kita, Ly. Kalau kamu mau menikah dengan lelaki pilihanmu itu Tante dan Melati nggak bisa datang. Papa nanti marah. Jujur saja, Tante juga masih sakit hati kamu menuduh kakakmu berselingkuh dengan Hansel. Tante nenangin Papa dulu,” ucap Sania yang langsung melangkah pergi.
Lily tidak menggubris ucapan ibu tirinya itu. Dia menghapus air matanya yang tidak berhenti mengalir. Uluran tangan Melati di depan wajahnya membuat gerakan Lily terhenti. Namun, Lily tidak sudi menyambut tangan orang yang sudah mengkhianatinya itu.
“Oh, nggak mau,” kata Melati sinis. Perempuan itu menegakkan badannya dan bersedekap. Ekspresi Melati berubah total. Kelembutan yang biasa diperlihatkan kepada Lily selama belasan tahun sirna.
Kedua lengan atas Lily disentuh oleh Lucas. Lucas mengajak Lily berdiri. Tentu saja Lily menurut.
“Wah, hebat … dalam hitungan hari kamu udah punya pengganti Hansel, ya. Ganteng, sih, sayangnya pangeran kamu ini nggak punya harta kayak Hansel. Eh, tapi sekarang kamu juga nggak punya, sih. Cocok jadinya,” ejek Melati yang diakhiri dengan tawa merendahkan.
“Lawan. Kamu punya saya,” bisik Lucas. Lelaki berambut gondrong yang dikucir rapi itu lantas merangkul Lily.
Sesaat Lily merasa merinding karena bisikan dan rangkulan Lucas. Namun, kekehan mengejek Melati menyadarkan Lily. Fokus Lily pun kembali kepada manusia pengkhianat yang berdiri angkuh di hadapannya.
“Kamu dan Hansel juga cocok. Sama-sama pengkhianat.” Lily mengatakan kalimatnya itu dengan anggun. Perempuan bermata sipit itu menarik lengan Lucas yang merangkulnya untuk digandeng. Lantas Lily mengajak Lucas pergi.
“Kamu nggak mau pamit sama kakakmu ini, Lily Sayang?” Melati melembutkan ucapannya.
“Kamu bukan kakakku,” sahut Lily sebelum beranjak.
“Selamat menikmati kehidupan keremu, Adik Tersayang.”
***
“Mas, memangnya kita bisa menikah hari ini juga?” Lily kembali bertanya setelah turun dari motor Lucas.
“Bisa.” Lelaki bertinggi lebih dari 185 sentimeter itu menjawab pendek.
“Bukan harus daftar dulu, ya? Setahu saya nggak bisa langsung menikah,” kata Lily.
“Sudah saya urus semuanya.”
“Masa cuma selang empat hari dari Mas ngajak nikah terus bisa langsung nikah.” Lily masih merongrong Lucas terkait pernikahan mereka yang bisa dikatakan instan.
Lucas menghentikan langkah. Lily otomatis ikut berhenti. “Eh, kenapa berhenti, Mas?”
Lelaki bertubuh atletis itu menunjuk ke depan dengan dagunya. Lily mengikuti arah gidikan dagu Lucas. Ternyata di depan mereka adalah pintu menuju ruang pernikahan. Lily tersenyum malu kepada calon suami kontraknya.
Jantung Lily berdegup kencang ketika Lucas membuka pintu itu. Memang bukan pernikahan impiannya, bahkan jauh dari harapannya, tetapi Lily tetap saja gugup. Sebentar lagi dirinya akan menjadi istri dari Lucas—lelaki yang baru dikenalnya. Tidak peduli karena ada kesepakatan saling menguntungkan atau karena cinta, yang namanya pernikahan tetaplah pernikahan. Sesuatu ikatan yang sakral. Janji yang dibuat bukan saja kepada manusia, tetapi pada Sang Pencipta.
“Pasangan yang mau menikah atas nama Lucas Andromeda dengan Lily Santika Barata, ya?” tanya petugas.
Lily dan Lucas kompak mengangguk. Mereka berdua dipersilakan duduk.
Prosesi pernikahan tahu-tahu sudah selesai. Hanya dalam hitungan menit. Saat ini Lily dan Lucas sudah resmi menikah. Di tangan mereka sudah ada berkas pernyataan resmi jika keduanya merupakan suami-istri. Di jari manis Lily pun terdapat cincin yang tampak indah—yang entah kapan Lucas beli.
Lily masih linglung dengan apa yang baru saja terjadi. Dia berjalan mengikuti lucas dengan pikiran kosong.
“Sebentar, ibu saya telepon.” Perkataan Lucas menarik Lily pada kewarasan.
“Ma, aku sudah menikah. Baru saja. Aku serius. Istriku namanya Lily. Aku mau bawa dia ke apartemenku.”
Lily bisa mendengar teriakan orang yang bicara di balik sambungan telepon. Dia meringis saat Lucas menjauhkan ponsel dari telinga.
“Oke, aku akan bawa pulang sekarang juga.” Lucas mematikan sambungan telepon dan memasukkan ponselnya lagi ke saku celana.
“Mas Lucas benar-benar nggak kasih tahu keluarga, ya?”
“Laki-laki dewasa bebas menikah tanpa izin orang tua,” sahut Lucas. “Kita pulang ke rumah orang tuaku dulu.”
Lily mengangguk. “Aku istri Mas Lucas sekarang. Aku nurut apa pun ucapan Mas.”
***
Lily menatap bangunan megah di hadapannya dengan bingung. Rumah mewah di depannya itu jauh lebih bagus dibandingkan rumah papa Lily. Tanahnya juga lebih luas. Dari gerbang ke teras rumah Lily rasa ada 200 meter.“Mas ini rumah siapa? Mas Lucas tadi bilang mau pulang.” Lily menyuarakan kebingungannya. “Ini rumah orang tuaku.” Lucas meraih helm yang masih dipakai oleh Lily.Lily mengerjapkan matanya berkali-kali. Dia masih terpaku. Antara kaget dengan perlakuan manis Lucas atau jawaban pria yang baru menjadi suaminya itu.“Ayo, masuk.” Lucas menarik tangan Lily naik ke teras rumah megah yang diakui sebagai rumah orang tuanya itu.“Mas Lucas kenapa nggak bilang kalau … kalau dari keluarga yang—”“Saya cuma sutradara amatir dan salah satu pemilik saham di kafe kecil,” potong Lucas.Belum juga Lily menanggapi sanggahan Lucas, pintu dengan ukiran indah terbuka. Seorang perempuan paruh baya yang masih sangat cantik keluar dari balik pintu itu.“Bersikap seperti pasangan normal, please,” bis
“It’s your room.”Lily mengangguk. Ia tidak heran jika diberikan kamar sendiri alias terpisah dari Lucas. Lily tidak perlu repot bertanya alasannya. Kendati tidak ada kontrak di atas kertas, pernikahannya dengan Lucas tetap bukanlah pernikahan normal.“Wait!”Kaki Lily yang hendak melangkah menuju kamar yang diperuntukkan Lucas untuknya urung. “Kenapa, Mas?” tanya Lily.Tangan Lucas terulur kepada Lily. Di antara jarinya terselip kartu tipis berlogo sebuah bank. Lily pandangi kartu itu, tetapi tidak tergerak untuk mengambilnya.“Ini … apa, Mas?”“I told you before. Selama kita terikat pernikahan, everythings about you menjadi tanggung jawab saya.” Lucas menjawab sembari memandang Lily. Tangannya mengibaskan kartu itu di hadapan perempuan berstatus istrinya tersebut—tanda agar Lily gegas menerimanya.Akhirnya Lily menerima kartu yang mirip dengan miliknya yang ia kembalikan kepada Andrean. Ah, bukan milik Lily. Kartu itu hanya dipinjamkan Andrean kepadanya. Kartu yang Lily pegang saat i
Lily menggantikan Lucas memeluk Anggika yang menangis di depan ruang operasi. Seperempat jam lalu, saat Lily datang bersama Lucas, operasi sudah berlangsung selama 30 menit. Namun, sampai sekarang lampu tanda berlangsungnya operasi belum juga padam.Sepasang netra Lily tertuju pada Lucas. Lelaki itu bersandar di dinding dengan wajah muram. Lily tahu rasanya berada di posisi Lucas. Bedanya dulu yang di dalam ruang operasi adalah mama Lily.“Mama, udah nangisnya, ya. Kita berdoa aja semoga operasinya lancar dan segera selesai. Lily beliin minum hangat buat Mama, ya.”“Nggak usah, Ly. Mama nggak haus,” jawab Anggika dengan sendu. Ibu Lucas itu menarik diri dari pelukan Lily.Lily menggenggam tangan ibu mertuanya sebagai dukungan. “Mama nanti kalau matanya sembap jadi nggak kelihatan cantik di depan Papa, lho. Nanti pas sadar Papa pangling sama Mama,” kata Lily mencoba menghibur.Anggika tidak tersenyum, tetapi tangannya memberi tepukan lemah pada lengan Lily.Bibir Lily terbuka untuk mel
“Mulai hari ini Lily akan menggantikan saya sampai batas waktu yang belum ditentukan. Semua hal harus berjalan sesuai persetujuan Lily. Jika Lily belum memberi keputusan, maka tidak ada yang boleh mendahului keputusannya. Mohon dimengerti. Terima kasih.”Lily berdiri di sebelah Lucas yang sedang memberi pengumuman kepada seluruh karyawan sekaligus beberapa perwakilan dari mitra ImajinasiKu.“Mohon bantuan dan bimbingannya,” ucap Lily sebelum membungkuk sejenak kepada semua orang.“Apakah pengumuman ini bisa dimengerti dan dilaksanakan?” tanya Lucas mempertegas.“Bisa, Pak!” Serempak semua menjawab.“Oke, kalau begitu saya tinggal.”Lily dan Lucas bertatapan sekilas, lalu mengangguk bersamaan. Lucas lantas meninggalkan ruang meeting kantor ImajinasiKu. Kini tinggal Lily yang menghadapi 10 orang yang menatapnya ragu. Rasa canggung dan bingung tak bisa Lily singkirkan.“Bu, ini tab kerja Ibu. Semua laporan dan hal yang perlu Anda pelajari ada di sini.”Atensi Lily teralih kepada seorang l
“Aku hanya salah lihat. Aku pasti salah lihat.”Lily terus merapalkan kalimat yang sama sepanjang ia melangkah. Seolah-olah itu adalah mantra penolak bala. Untung saja sepanjang lorong Lily tidak bertemu dengan siapa pun. Kalau saja berpapasan dengan orang lain, mungkin ia akan disangka aneh.Sesampainya di ujung lorong, Lily tidak masuk ke dalam kotak lift. Ia justru berbelok menuju tangga darurat. Lily langsung mendudukkan diri pada anak tangga begitu pintu tangga darurat tertutup. Air mata yang ditahannya seketika mengalir deras bak air bah. Satu tangannya menutup mulut agar isaknya tidak terdengar keluar. Sementara tangannya yang lain mencengkeram gagang rantang dengan kuat.“Aku salah lihat. Salah lihat,” lantun Lily lirih. Kedua pipi Lily sudah sepenuhnya basah. Ketika memejamkan mata, apa yang dilihatnya tadi justru semakin jelas.“Mereka nggak mungkin tega mengkhianati aku, ‘kan?” tanya Lily yang tidak mendapatkan jawaban karena dia sendirian. Perempuan 24 tahun itu makin terg
“Ayo, kita ketemu.”Pagi-pagi sekali Lily sudah menelepon Hansel. Semalaman dia tidak tidur. Waktunya habis untuk menangisi kisah cintanya dengan Hansel serta merutuki kebodohannya sendiri.[Kangen, ya, Babe?]Kalau biasanya Lily akan menjawab dengan manja, maka kali ini Lily mengernyit jijik mendengar balasan dari Hansel. Lily yakin sebenarnya Hansel sudah tahu dari Melati perihal kemarin. Namun, lelaki yang menjabat sebagai pacar Lily selama tiga tahun itu pura-pura tidak mengetahui.“Nanti aku share waktu dan tempat pertemuan kita.” Tanpa menunggu jawaban dari Hansel, Lily menutup sambungan telepon.Lily menaruh ponselnya di atas nakas dan kembali merebahkan diri. Otaknya mulai menyusun rencana untuk hari ini. Lily akan menginterogasi Hansel habis-habisan. Siapa tahu nanti bisa digunakan sebagai bukti perselingkuhan lelaki itu dengan Melati.Kepala Lily terarah ke kanan. Matanya langsung menangkap pigura dengan potret sang ibu yang bernama Nina. Nina sudah meninggal sejak Lily bera
“Ah!”“LILY!”Semua mata tertuju kepada Lily yang kini berjongkok memungut pecahan gelas dan piring. Dia baru saja menjatuhkan makanan dan minuman pesanan pelanggan kafe tempatnya bekerja.“Gila, ya, kamu! Belum seminggu kerja di sini udah bikin rugi banyak. Udah lebih dari lima kali kamu mecahin peralatan makan kafe. Kamu kalau nggak niat kerja, ya, jangan kerja. Bisa bangkrut kafe ini kalau kamu terus bekerja di sini. Heran banget sama Mas Lucas, bisa-bisanya bawa kamu ke sini.” Manajer kafe memarahi Lily di tengah padatnya pengunjung.“Maaf, Bu,” cicit Lily yang tak berani mendongakkan wajah. Rasa sesal, kesal, dan malu menyelimutinya.“Maaf kamu itu ngg—”“Lily, ke ruangan saya setelah membereskan itu.” Lucas, lelaki yang menyerempet sekaligus menolong Lily, menginterupsi omelan sang manajer galak.Kini di sinilah Lily, duduk di hadapan Lucas. Kepalanya tertunduk. Lily tahu pasti dirinya akan dipecat. Bos mana yang mau menggaji karyawan yang tidak becus bekerja. Entah bagaimana na