Share

2. Keluar dari Rumah

“Ayo, kita ketemu.”

Pagi-pagi sekali Lily sudah menelepon Hansel. Semalaman dia tidak tidur. Waktunya habis untuk menangisi kisah cintanya dengan Hansel serta merutuki kebodohannya sendiri.

[Kangen, ya, Babe?]

Kalau biasanya Lily akan menjawab dengan manja, maka kali ini Lily mengernyit jijik mendengar balasan dari Hansel. Lily yakin sebenarnya Hansel sudah tahu dari Melati perihal kemarin. Namun, lelaki yang menjabat sebagai pacar Lily selama tiga tahun itu pura-pura tidak mengetahui.

“Nanti aku share waktu dan tempat pertemuan kita.” Tanpa menunggu jawaban dari Hansel, Lily menutup sambungan telepon.

Lily menaruh ponselnya di atas nakas dan kembali merebahkan diri. Otaknya mulai menyusun rencana untuk hari ini. Lily akan menginterogasi Hansel habis-habisan. Siapa tahu nanti bisa digunakan sebagai bukti perselingkuhan lelaki itu dengan Melati.

Kepala Lily terarah ke kanan. Matanya langsung menangkap pigura dengan potret sang ibu yang bernama Nina. Nina sudah meninggal sejak Lily berada di kelas dua SMP. Bisa dikatakan sejak saat itu Lily berhenti mendapatkan kasih sayang seorang ibu, walaupun tiga tahun setelah Nina meninggal Andrean menikah lagi. 

Sania bukan ibu tiri yang jahat, tetapi bukan jenis ibu sambung yang memberi kasih sayang dan perhatian penuh untuk anak sambungnya. Lily tidak dekat dengan Sania, meski tidak benci juga. Lily justru jauh lebih dekat dengan Mbok Sum, ART di rumahnya. Sayang sekali Mbok Sum sudah berhenti setahun lalu karena sudah cukup tua untuk bekerja. Berhentinya Mbok Sum bertepatan dengan kepulangan Lily dari luar negeri.

Tangan Lily menjangkau pigura tersebut. Telunjuknya mengelus wajah cantik mendiang sang ibu. Sepasang bola mata Lily terselimuti embun.

“Ma, Lily harus gimana? Lily nggak punya siapa-siapa untuk dimintai pendapat. Mbok Sum udah nggak ada di sini. Sementara Papa udah nggak pernah jadi ‘teman’ Lily lagi.” Embun yang menyelubungi mata Lily kini menetes.

Lily mendekap pigura di tangannya dengan erat. Ia biarkan air mata terus mengalir. Tak dipedulikan lagi matanya yang akan bertambah sembap. Lily hanya ingin menumpahkan segala kerinduan dan kegundahan hatinya. Sembari otaknya mengimajinasikan sedang memeluk sang ibu.

***

“Kamu kemarin ke mana?” tanya Lily to the point. Anak dari salah satu orang golongan old money itu menatap Hansel. Sorot matanya tajam.

“Kemarin aku di rum—”

“Di rumah selingkuhan kamu?” potong Lily.

What do you mean, Baby? Selingkuhan?” Hansel terkekeh di akhir kalimat. Kepalanya menggeleng-geleng, seolah tidak habis pikir dengan pertanyaan Lily.

Lily tidak langsung menjawab. Pandangannya beralih pada kolam ikan milik adik seayahnya, Fero. Lily dan Hansel memang tidak jadi pergi karena Lily ketiduran. Jadi, mereka bicara di rumah Lily.

“Kak Melati. Selingkuhan kamu, ‘kan?” tanya Lily lirih.

Baby, aku makin nggak ngerti maksud kamu. Melati selingkuhanku? Mana mungkin. Kamu tahu kalau aku dan dia nggak begitu dekat. Lagian aku mana pernah berpikir selingkuh dari kamu. Kamu udah lebih dari cukup buatku.” Hansel mencoba meraih tangan Lily, tetapi perempuan itu menepisnya.

“Nggak dekat kelihatannya, tapi di belakang semua orang kalian tak terpisahkan. Kalian bahkan nggak malu untuk saling menelanjangi diri. Kalian dengan tega mengkhianati aku. Sebelum selingkuh, kamu nggak mikirin perasaanku, ya? Kamu mikir nggak, sih, kalau sebentar lagi kita itu mau nikah? Mikir nggak?!” Lily tidak lagi mampu menutupi sakit hatinya.

Hansel tidak menyahut. Dia memalingkan wajah. 

“Jangan diem aja, Hansel! Benar ‘kan kamu selingkuh sama Kak Melati?” cecar Lily. Wajahnya sudah basah oleh air mata.

Hansel kembali menatap Lily. “Kalau iya, memang kenapa?” Bukannya merasa bersalah, Hansel malah menantang.

“Kalau iya, berarti pernikahan kita batal!” putus Lily.

“Batal, ya, batal. Dipikir gue mau apa hidup sama cewek sok suci kayak lo? Asal lo tahu gue itu udah bosen harus bertahan sama cewek kayak lo. Pengangguran, mana nggak ada yang bisa dibanggain. Kelebihan dari lo itu cuma lo yang anak orang tajir dari lahir.” Cara bicara Hansel seketika berubah. Mulutnya dengan tega merendahkan Lily.

Lily tergemap. Seumur-umur kenal dengan Hansel, Lily tidak pernah melihat Hansel marah padanya. Apalagi sampai berucap sekeras dan sekasar itu. Cacian Hansel barusan serupa perasan jeruk yang diteteskan di atas luka bagi Lily.

Mata Lily kembali berembun. Kedua tangannya mengepal di samping tubuh. Badannya gemetar menahan luapan luka dan amarah.

“Kamu tahu,” ucap Lily pelan, “tadinya aku hanya ingin meminta penjelasan. Aku ingin bertanya siapa yang akan kamu pilih antara aku dan Kak Melati. Masih ada sedikit harapan di hatiku kalau kamu akan memilih aku. Tapi sekarang aku nggak perlu bertanya. Karena aku yang akan memilih.”

Lily berjalan masuk ke rumah. Tujuannya hanya satu, membicarakan pembatalan pernikahannya dengan Hansel kepada sang ayah. Hari ini ayah Lily bekerja dari rumah karena Fero si anak lelaki satu-satunya keluarga Barata tidak ingin ditinggal.

Tanpa mengetuk, Lily membuka pintu ruang kerja Andrean. Andrean yang semula fokus pada laptopnya kini menatap Lily dengan sorot menuntut.

“Aku mau membatalkan pernikahanku sama Hansel, Pa. Pokoknya aku mau batal,” tegas Lily.

Andrean berdiri. Pria paruh baya itu mendekatkan diri pada Lily. Tatapannya berubah tajam. “Kamu lupa ucapan Papa kemarin?” tanya Andrean dengan nada rendah.

Lily merasa ciut, tetapi ia harus tetap mengutarakan pendapatnya. Ini demi masa depan Lily. “Pa, Hansel ngaku kalau dia udah selingkuh sama Kak Melati. Dia bilang sendiri, Pa,” ucap Lily meyakinkan Andrean.

“Bohong, Om!” Hansel muncul di belakang Lily dan menyanggah ucapan Lily. “Lily yang menuduh aku macem-macem, Om. Entah kenapa Lily kekeh mau membatalkan pernikahan kami. Kalau ini sampai terjadi, keluarga aku bisa malu, Om.”

Mendengar ucapan Hansel yang sebenarnya sedang playing victim itu membuat Andrean makin meradang. “Kalian akan tetap menikah.”

“Nggak mau, Pa! Lily nggak mau menikah sama cowok b*ajingan. Nggak akan pernah ma—”

Suara tamparan yang nyaring menghentikan penolakan Lily. Tubuh Lily gemetaran. Pipi kirinya terasa kebas. Rasa sakit menyebar ke relung hati Lily.

“Kalau kamu menolak menikah dengan Hansel, pergi dari rumah ini. Silakan hidup semaumu, tetapi jangan pernah menggunakan apa pun yang saya beri untuk kamu.” Andrean berbalik badan usai mengusir Lily.

Lily masih terhenyak di tempatnya. Hansel pun terdiam di sebelah Lily.

“Baik, Pa. Lily akan pergi. Maaf kalau Lily selalu membuat masalah dan masih belum bisa membuat Papa bangga.” Akhirnya Lily bisa bersuara setelah terdiam beberapa saat.

Hansel mengejar Lily. Lelaki itu berusaha membuat Lily goyah pada keputusannya. Namun, Lily tidak memedulikan ocehan Hansel. Lily menutup pintu kamarnya guna menghindar dari lelaki itu.

Seperempat jam kemudian, Lily sudah keluar dari gerbang tinggi rumah keluarga Barata. Tidak ada seorang pun yang mencegah kepergiannya. Perempuan bertinggi 168 sentimeter itu berhenti sejenak untuk merekam megahnya rumah tersebut. Entah kapan dia bisa kembali tinggal di sana.

“Atau justru aku nggak akan pernah bisa kembali?” Setetes air mata turun bersamaan dengan lirihnya tanya Lily.

Lily dengan berat melangkahkan kakinya. Di tangan kanannya ada sebuah tas yang diisi beberapa potong pakaian lawas dan barang penting yang Lily punya. Sementara tangan kirinya memegang ponsel keluaran lama. Ponsel yang dulu dibeli dari uang jajannya tanpa sepengetahuan sang ayah.

Sepanjang jalan menuju jalan raya, Lily menghubungi teman-temannya. Lily ceritakan secara singkat apa yang terjadi padanya guna mengharap bantuan. Namun, tidak ada yang bersedia mengulurkan tangan. Lily tersenyum miris. Rupanya dia tidak memiliki teman sejati.

“AWAAAS!”

Tiba-tiba ada suara klakson motor yang panjang disertai teriakan membuat Lily tergeragap. Namun, tahu-tahu Lily sudah terjatuh dengan lengan membentur pinggiran trotoar. Perempuan berkulit putih itu meringis.

“Mbak, bisa nggak kalau melamun jangan di jalan?” Lelaki berwajah kebule-bulean berdiri di dekat Lily dengan kesal. “Ini yang salah Mbak, tapi yang jadi sasaran orang-orang pasti saya.”

Alih-alih menyahuti teguran lelaki itu, Lily justru menangis. Air mata Lily keluar dengan deras. Sebenarnya Lily bukan menangis karena diomeli orang asing, tetapi dia menangisi keadaannya yang berubah hanya dalam 24 jam.

“Eh, Mbak, kok malah nangis. Mbak jangan nangis itu orang-orang makin banyak yang mau nyamperin.” Lelaki yang baru saja menyerempet Lily itu terdengar panik. Dia berjongkok di depan Lily. “Oke, oke, saya minta maaf. Ayo, ke rumah sakit. Saya akan tanggung jawab.”

Lily berusaha menghentikan tangisnya. “Sa-saya boleh minta tolong aja nggak?” tanya Lily terbata.

“Iya, boleh. Tapi kita bisa pergi dulu nggak? Saya nggak mau dihakimi orang-orang itu,” sahut lelaki itu cepat.

Lily mengedarkan pandangannya. Benar, ada beberapa orang yang berjalan mendekat. Mungkin mereka ingin menolong Lily yang baru saja diserempet motor lelaki blasteran di depannya ini.

“Iya, kita pergi aja dari sini. Tapi nama Mas siapa? Mas orang baik, ‘kan?” Pertanyaan bodoh itu mendadak keluar dari mulut Lily.

Lelaki itu berdecak. Bisa Lily tebak kalau dia makin kesal. Namun, dengan cepat lelaki tersebut menarik tangan Lily untuk berdiri.

“Lucas. Nama saya Lucas.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status