“Ayo, kita ketemu.”
Pagi-pagi sekali Lily sudah menelepon Hansel. Semalaman dia tidak tidur. Waktunya habis untuk menangisi kisah cintanya dengan Hansel serta merutuki kebodohannya sendiri.
[Kangen, ya, Babe?]
Kalau biasanya Lily akan menjawab dengan manja, maka kali ini Lily mengernyit jijik mendengar balasan dari Hansel. Lily yakin sebenarnya Hansel sudah tahu dari Melati perihal kemarin. Namun, lelaki yang menjabat sebagai pacar Lily selama tiga tahun itu pura-pura tidak mengetahui.
“Nanti aku share waktu dan tempat pertemuan kita.” Tanpa menunggu jawaban dari Hansel, Lily menutup sambungan telepon.
Lily menaruh ponselnya di atas nakas dan kembali merebahkan diri. Otaknya mulai menyusun rencana untuk hari ini. Lily akan menginterogasi Hansel habis-habisan. Siapa tahu nanti bisa digunakan sebagai bukti perselingkuhan lelaki itu dengan Melati.
Kepala Lily terarah ke kanan. Matanya langsung menangkap pigura dengan potret sang ibu yang bernama Nina. Nina sudah meninggal sejak Lily berada di kelas dua SMP. Bisa dikatakan sejak saat itu Lily berhenti mendapatkan kasih sayang seorang ibu, walaupun tiga tahun setelah Nina meninggal Andrean menikah lagi.
Sania bukan ibu tiri yang jahat, tetapi bukan jenis ibu sambung yang memberi kasih sayang dan perhatian penuh untuk anak sambungnya. Lily tidak dekat dengan Sania, meski tidak benci juga. Lily justru jauh lebih dekat dengan Mbok Sum, ART di rumahnya. Sayang sekali Mbok Sum sudah berhenti setahun lalu karena sudah cukup tua untuk bekerja. Berhentinya Mbok Sum bertepatan dengan kepulangan Lily dari luar negeri.
Tangan Lily menjangkau pigura tersebut. Telunjuknya mengelus wajah cantik mendiang sang ibu. Sepasang bola mata Lily terselimuti embun.
“Ma, Lily harus gimana? Lily nggak punya siapa-siapa untuk dimintai pendapat. Mbok Sum udah nggak ada di sini. Sementara Papa udah nggak pernah jadi ‘teman’ Lily lagi.” Embun yang menyelubungi mata Lily kini menetes.
Lily mendekap pigura di tangannya dengan erat. Ia biarkan air mata terus mengalir. Tak dipedulikan lagi matanya yang akan bertambah sembap. Lily hanya ingin menumpahkan segala kerinduan dan kegundahan hatinya. Sembari otaknya mengimajinasikan sedang memeluk sang ibu.
***
“Kamu kemarin ke mana?” tanya Lily to the point. Anak dari salah satu orang golongan old money itu menatap Hansel. Sorot matanya tajam.
“Kemarin aku di rum—”
“Di rumah selingkuhan kamu?” potong Lily.
“What do you mean, Baby? Selingkuhan?” Hansel terkekeh di akhir kalimat. Kepalanya menggeleng-geleng, seolah tidak habis pikir dengan pertanyaan Lily.
Lily tidak langsung menjawab. Pandangannya beralih pada kolam ikan milik adik seayahnya, Fero. Lily dan Hansel memang tidak jadi pergi karena Lily ketiduran. Jadi, mereka bicara di rumah Lily.
“Kak Melati. Selingkuhan kamu, ‘kan?” tanya Lily lirih.
“Baby, aku makin nggak ngerti maksud kamu. Melati selingkuhanku? Mana mungkin. Kamu tahu kalau aku dan dia nggak begitu dekat. Lagian aku mana pernah berpikir selingkuh dari kamu. Kamu udah lebih dari cukup buatku.” Hansel mencoba meraih tangan Lily, tetapi perempuan itu menepisnya.
“Nggak dekat kelihatannya, tapi di belakang semua orang kalian tak terpisahkan. Kalian bahkan nggak malu untuk saling menelanjangi diri. Kalian dengan tega mengkhianati aku. Sebelum selingkuh, kamu nggak mikirin perasaanku, ya? Kamu mikir nggak, sih, kalau sebentar lagi kita itu mau nikah? Mikir nggak?!” Lily tidak lagi mampu menutupi sakit hatinya.
Hansel tidak menyahut. Dia memalingkan wajah.
“Jangan diem aja, Hansel! Benar ‘kan kamu selingkuh sama Kak Melati?” cecar Lily. Wajahnya sudah basah oleh air mata.
Hansel kembali menatap Lily. “Kalau iya, memang kenapa?” Bukannya merasa bersalah, Hansel malah menantang.
“Kalau iya, berarti pernikahan kita batal!” putus Lily.
“Batal, ya, batal. Dipikir gue mau apa hidup sama cewek sok suci kayak lo? Asal lo tahu gue itu udah bosen harus bertahan sama cewek kayak lo. Pengangguran, mana nggak ada yang bisa dibanggain. Kelebihan dari lo itu cuma lo yang anak orang tajir dari lahir.” Cara bicara Hansel seketika berubah. Mulutnya dengan tega merendahkan Lily.
Lily tergemap. Seumur-umur kenal dengan Hansel, Lily tidak pernah melihat Hansel marah padanya. Apalagi sampai berucap sekeras dan sekasar itu. Cacian Hansel barusan serupa perasan jeruk yang diteteskan di atas luka bagi Lily.
Mata Lily kembali berembun. Kedua tangannya mengepal di samping tubuh. Badannya gemetar menahan luapan luka dan amarah.
“Kamu tahu,” ucap Lily pelan, “tadinya aku hanya ingin meminta penjelasan. Aku ingin bertanya siapa yang akan kamu pilih antara aku dan Kak Melati. Masih ada sedikit harapan di hatiku kalau kamu akan memilih aku. Tapi sekarang aku nggak perlu bertanya. Karena aku yang akan memilih.”
Lily berjalan masuk ke rumah. Tujuannya hanya satu, membicarakan pembatalan pernikahannya dengan Hansel kepada sang ayah. Hari ini ayah Lily bekerja dari rumah karena Fero si anak lelaki satu-satunya keluarga Barata tidak ingin ditinggal.
Tanpa mengetuk, Lily membuka pintu ruang kerja Andrean. Andrean yang semula fokus pada laptopnya kini menatap Lily dengan sorot menuntut.
“Aku mau membatalkan pernikahanku sama Hansel, Pa. Pokoknya aku mau batal,” tegas Lily.
Andrean berdiri. Pria paruh baya itu mendekatkan diri pada Lily. Tatapannya berubah tajam. “Kamu lupa ucapan Papa kemarin?” tanya Andrean dengan nada rendah.
Lily merasa ciut, tetapi ia harus tetap mengutarakan pendapatnya. Ini demi masa depan Lily. “Pa, Hansel ngaku kalau dia udah selingkuh sama Kak Melati. Dia bilang sendiri, Pa,” ucap Lily meyakinkan Andrean.
“Bohong, Om!” Hansel muncul di belakang Lily dan menyanggah ucapan Lily. “Lily yang menuduh aku macem-macem, Om. Entah kenapa Lily kekeh mau membatalkan pernikahan kami. Kalau ini sampai terjadi, keluarga aku bisa malu, Om.”
Mendengar ucapan Hansel yang sebenarnya sedang playing victim itu membuat Andrean makin meradang. “Kalian akan tetap menikah.”
“Nggak mau, Pa! Lily nggak mau menikah sama cowok b*ajingan. Nggak akan pernah ma—”
Suara tamparan yang nyaring menghentikan penolakan Lily. Tubuh Lily gemetaran. Pipi kirinya terasa kebas. Rasa sakit menyebar ke relung hati Lily.
“Kalau kamu menolak menikah dengan Hansel, pergi dari rumah ini. Silakan hidup semaumu, tetapi jangan pernah menggunakan apa pun yang saya beri untuk kamu.” Andrean berbalik badan usai mengusir Lily.
Lily masih terhenyak di tempatnya. Hansel pun terdiam di sebelah Lily.
“Baik, Pa. Lily akan pergi. Maaf kalau Lily selalu membuat masalah dan masih belum bisa membuat Papa bangga.” Akhirnya Lily bisa bersuara setelah terdiam beberapa saat.
Hansel mengejar Lily. Lelaki itu berusaha membuat Lily goyah pada keputusannya. Namun, Lily tidak memedulikan ocehan Hansel. Lily menutup pintu kamarnya guna menghindar dari lelaki itu.
Seperempat jam kemudian, Lily sudah keluar dari gerbang tinggi rumah keluarga Barata. Tidak ada seorang pun yang mencegah kepergiannya. Perempuan bertinggi 168 sentimeter itu berhenti sejenak untuk merekam megahnya rumah tersebut. Entah kapan dia bisa kembali tinggal di sana.
“Atau justru aku nggak akan pernah bisa kembali?” Setetes air mata turun bersamaan dengan lirihnya tanya Lily.
Lily dengan berat melangkahkan kakinya. Di tangan kanannya ada sebuah tas yang diisi beberapa potong pakaian lawas dan barang penting yang Lily punya. Sementara tangan kirinya memegang ponsel keluaran lama. Ponsel yang dulu dibeli dari uang jajannya tanpa sepengetahuan sang ayah.
Sepanjang jalan menuju jalan raya, Lily menghubungi teman-temannya. Lily ceritakan secara singkat apa yang terjadi padanya guna mengharap bantuan. Namun, tidak ada yang bersedia mengulurkan tangan. Lily tersenyum miris. Rupanya dia tidak memiliki teman sejati.
“AWAAAS!”
Tiba-tiba ada suara klakson motor yang panjang disertai teriakan membuat Lily tergeragap. Namun, tahu-tahu Lily sudah terjatuh dengan lengan membentur pinggiran trotoar. Perempuan berkulit putih itu meringis.
“Mbak, bisa nggak kalau melamun jangan di jalan?” Lelaki berwajah kebule-bulean berdiri di dekat Lily dengan kesal. “Ini yang salah Mbak, tapi yang jadi sasaran orang-orang pasti saya.”
Alih-alih menyahuti teguran lelaki itu, Lily justru menangis. Air mata Lily keluar dengan deras. Sebenarnya Lily bukan menangis karena diomeli orang asing, tetapi dia menangisi keadaannya yang berubah hanya dalam 24 jam.
“Eh, Mbak, kok malah nangis. Mbak jangan nangis itu orang-orang makin banyak yang mau nyamperin.” Lelaki yang baru saja menyerempet Lily itu terdengar panik. Dia berjongkok di depan Lily. “Oke, oke, saya minta maaf. Ayo, ke rumah sakit. Saya akan tanggung jawab.”
Lily berusaha menghentikan tangisnya. “Sa-saya boleh minta tolong aja nggak?” tanya Lily terbata.
“Iya, boleh. Tapi kita bisa pergi dulu nggak? Saya nggak mau dihakimi orang-orang itu,” sahut lelaki itu cepat.
Lily mengedarkan pandangannya. Benar, ada beberapa orang yang berjalan mendekat. Mungkin mereka ingin menolong Lily yang baru saja diserempet motor lelaki blasteran di depannya ini.
“Iya, kita pergi aja dari sini. Tapi nama Mas siapa? Mas orang baik, ‘kan?” Pertanyaan bodoh itu mendadak keluar dari mulut Lily.
Lelaki itu berdecak. Bisa Lily tebak kalau dia makin kesal. Namun, dengan cepat lelaki tersebut menarik tangan Lily untuk berdiri.
“Lucas. Nama saya Lucas.”
***
“Ah!”“LILY!”Semua mata tertuju kepada Lily yang kini berjongkok memungut pecahan gelas dan piring. Dia baru saja menjatuhkan makanan dan minuman pesanan pelanggan kafe tempatnya bekerja.“Gila, ya, kamu! Belum seminggu kerja di sini udah bikin rugi banyak. Udah lebih dari lima kali kamu mecahin peralatan makan kafe. Kamu kalau nggak niat kerja, ya, jangan kerja. Bisa bangkrut kafe ini kalau kamu terus bekerja di sini. Heran banget sama Mas Lucas, bisa-bisanya bawa kamu ke sini.” Manajer kafe memarahi Lily di tengah padatnya pengunjung.“Maaf, Bu,” cicit Lily yang tak berani mendongakkan wajah. Rasa sesal, kesal, dan malu menyelimutinya.“Maaf kamu itu ngg—”“Lily, ke ruangan saya setelah membereskan itu.” Lucas, lelaki yang menyerempet sekaligus menolong Lily, menginterupsi omelan sang manajer galak.Kini di sinilah Lily, duduk di hadapan Lucas. Kepalanya tertunduk. Lily tahu pasti dirinya akan dipecat. Bos mana yang mau menggaji karyawan yang tidak becus bekerja. Entah bagaimana na
“Kamu mau menikah, tapi bukan dengan Hansel. Otak kamu di mana, Lily?”Bentakan Andrean memenuhi ruang tamu kediaman Barata. Lily bersampingan dengan Lucas di hadapan Andrean. Namun, tidak hanya ada mereka bertiga. Sania dan Melati pun turut duduk di sana.“Jadi, sebenarnya yang berkhianat itu kamu atau Hansel, Ly?” tanya Sania yang lebih terdengar seperti cemoohan.“Apa nggak bikin malu keluarga Barata, ya, Ly? Tiba-tiba kamu mau nikah sama cowok lain. Maaf kalau Kakak ngomong begini.” Melati ikut bersuara.Lily memandang Sania dan Melati dengan kekesalan secara bergantian. Pasalnya, Lily tahu kalau ibu dan kakak tirinya itu sedang mengejeknya secara halus. Lily duga, mereka berdua pasti sengaja berkata demikian untuk menambah amarah Andrean padanya. Wajah asli di balik topeng baik ibu dan anak itu sudah Lily ketahui.Pandangan Lily kembali tertuju pada papanya. “Pa, tapi aku benar-benar ingin menikah dengan Mas Lucas. Mas Lucas orang yang baik, Pa,” ucap Lily meyakinkan sang papa.“
Lily menatap bangunan megah di hadapannya dengan bingung. Rumah mewah di depannya itu jauh lebih bagus dibandingkan rumah papa Lily. Tanahnya juga lebih luas. Dari gerbang ke teras rumah Lily rasa ada 200 meter.“Mas ini rumah siapa? Mas Lucas tadi bilang mau pulang.” Lily menyuarakan kebingungannya. “Ini rumah orang tuaku.” Lucas meraih helm yang masih dipakai oleh Lily.Lily mengerjapkan matanya berkali-kali. Dia masih terpaku. Antara kaget dengan perlakuan manis Lucas atau jawaban pria yang baru menjadi suaminya itu.“Ayo, masuk.” Lucas menarik tangan Lily naik ke teras rumah megah yang diakui sebagai rumah orang tuanya itu.“Mas Lucas kenapa nggak bilang kalau … kalau dari keluarga yang—”“Saya cuma sutradara amatir dan salah satu pemilik saham di kafe kecil,” potong Lucas.Belum juga Lily menanggapi sanggahan Lucas, pintu dengan ukiran indah terbuka. Seorang perempuan paruh baya yang masih sangat cantik keluar dari balik pintu itu.“Bersikap seperti pasangan normal, please,” bis
“It’s your room.”Lily mengangguk. Ia tidak heran jika diberikan kamar sendiri alias terpisah dari Lucas. Lily tidak perlu repot bertanya alasannya. Kendati tidak ada kontrak di atas kertas, pernikahannya dengan Lucas tetap bukanlah pernikahan normal.“Wait!”Kaki Lily yang hendak melangkah menuju kamar yang diperuntukkan Lucas untuknya urung. “Kenapa, Mas?” tanya Lily.Tangan Lucas terulur kepada Lily. Di antara jarinya terselip kartu tipis berlogo sebuah bank. Lily pandangi kartu itu, tetapi tidak tergerak untuk mengambilnya.“Ini … apa, Mas?”“I told you before. Selama kita terikat pernikahan, everythings about you menjadi tanggung jawab saya.” Lucas menjawab sembari memandang Lily. Tangannya mengibaskan kartu itu di hadapan perempuan berstatus istrinya tersebut—tanda agar Lily gegas menerimanya.Akhirnya Lily menerima kartu yang mirip dengan miliknya yang ia kembalikan kepada Andrean. Ah, bukan milik Lily. Kartu itu hanya dipinjamkan Andrean kepadanya. Kartu yang Lily pegang saat i
Lily menggantikan Lucas memeluk Anggika yang menangis di depan ruang operasi. Seperempat jam lalu, saat Lily datang bersama Lucas, operasi sudah berlangsung selama 30 menit. Namun, sampai sekarang lampu tanda berlangsungnya operasi belum juga padam.Sepasang netra Lily tertuju pada Lucas. Lelaki itu bersandar di dinding dengan wajah muram. Lily tahu rasanya berada di posisi Lucas. Bedanya dulu yang di dalam ruang operasi adalah mama Lily.“Mama, udah nangisnya, ya. Kita berdoa aja semoga operasinya lancar dan segera selesai. Lily beliin minum hangat buat Mama, ya.”“Nggak usah, Ly. Mama nggak haus,” jawab Anggika dengan sendu. Ibu Lucas itu menarik diri dari pelukan Lily.Lily menggenggam tangan ibu mertuanya sebagai dukungan. “Mama nanti kalau matanya sembap jadi nggak kelihatan cantik di depan Papa, lho. Nanti pas sadar Papa pangling sama Mama,” kata Lily mencoba menghibur.Anggika tidak tersenyum, tetapi tangannya memberi tepukan lemah pada lengan Lily.Bibir Lily terbuka untuk mel
“Mulai hari ini Lily akan menggantikan saya sampai batas waktu yang belum ditentukan. Semua hal harus berjalan sesuai persetujuan Lily. Jika Lily belum memberi keputusan, maka tidak ada yang boleh mendahului keputusannya. Mohon dimengerti. Terima kasih.”Lily berdiri di sebelah Lucas yang sedang memberi pengumuman kepada seluruh karyawan sekaligus beberapa perwakilan dari mitra ImajinasiKu.“Mohon bantuan dan bimbingannya,” ucap Lily sebelum membungkuk sejenak kepada semua orang.“Apakah pengumuman ini bisa dimengerti dan dilaksanakan?” tanya Lucas mempertegas.“Bisa, Pak!” Serempak semua menjawab.“Oke, kalau begitu saya tinggal.”Lily dan Lucas bertatapan sekilas, lalu mengangguk bersamaan. Lucas lantas meninggalkan ruang meeting kantor ImajinasiKu. Kini tinggal Lily yang menghadapi 10 orang yang menatapnya ragu. Rasa canggung dan bingung tak bisa Lily singkirkan.“Bu, ini tab kerja Ibu. Semua laporan dan hal yang perlu Anda pelajari ada di sini.”Atensi Lily teralih kepada seorang l
Lily tidak menoleh. Ia berdiri di depan wastafel—yang artinya bersebelahan dengan salah satu dari perempuan penggosip itu. Lily berusaha menampilkan ekspresi datar. Kemarahan ia tekan sampai ke dasar jurang hatinya.Dari ekor matanya Lily melihat dua perempuan berbaju kurang bahan untuk bekerja itu saling bersikutan. Lily cuek saja. Ia tetap mencuci tangan dengan khusyuk. Saat Lily menarik tisu, suara dari si Perempuan Rok Mini menyapa rungunya.“B-Bu kami mi-minta m-maaf,” ucapnya terbata.Lily belum memberi atensi. Tangannya sudah kering, tetapi Lily masih pura-pura sibuk mengelap tangannya.“Kami benar-benar minta maaf, Bu.” Kali ini gantian perempuan yang memakai celana mini. Dia menarik temannya mendekati Lily.Lily terpaksa menyerongkan badan untuk bertatapan dengan dua perempuan—yang kata Jo—dari tim promosi. “Nggak perlu minta maaf sama saya. Saya nggak apa-apa, kok,” sahut Lily mencoba santai.Kedua perempuan di hadapan Lily terlihat menghela napas lega. Lily tersenyum sinis.
“Benar mau dipotong sependek ini, Cyin?”Lily menatap pantulan kaca di hadapannya. Di kaca itu ada figur Lily dan ‘lelaki melambai’ yang memegang rambutnya. Rambut yang Lily rawat dengan baik hingga tumbuh sehat dan panjang, relakah Lily memangkasnya?Sejak keluar dari rumah, Lily memang ingin mengubah beberapa hal dalam dirinya. Memangkas dan mengubah warna rambut mungkin memang diperlukan. Perubahan penampilan fisik akan menjadi pertanda perubahan hidup Lily.“Iya. Tolong potong segitu.” Lily menjawab mantap.Selagi menunggu kapster mempersiapkan perlengkapan ‘eksekusi’, Lily mengambil potret terakhir dirinya dengan rambut panjang berwarna dark brown. Lily mengembuskan napas keras sebelum memakai jubah pelindung pangkas rambut.Kapster yang selalu memproklamirkan namanya Alisa itu mulai mangkas rambut lembut Lily. Lily tidak mau memperhatikan. Jadi, perempuan itu lebih memilih bermain ponsel.“Udah, Cyin. Jadi ganti warna nggak?” Setelah beberapa menit, kapster kemayu itu menyadarka
BAB 17BERTEMU PAPA“Ly, are you okay?”Lily terkesiap kala bahunya ditepuk pelan oleh Celine. “Apa, Lin? Maaf aku nggak dengar.”Celine menggeleng. “Yuk, kita cari tempat duduk,” jawab Celine tidak bertanya lagi.Lily berjalan dengan tangan yang kini dirangkul oleh Celine. Sesekali netranya melirik ke meja yang menyita perhatiannya tadi. Konsentrasi Lily kembali buyar sampai-sampai mejanya telah penuh makanan.“Ly, aku nggak tahu kamu lagi kenapa. Tapi kamu harus makan. Ini makanan yang kita pesan udah datang, lho. Aku nggak mungkin habisin semua ini sendirian.”“Oh, iya.” Lily kembali tergeragap.Tangan Lily menyentuh sendok. Ia harus fokus agar tidak membuat Celine khawatir. Selera makannya tidak ada, tetapi Lily terpaksa menyuap.“Ly, setelah ini kita pulang aja, ya,” ucap Celine setelah beberapa saat hanya sibuk makan.Lily mengangkat wajah. “Bukannya kamu mau beli buku dulu?” tanya Lily.“Udah besok aja,” jawab Celine ringan.Rasa bersalah menyusup di hati Lily. Celine pasti mem
“Jawab dengan jujur, Lily. Apa yang terjadi?”Lily meringis mendengar pertanyaan Lucas. Dia yang mewanti-wanti agar Jo tidak melaporkan kepada Lucas tentang apa yang terjadi. Namun, Lily dengan bodoh malah membongkarnya sendiri.“Ehmm ….” Lily memutar otak mencari alasan yang masuk akal.“Lilyana?” Suara Lucas sarat intimidasi.Sepasang kelopak Lily tertutup. Memang mau dibuat-buat sebagaimana pun tetap tidak ketemu alasan masuk akal untuk menjawab Lucas. Sepertinya Lily harus mengatakan dengan jujur apa yang terjadi di rumah produksi yang Lucas dirikan.“Sebenarnya, aku ngasih SP buat dua orang tim promosi. Namanya Sherly sama Dania. Dua orang itu berpakaian kurang sopan di kantor. Niatnya cuma kutegur, tapi mereka ketahuan ngata-ngatain aku. Sejujurnya, ….” Lily mengamati perubahan ekspresi Lucas, tetapi tidak ada perubahan berarti.Karena itu, Lily berani melanjutkan ceritanya. “Sejujurnya, apa yang aku lakukan itu kekanak-kanakan. Aku ambil keputusan karena emosi. Aku udah nggak pr
Kaki jenjang Lily membawa perempuan itu ke depan meja resepsionis AnA Construction. Siang ini Lily datang ke perusahaan tempat sang suami bekerja. Selain untuk menyampaikan suatu hal yang penting, juga untuk makan siang bersama. Lily datang sendiri sebab Jo sedang memantau persiapan syuting miniseri.“Permisi, saya mau bertemu Pak Lucas Andromeda,” ucap Lily.“Sudah ada janji, Bu?” tanya sang resepsionis sesuai standar.“Tadi saya sudah kirim pesan ke Pak Lucas langsung tadi.”“Baik. Saya konfirmasi ke sekretaris Pak Lucas sebentar, ya, Bu. Atas nama Ibu siapa?” Tanggapan resepsionis itu kian ramah.“Bilang saja atas nama Lilyana dari ImajinasiKu.”Setelah mendapat jawaban dari sekretaris Lucas, Lily dipersilakan naik. Sesampainya di lantai yang dituju Lily diminta menunggu. Ternyata Lucas sedang rapat. Di pojok ruangan dengan 3 sofa single dan meja bundar yang cukup nyaman itu Lily duduk seorang diri. Kaca besar yang menampilkan pemandangan kota menjadi perhatian Lily.“Silakan dimin
Lily menghapus air mata yang diam-diam keluar. Ia terharu melihat pemandangan di hadapannya. Celine sedang memeluk Edward di atas ranjang rumah sakit setelah menangis tersedu. Celine yang ceria kini hilang. Adik Lucas itu sudah tidak mampu menutupi kesedihan mendengar sang ayah sakit.Serapat-rapatnya keluarga menutupi dari Celine, pada akhirnya dia mengetahui jika Edward kecelakaan dan tengah dirawat. Itulah alasan Celine pulang dari London. Saat menelepon untuk mengonfirmasi kebenaran berita tentang Edward memang Celine menangis, tetapi sekadar menitikkan air mata.Kepala Lily menoleh ke samping kala dirasa ada yang memeluk bahunya. Ternyata itu datang dari sang suami. Lucas menatap lurus ke depan. Kini Lily menelengkan kepalanya agar bisa melihat ke mata Lucas. Mungkin karena merasa diperhatikan, Lucas menoleh kepada Lily.“Apa?” gumam Lucas.Gelengan Lily berikan untuk Lucas.Lucas mendengkus, tetapi kepalanya kembali diarahkan ke depan. Lily pun mengikuti gerakan itu.“Udah, ya,
“Astaga!”Lengkingan serta gerakan heboh Lily membuat lelaki yang tidur satu ranjang dengannya terganggu.“What’s wrong?” tanya Lucas serak. Matanya terbuka sekejap, lalu terpejam lagi.“Kita kesiangan, Mas,” jawab Lily sambil lalu. Lily melesat ke walk in closet untuk mengambil baju ganti. Berlari kecil Lily menuju kamar mandi. Ini memang akhir pekan, tetapi Lily dan Lucas ada agenda pagi ini. Sekarang sudah terlambat 20 menit dari waktu seharusnya mereka pergi. Gara-gara mengobrol sampai dini hari Lily dan Lucas terlambat bangun.Tidak selama biasanya Lily berada di kamar mandi. Ia hanya melakukan aktivitas di kamar mandi dengan kilat. Dia sudah mencoba bersiap secepat yang dirinya bisa, tetapi saat kembali ke kamar Lily dibuat kesal.Lucas masih bergelung di balik selimut. Sepertinya pria itu tidur lagi. Rasanya Lily mau mencak-mencak.“Terserah, deh. Aku pergi sendiri aja. Minta diantar sopir aja,” ucap Lily bicara sendiri.Lily tidak sempat merias wajah. Dia hanya menggunakan ba
Waktu menunjukkan hampir tengah malam. Lily baru saja terbangun karena merasakan kantung kemihnya penuh. Karena besok weekend, tadi sore Lily dan Lucas mampir ke rumah sakit lagi. Mereka cukup lama di sana. Lily pun banyak minum sehingga malam-malam dia harus terbangun untuk menuntaskan hajat.Sebelum kembali ke ranjang, Lily melirik sofa bed tempat tidur Lucas selama di rumah orang tuanya. Melihat posisi selimut yang melorot, Lily berinisiatif memperbaikinya. Saat berdiri di samping Lucas tidur baru Lily sadari jika sofa bed itu tidak mampu menampung tinggi badan Lucas.Lily terenyuh. Lucas pasti menahan ketidaknyamannya. Padahal ini di rumahnya sendiri, tetapi Lucas malah tidak tidur dengan baik.“Mas, bangun.”Lily menepuk lengan Lucas yang tidur di sofa bed. Beberapa kali tepukan Lucas tak kunjung bangun. Pria itu terlihat begitu pulas. Di wajahnya juga terdapat gurat kelelahan. Akan tetapi, kasihan kalau dibiarkan tetap tidur di tempat tidak nyaman begitu. Pada akhirnya, Lily me
“Tolong antar saya ke rumah sakit aja.”Sore ini Lily ingin mengunjungi ayah mertuanya sepulang bekerja. Ayah mertuanya sudah sadar dari koma, tetapi belum diizinkan untuk pulang. Lily belum sempat mengunjungi Edward lagi. Jadi, dia putuskan akan mampir ke rumah sakit lebih dulu sebelum pulang.Jo mengangguk mengerti. “Mau mampir beli buah tangan dulu, Mbak?” tanyanya kemudian.Lily berpikir sejenak. Sebenarnya di rumah sakit pasti sudah banyak makanan. Apalagi kamar mertuanya adalah kelas tertinggi. Orang yang menunggui pasien juga sudah mendapat jatah makan lengkap. Namun, pada akhirnya Lily menyebutkan sebuah toko kue dan buah premium.Saat sampai rumah sakit, ternyata Jo ikut Lily menjenguk Edward. Mereka berjalan beriringan menuju kamar rawat Edward tanpa suara. Lily mengetuk pintu sebelum masuk dengan mengucapkan salam. Anggika semringah melihat Lily. Perempuan itu berdiri menyambut.“Wah … siapa ini, kok cantik banget,” sambut Anggika menggoda.Lily tersipu di pelukan Anggika.
“Benar mau dipotong sependek ini, Cyin?”Lily menatap pantulan kaca di hadapannya. Di kaca itu ada figur Lily dan ‘lelaki melambai’ yang memegang rambutnya. Rambut yang Lily rawat dengan baik hingga tumbuh sehat dan panjang, relakah Lily memangkasnya?Sejak keluar dari rumah, Lily memang ingin mengubah beberapa hal dalam dirinya. Memangkas dan mengubah warna rambut mungkin memang diperlukan. Perubahan penampilan fisik akan menjadi pertanda perubahan hidup Lily.“Iya. Tolong potong segitu.” Lily menjawab mantap.Selagi menunggu kapster mempersiapkan perlengkapan ‘eksekusi’, Lily mengambil potret terakhir dirinya dengan rambut panjang berwarna dark brown. Lily mengembuskan napas keras sebelum memakai jubah pelindung pangkas rambut.Kapster yang selalu memproklamirkan namanya Alisa itu mulai mangkas rambut lembut Lily. Lily tidak mau memperhatikan. Jadi, perempuan itu lebih memilih bermain ponsel.“Udah, Cyin. Jadi ganti warna nggak?” Setelah beberapa menit, kapster kemayu itu menyadarka
Lily tidak menoleh. Ia berdiri di depan wastafel—yang artinya bersebelahan dengan salah satu dari perempuan penggosip itu. Lily berusaha menampilkan ekspresi datar. Kemarahan ia tekan sampai ke dasar jurang hatinya.Dari ekor matanya Lily melihat dua perempuan berbaju kurang bahan untuk bekerja itu saling bersikutan. Lily cuek saja. Ia tetap mencuci tangan dengan khusyuk. Saat Lily menarik tisu, suara dari si Perempuan Rok Mini menyapa rungunya.“B-Bu kami mi-minta m-maaf,” ucapnya terbata.Lily belum memberi atensi. Tangannya sudah kering, tetapi Lily masih pura-pura sibuk mengelap tangannya.“Kami benar-benar minta maaf, Bu.” Kali ini gantian perempuan yang memakai celana mini. Dia menarik temannya mendekati Lily.Lily terpaksa menyerongkan badan untuk bertatapan dengan dua perempuan—yang kata Jo—dari tim promosi. “Nggak perlu minta maaf sama saya. Saya nggak apa-apa, kok,” sahut Lily mencoba santai.Kedua perempuan di hadapan Lily terlihat menghela napas lega. Lily tersenyum sinis.