Share

Bab 6. Penjelasan Robin

Untuk menghindar dari Robin, Nabilah kemudian masuk ke gang kecil dan berjalan tanpa arah. Sehingga ia tidak menemukan jalan ke luar dan hanya berputar-putar di kampung itu saja.

"Permisi Mbak, kalau mau ke jalan raya lewat mana ya?" tanya Nabilah pada salah satu warga.

"Lurus saja Mbak, terus belok kiri, habis itu ambil kanan dan lurus lagi sudah kelihatan kok jalan raya nya!" jawab wanita itu sambil memperhatikan Nabilah dengan saksama.

Nabilah mengikuti apa yang diberitahu wanita itu. Hingga akhirnya ia sampai di sebuah jalan, di mana banyak para preman sedang nongkrong.

"Permisi numpang lewat," ujar Nabilah dengan takut-takut.

"Ada cewek kesasar ni Bro, sepertinya kita perlu kenalan dulu," ujar salah saru preman sambil mendekati Nabilah.

Melihat pria itu Nabilah kemudian berseru, "Jangan mendekat! Mau apa kamu?"

"Galak banget sih, Abang cuma mau lihat wajah Neng doang, cantik apa nggak. Buka dong maskernya!" sahut preman itu sambil menggoda.

Para preman yang lainnya pun ikut menertawakan Nabilah dan salah satunya berseru, "Pepet terus!"

"Jangan ganggu aku, pergi kalian!" seru Nabilah yang mulai ketakutan, tetapi para preman itu semakin menertawakannya.

"Ya Allah tolong aku, Ibu, Bapak, Bilah takut!" Ia mulai gemetaran sambil meremas tali tas dengan kuat.

Namun, tiba-tiba tawa mereka seketika langsung mereda dan tidak berani melihat Nabilah lagi. Bukan gadis itu yang ditakutkan melainkan sosok yang berdiri di belakangnya. Tatapannya sangat garang, seolah mengatakan jangan ganggu milikku dan siap menerjang siapa pun yang berani melawannya.

"Bubar kalian!" seru orang itu dengan lantang. Para preman itu langsung pergi tanpa ada yang berani membantah. "Kamu ngapain ke sini, kampung ini tidak aman untukmu, Nabilah?" tanya Robin ketika berada di samping istrinya dengan heran.

Nabilah tampak lega dan merasa tenang. Seandainya tidak ada Robin, pasti ia sudah dilecehkan oleh para preman itu.

"Ha-habis dari rumah salah satu murid dan Bilah ke sasar, Bang," jawab Nabilah sambil tertunduk.

Robin tampak menghela nafas panjang dan berkata, "Dengar baik-baik Nabilah, Abang paling benci dibohongi!"

Nabilah memberanikan diri menatap Robin dan menyahuti, "Bilah juga nggak suka dibohongi. Abang habis ngapain ke luar dari rumah bersama wanita itu?"

Robin mengerti apa yang Nabilah pikirkan. Ia kemudian mengeluarkan ponsel dari kantong celana levis yang dikenakannya dan segera menghubungi seseorang, "Bawa motor dan jemput Sita, habis itu antar dia ke jalan Mawar sekarang juga!"

Mereka kemudian saling terdiam, hingga beberapa saat kemudian wanita yang dilihat Nabilah tadi, datang dan menghampiri Robin seraya bertanya, "Ada apa, Bang?"

"Tadi aku ngapain di rumah kamu, Sita?" tanya Robin dengan serius.

Sita yang heran kenapa tiba-tiba Robin bertanya seperti itu, segera menjawab dengan jujur, "Nengok Ibuku yang sedang sakit."

"Kamu boleh pergi dan tinggal motor itu!" seru Robin yang dijawab anggukan oleh wanita dan pria itu.

Robin kemudian menatap Nabilah dan bertanya, "Apalagi yang perlu Abang jelaskan?"

"Nggak ada," jawab Nabilah yang jadi malu sendiri karena telah salah sangka. Lagi-lagi ia mengetahui fakta yang baru tentang Robin.

"Ayo kita pulang, nanti Ibu marah kalau tahu kamu ke sini!" ajak Robin yang segera menaiki sepeda motor dan membonceng Nabilah meninggalkan kampung itu.

***

Bu Asma dan suaminya tampak cemas mengetahui Nabilah tidak ada dikontrakan. Padahal madrasah tempatnya mengajar sudah tutup. Ia juga sudah mengirim pesan kepada putrinya untuk langsung pulang. Akan tetapi, belum juga dibalas sampai sekarang. Hingga penantiannya berakhir ketika melihat anak dan menantunya datang.

"Dari mana kalian?" tanya Bu Asma ketika Nabilah dan Robin baru sampai di kontrakan.

Kedua pengantin baru itu seperti sedang disidang. Seolah melakukan sebuah kejahatan.

"Dari kampung rantau Bu," jawab Robin dengan jujur.

"Pasti kamu yang mengajak Nabilah ke sana. Buat apa, mau jadikan anak saya nggak benar?" tanya Bu Asma sambil melotot.

"Bilah pergi sendiri ke sana Bu karena mau bertemu dengan salah satu orang tua murid," jawab Nabilah terpaksa berbohong, sedangkan Robin memilih diam.

Bu Asma kembali marah." Ibu kan sudah bilang, kamu jangan mengajar di madrasah yang ada murid dari Kampung Rantau. Lagian buat apa kamu ngajar lagi, biarin Robin yang cari duit. Nanti dia keenakan makan tidur saja kerjanya!"

"Bu, jangan asal ngomong. Belum tentu sesuatu yang buruk itu tidak baik! Memangnya kenapa anak Kampung Rantau sekolah di madrasah? Banyak murid Bapak yang dari sana," ujar Pak Jamal yang tidak suka mendengar istrinya berkata seperti itu.

"Anak kita perempuan, jangan samakan dengan Bapak. Pasti Nabilah pergi ke sana ada hubungannya dengan Robin, iya kan?" sahut Bu Asma yang kian meradang.

Pak Jamal menatap putrinya dan bertanya, "Betul itu Bilah?"

"Bilah cuma mau tahu tempat kerja Bang Robin saja," jawab Nabilah yang tidak bisa berbohong lagi.

"Kamu kan bisa tanya di rumah. Untuk Nabilah dan Robin, suami istri itu harus saling terbuka dan percaya. Rumah tangga yang dijalani dengan kejujuran, Insya Allah akan sakinah, warohmah dan mawadah!" Pak Jamal memberikan nasehat kepada anak dan menantunya.

Robin menjawab singkat, "Iya Pak."

"Soal Bilah mengajar lagi, Bapak setuju saja. Asalkan Robin mengizinkan, selain itu agar tidak jenuh di rumah. Tapi ingat kamu harus mengutamakan kewajiban sebagai seorang istri!" pesan Pak Jamal kembali.

Bilah tampak mengangguk kecil tanda mengerti dan menyahuti, "Iya Pak."

"Kamu pasti belum makan kan Bilah. Ini Ibu masakin lauk kesukaanmu. Ingat ya cuma buat kamu!" tegas Bu Asma sambil melirik ke arah Robin dengan sinis.

"Nggak usah repot-repot Bu, Nabilah dan Bang Robin baru saja beli nasi Padang!" sahut Nabilah sambil menenteng bungkusan.

Bu Asma kemudian berseru, "Jangan dimakan, pasti kamu belinya di Kampung Rantau kan? Di sana tempatnya kotor, nanti sakit perut!"

"Jangan terlalu banyak mengatur Bu. Nabilah sudah besar bukan anak kecil lagi. Ayo kita pulang!" seru Pak Jamal kemudian.

Nabilah kemudian menyalami tangan ayah dan ibunya. Begitupun dengan Robin, tetapi Bu Asma langsung menarik tangannya dan bersikap acuh tak acuh.

"Abang ingin Bilah berjanji!" pinta Robin dengan serius.

Nabilah bertanya dengan heran, "Janji apa Bang?"

"Jangan pergi ke Kampung Rantau lagi. Percayalah, di sana tidak aman buat kamu! Kalau Bilah mau tanya apa pun, katakan saja. Abang akan jawab dengan jujur!" seru Robin yang mencemaskan keselamatan istrinya.

"Iya Bang, maaf Bilah sudah suudzon. Habis Bilah bingung bagaimana mungkin seorang preman punya banyak uang. Sampai bisa menyekolahkan anak-anak kurang mampu," sahut Nabilah yang takut suaminya seorang penjahat.

Robin kembali menjelaskan, "Abang kan sudah bilang jaga tempat pengepul. Jadi harus siap kapan pun barang datang. Tidak peduli itu tengah malam karena tempat itu menampung barang rongsokan bukan dari Kampung Rantau saja. Soal Abang banyak uang itu dari tabungan!"

Mendengar itu Nabilah menatap Robin dengan kagum. Ternyata suaminya adalah seorang pekerja keras dan ringan tangan. Tidak heran kalau anak-anak memanggilnya dengan sebutan Robin Hood.

"Maafkan Abang Bilah, belum waktunya kamu tahu siapa aku sebenarnya. Mungkin suatu hari nanti atau tidak sama sekali," gumam Robin yang tidak berniat menutupi jati dirinya.

***

Mentari mulai meninggi, setelah mengantar Nabilah pergi mengajar, Robin membeli nasi uduk. Lalu ia datang ke tempat kerja seperti biasanya.

"Aku dengar kemarin ada perempuan berhijab mencarimu, siapa dia?" tanya Tigor yang biasa mengelola tempat pengepul.

Robin menjawab singkat, "Gurunya Tegar."

"Oh, aku dengar juga katanya kau sudah menikah dengan kembang desa santri. Benar tidak kabar itu?" tanya Tigor ingin tahu.

Robin tidak heran pernikahannya dengan Nabilah sudah menyebar luas. Pasti warga heboh membicarakan gadis soleha yang menikah dengan seorang preman. Jadi percuma saja ia menutupi, cepat atau lambat Tigor akan tahu juga.

"Iya," jawab Robin singkat.

"Alamak, pantas saja belakangan ini kau suka uring-uringan. Bagaimana kau bisa menikah dengan gadis itu?" Tigor yang masih penasaran dan ingin tahu lebih banyak lagi.

Robin meletakan nasi uduk dan gorengan di atas meja sambil menjawab, "Panjang ceritanya."

"Kenalin dong sama kita-kita, ajak main ke sini!" pinta Tigor ingin mengenal wajah gadis yang telah menaklukan beruang gondrong itu.

"Itu tidak mungkin," sahut Robin sambil menghela nafas panjang.

Melihat ekspresi wajah Robin, Tigor kemudian menebak, "Pasti kedua orang tuanya tidak setuju."

"Begitulah, terutama Ibunya. Kalau tidak ingat jasa Pak Jamal, aku tidak akan mau menikah dengan gadis itu," ujar Robin kembali.

"Apa, kau menikah dengan putrinya Pak Jamal. Guru agama di madrasah di Kampung Santri?" tanya Tigor yang dijawab anggukan oleh Robin. "Pantas saja mereka tidak setuju karena kau dan gadis itu bagaikan bumi dan langit."

Robin memberikan jawaban singkat, "Makanya."

"Kalau tidak kuat lepaskan saja gadis itu daripada kau makan hati!" saran Tigor kemudian.

"Bagiku pernikahan bukan permainan dan gadis itu tidak aman kalau aku ceraikan!" ujar Robin yang mulai menceritakan kenapa bisa menikah Nabilah.

Tigor tampak mengangguk kecil dan memberikan pendapatnya, "Pasti pelaku sedang menunggu kesempatan untuk memiliki gadis itu."

"Itu yang aku takutkan, Nabilah akan selalu kujaga, meskipun harus menerima caci maki dari Ibunya yang sangat menyakitkan," sahut Robin yang mencemaskan keselamatan Nabilah.

"Mereka tidak tahu sih, kalau kamu itu sebenarnya--"

"Robin," panggil seorang wanita cantik yang tiba-tiba datang. Sorot matanya memancarkan kemarahan dan kecemburuan yang sangat mendalam.

"Risa," batin Robin yang tidak menyangka wanita itu datang menemuinya pagi ini.

Wajah Tigor pun berubah jadi tegang dan segera meninggalkan tempat itu sambil berkata, "Aku, mau sarapan dulu ya."

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status