Share

Bab 2. Hinaan Dari Mertua

Di sisi lain, seorang pria tampak mengepalkan tangannya dengan keras ketika datang ke mesjid dan mendengar kata sah. Ia segera meninggalkan tempat itu dengan amarah yang menggebu. Kalau saja mobilnya tidak mogok, pasti dia sudah menggantikan Sofyan untuk menikah dengan Nabilah!

"Sial, kenapa preman kampung itu yang beruntung!" gerutu pria itu dengan kesal.

Sebenarnya pria itu sudah pernah melamar, tetapi Nabilah menolaknya.

Padahal kedua pihak keluarga telah setuju karena ia adalah anak juragan empang dari kampung sebelah. Justru ketika seorang ustad yang jauh lebih miskin darinya diterima oleh Nabilah. Apalagi sekarang kenapa preman kampung itu yang menjadi pengantin penggantinya.

"Awas kau Nabilah, aku akan buat dirimu menyesal telah menolakku!" ancam pria itu sambil berlalu. Sampai kapan pun ia tidak akan terima atas penghinaan ini.

Acara pernikahan itu tetap dilanjutkan untuk menyambut para tamu undangan. Akan tetapi, hanya beberapa jam saja dengan alasan kondisi pengantin sedang tidak enak badan.

Apalagi ketika Bu Asma siuman dari pingsannya. Ia sangat marah sekali setelah mengetahui Nabilah menikah dengan Robin.

"Cepat katakan!" Bu Asma menyuruh Robin menjatuhkan talak kepada Nabila. Ia masih tidak terima putrinya menikah dengan preman kampung.

Robin tidak langsung menuruti kemauan Bu Asma. Ia memilih diam seribu bahasa sambil tampak acuh tak acuh. Sementara itu Nabila tertunduk dengan perasaan yang berkecamuk hebat.

"Sudahlah Bu, mereka baru menikah belum juga ada sehari. Tidak baik juga kalau langsung bercerai. Kita akan lebih malu karena nanti orang-orang beranggapan Nabilah tidak suci lagi!" ujar Pak Jamal menenangkan istrinya.

"Ibu tidak mengerti jalan pikiran Bapak. Bisa-bisanya menikahkan putri kita dengan Robin. Lebih baik malu karena Nabila gagal menikah. Daripada punya menantu seorang--"

Mendengar istrinya berkata seperti itu Pak Jamal langsung memotong, "Astaghfirullahalazim, nyebut Bu, jangan sampai amarah membuat ibadah kita sia-sia karena menghina seseorang!"

Bu Asma beristigfar di dalam hati. Entah dosa apa yang dilakukannya, sehingga mempunyai menantu seorang preman.

"Pokoknya Ibu tidak mau tahu. Setelah sebulan Robin harus menceraikan Nabila dan selama itu kalian tidak boleh tinggal serumah apalagi tidur sekamar!" ujar Bu Asma yang takut Robin menghancurkan masa depan Nabila dan menjadi benalu di keluarganya.

Lama-lama Robin merasa gerah juga mendengar hinaan dari ibu mertuanya. Ia kemudian berdiri dan pergi dari rumah itu tanpa berkata-kata.

"Tuh lihat, sama kita saja dia nggak ada sopan santunnya, apalagi dengan Nabila. Pasti akan menyiksa putri kita lahir dan batin!" ujar Bu Asma yang semakin membenci Robin.

Pak Jamal hanya menggeleng karena tidak tahu harus berkata apa apalagi. Sebenarnya ia juga kurang setuju Nabilah menikah dengan Robin. Akan tetapi, pria itu yakin pasti ada hikmah di balik semua ini.

"Mau dikasih makan apa Nabilah. Paling dia hanya merongrong keluarga kita saja." Bu Asma terus menghina Robin, padahal orangnya masih ada di luar rumah.

Sebenarnya keluarga Pak Jamal tidak pernah memilih calon menantu dari status sosialnya, semua keputusan berada di tangan Nabilah. Tentu saja gadis itu akan memilih seorang pria dari segi akhlak dan budi pekertinya. Apalagi ia dan ayahnya adalah guru agama di madrasah setempat.

Namun, mereka tidak pernah menyangka pria seperti Robin yang tidak ada baik-baiknya sama sekali kini menjadi bagian keluarga. Pengangguran, tidak pernah salat dan urakan. Rasanya sulit untuk diterima secara akal dan logika.

Sementara itu di warung kopi Mpok Inah, Udin dan Supri sedang menikmati kopi panas sama gorengan. Mereka kemudian membicarakan soal pernikahan Robin dan Nabila yang telah menjadi buah bibir warga kampung.

"Bang Udin, saya dengar Bang Robin nikah sama Nabilah?" tanya Mpok Inah ingin tahu kebenaranya.

Setelah menyeruput kopinya, Udin menyahuti, "Iya Mpok."

"Memangnya Bu Asma dan Pak Jamal setuju?" Mpok Inah kembali bertanya.

"Pak Jamal sih setuju, tapi Bu Asma marah-marah pas tahu punya menantu preman," sahut Udin sambil mengunyah pisang goreng.

"Setiap orang tua pasti ingin anaknya mendapatkan jodoh yang baik, apalagi Nabilah kembang desa. Tapi kalau sudah jodoh mau dikata apa. Biarpun Robin nggak punya pekerjaan tetap, dia sebenarnya baik loh. Diam-diam suka menolong warga. Kalian juga sering kan dibayarin minum kopi?" ujar Mpok Ijah membela Robin.

"Zaman sekarang orang nggak dilihat dari baiknya, tapi duitnya, Mpok" sahut Supri ikut menimpali.

Ketika sedang enak-enak minum kopi sambil ngobrol, tiba-tiba Udin dan Supri mengaduh ketika kuping mereka ditarik seseorang.

"Aduh, ampun Bang," ucap Udin ketika melihat siapa yang menjewernya.

"Lepasin Bang, sakit!" pinta Supri sambil mengatupkan kedua tangannya.

Dengan tatapan tajam Robin pun berkata, "Kurang ajar kalian, berani sekali menjebakku!"

"Kami disuruh sama Pak RT, Bang!" sahut Supri membela diri.

"Alasan saja, kenapa kalian harus berbohong dan tidak jujur dari awal?" tanya Robin dengan geram.

"Takut Abang nolak," jawab Udin yang pasrah mau diapain sama Robin.

"Iya, Bang benar. Udin berani sumpah pocong biar Abang percaya," ujar Supri kembali.

Supri langsung membela diri, "Kok gue, itu kan ide lu."

Melihat itu Mpok Ijah ikut berkomentar, "Kalian berdua jangan main salah-salahan. Mungkin Nabilah memang jodoh Bang Robin!"

Mendengar itu Robin melepaskan kuping Supri dan Udin seraya berkata, "Kalian harus tetap dihukum. Mulai sekarang jaga istriku dengan baik. Awas kalau sampai dia lecet sedikitpun!"

"Iya Bang, kami akan menjaganya!" janji Udin sambil mengangguk.

Robin kemudian meninggalkan kampung itu dan pergi entah ke mana.

"Mau ke mana Bang Robin?" tanya Supri ingin tahu.

"Jangan-jangan dia mau ngerampok atau mencuri. Coba lu pikir Robin itu duitnya ada aja!" sahut Udin sesuai kenyataan.

"Pernah gue tanya katanya ngepet?" celetuk Supri asal ceplos.

Mpok Inah tampak menggeleng dan memperingati, "Jangan suudzon, kalau Robin dengar habis kalian!"

***

Tiga hari sudah Robin tidak terlihat batang hidungnya di kampung Santri. Tentu saja warga jadi bertanya-tanya. Ada yang bilang pria itu kabur karena sakit hati setelah dihina oleh Bu Asma. Akan tetapi, ada yang menebak Robin sedang mencari uang agar bisa diterima sebagai menantu Pak Jamal.

"Bagus lah dia pergi, kalau perlu selamanya tidak usah kembali lagi. Robin pikir dengan pergi begitu saja Nabilah akan terikat untuk selamanya. Padahal setelah tiga bulan akan jatuh talak. Dengan begitu Nabilah akan bebas dan boleh menikah lagi," ujar Bu Asma sambil tersenyum senang, membayangkan putrinya jadi janda kembang.

"Bu, jangan berandai yang buruk tidak baik!" Pak Jamal menasehati istrinya.

"Bapak kenapa sih selalu saja belain Robin. Seharusnya Bapak tidak usah tolong dia dulu!" sahut Bu Asma dengan ketus.

"Assalamualaikum ...." Terdengar suara salam dari luar sehingga pembicaraan suami istri itu harus terhenti.

"Waalaikumsalam ...," sahut Pak Jamal dan Bu RT bersamaan.

Mereka tampak terkejut ketika orang yang sedang dibicarakan tiba-tiba datang.

Setelah tiga hari menghilang, Robin datang ke rumah Pak Jamal kali ini bersama Pak RT. Ternyata kedatangan pria itu untuk menjemput Nabilah yang kini sudah menjadi istrinya.

"Saya tidak setuju kamu membawa Nabilah!" Bu Asma menolak mentah-mentah keinginan Robin.

"Nabilah istri saya," ujar Robin singkat.

Bu Asma menyahuti dengan sengit, "Iya saya tahu, tapi pernikahan kalian hanya sementara!"

"Bu, perceraian itu memang diperbolehkan dalam agama, tapi sangat dibenci sama Allah," ujar Pak Jamal menasehati istrinya.

"Betul itu Bu Asma, sebagai seorang suami Robin berhak membawa Nabilah. Ibu jangan takut karena mereka akan tinggal di kampung ini juga, kalau Robin sampai menyakiti fisik dan batin Nabilah. Saya sendiri yang akan menindaknya secara langsung!" ujar Pak RT ikut menengahi.

"Saya tetap tidak izinkan!" ujar Bu Asma tetap tidak percaya Robin bisa membahagiakan putrinya.

Sebagai kepala keluarga Pak Jamal kemudian memutuskan, "Cukup Bu! Kamu boleh bawa Nabilah, tetapi kalau tidak mampu menjadi imam yang baik. Tolong jangan sakiti putriku dan kembalikan dia dalam keadaan yang baik juga!"

"Iya Pak, saya akan berusaha menjadi suami yang baik untuk Nabilah," ucap Robin dengan bersungguh-sungguh.

Bu Asma tidak bisa berkutik mendengar keputusan suaminya. Sikap dan nada bicaranya seketika langsung melunak.

"Ya sudah kamu boleh tinggal di sini. Asalkan jangan bawa Nabilah pergi!"

"Maaf Bu, saya ingin belajar mandiri dan bertanggungjawab!" Robin tetap pada keinginannya untuk membawa Nabilah.

Pak Jamal kemudian menyuruh putrinya untuk bersiap-siap.

"Bilah, takut Pak," ucap gadis itu yang tidak mau pergi dari rumah orang tuanya.

"Jika kamu tidak melihat kebaikan pada diri Robin. Maka buatlah dia menjadi baik. Dengan menjalankan tugasmu sebagai istri dengan sebaik mungkin. Insya Allah semua akan baik-baik saja!" pesan Pak Jamal sambil memeluk putrinya dengan erat.

Nabilah kemudian memasukan pakaian dan barang-barang pribadinya ke dalam tas. Ia akhirnya ikut Robin tinggal dikontrakan.

"Aku harus mencari cara untuk memisahkan mereka secepatnya!" batin Bu Asma sambil memandangi kepergian Nabilah.

Ya, Ia harus berhasil menjalankan rencananya!

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status