Di sisi lain, seorang pria tampak mengepalkan tangannya dengan keras ketika datang ke mesjid dan mendengar kata sah. Ia segera meninggalkan tempat itu dengan amarah yang menggebu. Kalau saja mobilnya tidak mogok, pasti dia sudah menggantikan Sofyan untuk menikah dengan Nabilah!
"Sial, kenapa preman kampung itu yang beruntung!" gerutu pria itu dengan kesal. Sebenarnya pria itu sudah pernah melamar, tetapi Nabilah menolaknya. Padahal kedua pihak keluarga telah setuju karena ia adalah anak juragan empang dari kampung sebelah. Justru ketika seorang ustad yang jauh lebih miskin darinya diterima oleh Nabilah. Apalagi sekarang kenapa preman kampung itu yang menjadi pengantin penggantinya. "Awas kau Nabilah, aku akan buat dirimu menyesal telah menolakku!" ancam pria itu sambil berlalu. Sampai kapan pun ia tidak akan terima atas penghinaan ini. Acara pernikahan itu tetap dilanjutkan untuk menyambut para tamu undangan. Akan tetapi, hanya beberapa jam saja dengan alasan kondisi pengantin sedang tidak enak badan. Apalagi ketika Bu Asma siuman dari pingsannya. Ia sangat marah sekali setelah mengetahui Nabilah menikah dengan Robin. "Cepat katakan!" Bu Asma menyuruh Robin menjatuhkan talak kepada Nabila. Ia masih tidak terima putrinya menikah dengan preman kampung. Robin tidak langsung menuruti kemauan Bu Asma. Ia memilih diam seribu bahasa sambil tampak acuh tak acuh. Sementara itu Nabila tertunduk dengan perasaan yang berkecamuk hebat. "Sudahlah Bu, mereka baru menikah belum juga ada sehari. Tidak baik juga kalau langsung bercerai. Kita akan lebih malu karena nanti orang-orang beranggapan Nabilah tidak suci lagi!" ujar Pak Jamal menenangkan istrinya. "Ibu tidak mengerti jalan pikiran Bapak. Bisa-bisanya menikahkan putri kita dengan Robin. Lebih baik malu karena Nabila gagal menikah. Daripada punya menantu seorang--" Mendengar istrinya berkata seperti itu Pak Jamal langsung memotong, "Astaghfirullahalazim, nyebut Bu, jangan sampai amarah membuat ibadah kita sia-sia karena menghina seseorang!" Bu Asma beristigfar di dalam hati. Entah dosa apa yang dilakukannya, sehingga mempunyai menantu seorang preman. "Pokoknya Ibu tidak mau tahu. Setelah sebulan Robin harus menceraikan Nabila dan selama itu kalian tidak boleh tinggal serumah apalagi tidur sekamar!" ujar Bu Asma yang takut Robin menghancurkan masa depan Nabila dan menjadi benalu di keluarganya. Lama-lama Robin merasa gerah juga mendengar hinaan dari ibu mertuanya. Ia kemudian berdiri dan pergi dari rumah itu tanpa berkata-kata. "Tuh lihat, sama kita saja dia nggak ada sopan santunnya, apalagi dengan Nabila. Pasti akan menyiksa putri kita lahir dan batin!" ujar Bu Asma yang semakin membenci Robin. Pak Jamal hanya menggeleng karena tidak tahu harus berkata apa apalagi. Sebenarnya ia juga kurang setuju Nabilah menikah dengan Robin. Akan tetapi, pria itu yakin pasti ada hikmah di balik semua ini. "Mau dikasih makan apa Nabilah. Paling dia hanya merongrong keluarga kita saja." Bu Asma terus menghina Robin, padahal orangnya masih ada di luar rumah. Sebenarnya keluarga Pak Jamal tidak pernah memilih calon menantu dari status sosialnya, semua keputusan berada di tangan Nabilah. Tentu saja gadis itu akan memilih seorang pria dari segi akhlak dan budi pekertinya. Apalagi ia dan ayahnya adalah guru agama di madrasah setempat. Namun, mereka tidak pernah menyangka pria seperti Robin yang tidak ada baik-baiknya sama sekali kini menjadi bagian keluarga. Pengangguran, tidak pernah salat dan urakan. Rasanya sulit untuk diterima secara akal dan logika. Sementara itu di warung kopi Mpok Inah, Udin dan Supri sedang menikmati kopi panas sama gorengan. Mereka kemudian membicarakan soal pernikahan Robin dan Nabila yang telah menjadi buah bibir warga kampung. "Bang Udin, saya dengar Bang Robin nikah sama Nabilah?" tanya Mpok Inah ingin tahu kebenaranya. Setelah menyeruput kopinya, Udin menyahuti, "Iya Mpok." "Memangnya Bu Asma dan Pak Jamal setuju?" Mpok Inah kembali bertanya. "Pak Jamal sih setuju, tapi Bu Asma marah-marah pas tahu punya menantu preman," sahut Udin sambil mengunyah pisang goreng. "Setiap orang tua pasti ingin anaknya mendapatkan jodoh yang baik, apalagi Nabilah kembang desa. Tapi kalau sudah jodoh mau dikata apa. Biarpun Robin nggak punya pekerjaan tetap, dia sebenarnya baik loh. Diam-diam suka menolong warga. Kalian juga sering kan dibayarin minum kopi?" ujar Mpok Ijah membela Robin. "Zaman sekarang orang nggak dilihat dari baiknya, tapi duitnya, Mpok" sahut Supri ikut menimpali. Ketika sedang enak-enak minum kopi sambil ngobrol, tiba-tiba Udin dan Supri mengaduh ketika kuping mereka ditarik seseorang. "Aduh, ampun Bang," ucap Udin ketika melihat siapa yang menjewernya. "Lepasin Bang, sakit!" pinta Supri sambil mengatupkan kedua tangannya. Dengan tatapan tajam Robin pun berkata, "Kurang ajar kalian, berani sekali menjebakku!" "Kami disuruh sama Pak RT, Bang!" sahut Supri membela diri. "Alasan saja, kenapa kalian harus berbohong dan tidak jujur dari awal?" tanya Robin dengan geram. "Takut Abang nolak," jawab Udin yang pasrah mau diapain sama Robin. "Iya, Bang benar. Udin berani sumpah pocong biar Abang percaya," ujar Supri kembali. Supri langsung membela diri, "Kok gue, itu kan ide lu." Melihat itu Mpok Ijah ikut berkomentar, "Kalian berdua jangan main salah-salahan. Mungkin Nabilah memang jodoh Bang Robin!" Mendengar itu Robin melepaskan kuping Supri dan Udin seraya berkata, "Kalian harus tetap dihukum. Mulai sekarang jaga istriku dengan baik. Awas kalau sampai dia lecet sedikitpun!" "Iya Bang, kami akan menjaganya!" janji Udin sambil mengangguk. Robin kemudian meninggalkan kampung itu dan pergi entah ke mana. "Mau ke mana Bang Robin?" tanya Supri ingin tahu. "Jangan-jangan dia mau ngerampok atau mencuri. Coba lu pikir Robin itu duitnya ada aja!" sahut Udin sesuai kenyataan. "Pernah gue tanya katanya ngepet?" celetuk Supri asal ceplos. Mpok Inah tampak menggeleng dan memperingati, "Jangan suudzon, kalau Robin dengar habis kalian!" *** Tiga hari sudah Robin tidak terlihat batang hidungnya di kampung Santri. Tentu saja warga jadi bertanya-tanya. Ada yang bilang pria itu kabur karena sakit hati setelah dihina oleh Bu Asma. Akan tetapi, ada yang menebak Robin sedang mencari uang agar bisa diterima sebagai menantu Pak Jamal. "Bagus lah dia pergi, kalau perlu selamanya tidak usah kembali lagi. Robin pikir dengan pergi begitu saja Nabilah akan terikat untuk selamanya. Padahal setelah tiga bulan akan jatuh talak. Dengan begitu Nabilah akan bebas dan boleh menikah lagi," ujar Bu Asma sambil tersenyum senang, membayangkan putrinya jadi janda kembang. "Bu, jangan berandai yang buruk tidak baik!" Pak Jamal menasehati istrinya. "Bapak kenapa sih selalu saja belain Robin. Seharusnya Bapak tidak usah tolong dia dulu!" sahut Bu Asma dengan ketus. "Assalamualaikum ...." Terdengar suara salam dari luar sehingga pembicaraan suami istri itu harus terhenti. "Waalaikumsalam ...," sahut Pak Jamal dan Bu RT bersamaan. Mereka tampak terkejut ketika orang yang sedang dibicarakan tiba-tiba datang. Setelah tiga hari menghilang, Robin datang ke rumah Pak Jamal kali ini bersama Pak RT. Ternyata kedatangan pria itu untuk menjemput Nabilah yang kini sudah menjadi istrinya. "Saya tidak setuju kamu membawa Nabilah!" Bu Asma menolak mentah-mentah keinginan Robin. "Nabilah istri saya," ujar Robin singkat. Bu Asma menyahuti dengan sengit, "Iya saya tahu, tapi pernikahan kalian hanya sementara!" "Bu, perceraian itu memang diperbolehkan dalam agama, tapi sangat dibenci sama Allah," ujar Pak Jamal menasehati istrinya. "Betul itu Bu Asma, sebagai seorang suami Robin berhak membawa Nabilah. Ibu jangan takut karena mereka akan tinggal di kampung ini juga, kalau Robin sampai menyakiti fisik dan batin Nabilah. Saya sendiri yang akan menindaknya secara langsung!" ujar Pak RT ikut menengahi. "Saya tetap tidak izinkan!" ujar Bu Asma tetap tidak percaya Robin bisa membahagiakan putrinya. Sebagai kepala keluarga Pak Jamal kemudian memutuskan, "Cukup Bu! Kamu boleh bawa Nabilah, tetapi kalau tidak mampu menjadi imam yang baik. Tolong jangan sakiti putriku dan kembalikan dia dalam keadaan yang baik juga!" "Iya Pak, saya akan berusaha menjadi suami yang baik untuk Nabilah," ucap Robin dengan bersungguh-sungguh. Bu Asma tidak bisa berkutik mendengar keputusan suaminya. Sikap dan nada bicaranya seketika langsung melunak. "Ya sudah kamu boleh tinggal di sini. Asalkan jangan bawa Nabilah pergi!" "Maaf Bu, saya ingin belajar mandiri dan bertanggungjawab!" Robin tetap pada keinginannya untuk membawa Nabilah. Pak Jamal kemudian menyuruh putrinya untuk bersiap-siap. "Bilah, takut Pak," ucap gadis itu yang tidak mau pergi dari rumah orang tuanya. "Jika kamu tidak melihat kebaikan pada diri Robin. Maka buatlah dia menjadi baik. Dengan menjalankan tugasmu sebagai istri dengan sebaik mungkin. Insya Allah semua akan baik-baik saja!" pesan Pak Jamal sambil memeluk putrinya dengan erat. Nabilah kemudian memasukan pakaian dan barang-barang pribadinya ke dalam tas. Ia akhirnya ikut Robin tinggal dikontrakan. "Aku harus mencari cara untuk memisahkan mereka secepatnya!" batin Bu Asma sambil memandangi kepergian Nabilah.Ya, Ia harus berhasil menjalankan rencananya!
BERSAMBUNG"Kamu tidur di sini dan lemari itu untuk tempat pakaianmu!" ujar Robin ketika sampai di rumah kontrakannya. "Iya Bang," jawab Nabilah sambil menelisik ruang tamu yang berukuran 3×3 meter itu dengan saksama. Ada kasur busa single, sebuah lemari plastik susun lima dan kipas angin kecil. "Aku ada di kamar dan kamu tidak boleh masuk dengan alasan apa pun. Dilarang menerima tamu dan pintu harus selalu dikunci, terutama jika aku tidak ada di rumah. Kalau lapar kamu boleh memasak apa saja yang ada di dapur!" ujar Robin memberikan beberapa peraturan. Nabilah kembali memberikan jawaban singkat, "Iya Bang.""Bagus," ujar Robin sambil masuk ke kamarnya. Nabilah merasa seperti berada di dalam penjara dengan beberapa peraturan yang membelenggunya. Jujur ia takut sekali harus tinggal bersama Robin. Akankah pria itu memperlakukannya dengan baik atau tidak. Terus bagaimana kalau Robin minta haknya sebagai seorang suami. "Ya Allah, tolong lindungi hamba!" doa Nabilah di dalam hati. Ia mulai mena
"Jadi kamu sudah menikah, Bilah?" tanya Sofyan ketika melihat cincin yang melingkar di jari manis kanan Nabilah. Sambil tertunduk Nabilah kemudian menjawab, "Iya Mas." "Kenapa kamu tidak menunggu aku?" tanya Sofyan terlihat kecewa. "Sampai kapan? Sampai semua warga kampung mengolok-olok saya dan keluargaku?" Nabilah balik bertanya. "Maaf, Mas tidak bermaksud menyakitimu. Lebih baik kita ke rumahmu, Mas akan jelaskan semuanya. Agar tidak ada kesalahpahaman di antara kita!" ajak Sofyan yang ingin memberikan alasan kenapa tidak jadi menikahi Nabilah. Nabilah tampak mengangguk dan segera menuju ke rumah orang tuanya. Pak Jamal yang mau berangkat mengajar di madrasah tampak terkejut melihat kedatangan Sofyan, begitupun dengan Bu Asma. "Mau apa kamu datang ke sini, puas sudah membuat kami malu?" tanya Bu Asma dengan ketus. "Maaf Bu, Pak, saya mau menjelaskan semuanya," ucap Sofyan yang merasa bersalah. Pak Jamal tampak mengangguk kecil dan mempersilahkan Sofyan untuk masuk.
Habis isya Robin baru pulang ke kontrakannya. Ia melihat Nabilah baru saja selesai melaksanakan salat. Pria itu langsung masuk tanpa mengucapkan salam."Assalamualaikum .., Abang dari mana?" tanya Nabilah sambil melipat mukena."Waalaikumsalam .., kerja," sahut Robin sambil menghentikan langkah.Nabilah kemudian menyarankan, "Abang mandi dan makan dulu ya. Nanti Bilah mau bicara!" "Sudah, kalau mau ngomong sekarang saja!" seru Robin yang ingin segera masuk ke kamar ya. Nabilah kemudian bertanya, "Abang kerja apa, kok pergi subuh sampai malam baru pulang?""Jaga tempat pengepul," jawab Robin singkat. "Oh ...." Nabilah tampak berpikir sesaat dan membatin, "Masa iya penjaga tempat rongsokan bisa punya duit banyak.""Kenapa nggak percaya, takut makan duit haram?" tanya Robin terdengar sedikit sinis."Bukan begitu, Bilah boleh ngajar lagi nggak Bang?" Nabilah minta izin suaminya untuk kembali mengajar di madrasah. Ia menunduk karena takut melihat tatapan Robin yang seolah mengintimidas
Untuk menghindar dari Robin, Nabilah kemudian masuk ke gang kecil dan berjalan tanpa arah. Sehingga ia tidak menemukan jalan ke luar dan hanya berputar-putar di kampung itu saja."Permisi Mbak, kalau mau ke jalan raya lewat mana ya?" tanya Nabilah pada salah satu warga. "Lurus saja Mbak, terus belok kiri, habis itu ambil kanan dan lurus lagi sudah kelihatan kok jalan raya nya!" jawab wanita itu sambil memperhatikan Nabilah dengan saksama. Nabilah mengikuti apa yang diberitahu wanita itu. Hingga akhirnya ia sampai di sebuah jalan, di mana banyak para preman sedang nongkrong. "Permisi numpang lewat," ujar Nabilah dengan takut-takut."Ada cewek kesasar ni Bro, sepertinya kita perlu kenalan dulu," ujar salah saru preman sambil mendekati Nabilah. Melihat pria itu Nabilah kemudian berseru, "Jangan mendekat! Mau apa kamu?" "Galak banget sih, Abang cuma mau lihat wajah Neng doang, cantik apa nggak. Buka dong maskernya!" sahut preman itu sambil menggoda.Para preman yang lainnya pun ikut
"Ada apa Ris?" tanya Robin dengan santai. "Apa benar kamu sudah menikah?" tanya Risa sambil menatap Robin dengan berkaca-kaca. Robin memberikan jawaban secara realistis, "Aku hanya ingin melindunginya, keselamatan gadis itu sedang terancam Ris?" "Harus kamu yang melakukannya?" tanya wanita yang memiliki mata indah itu. "Ya, aku hanya ingin membalas budi saja karena ayahnya telah menyelamatkan nyawaku," jawab Robin memberikan penjelasan. Tiba-tiba Risa memeluk tubuh Robin dengan erat seraya berkata, "Aku tidak bisa hidup, kalau sampai kau mencintai wanita lain." "Risa, jangan seperti ini. Memang pernikahanku tidak berdasarkan cinta. Tapi ada hati yang harus dijaga, tolong mengertilah!" ujar Robin sambil melepaskan pelukan Risa. "Sampai kapan kamu akan menikahinya?" tanya Risa yang tidak rela Robin dimiliki wanita lain. Robin memberikan jawaban, "Sampai ada laki-laki soleh dan bisa melindunginya dengan baik!" "Aku pegang kata-katamu," ujar Risa dengan penuh harap. Robi
Nabilah terdiam beberapa saat, sebelum balik bertanya, "Kenapa dan siapa Mbak?" "Saya mencintai Robin dan sangat mengenalnya. Asal kamu tahu Robin tidak pernah mencintai kamu dan terpaksa menikah denganmu!" ujar wanita itu kembali. Nabilah terdiam dan mengerti maksud wanita itu. "Mbak tenang saja, saya juga tidak mencintai Robin. Tapi kalau menjauhinya saya tidak bisa karena keputusan itu ada di tangan Robin. Lebih baik Mbak katakan kepadanya untuk melepaskan saya!" "Baguslah, Robin itu tidak pantas buat kamu. Saya takut dia akan menyakitimu suatu hari nanti, permisi," ujar wanita itu yang segera pergi. Nabilah memandangi wanita itu yang naik ke mobil dan meluncur pergi. Ia tidak mau menduga-duga lagi lebih baik nanti tanya sama Robin saja. Mentari kian meninggi hari ini Nabilah benar-benar istirahat total. Perutnya terasa melilit jika melakukan sesuatu. Biasanya ia mengalami hal seperti ini selama satu hari. Besok baru hilang rasa sakit mulesnya. Gadis itu mengompres p
"Biasa, pada minta traktir es potong," jawab Robin menatap Nabilah, "Oh, iya. Bagaimana perut kamu masih sakit, kalau dibuat jalan kuat nggak? Abang lupa bawa motor." "Cuma mules dikit kok, nggak apa-apa kalau buat jalan," jawab Nabilah sambil mengangguk. Mereka kemudian jalan beriringan sambil bercakap-cakap. "Kalau boleh tahu kenapa Bang Robin suka jalan kaki?" tanya Nabilah penasaran. "Pak RT mempercayakan keamanan kampung ini sama Abang. Dengan jalan kaki Abang bisa melihat situasi dan kondisi warga serta lingkungan setiap hari!" jawab Robin sambil memberikan alasannya. Nabilah kembali bertanya, "Keamanan kampung Rantau juga Abang yang pegang?" "Nggak, Abang cuma jaga pengepul saja." Robin memberikan jawaban apa adanya. "Terus kenapa para preman waktu itu takut sama Abang?" Nabilah terus mencari tahu. "Di sana siapa yang terkuat dia akan disegani. Kebetulan mereka belum ada yang bisa mengalahkan Abang," jawab Robin kembali. Tiba-tiba pembicaraan mereka terhenti ketika men
Hari demi hari berlalu Nabilah dan Robin semakin dekat, tentu hanya sebagai teman saja. Mereka sudah mulai terbuka satu sama lain. Mulai dari hobi sampai kehidupan pribadi. "Masa sih Abang belum punya pacar?" tanya Nabilah pada suatu malam. "Iya benar, tapi kalau teman dekat ada. Seperti Sita yang kamu lihat di kampung Rantau. Dia kerja di pengepul juga jadi admin," jawab Robin apa adanya.Nabilah kembali bertanya, "Kalau ada perempuan yang diam-diam suka sama Abang bagaimana?" Sebenarnya ia ingin mencari tahu siapa wanita yang datang menemuinya tempo hari. "Ya nggak apa-apa, tapi kayaknya nggak mungkin deh. Siapa yang mau sama Abang sudah miskin, jelek dan masa depan pun suram," jawab Robin merendah. "Jangan-jangan Bilah suka ya sama Abang?" tanya pria itu yang membuat istrinya tampak tercengang. Nabilah menjawab dengan jujur, "Iya, Bilah kagum sama Bang Robin yang suka berbagi dan bisa dekat sama anak-anak. Jarang sekali seorang preman bisa seperti itu.""Jadi Nabilah cuma kagu
Aku adalah seorang gadis desa yang mencintai seorang preman kampung bernama Robin. Berawal dari gagalnya pernikahanku, kami akhirnya bersatu karena takdir. Awalnya aku takut melihat Robin yang brewokan dan tampak beringas. Akan tetapi, ternyata dia pria yang bertanggungjawab dan baik hati. Sebenarnya aku sempat bimbang ketika Kak Abas kembali dan menyatakan ingin ta'aruf denganku. Pria yang dahulu aku kagumi karena kesalehannya. Seandainya belum menikah dengan Robin, mungkin aku akan menerima niat tulus Abas. Apalagi ibuku sangat merestui aku bersatu dengannya.Namun, ketika Robin rela mengorbankan nyawa, membuatku sadar cinta ini untuknya. Setelah memutuskan memilih untuk menjadi suamiku, akhirnya aku tahu kalau nama asli Robin adalah Bara Sadewa. Salah satu putra konglomerat dari Singapura. Majikan kakakku yang sudah tiada.Tidak seperti kisah Cinderella, cerita cintaku penuh dengan air mata. Terlebih ketika Sadewa memintaku pergi dari kehidupan Bara untuk selamanya. Aku dianggap
"Cukup Abang!" seru Nabilah yang datang bersama anak-anaknya. Bara mendengus kesal karena rencananya memberikan Bryan ganjaran digagalkan Nabilah. Padahal sebentar lagi adiknya itu sudah mau menangis."Om Bryan," panggil Robin sambil berlari menghampiri pamannya dengan penuh kerinduan.Azza juga tidak mau ketinggalan dan ikut mengejar sambil memanggil dengan suara cadelnya, "Om Bian."Bryan langsung menyambut kedua keponakannya itu dengan pelukan hangat. "Robin sudah besar sekarang dan tambah ganteng, kalau Azza cantik dan pinter," puji Bryan yang sudah lama tidak bertemu dengan kedua keponakannya itu. "Selamat datang Om Bryan, kenalkan nama aku Salsabilah," ujar Nabilah sambil menggendong putri bungsunya. "Tambah satu lagi keponakan Om, lucu sekali kamu." Bryan langsung menggendong Salsa dan menciumnya. Kalau Robin mirip dengan Nabilah, Azza lebih condong ke Mom Sandra. Maka Salsa mempunyai paras Bara versi perempuannya.Sementara itu Bara hanya memperhatikan saja, Bryan disambu
Ketika Bara dan keluarganya sedang mengalami ujian ekonomi, Nabilah melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Salsabilah Azizah Erlangga. Kehadiran Bayi itu menjadi penyemangat atas apa yang sedang mereka hadapi. Di mana Nabilah dan Bara memulai semuanya dari nol lagi.Bara menjadi suami siaga, selalu membantu istrinya dalam segala hal. Terutama dalam mengurus Robin dan Azza yang sedang aktif bermain. Sehingga membuat Nabilah merasa beruntung memiliki pendamping hidup sepertinya. "Anak-anak bagaimana Bang?" tanya Nabilah ketika sedang menyusui putrinya."Aman, Robin sudah bisa momong. Dia dewasa sekali, bahkan mengajari Azza mengaji dan mengenal nama-nama binatang pakai bahasa Inggris," jawab Bara yang membuat Nabilah jadi bangga. "Robin memang pintar dan cepat daya tangkapnya," jawab Nabilah yang membuat Bara mengangguk kecil.Kondisi kesehatan Mom Sandra kian menurun setelah kepergian Hans. Sehingga membuat Bara jadi sedih dan cemas. "Kita ke rumah sakit ya Mom!" ajak Ba
Tidak terasa sudah hampir setahun aku kembali menjalani kehidupan yang sederhana, bersama Nabilah, Robin dan Azza, di kampung Rantau. Entah mengapa aku merasa nyaman tinggal di kampung itu. Mungkin di tempat ini telah menjadi titik balik dalam pencarian jati diriku. Aku merasa Nabilah adalah anugerah terindah yang diberikan oleh Allah. Dari rahimnya lahir dua buah hatiku yang lucu dan menggemaskan. Dia adalah sosok ibu yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Selalu sabar dalam mengurus dan membesarkan anak-anak. Semoga kami bisa mendidik mereka menjadi pribadi yang soleh dan soleha serta istiqomah. "Terima kasih karena sudah mencintaiku," ucapku sambil memeluk Nabilah ketika anak-anak sedang tidur. Hanya disaat seperti ini kami memiliki waktu berdua."Terima kasih juga, sudah menjadi pelindung Bilah dan anak-anak," sahut Nabilah sambil menatapku dengan penuh cinta. Aku kemudian mengecup kening Nabilah lalu bibir dan terakhir perutnya yang membesar. Ya Nabilah sedang mengandung an
Setelah ayahnya meninggal, Bryan merasa tidak sanggup menjalankan perusahaan seorang diri. Apalagi kondisinya gampang drop, kalau terlalu banyak berpikir atau kelelahan. Bryan juga tidak percaya dengan wakilnya di kantor. Sehingga ia mengikuti saran Bara untuk menjual semua harta Sadewa. "Jika harta warisan memberatkanmu maka lepaskanlah. Jadi kamu bisa tenang menjalani hidup ini!" saran Bara setelah menimbang baik dan buruknya ke depan nanti."Terima kasih sudah memberikan masukan. Aku akan merelakan semua warisanku karena harta tidak dibawa mati," ujar Bryan menyetujui rencana Bara. Ia ingin melepaskan beban sebagai ahli waris keluarga Sadewa yang selama ini membuatnya tertekan dalam ketakutan.Tanpa memberitahu siapa pun, Bryan menjual satu persatu aset milik keluarga Sadewa. Mulai dari vila, mansion, pulau pribadi hingga saham. Kini seorang Billionaire dari Inggris yang memiliki perusahaan Sadewa Corp. Hanya kediaman Sadewa yang masih tersisa. Ia dan Bara sepakat tidak akan menj
"Aku ingin mengucapkan bela sungkawa secara langsung kepadamu dan Bara. Tapi sepertinya kehadiranku tidak tepat, maaf sudah mengganggu permisi," ucap Monica yang hendak pergi. "Tidak apa-apa Monica, terima kasih kamu sudah datang. Silahkan duduk!" cegah Bara yang menghargai kedatangan Monica sebagai seorang tamu. "Bilah, tolong buatkan minum ya!" serunya kemudian. Monica segera masuk dan menyalami semua orang yang ada di sana. "Dilanjut ya, kami mau siap-siap buat tahlilan nanti malam!" seru Mom Sandra yang segera meninggalkan tempat itu bersama Hans dan Pak Jamal. Bara juga segera menyusul dengan berkata, "Aku mau bantu Nabilah dulu, takut Robin nakalin adiknya!" Ia ingin memberikan kesempatan Bryan dan Monica bicara dari hati ke hati. Bryan kemudian mengajak Monica ke serambi rumah. Setelah mereka bicara sebentar, Monica pamitan untuk pulang."Mau ke mana Monica, kenapa buru-buru pulang?" tanya Bara yang datang bersama Nabilah sambil membawa suguhan. "Tidak apa-apa, aku turut
Setelah mendapatkan perawatan yang intensif, kondisi Bryan perlahan mulai membaik. Selama di rumah sakit, Bara selalu menemani dan mensuportnya. Agar Bryan siap menerima takdir dan semangat lagi untuk menjalani hidupnya. "Terima kasih sudah merawataku Kak!" ucap Bryan ketika baru saja masuk ke mobil dan meninggalkan rumah sakit. "Aku sudab memutuskan untuk pindah ke Singapura lagi. Banyak hal yang harus diselesaikan, bisa saja besok aku akan menyusul papi bukan?" ujar Bryan yang pasrah akan takdir hidupnya."Aku yakin kamu akan melakukan yang terbaik. Sekarang papi sudah tidak ada menikahlah dengan Monica. Dia masih menunggumu sampai saat ini!" saran Bara agar Bryan tidak patang asa menjalani kehidupannya. Namun, Bryan menolak usul Bara dan memberikan alasannya, "Aku dan Monica tidak akan bersatu lagi karena keluarganya minta lima puluh persen bagian harta keluarga Sadewa."Bara cukup terkejut mendengarnya dan bertanya, "Kenapa tidak kamu berikan?" "Aku tidak akan membiarkan mere
Bara langsung menghubungi Bryan melalui vidio call untuk memberitahu kalau ayah mereka sudah tiada. Tentu saja kabar itu membuat adiknya sangat terkejut dan syok. "Papi sudah tiada, tadi habis salat subuh beliau telah pergi," ujar Bara dengan suara yang bergetar. "Inalillahi wainnalillahirojiun, ya Allah aku baru mau terbang ke Singapura untuk menghadiri rapat komisaris. Habis itu ke Jakarta, menjenguk Papi. kenapa kakak nggak bilang kalau Papi sakit. Aku pasti pergi dari kemarin?" ucap Bryan dengan suara yang parau. Bara memberikan penjelasan, "Papi tidak sakit, aku pun tidak tahu kalau beliau mau berpulang. Cuma semalaman aku menemaninya yang tidak tidur. Ternyata Papi tidur menjelang pagi untuk selamanya." Mereka kemudian membahas di mana Sadewa akan dikebumikan. Akhirnya Kakak beradik itu sepakat ayah mereka dikuburkan di salah satu pemakaman elit di Indonesia saja. "Sepertinya kami tidak mungkin menguburkan setelah zuhur, kasihan papi kalau kelamaan. Jadi kemungkinan kamu t
Nabilah tampak terkejut ketika suaminya sudah pulang dari inggris, padahal baru dua hari. Namun, ia tidak berani bertanya karena Bara terlihat begitu lelah. Setelah istirahat dan makan baru mereka memulai pembicaraan."Kenapa sudah pulang, bagaimana kabar papi, Bang?" tanya Nabilah ingin tahu. "Papi baik-baik saja, Abang sudah pulang karena kita mau pindah rumah," jawab Bara yang membuat Nabilah terkejut. "Kita mau pindah ke mana Bang?" tanya Nabilah ketika mendengar keinginan Bara. Selama ini mereka menempati rumah Pak Jamal. "Ke rumah papi dan mami di Jakarta," jawab Bara yang segera menjelaskan alasannya. "Apakah Bilah siap dan bersedia membantu Abang?"Nabilah mengangguk seraya menjawab, "Insya Allah Bilah siap lahir batin mendukung dan menemani Abang untuk menjadi anak yang berbakti." Ia akan mengikuti ke mana pun Bara mengajaknya. "Ya sudah, kamu siap-siap ya, rapikan semua pakaian kita. Abang mau ngomong sama Bapak!" serunya kemudian. Bara segera menemui Pak Jamal dan men