Kepulangan Abas di kampung Santri langsung menjadi pusat perhatian para gadis. Tubuhnya yang tinggi, berkulit putih dan tampan, sangat mempesona setiap mata yang memandang. Tutur katanya sopan santun, soleh dan mapan. Sehingga membuatnya jadi rebutan sebagai calon suami idaman. Keluarganya pun jelas, putra seorang kyai yang sangat dihormati. Namun, dari sekian banyak wanita lajang yang ada di kampung Santri. Hanya satu gadis yang mampu memikat hati Abas yaitu Nabilah. Teman sepermainan ketika masih anak-anak, satu tempat pengajian dan adik kelasnya."Kakak ingin melakukan taaruf dengan Bilah," ujar Abas dengan bersungguh-sungguh. "Maaf Kak, Bilah sudah punya suami," tolak Nabilah sambil tertunduk. Abas pun mengangguk seraya berkata, "Iya sudah tahu, Ibu telah mencerita semuanya. Tapi Nabilah mau kan menikah sama Kakak?" tanya pria itu dengan serius.Nabilah terdiam karena tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa pasrah akan takdir yang menentukan jodohnya. Andai Robin tidak ber
Terdengar suar bel berdering yang memecah kesunyian. Para siswa dan siswi Madrasah Nurul Iman satu persatu ke luar dari kelas untuk beristirahat. Begitupun dengan gurunya, seperti Nabilah yang pergi ke kantin untuk membeli minum. "Bilah, bisa kita bicara sebentar!" ajak Abas yang tiba-tiba datang. "Tapi Kak ini di sekolah, tidak baik dilihat orang nanti takutnya jadi fitnah!" Nabilah menolak untuk bicara hal pribadi dengan Abas. "Iya Kakak tahu, ini bukan soal kita. Tapi tentang Robin," ujar Abas yang membuat Nabilah jadi penasaran. Nabilah kemudian bertanya, "Ada apa dengan Bang Robin?" "Lebih baik kita bicara di taman sebentar!" ajak Abas yang dijawab anggukan oleh Nabilah. Mereka kemudian menuju ke taman dan duduk bangku dengan menjaga jarak. "Apa Bilah merasa ada yang sesuatu yang aneh pada Robin. Misal kebiasaannya yang mencurigakan atau mengherankan?" tanya Abas langsung pada pokok permasalahan. "Sebelum Bilah kasih tahu, jawab dulu buat apa Kakak bertanya seperti itu!"
Abas segera mengeluarkan sebuah map yang berisi foto-foto kegiatan Robin selama seminggu terakhir. Sehingga membuat Nabilah dan Pak Jamal tampak terkejut mengetahuinya. Pantas saja pria itu selalu pergi sebelum azan subuh dan pulang setelah isya."Foto-foto ini belum bisa menunjukan siapa Robin sebenarnya. Terutama sumber keuangannya selama ini. Polisi akan terus mengusutnya sampai tuntas," ujar Abas menjelaskan. "Nanti malam saya akan mulai melakukan tugas pertama. Saya mohon doa dari Bapak dan Nabilah!" pintanya kemudian. Pak Jamal langsung mendoakan, "Semoga semua tugas Nak Abas lancar dan cepat selesai!""Aaminn ...," ucap Nabilah sambil tertunduk."Terima kasih, kalau begitu saya pulang dulu ya Pak, Bilah," pamit Abas yang segera meninggalkan rumah itu. Pak Jamal mengantar sampai teras, sedangkan Nabilah tetap bergeming di bangku dengan perasaan yang kian bergejolak. "Kenapa Bilah diam saja, jangan bilang kalau kamu suka sama Robin setelah tahu dia rajin beribadah?" tanya Pak
Baron dan beberapa anak buahnya terlihat mendatangi pengepul, tempat Tigor selama ini mencari nafkah. Kedatangan mereka langsung disambut oleh Robin. Suasana yang tadinya hening kini berubah jadi tegang."Berani sekali kau datang ke tempat ini. Setelah apa yang telah terjadi!" ujar Robin sambil menatap Baron dengan tajam. "Kau tidak punya bukti jika aku yang melakukannya!" sanggah Baron tanpa rasa bersalah sedikitpun. Robin tersenyum simpul mendengar bantahan Baron. Ia kemudian berkata dengan tegas, "Aku tidak perlu bekerjasama dengan polisi untuk menghancurkan bisnismu! Tidak seperti kau yang diam-diam menusukku dari belakang. Kalau mau ke luar dalam keadaan sehat, sekarang pergi lah sebelum aku berubah pikiran!"Baron tidak berani melawan Robin karena secara pisik sudah kalah jauh. Belum lagi gerakan pria itu sangat cepat dan bisa tahu saja apa seolah punya seribu mata dan telinga. "Jangan pernah ikut campur atau kau akan ikut terbakar!" pesan Baron memperingati Robin. Robin m
Tegar memberikan rantang yang dibawanya dan berkata, "Disuruh anterin ini Bang dari Bu Guru Nabilah!"Hari ini Robin pulang siang ke kontrakannya. Ia langsung menemui Nabilah yang sedang duduk di ruang tamu."Terima kasih antaran makan siangnya," ucap Robin sambil tersenyum dan memberikan rantang yang diantarkan oleh Tegar. "Sama-sama, bagaimana masakan Bilah hari ini enak nggak Bang?" tanya Nabilah dengan ceria.Robin memperhatikan sikap Nabilah yang tiba-tiba berubah. Kemarin terlihat gelisah, sekarang sangat riang sekali. "Enak.""Cuma bilang enak Abang kok mikir dulu jawabnya?" tanya Nabilah tidak percaya. "Abang cuma heran kenapa Bilah sangat ceria sekali. Pasti senang ya, Abas berhasil menjalankan tugasnya dengan baik?" tebak Robin yang membuat Nabilah terdiam. Sebenarnya Nabilah ingin Robin membahas soal masakan dan tentang mereka berdua bukan orang lain."Sabar ya, tugas Abas belum selesai!" ujar Robin kemudian. "Oh ya, dapat salam dari Tigor dan Risa. Kata mereka masakan
Hujan masih turun rintik-rintik di kala malam mulai merambat jauh. Angin dingin pun membalut kesunyian. Sehingga membuat orang-orang enggan untuk ke luar rumah. Tiba-tiba seberkas sinar dari lampu motor tampak menerobos kegelapan. Abas yang hendak pulang ke rumah orangtuanya, terus mengendarai kendaraan beroda dua dengan kecepatan tinggi, sambil sesekali melirik ke arah spion. Di mana sebuah motor membuntutinya dari tadi. Sebagai seorang polisi yang sedang menangani kasus, rupanya ia tidak lepas dari mata-mata musuh. Pria itu tidak merasa gentar sedikitpun. Bahkan merasa tertantang untuk membekuk dalang utamanya. "Cepat sekali dia menghilang, ke arah mana beloknya?" tanya seorang pria yang membuntuti Abas ketika sampai di pertigaan. "Aku di sini!" sahut Abas yang muncul dari semak-semak. Sehingga membuat terkejut dua orang yang mengikutinya. "Aku rasa kalian cukup pintar, maka bekerjasama lah denganku!" ujarnya yang ingin bicara baik-baik. Namun, niat baik Abas justru membuat k
Baron sangat kesal sekali karena gagal melenyapkan Abas. Menurut laporan dari salah satu anak buahnya yang berhasil lolos ketika akan menghabisi Abas semalam, tiba-tiba seseorang datang dan menghajar mereka semua. Namun, sayang tempat yang gelap membuat mereka tidak bisa mengenali siapa orang itu. "Cari terus pengkhianat itu! Aku yakin sekali dia orang kampung rantau. Sehingga bisa tahu rencana kita!" seru Baron dengan penuh kemarahan. Salah satu anak buah Baron memberikan pendapatnya, "Jangan-jangan Robin karena gerakannya sangat cepat dan mampu melumpuhkan kami semua. Selama ini hanya dia yang bisa melakukan itu!" "Tidak mungkin, aku melihat sendiri Robin sudah pulang ke rumahnya dan tidak ke luar lagi!" sangkal anak buah Baron yang ditugasi memata-matai Robin. Anak buah Baron saling adu pendapat karena masing-masing merasa benar. "Sudah cukup! Birong memang benar, cuma Robin yang mampu melumpuhkan kalian. Tapi buat apa dia membantu polisi itu, apa untungnya?" ujar Baron yang
Hari demi hari berlalu dan siang sudah beberapa kali berganti malam, Robin baru saja selesai makan bersama Nabilah di rumah kontrakan mereka. "Bang, boleh Bilah minta sesuatu?" tanya Nabilah memulai pembicaraan. Robin tampak mengangguk dan berseru, "Katakanlah!" "Tolong bantu Kak Abas, Bilah nggak tega melihat keadaannya!" pinta Nabilah dengan penuh harap."Siapa yang menyuruh Bilah!" tanya Robin sambil menatap istrinya dengan lekat. Nabilah tampak menggeleng dan menjawab dengan jujur, "Nggak ada, Bilah cuma kasihan melihat Kak Abas babak belur seperti itu.""Itu sudah resiko pekerjaannya," jawab Robin acuh tak acuh. "Abang harap apa pun alasannya Bilah jangan menemui Abas lagi atau berkomunikasi lewat ponsel!" pesannya kemudian. "Iya Bang, tapi boleh nggak Rambo tinggal di--""Tidak ada yang boleh masuk ke rumah ini selain kita!" potong Robin sambil beranjak dan masuk ke kamarnya.Nabilah tampak mengangguk patuh, meskipun dalam hatinya merasa sedih Robin tidak mau membantu Abas