"Bu Atika!" Sesuai dugaan, Tsania segera bangkit dan menghampiri Atika yang berjalan mengekori Elang. Gadis itu melangkah dengan anggun lalu meraih tangan Atika untuk mencium tangannya hormat. Ya, di mata Tsania memang sampai kapanpun Atika adalah gurunya, fakta yang dulu cukup membanggakan bagi Atika tetapi untuk sementara ini ingin Atika lupakan sejenak. Sebab, hal ini membuat Atika semakin menyadari kesenjangan usia antara dirinya dengan Elang."Ibu datang sama siapa? Bergabung saja dengan kami," usul Tsania sambil merentangkan tangan kanannya menunjuk kursi yang semula gadis itu tempati.Atika hendak duduk di sana tetapi Elang dengan cepat meraih pinggang Atika lembut, menggiringnya untuk duduk di kursi di samping pria itu. Melalui ujung matanya, Atika melihat bola mata Tsania membulat. Gadis itu belum tahu tentang pernikahan mereka ternyata. "Kami baru saja membahas tentang kasus kecelakaan kerja di pabrik kita. Tsania adalah tenaga medis yang ikut merawat korban. Kita membutuh
"Dasar laki-laki semuanya sama, mereka buaya. Bilangnya dulu hanya melihatku saja!" gerutu Atika pada bayangannya di cermin. "Tapi apa tadi? ternyata pernah pacaran dengan Tsania. Pantas saja siang tadi terlihat sangat ceria. Baru saja mengenang masa lalu, sampai beli bunga segala!"Atika tanpa sadar setengah membanting botol serum di tangannya ke atas meja. Kepalanya sejak makan siang tadi seperti sebuah kuali yang dipanaskan di atas api unggun, meletup-letup memercikan gelembung air yang sedang mendidih.Setelah mengatakan kalau Tsania adalah mantan kekasihnya saat di SMA, Elang sama sekali tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Elang segera pergi karena Ardian menghubungi pria itu memintanya untuk datang entah kemana. Membuat Atika diantarkan oleh salah satu karyawan Elang yang datang beberapa menit kemudian. Dan sekarang, berjam-jam telah berlalu Elang belum juga kelihatan batang hidungnya. Atika beranjak dari tempat duduknya dan berniat merebahkan diri ke atas tempat tidur, j
"Saya dan Elang pernah berpacaran," cetus Tsania tiba-tiba bahkan ketika Atika belum selesai mempersilakan gadis itu untuk duduk di sofa ruang tamunya.Atika sempat membeku di tempat, namun ia segera menguasai diri dan tersenyum santai pada Tsania."Aku sudah tahu, Elang mengatakannya kemarin," balas Atika. "Apa karena itu kamu sengaja datang kesini, Tsan? Gak perlu khawatir, Ibu tahu itu hanya masa lalu. Setiap orang pernah muda, begitupun kalian. Ibu mengerti."Urat di pelipis Tsania perlahan terlihat menonjol, sepertinya gadis itu cukup tersinggung saat Atika mengatakan bahwa hubungannya dengan Elang hanyalah masa lalu. "Salah satunya, tapi ada hal penting lainnya yang ingin saya sampaikan pada Ibu. Saya rasa, Ibu sepantasnya mendengar ini langsung daripada mengetahuinya dari mulut orang lain.""Apa itu?"Tsania tidak segera menjawab, sebab saat itu salah satu asisten Rika datang membawa sebuah nampan berisi dua cangkir teh hangat dan menyajikannya di meja ruang tamu."Saat sedang
Atika sadar kalau apa yang ia lakukan berlebihan, hingga wajar kalau kini Elang untuk pertama kalinya menatapnya berang. "Tika, kamu kenapa?""Aku gak suka bunga mawar ini!" ucap Atika dengan gigi gemeretak menahan amarah.Pandangannya masih tertumbuk pada serangkaian bunga mawar malang yang kini memenuhi tempat sampahnya. Di mata Atika, bunga-bunga mawar itu adalah bukti pertemuan mesra antara Elang dan Tsania hari ini. Atika tidak mampu mengenyahkan bayangan ketika Elang dan Tsania saling berbagi tawa seperti yang mereka lakukan di restoran tempo hari. Pada hari ini, Atika telah memberi peringatan untuk Tsania agar mengenyahkan mimpinya mendekati Elang, tetapi gadis itu mengabaikan ucapan Atika. Tsania, melalui bunga mawar ini telah menabuh genderang perang untuk Atika."Tidak, ini pasti karena hal lain. Katakan, sejujurnya!" Elang meraih dagu Atika, memaksa istrinya untuk menatapnya langsung."Aku gak suka kalau kamu bertemu Tsania,"ucap Atika susah payah. Wajahnya kini memerah, e
"Gila kamu, Tsan! Kamu rela jadi istri keduanya Elang dan ninggalin Ibram?"Tsania mengangguk acuh sambil tetap asyik mengunyah stik kentang di hadapannya, menghiraukan desisan Annisa, sahabatnya sejak kecil sekaligus rekan kerjanya sekarang."Aku sudah putus dengan Ibram kemarin malam. Kamu tahu hal yang lucu? Tantenya Ibram, pelayan di rumah Elang." Tsania menyeringai puas. "Ibram akan dapat balasan setimpal karena sudah mengkhianatiku dengan teman bulenya itu. Setelah aku menikah dengan Elang, Tantenya yang selalu dia banggakan akan jadi kacungku! Aku gak masalah harus jadi istri kedua."Tsania sengaja tidak mengatakan hal lain pada Annisa. Alasan kenapa ia sangat percaya diri bisa menjadi istri kedua Elang, walau harus berhadapan langsung dengan Atika, guru yang semasa SMA adalah guru favoritnya. Tsania memiliki backingan langsung dari Andini. Mulanya, Tsania tidak suka pada Andini yang selalu datang ke rumah sakit dengan sikap pongah seakan semua orang di rumah sakit ini memili
Aku Tsania Rahma, enam belas tahun. Aku anak tunggal ayah ibuku, artinya sejak lahir aku selalu mendapatkan perhatian penuh, tidak terbagi sedikitpun. Dari kecil, aku selalu menjadi juara satu. Jadi, perhatian serta kasih sayang itu memang pantas aku dapatkan. Tidak ada yang bisa menandingi bakat alamiku terlahir cantik, pintar dan memesona. Kecuali satu orang, dan itu sangat menggangguku. "Tsania, minggu depan kamu dan Elang yang akan presentasi, ya! Ibu berharap banyak pada kalian." Bu Atika, guru bahasa inggris kami menyapaku di lorong kelas. Senyumku sempat pudar ketika Bu Atika menyebutkan nama dari segala sumber kekesalanku. Elang Sukma, murid pindahan dari kampung itu adalah satu-satunya yang tidak melihat keberadaanku. Atau sepertinya, Elang sama sekali tidak melihat siapapun. Anak itu seperti berada di dunianya sendiri, tidak tertarik pada apapun. Dan sikapnya itu sangat menggangguki. "Bu, bagaimana kalau saya tampil sendirian saja? Saya bisa menjelaskan materi dengan baik,
"Tante Andini adalah satu-satunya anggota keluargaku yang tersisa. Aku tidak mengira kalian bisa saling mengenal, tapi aku juga tidak tahu harus senang atau marah karena ulah kalian. Ada saran apa yang harus kulakukan?"Elang duduk bersandar ke jendela besar memberi tatapan mengintai pada Tsania. Gadis itu merasa lehernya kaku tidak mampu bergerak. Berkas yang baru saja dilemparkan Elang ke atas meja kini terbuka, memperlihatkan semua kejahatan yang dilakukan Tsania atas perintah Andini, lengkap dengan foto-foto yang memperkuat. Tsania meremas ujung kain kemejanya, otaknya kini bekerja lebih keras dari biasanya, mencari cara untuk lolos dari lubang jarum di depannya."Percuma, jangan mempersulit dirimu lagi. Tidak ada alasan atau celah bagimu untuk kabur dari masalah ini," ucap Elang menginterupsi, lagi-lagi pria itu bisa membaca isi pikiran Tsania. "Dengar, yang kamu lakukan sekarang jauh lebih buruk dari yang terjadi pada Rangga. Sepuluh tahun lalu, kamu bisa kabur dari hukuman kare
"Kita mau pergi kemana?"Akhirnya Atika tidak dapat menahan diri untuk menanyakan pertanyaan yang ia pendam sejak Ardian menjemputnya di rumah. Sekarang, setelah pesawat mendarat dan Elang menggandeng tangannya menuju mobil yang telah menanti mereka, pertanyaan sederhana itu akhirnya meloncat juga. Sayangnya, respon Elang hanya menarik separuh bibirnya membentuk senyuman asal yang semakin membuat Atika kesal.Asal tahu saja, saat Ardian menjemputnya tadi, Atika sedang asyik membuat hiasan dinding dari macrame. Ya, menjalin berutas-utas tali menjadi sebuah rangkaian estetik sekarang menjadi hobi baru Atika untuk mengisi waktu luangnya. Setelah bersikeras 'merumahkan' istrinya sendiri dan memaksa Atika mencari hobi baru dengan merampas alat lukisnya, akhirnya Atika menemukan hobi yang lebih ia sukai. Tetapi, dengan mudahnya Elang meminta Atika meninggalkan hasil karyanya dan mengikutinya ke tempat antah berantah."Aku mau pulang!"Atika menghentakkan lengannya melepaskan genggaman Elang