"Saya dan Elang pernah berpacaran," cetus Tsania tiba-tiba bahkan ketika Atika belum selesai mempersilakan gadis itu untuk duduk di sofa ruang tamunya.Atika sempat membeku di tempat, namun ia segera menguasai diri dan tersenyum santai pada Tsania."Aku sudah tahu, Elang mengatakannya kemarin," balas Atika. "Apa karena itu kamu sengaja datang kesini, Tsan? Gak perlu khawatir, Ibu tahu itu hanya masa lalu. Setiap orang pernah muda, begitupun kalian. Ibu mengerti."Urat di pelipis Tsania perlahan terlihat menonjol, sepertinya gadis itu cukup tersinggung saat Atika mengatakan bahwa hubungannya dengan Elang hanyalah masa lalu. "Salah satunya, tapi ada hal penting lainnya yang ingin saya sampaikan pada Ibu. Saya rasa, Ibu sepantasnya mendengar ini langsung daripada mengetahuinya dari mulut orang lain.""Apa itu?"Tsania tidak segera menjawab, sebab saat itu salah satu asisten Rika datang membawa sebuah nampan berisi dua cangkir teh hangat dan menyajikannya di meja ruang tamu."Saat sedang
Atika sadar kalau apa yang ia lakukan berlebihan, hingga wajar kalau kini Elang untuk pertama kalinya menatapnya berang. "Tika, kamu kenapa?""Aku gak suka bunga mawar ini!" ucap Atika dengan gigi gemeretak menahan amarah.Pandangannya masih tertumbuk pada serangkaian bunga mawar malang yang kini memenuhi tempat sampahnya. Di mata Atika, bunga-bunga mawar itu adalah bukti pertemuan mesra antara Elang dan Tsania hari ini. Atika tidak mampu mengenyahkan bayangan ketika Elang dan Tsania saling berbagi tawa seperti yang mereka lakukan di restoran tempo hari. Pada hari ini, Atika telah memberi peringatan untuk Tsania agar mengenyahkan mimpinya mendekati Elang, tetapi gadis itu mengabaikan ucapan Atika. Tsania, melalui bunga mawar ini telah menabuh genderang perang untuk Atika."Tidak, ini pasti karena hal lain. Katakan, sejujurnya!" Elang meraih dagu Atika, memaksa istrinya untuk menatapnya langsung."Aku gak suka kalau kamu bertemu Tsania,"ucap Atika susah payah. Wajahnya kini memerah, e
"Gila kamu, Tsan! Kamu rela jadi istri keduanya Elang dan ninggalin Ibram?"Tsania mengangguk acuh sambil tetap asyik mengunyah stik kentang di hadapannya, menghiraukan desisan Annisa, sahabatnya sejak kecil sekaligus rekan kerjanya sekarang."Aku sudah putus dengan Ibram kemarin malam. Kamu tahu hal yang lucu? Tantenya Ibram, pelayan di rumah Elang." Tsania menyeringai puas. "Ibram akan dapat balasan setimpal karena sudah mengkhianatiku dengan teman bulenya itu. Setelah aku menikah dengan Elang, Tantenya yang selalu dia banggakan akan jadi kacungku! Aku gak masalah harus jadi istri kedua."Tsania sengaja tidak mengatakan hal lain pada Annisa. Alasan kenapa ia sangat percaya diri bisa menjadi istri kedua Elang, walau harus berhadapan langsung dengan Atika, guru yang semasa SMA adalah guru favoritnya. Tsania memiliki backingan langsung dari Andini. Mulanya, Tsania tidak suka pada Andini yang selalu datang ke rumah sakit dengan sikap pongah seakan semua orang di rumah sakit ini memili
Aku Tsania Rahma, enam belas tahun. Aku anak tunggal ayah ibuku, artinya sejak lahir aku selalu mendapatkan perhatian penuh, tidak terbagi sedikitpun. Dari kecil, aku selalu menjadi juara satu. Jadi, perhatian serta kasih sayang itu memang pantas aku dapatkan. Tidak ada yang bisa menandingi bakat alamiku terlahir cantik, pintar dan memesona. Kecuali satu orang, dan itu sangat menggangguku. "Tsania, minggu depan kamu dan Elang yang akan presentasi, ya! Ibu berharap banyak pada kalian." Bu Atika, guru bahasa inggris kami menyapaku di lorong kelas. Senyumku sempat pudar ketika Bu Atika menyebutkan nama dari segala sumber kekesalanku. Elang Sukma, murid pindahan dari kampung itu adalah satu-satunya yang tidak melihat keberadaanku. Atau sepertinya, Elang sama sekali tidak melihat siapapun. Anak itu seperti berada di dunianya sendiri, tidak tertarik pada apapun. Dan sikapnya itu sangat menggangguki. "Bu, bagaimana kalau saya tampil sendirian saja? Saya bisa menjelaskan materi dengan baik,
"Tante Andini adalah satu-satunya anggota keluargaku yang tersisa. Aku tidak mengira kalian bisa saling mengenal, tapi aku juga tidak tahu harus senang atau marah karena ulah kalian. Ada saran apa yang harus kulakukan?"Elang duduk bersandar ke jendela besar memberi tatapan mengintai pada Tsania. Gadis itu merasa lehernya kaku tidak mampu bergerak. Berkas yang baru saja dilemparkan Elang ke atas meja kini terbuka, memperlihatkan semua kejahatan yang dilakukan Tsania atas perintah Andini, lengkap dengan foto-foto yang memperkuat. Tsania meremas ujung kain kemejanya, otaknya kini bekerja lebih keras dari biasanya, mencari cara untuk lolos dari lubang jarum di depannya."Percuma, jangan mempersulit dirimu lagi. Tidak ada alasan atau celah bagimu untuk kabur dari masalah ini," ucap Elang menginterupsi, lagi-lagi pria itu bisa membaca isi pikiran Tsania. "Dengar, yang kamu lakukan sekarang jauh lebih buruk dari yang terjadi pada Rangga. Sepuluh tahun lalu, kamu bisa kabur dari hukuman kare
"Kita mau pergi kemana?"Akhirnya Atika tidak dapat menahan diri untuk menanyakan pertanyaan yang ia pendam sejak Ardian menjemputnya di rumah. Sekarang, setelah pesawat mendarat dan Elang menggandeng tangannya menuju mobil yang telah menanti mereka, pertanyaan sederhana itu akhirnya meloncat juga. Sayangnya, respon Elang hanya menarik separuh bibirnya membentuk senyuman asal yang semakin membuat Atika kesal.Asal tahu saja, saat Ardian menjemputnya tadi, Atika sedang asyik membuat hiasan dinding dari macrame. Ya, menjalin berutas-utas tali menjadi sebuah rangkaian estetik sekarang menjadi hobi baru Atika untuk mengisi waktu luangnya. Setelah bersikeras 'merumahkan' istrinya sendiri dan memaksa Atika mencari hobi baru dengan merampas alat lukisnya, akhirnya Atika menemukan hobi yang lebih ia sukai. Tetapi, dengan mudahnya Elang meminta Atika meninggalkan hasil karyanya dan mengikutinya ke tempat antah berantah."Aku mau pulang!"Atika menghentakkan lengannya melepaskan genggaman Elang
"Maaf aku mengacaukan bulan madu kita," ucap Atika lirih setelah menyesap teh hangat di tangannya. Elang menggeleng pelan kemudian menaruh kembali gelas teh ke atas nakas, lalu mengecup kening istrinya. "Tidak. Aku yang minta maaf, memaksamu pergi padahal sedang hamil muda. Aku tidak tahu kalau hamil bisa seberat ini." Elang merapikan selimut yang membungkus tubuh istrinya, melihat wajah Atika yang pucat sejak tadi pagi membuat perasaanya tidak keruan. "Hei, tenang! Dengar apa yang dokter bilang tadi? Ini hal yang wajar bagi ibu hamil," ucap Atika menenangkan Elang. "Mual yang kurasakan tandanya janin kita kuat, Baby Ael bayi yang kuat." Elang mengalihkan pandangan pada perut Atika. Seandainya saja ia tahu kalau mengandung akan membuat Atika kepayahan seperti ini, mungkin dulu Elang akan berpikir berulangkali saat meminta istrinya hamil. "Sekarang kamu tidur saja, nanti siang kita pulang, ya." kata Elang mengusap rambut Atika sayang. Atika segera meraih tangan Elang, menahan pri
"Jadi, mulutmu itu hanya sekadar pajangan?"Atika tanpa sadar menahan nafas begitu Helen kembali mengatakan kalimat sinis untuknya. Elang meremas tangan Atika yang mengepal di atas pangkuannya, memberi dukungan."Nek, istriku sedang hamil. Jangan terlalu kasar padanya," sahut Elang, dalam hati ingin segera mengusir nenek tua di depannya. Tetapi berbeda dengan anggota keluarganya yang lain, Helen sejak dulu satu-satunya yang selalu menyambut dan melindungi Elang, sehingga rasanya tak pantas jika Elang sekarang bersikap kasar pada neneknya itu."Aku tahu. Karena itu, sebagai ibu dari penerus keluarga Sukma Jaya, istrimu harus bermental kuat. Menghadapiku tidak akan ada apa-apanya dengan tantangan yang akan dia hadapi nanti," ujar Helen masih tetap tidak mengalihkan perhatian dari Atika. "Istrimu nanti berkewajiban mengajarkan banyak hal pada anak-anakmu. Penerus Sukma Jaya harus bisa mengendalikan dirinya sendiri, jangan sampai lawan bicara bisa membaca apa kalian pikirkan. Tapi sebelum