Aku Tsania Rahma, enam belas tahun. Aku anak tunggal ayah ibuku, artinya sejak lahir aku selalu mendapatkan perhatian penuh, tidak terbagi sedikitpun. Dari kecil, aku selalu menjadi juara satu. Jadi, perhatian serta kasih sayang itu memang pantas aku dapatkan. Tidak ada yang bisa menandingi bakat alamiku terlahir cantik, pintar dan memesona. Kecuali satu orang, dan itu sangat menggangguku. "Tsania, minggu depan kamu dan Elang yang akan presentasi, ya! Ibu berharap banyak pada kalian." Bu Atika, guru bahasa inggris kami menyapaku di lorong kelas. Senyumku sempat pudar ketika Bu Atika menyebutkan nama dari segala sumber kekesalanku. Elang Sukma, murid pindahan dari kampung itu adalah satu-satunya yang tidak melihat keberadaanku. Atau sepertinya, Elang sama sekali tidak melihat siapapun. Anak itu seperti berada di dunianya sendiri, tidak tertarik pada apapun. Dan sikapnya itu sangat menggangguki. "Bu, bagaimana kalau saya tampil sendirian saja? Saya bisa menjelaskan materi dengan baik,
"Tante Andini adalah satu-satunya anggota keluargaku yang tersisa. Aku tidak mengira kalian bisa saling mengenal, tapi aku juga tidak tahu harus senang atau marah karena ulah kalian. Ada saran apa yang harus kulakukan?"Elang duduk bersandar ke jendela besar memberi tatapan mengintai pada Tsania. Gadis itu merasa lehernya kaku tidak mampu bergerak. Berkas yang baru saja dilemparkan Elang ke atas meja kini terbuka, memperlihatkan semua kejahatan yang dilakukan Tsania atas perintah Andini, lengkap dengan foto-foto yang memperkuat. Tsania meremas ujung kain kemejanya, otaknya kini bekerja lebih keras dari biasanya, mencari cara untuk lolos dari lubang jarum di depannya."Percuma, jangan mempersulit dirimu lagi. Tidak ada alasan atau celah bagimu untuk kabur dari masalah ini," ucap Elang menginterupsi, lagi-lagi pria itu bisa membaca isi pikiran Tsania. "Dengar, yang kamu lakukan sekarang jauh lebih buruk dari yang terjadi pada Rangga. Sepuluh tahun lalu, kamu bisa kabur dari hukuman kare
"Kita mau pergi kemana?"Akhirnya Atika tidak dapat menahan diri untuk menanyakan pertanyaan yang ia pendam sejak Ardian menjemputnya di rumah. Sekarang, setelah pesawat mendarat dan Elang menggandeng tangannya menuju mobil yang telah menanti mereka, pertanyaan sederhana itu akhirnya meloncat juga. Sayangnya, respon Elang hanya menarik separuh bibirnya membentuk senyuman asal yang semakin membuat Atika kesal.Asal tahu saja, saat Ardian menjemputnya tadi, Atika sedang asyik membuat hiasan dinding dari macrame. Ya, menjalin berutas-utas tali menjadi sebuah rangkaian estetik sekarang menjadi hobi baru Atika untuk mengisi waktu luangnya. Setelah bersikeras 'merumahkan' istrinya sendiri dan memaksa Atika mencari hobi baru dengan merampas alat lukisnya, akhirnya Atika menemukan hobi yang lebih ia sukai. Tetapi, dengan mudahnya Elang meminta Atika meninggalkan hasil karyanya dan mengikutinya ke tempat antah berantah."Aku mau pulang!"Atika menghentakkan lengannya melepaskan genggaman Elang
"Maaf aku mengacaukan bulan madu kita," ucap Atika lirih setelah menyesap teh hangat di tangannya. Elang menggeleng pelan kemudian menaruh kembali gelas teh ke atas nakas, lalu mengecup kening istrinya. "Tidak. Aku yang minta maaf, memaksamu pergi padahal sedang hamil muda. Aku tidak tahu kalau hamil bisa seberat ini." Elang merapikan selimut yang membungkus tubuh istrinya, melihat wajah Atika yang pucat sejak tadi pagi membuat perasaanya tidak keruan. "Hei, tenang! Dengar apa yang dokter bilang tadi? Ini hal yang wajar bagi ibu hamil," ucap Atika menenangkan Elang. "Mual yang kurasakan tandanya janin kita kuat, Baby Ael bayi yang kuat." Elang mengalihkan pandangan pada perut Atika. Seandainya saja ia tahu kalau mengandung akan membuat Atika kepayahan seperti ini, mungkin dulu Elang akan berpikir berulangkali saat meminta istrinya hamil. "Sekarang kamu tidur saja, nanti siang kita pulang, ya." kata Elang mengusap rambut Atika sayang. Atika segera meraih tangan Elang, menahan pri
"Jadi, mulutmu itu hanya sekadar pajangan?"Atika tanpa sadar menahan nafas begitu Helen kembali mengatakan kalimat sinis untuknya. Elang meremas tangan Atika yang mengepal di atas pangkuannya, memberi dukungan."Nek, istriku sedang hamil. Jangan terlalu kasar padanya," sahut Elang, dalam hati ingin segera mengusir nenek tua di depannya. Tetapi berbeda dengan anggota keluarganya yang lain, Helen sejak dulu satu-satunya yang selalu menyambut dan melindungi Elang, sehingga rasanya tak pantas jika Elang sekarang bersikap kasar pada neneknya itu."Aku tahu. Karena itu, sebagai ibu dari penerus keluarga Sukma Jaya, istrimu harus bermental kuat. Menghadapiku tidak akan ada apa-apanya dengan tantangan yang akan dia hadapi nanti," ujar Helen masih tetap tidak mengalihkan perhatian dari Atika. "Istrimu nanti berkewajiban mengajarkan banyak hal pada anak-anakmu. Penerus Sukma Jaya harus bisa mengendalikan dirinya sendiri, jangan sampai lawan bicara bisa membaca apa kalian pikirkan. Tapi sebelum
"Sukma Jaya Grup, didirikan oleh suamiku. Dengan susah payah. Semula, bisnis utama kami hanya membuat kemasan jajanan kaki lima. Semua suamiku, kakek dari Elang yang melakukan. Tetapi kenapa sekarang bisa merambah sampai ke industri makanan dan sebesar ini?" Helen bertanya pada Atika yang semakin menegakkan bahunya tidak mengerti. Bagaimana caranya ia bisa tahu perjuangan kakek mertuanya dulu? Atika tidak pernah membaca berita bisnis seumur hidupnya."Karena tekad yang kuat! Semua anggota keluarga Sukma Jaya bertekad kuat, ketika sudah menentukan satu target maka pantang untuk mundur meski harus nyawa taruhannya!" lanjut Helen lalu menuangkan teh ke dalam cangkir Atika. "Minumlah!" Helen mengangsurkan cangkir itu pada Atika.Atika mengangguk patuh seperti burung beo dan menyesap tehnya. Tadi pagi sekali, saat Elang sedang bersiap pergi ke kantor, Helen tiba-tiba sudah mengetuk pintu kamar Atika. Helen ingin mengenal cucu menantunya lebih dekat, karena itu ia mengajak Atika minum teh d
Helen memandang punggung Atika dan Elang yang menghilang ke dalam mobil. Dua puluh menit lalu, Elang menjemput Atika dan beralasan ada hal yang ingin ia tunjukan pada istrinya itu. Helen mendengus, ia tahu itu hanya akal-akalan Elang untuk sesegera mengamankan istrinya."Memangnya aku ini macan buas yang kelaparan apa? Anak itu sungguh keterlaluan!" ujar Helen sambil berbalik dan menemukan Ratih, satu-satunya orang yang Helen percaya setelah mendiang suaminya meninggal bertahun-tahun lalu."Nyonya, jadwal operasi anda sudah ditentukan. Saya sudah menyiapkan semua keperluan anda, hanya tinggal memberitahu berita ini pada tuan muda Elang."Helen tanpa sadar mengepalkan kedua tangannya, dahinya yang masih jarang dikunjungi kerutan karena bantuan botox, kini berkerut dalam karena beban dalam pikirannya."Siapkan saja apa yang harus disiapkan, tapi biarkan anak itu tidak mengetahui apa-apa. Ini lebih baik untuknya. Aku tidak ingin membuat bebannya bertambah banyak."Ratih mengangguk patuh.
301 Helen menatap nomor pintu di depannya lalu kembali pada kunci di tangannya. Anak kunci itu juga berukiran angka 301. Seharusnya ini kamar kost-nya, anak kunci itu ia temukan di saku mantelnya bersama dompetnya. Tanpa sadar Helen mengelus permukaan angka itu. Jika yang Dony katakan benar, itu artinya Helen sudah tinggal dalam ruangan di balik pintu ini hampir satu tahun. Tapi kenapa Helen tidak ingat sama sekali? Rasanya sesak, menyadari ia tidak mengingat apapun tentang dirinya sendiri. Ia merasa kesepian, Helen seperti kehilangan sebagian dirinya. Sempat terpikir olehnya untuk pulang ke Sumedang, kembali tinggal bersama Nenek. Tapi itu hanya akan menambah masalah, Nenek pasti akan terkejut mengetahui kondisi Helen yang mendekati orang gila. Tangannya sedikit gemetar saat membuka pintu, jantung Helen berdetak kencang. Ia takut, dan anehnya Helen tertawa. Entahlah kenapa tiba-tiba keadaan menjadi lucu saat ini, ia takut pada rumahnya sendiri. Lampu ruangan belum dinyalakan, sehin