"Maaf aku mengacaukan bulan madu kita," ucap Atika lirih setelah menyesap teh hangat di tangannya. Elang menggeleng pelan kemudian menaruh kembali gelas teh ke atas nakas, lalu mengecup kening istrinya. "Tidak. Aku yang minta maaf, memaksamu pergi padahal sedang hamil muda. Aku tidak tahu kalau hamil bisa seberat ini." Elang merapikan selimut yang membungkus tubuh istrinya, melihat wajah Atika yang pucat sejak tadi pagi membuat perasaanya tidak keruan. "Hei, tenang! Dengar apa yang dokter bilang tadi? Ini hal yang wajar bagi ibu hamil," ucap Atika menenangkan Elang. "Mual yang kurasakan tandanya janin kita kuat, Baby Ael bayi yang kuat." Elang mengalihkan pandangan pada perut Atika. Seandainya saja ia tahu kalau mengandung akan membuat Atika kepayahan seperti ini, mungkin dulu Elang akan berpikir berulangkali saat meminta istrinya hamil. "Sekarang kamu tidur saja, nanti siang kita pulang, ya." kata Elang mengusap rambut Atika sayang. Atika segera meraih tangan Elang, menahan pri
"Jadi, mulutmu itu hanya sekadar pajangan?"Atika tanpa sadar menahan nafas begitu Helen kembali mengatakan kalimat sinis untuknya. Elang meremas tangan Atika yang mengepal di atas pangkuannya, memberi dukungan."Nek, istriku sedang hamil. Jangan terlalu kasar padanya," sahut Elang, dalam hati ingin segera mengusir nenek tua di depannya. Tetapi berbeda dengan anggota keluarganya yang lain, Helen sejak dulu satu-satunya yang selalu menyambut dan melindungi Elang, sehingga rasanya tak pantas jika Elang sekarang bersikap kasar pada neneknya itu."Aku tahu. Karena itu, sebagai ibu dari penerus keluarga Sukma Jaya, istrimu harus bermental kuat. Menghadapiku tidak akan ada apa-apanya dengan tantangan yang akan dia hadapi nanti," ujar Helen masih tetap tidak mengalihkan perhatian dari Atika. "Istrimu nanti berkewajiban mengajarkan banyak hal pada anak-anakmu. Penerus Sukma Jaya harus bisa mengendalikan dirinya sendiri, jangan sampai lawan bicara bisa membaca apa kalian pikirkan. Tapi sebelum
"Sukma Jaya Grup, didirikan oleh suamiku. Dengan susah payah. Semula, bisnis utama kami hanya membuat kemasan jajanan kaki lima. Semua suamiku, kakek dari Elang yang melakukan. Tetapi kenapa sekarang bisa merambah sampai ke industri makanan dan sebesar ini?" Helen bertanya pada Atika yang semakin menegakkan bahunya tidak mengerti. Bagaimana caranya ia bisa tahu perjuangan kakek mertuanya dulu? Atika tidak pernah membaca berita bisnis seumur hidupnya."Karena tekad yang kuat! Semua anggota keluarga Sukma Jaya bertekad kuat, ketika sudah menentukan satu target maka pantang untuk mundur meski harus nyawa taruhannya!" lanjut Helen lalu menuangkan teh ke dalam cangkir Atika. "Minumlah!" Helen mengangsurkan cangkir itu pada Atika.Atika mengangguk patuh seperti burung beo dan menyesap tehnya. Tadi pagi sekali, saat Elang sedang bersiap pergi ke kantor, Helen tiba-tiba sudah mengetuk pintu kamar Atika. Helen ingin mengenal cucu menantunya lebih dekat, karena itu ia mengajak Atika minum teh d
Helen memandang punggung Atika dan Elang yang menghilang ke dalam mobil. Dua puluh menit lalu, Elang menjemput Atika dan beralasan ada hal yang ingin ia tunjukan pada istrinya itu. Helen mendengus, ia tahu itu hanya akal-akalan Elang untuk sesegera mengamankan istrinya."Memangnya aku ini macan buas yang kelaparan apa? Anak itu sungguh keterlaluan!" ujar Helen sambil berbalik dan menemukan Ratih, satu-satunya orang yang Helen percaya setelah mendiang suaminya meninggal bertahun-tahun lalu."Nyonya, jadwal operasi anda sudah ditentukan. Saya sudah menyiapkan semua keperluan anda, hanya tinggal memberitahu berita ini pada tuan muda Elang."Helen tanpa sadar mengepalkan kedua tangannya, dahinya yang masih jarang dikunjungi kerutan karena bantuan botox, kini berkerut dalam karena beban dalam pikirannya."Siapkan saja apa yang harus disiapkan, tapi biarkan anak itu tidak mengetahui apa-apa. Ini lebih baik untuknya. Aku tidak ingin membuat bebannya bertambah banyak."Ratih mengangguk patuh.
301 Helen menatap nomor pintu di depannya lalu kembali pada kunci di tangannya. Anak kunci itu juga berukiran angka 301. Seharusnya ini kamar kost-nya, anak kunci itu ia temukan di saku mantelnya bersama dompetnya. Tanpa sadar Helen mengelus permukaan angka itu. Jika yang Dony katakan benar, itu artinya Helen sudah tinggal dalam ruangan di balik pintu ini hampir satu tahun. Tapi kenapa Helen tidak ingat sama sekali? Rasanya sesak, menyadari ia tidak mengingat apapun tentang dirinya sendiri. Ia merasa kesepian, Helen seperti kehilangan sebagian dirinya. Sempat terpikir olehnya untuk pulang ke Sumedang, kembali tinggal bersama Nenek. Tapi itu hanya akan menambah masalah, Nenek pasti akan terkejut mengetahui kondisi Helen yang mendekati orang gila. Tangannya sedikit gemetar saat membuka pintu, jantung Helen berdetak kencang. Ia takut, dan anehnya Helen tertawa. Entahlah kenapa tiba-tiba keadaan menjadi lucu saat ini, ia takut pada rumahnya sendiri. Lampu ruangan belum dinyalakan, sehin
“Bang, kenapa kamu tidak bilang akan datang kesini? Untung saja aku melihatmu dari seberang jalan. Abang jahat!” gerutu Sania sambil berjalan menghampiri meja Dony, ia berkacak pinggang saat tiba di hadapan Dony.“Abang tahu aku sangat suka datang kesini. Dan terakhir kali kita kesini saat ulang tahunmu dua tahun lalu,” bisik Sania hampir menyerupai desisan.Dony membulatkan mata dan memberi isyarat dengan tatapan agar Sania mengerti di sana ada Helen yang bisa mendengar ucapannya. Sania mengikuti arah tatapan Dony dan terkesiap saat melihat orang di sampingnya.“Ya Tuhan..aku sangat bodoh! Kak Helen , maafkan aku. Aku kira bukan Kakak yang sedang bersama Abang.” Sania mundur sedikit agar bisa melihat Helen lebih jelas.Sania sudah lama mengharapkan bisa berada dekat dengan Helen dan tak mengira kesempatan itu datang saat ia bertindak kekanak-kanakan di depan Helen. Saat ini, bukan hanya Helen yang heran karena Sania mengetahui namanya tapi Dony juga kaget adiknya mengenal Helen. Sein
Bau gosong yang diiringi kepulan asap tipis memenuhi kamar kost kecil itu. Sania mendengus, beranjak dari tempat tidurnya lalu berlari ke arah dapur. Sudah ia kira, Kakaknya tak menyadari hampir saja membakar hidup-hidup mereka berdua. Dony tetap diam mematung di depan penggorengan sambil memegang sendok penjepit tanpa peduli pada roti panggang untuk menu sarapan mereka yang kini sehitam arang.“Tsk! Abang, daripada kamu terus seperti ini kenapa tidak kamu temui saja kak Helen? Ungkapkan apa yang Abang rasakan pada Kak Helen selama setahun ini! Katakan Abang mencintainya dan rela menerima Kak Helen apapun yang terjadi padanya,” gerutu Sania.Ia mematikan api lalu mengambil roti yang baru dan mengoleskan selai kacang tanpa memanggangnya terlebih dahulu. Dony akhirnya terjaga dari lamunannya dan menatap sinis adiknya yang sedang mengunyah roti sambil membersihkan ‘sisa pekerjaan’ Dony. Jika saja keadaannya semudah yang dikatakan Sania, Dony tentu akan mengambil kesempatan ini untuk mera
“Dony, sepertinya itu tidak penting lagi untukku. Bukan berarti aku tidak ingin mendapatkan kembali ingatannku, aku ingin mengingat kembali apa yang sudah kulupakan, karena bagaimanapun kenangan itu adalah sebagian dari diriku.” Helen berhenti untuk menarik nafas pelan, menarik tangannya dari genggaman Dony dan menaruhnya di dadanya sendiri.“Namun rasanya, hatiku mengatakan aku memang lebih baik melupakannya. Seperti apa yang kamu katakan kemarin, Bukankah yang terbaik adalah waktu sekarang?”Dony terpana, ia tak menyangka Helen dapat mengingat apa yang diucapkannya kemarin. Gadis ini, dengan caranya sendiri selalu membuat Dony terjebak dan Dony menyukainya.“Lalu, kenapa kamu memutuskan untuk mengambil cuti? Apa itu salah satu rencanamu memulai hidup baru?”“Entahlah, aku sendiri bingung. Saat kamu mengatakan aku mahasiswa hukum, lalu juara debat dan sebagainya itu, rasanya itu bukan diriku. Aku tidak mengenal sama sekali orang yang kamu bicarakan, dan jika aku hidup menjadi orang