"Ehhem! Hp terus yang disenyumin, kenapa gak langsung disamperin aja ke kantornya aja sih, Mbak?" Bisikan Keyla yang disertai sikutan ringan di pinggang Atika, membuat perempuan itu terlonjak pelan. Hampir saja Atika lupa diri sedang berada dimana sejak menerima pesan singkat yang disertai rekaman video pendek dari Elang. Video itu menampilkan Elang yang sedang bermain piano, Atika tidak begitu paham lagu klasik apa yang sedang dimainkan oleh suaminya itu."Mbak, aku jujur ya. Seandainya aku gak lebih dulu ketemu Pak Daffa, aku sudah cinta mati sama Pak Elang gara-gara liat video ini. Akhirnya aku sadar kenapa banyak karyawati yang patah hati waktu tahu Pak Elang udah nikah sama Mbak," ucap Keyla yang tiba-tiba ikut menonton rekaman video Elang.Atika melirik rekan kerja sekilas lalu kembali melihat layar ponselnya. Meski Atika dan Elang bertemu setiap hari, tetapi benar apa kata Keyla. Melihat Elang dalam balutan kemeja putih dengan celana putih sambil memainkan piano, pria itu meng
"Terima kasih untuk informasinya, tapi aku lebih tahu seperti apa suamiku. Dia bukan pria yang seperti kamu sebutkan," kata Atika kesal dan tanpa menunggu lagi, Atika mendorong kursinya menjauh lalu berlalu meninggalkan Daffa. "Dasar laki-laki kardus! Harusnya dia bercermin sebelum menjelek-jelekkan Elang!" desis Atika sambil berjalan cepat kembali menuju ruangannya. "Mbak Tika, tunggu!" panggil Keyla dari belakang, Atika tidak menoleh dan menekan tombol ke atas di samping pintu lift. "Mbak, aku tahu Pak Daffa sudah keterlaluan bilang Pak Elang gak bertanggung jawab. Tapi apa yang Pak Daffa bilang itu benar!" Keyla menarik-narik lengan kemeja Atika pelan. Atika mengerlingkan mata kesal dan menatap bayangan mereka yang terpantul di pintu lift. Beruntung tidak ada siapa-siapa lagi di sekitar mereka, sehingga Atika tidak perlu bersikap hati-hati sekarang. "Kamu sangat menyukai Daffa, jadi apapun yang dikatakan pria itu pasti terlihat benar di matamu." "Bukan begitu, Mbak. Mbak Tika
Elang berbohong dan Atika tahu itu, tetapi tidak ada yang bisa Atika lakukan. Sayangnya, hal itulah menjadi penyebab perempuan itu sulit tidur nyenyak beberapa hari terakhir."Mbak Tika, kamu pucat banget!" bisik Keyla begitu Atika memasuki ruang humas.Atika mengernyit kecil dan menaruh tas tangannya ke atas meja kerjanya. "Aku merasa agak kurang sehat," keluh Atika."Kenapa malah masuk kerja kalau sakit? Istiraha di rumah saja. Gak ada yang berani memecat Mbak Tika, juga," timpal Triana terlalu jujur."Benar, Mbak. Lagipula Pak Elang keterlaluan, di rumah pasti dia lihat Mbak Tika gak sehat gini, masih bisa membiarkan Mbak Tika berangkat kerja!" gerutu Keyla dengan bibir mengerucut seperti pantat ayam.Atika menggeleng pelan sambil meraih berkas yang harus ia kerjakan hari ini. "Elang sudah dua hari gak pulang, dia lembur," kata Atika lalu tiba-tiba menggantungkan kalimatnya teringat masalah yang sedang menimpa suaminya dan ketidakmampuan dirinya untuk membantu sang suami. "Jadi, ak
"Kalau memang solusinya semudah itu, sudah sejak berhari-hari lalu masalah ini selesai," sahut Elang berjalan menuju meja kerjanya dan duduk di baliknya. Pria itu membuka laptop dan kembali fokus pada pekerjaannya."Memang apa lagi yang mereka mau? Kompensasi yang kita berikan kurang besar?" tanya Andini berang. kedua lubang hidungnya kembang kempis."Semua uang bela sungkawa dari perusahaan mereka kembalikan utuh. Mereka tidak menginginkan materi. Mengajukan gugatan ke pengadilan jelas membutuhkan biaya besar, melihat gigihnya usaha keluarga almarhum, yang mereka inginkan bukan uang tapi kebenaran. Dan itu juga yang aku harapkan sekarang!""Kebenaran, kebenaran konyol apa yang kalian maksud? Apa mereka kira, suaminya sengaja dibunuh? Atau ada konspirasi, begitu!""Bisa jadi. Kemungkinan itu tidak boleh diabaikan," sahut Elang acuh.Andini mendengkus. "Mereka hanya berhalusinasi. Memangnya mereka pikir siapa mereka? Apa untungnya menyingkirkan buruh rendahan? Hanya membuat nama perusa
"Ternyata kamu di sini, aku mencarimu kemana-mana," bisik Elang membuat Atika hampir menjatuhkan spatula di tangannya, jangan lupakan kedua lengan kekar Elang yang kini melingkari pinggangnya, mengakibatkan deru nafas Atika memberat."Nanti ada yang melihat, hentikan, Lang," ucap Atika balas berbisik saat pria itu mulai membaui rambut Atika."Kalau begitu, kita kembali ke kamar. Ini hari minggu, aku hanya ingin berduaan seharian di kamar denganmu."Elang meraih simpul apron di punggung Atika, berniat melepasnya, namun dengan cepat Atika berbalik dan menyandarkan tubuhnya ke konter dapur, menjaga jarak aman diantara mereka. Seketika lutut Atika melemas melihat wajah Elang. Di bawah penerangan lampu dapur, Atika dapat lebih jelas melihat kalau kini Elang nampak lebih cepat menua dari sebelumnya. Beban pekerjaan yang diemban suaminya memiliki dampak yang sangat besar bagi pria itu. Lingkar hitam di sekitar matanya, gurat-gurat halus di kening Elang semua itu tidak pernah Atika lihat sebe
Pagi itu, Atika kembali kehilangan uang sakunya karena Cindy. Tidak peduli berapa kali Atika memindahkan tempat persembunyian uang sakunya, bocah yang baru menginjak bangku SD itu selalu bisa menemukannya. Hal terburuk adalah, Burhan, ayahnya Atika memberikan jatah uang saku per bulan dan hari ini baru memasuki tanggal sepuluh, itu artinya selama dua puluh hari ke depan, Atika terpaksa kembali menahan lapar selama di sekolah. Jangan harapkan Atika bisa membawa bekal nasi ke sekolah, Anyelir telah menetapkan bahwa Atika hanya boleh makan satu kali dalam sehari. Jika Atika ingin membawa bekal makan ke sekolah, berarti Atika harus siap untuk tidak makan sepulang sekolah."Gak ada cara lain, aku harus bisa cari uang sendiri!" gumam Atika sambil berjalan sendirian menuju gerbang sekolah. Pandangan gadis itu lalu perlahan menyapu lingkungan sekitar sekolah. Ada banyak penjual makanan ringan di sekolah, beberapa rumah juga membuka lahan pekarangan mereka menjadi tempat usaha. Atika memutar
"Ini untukmu!"Sebuah bungkusan plastik mendarat di atas pangkuan Atika. Gadis itu mengangkat pandangannya dan melihat Daffa yang sedang menggeret bangku kosong ke dekat Atika dan mendudukinya."Apa ini?""Buka saja. Kemarin kamu bilang ingin lepas dari kebangkrutan. Aku gak punya banyak uang, tapi aku bisa bantu kamu menjual kemampuanmu."Atika mengerutkan dahi tak memahami penjelasan Daffa. Setelah hampir satu minggu mengacuhkannya, pria ini tiba-tiba datang dan mengungkit permintaan memalukan yang sempat Atika katakan dulu."Alah, kelamaan!" dengus Daffa lalu beranjak membuka bungkusan itu sendiri dan menaruhnya ke atas meja di depan Atika.Satu set cat minyak merk premium, beberapa tote bag serta pouch berbahan kanvas dan alat lukis lainnya kini berserakan di atas meja Atika. Semuanya masih tersegel, artinya perlengkapan melukis itu masih baru. Atika tahu benar berapa harga barang-barang ini, kalau dijumlahkan bisa setara dengan harga sepatu kets terbaru."Kamu beli ini?""Aku gak
"Nara, lihat siapa yang datang!" Daffa berseru riang setelah menggeser pintu kamar rawat hingga terbuka. Atika melongokkan kepala ke dalam, di atas tempat tidur seorang anak perempuan berusia kurang lebih delapan tahun terbaring lemah dengan selang infus yang menggantung dari pergelangan tangannya. Nara, anak itu tersenyum ceria menyambut Daffa. "Berikan buket itu padanya, Nara sangat suka bunga," bisik Daffa pada Atika. "Krisan! Makasih Om, Tante cantik banget, mirip Gwiyomi. Gwiyomi punya kebun bunga Krisan juga! " Atika bergantian menatap Daffa dan Nara tak mengerti. Belum juga Atika mendapatkan jawaban bukti apa yang akan ia dapatkan di rumah sakit ini, sekarang Atika harus memahami perkataan absurd bocah ingusan di depannya. "Gwiyomi karakter kartun yang Nara suka, menurut Nara kamu mirip Gwiyomi." Daffa menjelaskan dengan sabar, senyum tak pernah lepas dari wajahnya saat menyebutkan nama Nara. "Ah, begitu. Maaf aku gak tahu. Tapi kalau Nara suka, pasti Gwiyomi memang canti