"Liat apa tuh!" teriak Adelio, langsung menghempaskan diri di sebelahku. Sungguh aku terkejut, menabok tangannya. Tanpa peduli keberadaan Bunda Delyna. "Kamu ini! Jangan kayak gitu lagi, Ranesya kaget karena kamu Adelio," hardik Bunda Delyna, memarahi Adelio. Sementara Adelio cemberut, dimarahi. Aku tertawa dalam hati, akhirnya ada yang mendukungku. "Bunda, kok gitu ke anak sendiri? Keliatannya malah lebih sayang Ranesya," kata Adelio, mendengus kesal. "Karena Ranesya anak Bunda," balas Bunda Delyna, memeluk diriku. Aku menjulurkan lidah kearahnya, Adelio ingin menarik Bunda Delyna. Aku menepis tidak terima. "Jangan ambil Bundaku," kataku, mendongak ke Bunda Delyna. Seketika Bunda Delyna, puk puk diriku dengan kasih sayang. Aku tersenyum lebar, melirik Adelio, dan aku mengejeknya. "Kamu anak Bunda kok!" balas Bunda Delyna, mengelus kepalaku. "Aku loh anak Bunda," rajuk Adelio, tapi diabaikan Bunda Delyna. Tawaku menyembur keluar, siapa sangka? Adelio diabaikan Bunda sendiri
Kami berdua memilih jogging, di kawasan dekat rumah Adelio. Aku ingin memakai celana pendek dimarahi Adelio. Terjadilah, baju lengan dan celana panjang. Huh! Dia ini, aku berdecak kesal diikutinya. "Lo kenapa sih?" Aku berhenti, menoleh kebelakang. Di mana Adelio, melototi orang-orang yang menatapku dalam. Padahal aku tidak peduli mereka. "Mata lo entar keluar," candaku, bersedekap dada. Adelio merangkul diriku, seolah berkata kepada mereka 'Ini punya gue, jangan ganggu deh.'Astaga, aku jadi tidak heran jika Adelio sangat pencemburu. Aku menurunkan tangannya. "Ayo, nggak usah diladeni mereka," ajakku, mulai berlari kembali. Setelah cukup letih, aku duduk di kursi taman bersamanya. Walau masih belum memaafkan, aku tidak boleh terlalu jahat. Aku masih sebaik ini emang, tidak seperti Adelio. "Lo haus?" tanya Adelio, aku menoleh lalu mengangguk. Adelio berdiri, menghadap diriku. "Gue cari air mineral dulu," kata Adelio, berpamitan denganku. Karena terlalu lama, akupun mencari
"Cepetan Adelio, bentar lagi telat!" Aku berteriak, menggedor pintu Adelio. Kemarin, memang masih di rumah keluarga Andres. Saat malam juga kami langsung pulang, mengingat besoknya sekolah. Tapi Adelio ini, malah mengajakku menonton hingga larut malam. "Ini semua, gara-gara Adelio?!" kesalku, menendang pintu pakai kaki. "Sakit," keluhku, mengelus kaki yang menyut. Bahkan, Adelio membuka pintu baru bangun tidur. Astaga! Heh, aku sudah berteriak loh ini!"Adelio! Kita mau sekolah, kenapa lo belum mandi?!" pekikku, memukul lengannya. Adelio meringis, menggaruk tengkuknya. Mengusap mata menatapku lama. "Yaudah sih, bolos aja," jawab Adelio santai. Heh! Adelio ini, mudah sekali mulutnya ngomong bolos. Sedangkan, aku ini paling rajin masuk kelas. Adelio kira, aku ini dirinya?! Harus sekolah pokoknya, aku mendorong Adelio masuk ke kamar mandi. "Lo mandi sekarang, gue nggak mau tau!" kesalku, mondar-mandir mengingat mobil berada di bengkel. Aduh, kalo tidak juga aku langsung ke sek
"Kasihan, enak nggak?" tanya Aceya yang bersedekap dada. "Maksud lo apaan ngelakuin itu?" kesal Adelio, mengepalkan tangan. Aku memegang Adelio, menggeleng. Mengingat, jika dia adalah seorang cewek. "Pakai nanya lagi?! Lo keluar aja dari sekolah, jangan di sini lagi," pinta Aceya, tidak menyukaiku dari kelas 1. Aceya Larasati, anak kelas 2 MIPA 3 salah satu siswi pintar. Namun, jarang diajak untuk perlombaan. Mungkin Aceya iri kepadaku, sehingga Aceya tidak menyukaiku. Ternyata, banyak sekali orang membenciku. "Siapa lo ngatur-ngatur?" sahut Adelio, menatap tajam Aceya. Aceya tertawa kecil, menepuk pundak Adelio. Sok teman dekat, aku menyipitkan mata tidak suka. "Kenapa emangnya? Gue bilang gini juga, Ranesya terlalu banyak kasus belum lagi dengan Zara. Apa jangan-jangan kalian berdua main ehem," papar Aceya ambigu, aku menutup mata meredam emosi. Sementara, Adelio sudah ingin melayangkan tinju. Namun, Adelio tahan sampai di depan mata Aceya. "Inget kata gue, lo itu nggak ad
"Ihh, apaan sih Adelio!" kesalku, mendorong Adelio yang tiba-tiba saja manja. Aneh sekali, aku sampai terheran dengan tingkahnya. Saat di meja makan, Adelio minta disuapin. "Gue mau dipeluk lo kalo gitu," pinta Adelio, cemberut sok imut. "Nggak jelas lo," kataku, mundur berusaha melarikan diri. Pagi kali ini emang lebih berbeda, karena Adelio memiliki tingkah manja. Jadi aku sulit melakukan aktivitas. Aku memegang tas sekolahku, melewati bawah tangannya. Pergi ke garasi, untungnya mobil sudah diperbaiki. "Untung lolos!" Aku berkata lega, mengusap dada. Aku pergi ke sekolah, hanya pas di perjalanan. Sialnya, mobilku tiba-tiba saja mogok. "Aaa, kenapa harus gue sih?" pekikku, menendang ban mobil. Aku berdecak kesal, ingin menelpon Adelio. Nanti pasti Adelio minta dimanja kembali. Aku mengotak-atik hp, aku mengingat Ghifari. Apa kabar dia ya? Aku menatap langit di mana matahari mulai naik. "Halo, lo bisa bantu gue nggak?" kataku, menelepon Ghifari. "Bis
Kini aku, Gita dan Vivian duduk di lapangan, melihat orang bermain basket. Tidak ada Adelio di sana. Tapi aku masih heran dengan Zara yang tidak terkena hukuman, apa jangan-jangan Zara memiliki kekuatan?"Lo nyadar nggak sih? Kalo Zara tuh terlihat santai aja," celetuk Vivian, mengingat kejadian kemarin. "Iya juga, apalagi waktu itu bukannya Zara dapat surat panggilan ya? Pasti kena skors tuh," timpal Gita, setuju dengan Vivian. Aku hanya diam, memperhatikan permainan basket begitu bagus. Sampai ada seorang cowok mendekat. Anak kelas 1, dia tadi sedang bermain.Jika boleh jujur, aku capek dikejar cowok terus-terusan. Karena mereka terlalu brutal. "Kak, coba tutup mata," pinta cowok rambut hitam lekat. Aku mengernyitkan kening. "Kenapa emang?" tanyaku, mendongak menatapnya. "Ikuti aja," kata cowok rambut hitam itu, aku tidak tau apa yang dia lakukan. Sampai tanganku dipegangnya, menaruh sesuatu di mana mataku masih di tutup. "Buka mata Kakak," perintah cowok rambut hitam, langs
"Mau ngajak gue ke mana?" tanyaku ke Adelio, padahal baru pulang sekolah. Adelio sudah bersiap-siap, aku tidak tau. Apa yang dipikirkan olehnya. Aku sudah rapi dengan tas selempang, dan hodie couple dibelikan Adelio. Mengingat waktu itu, Adelio ingin memakainya denganku. "Kek jamet," gumamku, memutarkan tubuh. Bukannya senang, aku merasa ini terlihat alay. Namun, tidak apa-apa inisiatif Adelio sendiri. "Ranesya, udah belum?" tanya Adelio, mengetuk pintuku. "Udah kok!" seruku, menuju pintu, dan membukanya. Aku tersenyum lembut, di mana Adelio menggenggam tanganku. Seolah tidak ingin lepas dariku. "Lo cantik Ranesya," puji Adelio, mengusap kepalaku. Aku tersenyum samar. "Dih, dasar buaya! Gombalin gue lo," kataku, padahal udah mau terbang. "Mana ada gue buaya, lo doang gue sayang selama ini," sahut Adelio, dengan mode buaya darat. "Haha, bener aja? Terus Zara lo anggap apa?" ucapku, melirik Adelio dengan wajah masam. "Dia nggak ada dalam kamus gue, Zara cuma masa lalu," bala
"Woam, pagi begini diganggu. Masih ngantuk."Aku mengusap mataku, berharap menghilangkan rasa kantuk melanda. Aku membuka pintu, terdapat Adelio tersenyum. Aku menyender di pintu. "Kenapa? Ini masih pagi banget loh, Adelio," balasku kesal. "Karena udah pagi, lo harus siap-siap," ucap Adelio, aku berbalik menghentakkan kaki. "Cepat ya! Kita bakal sarapan," teriak Adelio, menutup pintuku. "Iya Adelio," jawabku malas, masuk ke kamar mandi. Jam 5 pagi, yang benar saja. Adelio membangunkan ku sepagi ini. Aku memeluk diriku yang kedinginan. Aku melihat ada lilin candle light di sana, dan hanya tertinggal lampu remang-remang."Adelio?" panggilku, mendekatinya yang tersenyum manis. Sangat membuatku terkejut, Adelio berdiri mempersilakan aku duduk. Terus kursi panjang di mana? Hanya ada kursi bundar yang aku liat. "Kenapa? Sini rotinya, biar gue yang olesi," kata Adelio, melakukannya dengan baik. Adelio mengambil beberapa lembar, dan memberikannya kepadaku. "Adelio," panggilku, ke ar
"Serius naik ini?" tanyaku ke Adelio mengangguk mantap. "Tenang aja, sepedanya bagus ini," balas Adelio, tersenyum lebar. "Sini naik dibelakang gue."Aku mendekatinya, sedikit ragu-ragu, dan duduk dengan tenang. Adelio mulai menjalankan sepedanya. "Uwahh, seru banget!" pekikku bahagia, kini aku berdiri merentangkan tangan. Kali ini kami berkeliling komplek, entah ini ide konyol yang dibuat Adelio. Tapi aku sangat senang sekali. Hingga sampai di sebuah rumah pohon, aku tidak tau siapa yang membuatnya. Tapi memang jauh, aku bahkan tidak kuat untuk berdiri. "Ini punya siapa?" tanyaku ke Adelio baru turun. "Punya gue dong," jawab Adelio menarikku. Aku menatap tinggi pohon tersebut, apalagi disitu ada tangganya. Aku tidak sabar ingin keatas, namun menyeramkan. Adelio mendorongku, terlebih dahulu untuk naik ke atas. Aku menoleh ke belakang, Adelio mengangguk meyakinkanku. "Gue duluan," pamitku, meneguk ludah. Adelio terkekeh, mendengar suaraku terlihat gugup. Saat sampai di atas,
Pagi yang cerah, aku berada di kelas. Hanya beberapa anak di dalam, salah satunya aku dan Zara. Aku mendekati Zara yang sedang duduk sendirian, aku gugup mengatakan ini. "Gue maafin lo kok," ucapku berdeham pelan. Zara menoleh kesamping dengan senyum mengembang. Aku tidak tau, jika Zara memiliki senyum amat manis begini. "Makasih banyak, lo mau kan jadi temen gue?" tawar Zara, memegang tanganku penuh harap. Aku jadi bingung, mataku tidak fokus. Takut aku salah langkah mengambil jalan, hingga aku mengangguk pelan. Zara langsung memelukku begitu erat. Namun, aku tidak membalasnya. "Makasih, udah mau jadi temen gue," kata Zara, menatapku begitu lekat. Tidak menyahut, aku hanya mengangguk, sehingga Zara begitu sangat bahagia. Apa perasaanku merasa aneh, karena berteman dengan Zara? Soalnya Zara musuh bebuyutanku, dari awal dirinya masuk. "Ayo kita duduk," tarik Zara ke kursinya. Bahkan, Zara bercerita heboh tentang sekolah lamanya. Aku hanya tersenyum, dan mengangguk sebagai ja
Aku sempat ditawarkan kembali osis, aku menolak. Karena sudah mulai muak dengan keadaan. Harus jadi contoh yang baik. Namun, saat aku kena masalah, malah dihujat habis-habisan. Huh! Aku tidak mau!"Nggak mau lagi gue," gerutuku, berjalan ke arah keluar. Menunggu Adelio di pagar, aku berharap Adelio cepat ke sini. Aku memijat kening yang pening. "Mau muntah gue, nggak mungkinkan hamil?" parnoku sembarangan, apa-apain aja nggak pernah. Hanya aku berpikir negatif saja, sampai aku tersadar ada yang menepuk bahuku. "Adelio?" panggilku kaget, aku cengengesan. "Lo mikirin apa? Sampe ngelamun di sini," tanya Adelio bingung. Kini Adelio menyentil jidatku. Dih, kok malah nyebelin sih?! Aku mendengus kesal dengan melipatkan tangan di dada. Aku membenarkan poni yang berantakan, aku berjalan lebih dulu mengabaikan Adelio. "Eh, tungguin. Ngambek ya?" tanya Adelio, mengejarku. Aku menghentakkan kaki, benar sangat tidak estetik. Aku kan tidak mau di sentil dulu, seharusnya puk puk gitu loh.
Sekarang aku dan Adelio saling bertatapan, memegang tangan ingin pergi bersama. Bedanya, kali ini pergi berangkat dengan bus. Sebenernya aku hanya pengen, sempat melihat anak sekolah naik bareng sama temannya. "Ayo berangkat," ajak Adelio menarikku, menuju halte tidak jauh dari rumah. Aku mengangguk, tersenyum lebar. Padahal jelas-jelas, rumah kami dekat dengan sekolah. Liatlah, kurang kerjaan memilih naik bus. Aku terkekeh membayangkan berapa seru di sana. "Tuh liat busnya," kata Adelio, menarikku duduk di pertengahan. Aku duduk dekat kaca, memperhatikan banyak melintas, ternyata seru juga. Sampai aku menghembuskan udara dari mulut ke kaca, aku dengan jahil menuliskan namaku love Adelio. "Ucul banget," kataku terkekeh, aku mengeluarkan hp memotretnya. Adelio sadar menoleh ke arahku, begitu kaget dengan tingkah bocilku ini. "Lucunya, keliatan anak SD kita," celetuk Adelio, membuatku terkejut. Aku menghalanginya dengan tangan karena malu, Adelio meminggirkan pelan. Jujur, s
Malam ini, aku berniat pergi ke rumah keluargaku, karena ingin meminta saran atas perubahan Zara. Aku tidak pernah menceritakan ini, hanya aku ingin mempertimbangkan saja. "Adelio, lo mau naik motor atau mobil?" tanyaku, melirik Adelio merangkul diriku. Adelio menoleh kesamping. "Mobil aja nggak sih?" "Oke, gue masih bingung soal itu," kataku, menghela napas berat. "Gapapa, nanti tanya sama Mama ya? Lo jangan bingung gini, pasti ada jalan keluarnya kok," papar Adelio, mempersilahkan aku masuk ke mobil. Adelio jalan memutar, masuk ke dalam mobil. Aku melirik, jika ada sesuatu dibelakang. "Adelio, lo beli apa?" tanyaku ke Adelio, sedang menyetir. "Catur, biar bisa main sama Papa," balas Adelio, tersenyum lebar. "Bisa-bisanya lo, pasti karena Papa pernah bilang ya," kataku, memperhatikan Adelio mengangguk. "Papa cerita kalo suka main catur, cuma Jean nggak mau. Jadi Papa, suka kesepian di rumah," jelas Adelio dengan nada sedih. Aku tersentuh olehnya. Aduh punya suami begini tu
Di kantin aku sendiri, karena enggan duduk bersama kedua sahabatku. Ada yang mengajak hanya aku malas. Ingin merasakan kesendirian, aku hanya ingin tenang sesaat. Sampai ada dua orang, sangat aku tidak suka duduk. "Keliatan nggak punya temen ya," ejek Tasya, diangguki Trisya. Aku diam saja, menyeruput es teh ku, dan bakso yang sedang aku makan. Abaikan saja orang gila ini. Anggap mereka tidak ada, aku sedang malas bertengkar dengan siapapun. "Biasa mah, dia kan emang mulai dijauhi terus ya? Karena pacaran sama Adelio," balas Trisya, tersenyum miring. Apalah mereka ini, aku merasa keduanya saling menyahut dengan kebencian. "Biasa itu mah, nggak cocok sama Adelio. Tapi dipaksakan bersama," timpal Tasya, terkekeh pelan. Aku berhenti memakan bakso, menatap tajam Tasya. Apa yang dia katakan barusan? Aku tidak cocok dengan Adelio?Nggak cocok dari mana? Aku cocok saja dengannya, bahkan kami saling melengkapi. "Terus cocok sama lo yang pemales? Jadi apa Adelio nanti," sahutku, terta
Aku terbangun di pagi hari, langsung ke dapur menguncir rambut asal. Aku akan memasak mie instan saja. Rasanya ingin memakan itu bersama Adelio, aku dengan lihai memasukkan semua ke dalam wajan. "Masak apa tuh," celetuk Adelio mendekat, mendusel leherku. Aku menoleh dengan kesal. "Nggak usah ngeselin deh, ini masih pagi Adelio.""Kenapa sih? Nggak boleh manja sama lo?" tanya Adelio cemberut, melepaskan pelukannya. Aku memutarkan tubu, menangkup pipi tirusnya, dan tersenyum manis. Mencubit pelan, sambil memainkannya. "Lo udah gede, mending lo mandi aja. Bentar lagi kita pergi sekolah," usirku secara halus. Adelio menggelengkan kepala, menolak mempersiapkan diri. Terus Adelio maunya apa?"Eh, bentar bau apa ini?" Mataku melotot, melihat masakanku yang gosong. Aku menatap tajam Adelio, sudah mengangguku masak mie. Padahal itu mie sisa 2 doang, dan liat sudah tidak bisa dimakan. "Kok gosong?" tanya Adelio sok polos. "Dahlah gue males," kesalku, sudah tidak mood lagi. Memilih unt
"Lo nggak bosen culik gue?" tanyaku ke Ghazi sedang merokok. Hari sudah malam, bisa aku liat karena berada di luar. Lebih tepatnya arena balap. Aku juga tidak tau, apa yang mau Ghazi lakukan. Sampai Ghazi keluarkan hp-nya. "Halo, sini lo selamatin pacar lo ini." Ghazi video call, terdapat Adelio yang kaget. "Woyy! Sialan, dasar pecundang mainnya culik terus," umpat Adelio melototi Ghazi. Ghazi mendekat, memegang daguku. Adelio menatapku lekat. "Cepat bilang sesuatu cantik," kata Ghazi menarik daguku, biar melihatnya. Aku meneguk ludah. "Tolongin gue Adelio," lirihku cemberut. Adelio mengepalkan tangan tidak terima, apalagi aku terlihat sedih begitu. "Gue laper, nggak dikasih makan dari siang. Cuma minum doang," aduku membuat Adelio makin marah. "Hahaha, datang ke sini ke arena balapan biasa lo tanding," ucap Ghazi tersenyum miring. "Woyy, lo culik jangan pacar gue— "Ghazi langsung mematikan video call, aku hanya menghela napas panjang, dipegang tanganku oleh kedua bawahan
Rambutku dijambak oleh Zara, sesuai prediksi. Seketika kelasku ramai, bahkan anak kelas lain ikut melihat kejadian ini. "Lo kurang kerjaan banget, teror gue?!" ketusku, menarik rambutnya juga. Zara menatap tajam ke arahku. "Gue benci sama lo, emang cocok diteror! Biar lo jauh-jauh dari Adelio!" "Gila lo, makanya kalo kurang belaian ke Om lo itu," sindirku, saling beradu kepala. Mana kepalaku sakit ditarik-tarik begini, apa tidak ada yang mau menolongku?Sampai suara teriakan sangat aku kenal mendekat, sepertinya ada yang mengadu jika aku bertengkar dengan Zara. "Berhenti Zara, lepasin sekarang Ranesya!" perintah Adelio, tidak di respon Zara. "Ingat, lo mau gue bongkar rahasia lo di sini, atau lepasin sekarang Ranesya?" ancam Adelio, ditengah-tengah kami berdua. Seketika Zara melepaskan tarikannya, dan dadanya naik turun. Melirik Adelio yang sedang membantuku. "Lo gapapa? Ada yang sakit?" panik Adelio, memeriksa keadaanku. "Gue gapapa kok," balasku tersenyum kecil. Aku meliha