"Kasihan, enak nggak?" tanya Aceya yang bersedekap dada. "Maksud lo apaan ngelakuin itu?" kesal Adelio, mengepalkan tangan. Aku memegang Adelio, menggeleng. Mengingat, jika dia adalah seorang cewek. "Pakai nanya lagi?! Lo keluar aja dari sekolah, jangan di sini lagi," pinta Aceya, tidak menyukaiku dari kelas 1. Aceya Larasati, anak kelas 2 MIPA 3 salah satu siswi pintar. Namun, jarang diajak untuk perlombaan. Mungkin Aceya iri kepadaku, sehingga Aceya tidak menyukaiku. Ternyata, banyak sekali orang membenciku. "Siapa lo ngatur-ngatur?" sahut Adelio, menatap tajam Aceya. Aceya tertawa kecil, menepuk pundak Adelio. Sok teman dekat, aku menyipitkan mata tidak suka. "Kenapa emangnya? Gue bilang gini juga, Ranesya terlalu banyak kasus belum lagi dengan Zara. Apa jangan-jangan kalian berdua main ehem," papar Aceya ambigu, aku menutup mata meredam emosi. Sementara, Adelio sudah ingin melayangkan tinju. Namun, Adelio tahan sampai di depan mata Aceya. "Inget kata gue, lo itu nggak ad
"Ihh, apaan sih Adelio!" kesalku, mendorong Adelio yang tiba-tiba saja manja. Aneh sekali, aku sampai terheran dengan tingkahnya. Saat di meja makan, Adelio minta disuapin. "Gue mau dipeluk lo kalo gitu," pinta Adelio, cemberut sok imut. "Nggak jelas lo," kataku, mundur berusaha melarikan diri. Pagi kali ini emang lebih berbeda, karena Adelio memiliki tingkah manja. Jadi aku sulit melakukan aktivitas. Aku memegang tas sekolahku, melewati bawah tangannya. Pergi ke garasi, untungnya mobil sudah diperbaiki. "Untung lolos!" Aku berkata lega, mengusap dada. Aku pergi ke sekolah, hanya pas di perjalanan. Sialnya, mobilku tiba-tiba saja mogok. "Aaa, kenapa harus gue sih?" pekikku, menendang ban mobil. Aku berdecak kesal, ingin menelpon Adelio. Nanti pasti Adelio minta dimanja kembali. Aku mengotak-atik hp, aku mengingat Ghifari. Apa kabar dia ya? Aku menatap langit di mana matahari mulai naik. "Halo, lo bisa bantu gue nggak?" kataku, menelepon Ghifari. "Bis
Kini aku, Gita dan Vivian duduk di lapangan, melihat orang bermain basket. Tidak ada Adelio di sana. Tapi aku masih heran dengan Zara yang tidak terkena hukuman, apa jangan-jangan Zara memiliki kekuatan?"Lo nyadar nggak sih? Kalo Zara tuh terlihat santai aja," celetuk Vivian, mengingat kejadian kemarin. "Iya juga, apalagi waktu itu bukannya Zara dapat surat panggilan ya? Pasti kena skors tuh," timpal Gita, setuju dengan Vivian. Aku hanya diam, memperhatikan permainan basket begitu bagus. Sampai ada seorang cowok mendekat. Anak kelas 1, dia tadi sedang bermain.Jika boleh jujur, aku capek dikejar cowok terus-terusan. Karena mereka terlalu brutal. "Kak, coba tutup mata," pinta cowok rambut hitam lekat. Aku mengernyitkan kening. "Kenapa emang?" tanyaku, mendongak menatapnya. "Ikuti aja," kata cowok rambut hitam itu, aku tidak tau apa yang dia lakukan. Sampai tanganku dipegangnya, menaruh sesuatu di mana mataku masih di tutup. "Buka mata Kakak," perintah cowok rambut hitam, langs
"Mau ngajak gue ke mana?" tanyaku ke Adelio, padahal baru pulang sekolah. Adelio sudah bersiap-siap, aku tidak tau. Apa yang dipikirkan olehnya. Aku sudah rapi dengan tas selempang, dan hodie couple dibelikan Adelio. Mengingat waktu itu, Adelio ingin memakainya denganku. "Kek jamet," gumamku, memutarkan tubuh. Bukannya senang, aku merasa ini terlihat alay. Namun, tidak apa-apa inisiatif Adelio sendiri. "Ranesya, udah belum?" tanya Adelio, mengetuk pintuku. "Udah kok!" seruku, menuju pintu, dan membukanya. Aku tersenyum lembut, di mana Adelio menggenggam tanganku. Seolah tidak ingin lepas dariku. "Lo cantik Ranesya," puji Adelio, mengusap kepalaku. Aku tersenyum samar. "Dih, dasar buaya! Gombalin gue lo," kataku, padahal udah mau terbang. "Mana ada gue buaya, lo doang gue sayang selama ini," sahut Adelio, dengan mode buaya darat. "Haha, bener aja? Terus Zara lo anggap apa?" ucapku, melirik Adelio dengan wajah masam. "Dia nggak ada dalam kamus gue, Zara cuma masa lalu," bala
"Woam, pagi begini diganggu. Masih ngantuk."Aku mengusap mataku, berharap menghilangkan rasa kantuk melanda. Aku membuka pintu, terdapat Adelio tersenyum. Aku menyender di pintu. "Kenapa? Ini masih pagi banget loh, Adelio," balasku kesal. "Karena udah pagi, lo harus siap-siap," ucap Adelio, aku berbalik menghentakkan kaki. "Cepat ya! Kita bakal sarapan," teriak Adelio, menutup pintuku. "Iya Adelio," jawabku malas, masuk ke kamar mandi. Jam 5 pagi, yang benar saja. Adelio membangunkan ku sepagi ini. Aku memeluk diriku yang kedinginan. Aku melihat ada lilin candle light di sana, dan hanya tertinggal lampu remang-remang."Adelio?" panggilku, mendekatinya yang tersenyum manis. Sangat membuatku terkejut, Adelio berdiri mempersilakan aku duduk. Terus kursi panjang di mana? Hanya ada kursi bundar yang aku liat. "Kenapa? Sini rotinya, biar gue yang olesi," kata Adelio, melakukannya dengan baik. Adelio mengambil beberapa lembar, dan memberikannya kepadaku. "Adelio," panggilku, ke ar
"Liat? Lo tau siapa pemenangnya sekarang? Lo atau gue?" ledekku, menoleh ke Zara mengepalkan tangan. Aku tersenyum lebar, sudah bisa membuat Zara emosi. Belum lagi Adelio menghampiriku. Tanpa rasa malu, Adelio mengelusku di depan Pak Bobi. Terus anak kelas ini dianggap apa? Hanya nyamuk pasti. "Maaf Pak, mohon kasih restu aku dan Ranesya," kata Adelio, memutarkan tubuhnya. Pak Bobi tersenyum. "Jika kamu lebih baik bersama Ranesya, Bapak kasih restu. Semoga kamu bahagia sampai nikah," papar Pak Bobi mendukung. "Padahal udah nikah gue sama dia," gumamku, mendengar pekikan heboh seisi kelas. "Makasih Pak! Kalian harus doain gue juga ya?" teriak Adelio ke mereka semua. Tidak aku sangka, mereka semua menyahut dengan semangat. "Semoga kalian bisa sampe ke pelaminan.""Jangan lupa traktir Kak!""Woah, Ranesya nikah sama pentolan sekolah."Aku menggeleng saja, tingkah anak kelas seperti orang utan. Sementara, Zara panas sendiri, tiba-tiba saja berdiri, menarik rambutku. "Woyy, lo ken
"Lo mau masuk rumah sakit atau kuburan?" Adelio menatap sinis Elgar, langsung melepaskan pergelangan tanganku. "Maksud lo apa? Mau ngajak Ranesya selingkuh?" kata Adelio, menarik kerah Elgar. Elgar tersenyum lebar, seolah tidak merasa bersalah sama sekali. Aku sedikit menjauh dari perdebatan keduanya. "Kak, lo tau? Kak Ranesya pintar, nggak cocok sama lo yang bikin onar," balas Elgar, menyinggung Adelio. Aku meneguk ludah, apa ini namanya Elgar mencari perkara? Merasa hebat? Padahal Adelio memiliki kelebihan, hanya tingkahnya saja terlalu nakal. "Terus Ranesya cocok sama siapa?" tanya Adelio balik, menatap tajam Elgar. "Gue— "Sebelum Elgar melanjutkan perkataannya, Adelio membogem pipi Elgar. Bahkan, aku bisa merasakan emosi meledak Adelio. "Masih banyak kelebihan gue, asal lo tau! Lo malu pacaran sama gue, Ranesya?" tunjuk Adelio ke Elgar, beralih menoleh ke arahku. "Gue bangga punya lo, selalu ada saat gue butuh. Hem, buat lo Elgar jangan cari keributan. Lo pasti tau Adeli
Aku terbangun di sofa, berjalan lesu ke kamar. Aku berkaca, melihat mataku kali ini bengkak, aku menghela napas berat. "Gue mau pulang ke rumah," kataku, membereskan semua pakaian yang aku punya. Niatnya, ingin bersekolah bareng Adelio. Mengingat kejadian kemarin, aku memilih untuk pulang. Setelah selesai, aku menatap sekeliling tempat. Di mana rumah ini adalah saksi bisu, perjuangan kami berdua. "Sialan! Gue benci sama lo Adelio," hardikku, mataku berkaca-kaca. Menelan ludah susah payah, berjalan menuju pintu keluar. Saat aku buka, ada Adelio menatapku. Adelio ingin memelukku, tapi aku menghalangi dengan tangan. "Lo nggak usah peluk gue, peluk aja Zara," sindirku sambil tersenyum miris. "Maksud lo apa?" tanya Adelio bingung, memijit pelipisnya. "Jangan sok polos deh loh?! Lo main belakang sama Zara kan? Adelio, lo benar-benar bajingan!" Aku mendorong Adelio, dengan dada naik turun. "Gue nggak main belakang sama Zara," tolak Adelio, tuduhan itu. Aku tertawa mengusap mataku
Rayyen mendekat dengan senyum mengembang, tanpa peduli adanya Adelio. Heh, kok dia tidak berpikir ya?! Apa Rayyen tidak tau aku memiliki pacar, aduh bagaimana ini. Pasti Adelio berpikir aku berselingkuh. "Dengan siapa cantik?" tanya Rayyen sudah berada di samping meja. Aku menoleh dengan tatapan datar, apa yang Rayyen mau sampai sengaja memanggilku sayang di depan Adelio. "Gue pacarnya," jawab Adelio berdiri. Dapat aku perhatikan lirikan mata mereka sama-sama sinis, seakan menembus jantung. Aku tidak percaya ini akan terjadi, apalagi pengirim surat cap berdarah itu, aku tidak tau siapa orangnya. "Pacar doang, belum jadi suami. Bisalah rebut Ranesya dari lo." Rayyen berkata begitu percaya diri. Seketika aku menahan tawa mendengarnya, andai dia tau jika aku sudah menikah. Apakah Rayyen masih ingin berkata seperti itu? Kalo masih, berarti Rayyen sudah gila. "Ada keberanian apa lo, bilang kayak gitu di depan gue?" kata Adelio menyuruhku bergeser dengan kode tangannya. Kini mer
Aku melangkah di lorong sekolah, karena pagi sekali Adelio sudah rajin membangunkan aku. Hanya tidak aku sangka, terdapat ketiga cabe-cabean di depanku. Tidak lain Tasya, Trisya dan Zara. "Minggir bisa nggak?" hardikku menatap ketiganya malas. Bukannya mikir, tidak ada akalnya mereka menghadang diriku. Lebih gilanya Zara masih sanggup berjalan?Sudah tidak waras Zara itu, aku berdecak mendorong Trisya. Apa mereka tidak mengerti aku sedang malas bertengkar. "Berani banget lo!" kesal Tasya menarik tanganku. Aku tidak bisa bergerak kemana-mana, aku menoleh kebelakang. Bahkan Zara masih bisa tersenyum, apa dia tidak merasa bersalah?"Iyalah, lo juga bukan siapa-siapa di sini jangan ngatur gue," kataku menarik paksa tanganku dari cengkalnya. "Takut ya lo sama kita?" kata Trisya tiba-tiba tersenyum miring. Aku melihat senyum itu, ingin ngamuk rasanya. Siapa yang takut dengannya? Aku bisa lawan mereka sekaligus. "Kenapa mata lo, mau keluar ya?" ejek Zara tertawa kecil. Trisya maupun
"Haha, nggak bakal ada Adelio," kata Ghifari mengejekku. Tatapannya sangat mengerikan, tubuhku menegang dengan hawa panas dingin. Padahal ruangan begitu dingin, hanya aku merasakan hal berbeda. Apalagi Ghifari makin mendekat. "Gue udah lama ingin dapatin lo." Ghifari berkata sambil menarik tanganku. Gilanya, dia menarik hanya untuk memelukku. Jujur, ini hal menyiksa bagiku. Rasa takut mendalam di mana Ghifari mengelus helai rambutku secara perlahan. "Apa gue harus lakuin sesuatu, biar lo jadi sepenuh milik gue, Ranesya?" Ghifari mengecup puncak kepalaku. Tidak menjawab, aku mendorong dadanya untuk menjauh tapi ditahan oleh Ghifari. "Lo mau kemana, lo nggak ada niatan sama gue aja?" tanya Ghifari memelas. Aku melonggarkan pelukan, mendongak menatapnya intens. "Nggak, soalnya Adelio itu cowok gue dan orang spesial gue punya," jawabku begitu menusuk. Tiba-tiba saja pipiku di tekan hingga seperti ikan buntal, Ghifari seolah tidak terima apa yang aku katakan. "Spesial kata lo,
Kami berada di rumah setelah beberapa jam di RS, mengingat perkataan Bunda Delyna aku sedikit terkejut. Orang sekalem Bunda Delyna berkata seperti itu? Siapa tidak terkejut coba, aku saja di sana langsung menganga dengan mata melotot. "Lo kenapa?" tanya Adelio menepuk bahuku. Sekarang kami berada di ruang makan, tidak sempat memasak jadi sebelum pulang kami mampir membeli pizza. Aku tersenyum kecil. "Cuma keinget Bunda aja sih, gue kaget loh pas Bunda bilang gitu.""Bilang apa emangnya?" tanya Adelio mendongak ke arahku. "Masukin orang ke penjara terlihat sadis tau, kan Bunda lo kalem tuh," balasku menyuapi Adelio. Adelio dengan senang hati menerima sodoran pizza dariku, dan hanya terkekeh. "Namanya juga orang tersayang, semisal gue digituin kayak Ayah. Apa lo lakuin diem aja atau cari tau sebenernya?" papar Adelio menatapku begitu lekat. Tatapan kami bertemu, dih mana ada aku biarkan. Jika Adelio terjadi sesuatu, kan dia suamiku. "Cari tau sebenernya, dan gue masukin ke penj
Mataku melototi mendengar suara tersebut, kami berdua menoleh secara bersamaan. Di mana Ibu Aini sudah berkacak pinggang. "Gimana rasanya?" tanya Ibu Aini tersenyum kecil. "Ibu mau?" tawar Adelio menyodorkan susu kotak. Aku meneguk ludah, memilih memakan kembali bakso tersebut. Dan pura-pura tidak terjadi sesuatu. "Nggak!" sentak Ibu Aini kepada Adelio. Dengan mengelus dada, aku kembali menoleh dan mengedipkan mata beberapa kali. "Kenapa kalian berdua ke kantin di jam segini?!" Bingung ingin menjawab apa, aku melirik Adelio tersenyum tidak merasa bersalah. "Jam berapa ya?" tanya Adelio kepadaku. "Nggak tau," jawabku menggigit bibir bawah. Ibu Aini seketika emosi dengan jawaban kami berdua, aku bisa merasakan aura gelap yang keluar dari tubuhnya. "Jam aja nggak tau! Ini jam pelajaran, seharusnya kalian berdua di dalam kelas," jelas Ibu Aini menghela napas berat. Kami berdua saling menoleh, aku sedikit khawatir akan dihukum kembali. Sehingga aku berbisik ke telinga Adelio b
Di hari yang cerah, aku memilih pergi sekolah sendiri padahal Adelio memaksa meminta pergi bersama. Aku enggan karena ingin sendiri dulu, mengingat kejadian kemarin huh! Hal tidak terduga, saat aku masih dalam mobil melihat Zara turun dari mobil seseorang. "Ngapain dia?" kataku menyipitkan mata memperhatikan gerak-geriknya.Cara jalannya sangat berbeda, sedikit mengangkang. Aku menganga tidak percaya, jadi itu seriusan di aborsi?Astaga, Zara tidak punya hati please! Tapi dari wajahnya juga sangat pucat. "Dih, manusia paling jahat sih," ucapku merinding dengan tingkah Zara. Aku turun dari mobil berjalan dibelakang Zara, tidak ada yang mengibah dirinya. Padahal masalah Zara sangat besar, apa ada sesuatu membungkam mereka semua?"Kalo gue aja, di gosipin sampe seminggu lebih dih," gumamku kesal. Karena tidak ingin Zara terlihat tenang, akupun berjalan cepat dan menyenggol bahunya. "Aduh, sakit banget," keluh Zara meringis kecil melirikku tajam. Zara bergeser beberapa langkah, ak
Aku menoleh kebelakang terdapat Ibu sosialita, bahkan emasnya bertumpuk banyak di pergelangan tangan. "Nggak Bu, aku hanya bawa dia jalan-jalan aja. Soalnya anak Ibu tadi jalan sendiri samperin aku," paparku terlihat Ibu itu tidak percaya. "Bohong kamu," ucap Ibu tersebut melirik sekeliling. "Tolong ada yang mau culik anak saya."Aku menggeleng, apa banget sih. Mana mungkin aku menculik anak kecil ini, aduh gimana kalo aku ditangkap?Mana Adelio ya, aku menurunkan anak kecil itu lalu membekap mulut Ibu tersebut. "Bu, aku nggak culik anak Ibu. Kenapa sih nuduh terus?" kesalku menekan bekapan itu. Ibu itu meronta, melepaskan tanganku dari mulutnya. Ada beberapa orang mendekat memperhatikan kami. "Ini Pak, dia tadi culik anak saya," tuduh Ibu itu menunjuk ke arahku. Aku menggeleng cepat. "Kenapa Ibu nuduh aku? Coba tanya anaknya, ini tuh hanya salah paham," kataku begitu emosi. Jujur ini hal merugikan untukku, mana dituduh segala. Apa pikirannya tidak ada?"Bohong kamu, mana ada s
Malam harinya, Adelio mengajakku suatu tempat entah di mana. Yasudahlah, aku hanya mengikuti apa yang Adelio mau. Dengan jaket couple, bahkan kacamata ikut serta dari bagian kami pakai. Terlihat alay, hanya aku mengingat jika Adelio berbeda dari cowok yang lain. "Kek alay ya," celetukku di mana Adelio berpose sok keren. Adelio hanya terkekeh merangkul diriku. "Mana ada alay, lo liat nih keren banget kita," kata Adelio memutarkan diriku yang berdecak kesal. Kali ini Adelio memotret diriku yang tidak memiliki ekspresi, sampai Adelio menarik kedua sudut bibirku biar terlihat tersenyum. "Nah, ginikan cantik," lanjut Adelio kesana-kemari hanya memfotoiku saja. Sangat tidak bisa diam ya ini anak? Sifatnya sudah keluar jametnya, aku sampai tidak habis pikir bisa menikah dengan Adelio. "Bacot lo, yaudah ayo," ajakku menarik pergelangan tangannya. Adelio tidak menjawab hanya terkekeh kecil mengikutiku dari belakang. "Lo pendek ya," ledek Adelio. Aku berhenti tiba-tiba, terjadilah Ad
Pulang sekolah, bukannya balik ke rumah kami. Adelio mengajakku ke rumah keluarganya. Ternyata di sana sudah ada keluargaku juga, dan tidak aku ketahui. Sore ini akan piknik ke taman. "Lo masih pakai baju sekolah?" tanya Jean melirikku dari bawah ke atas. Di ruang tamu hanya kami berdua, karena yang lain asik mempersiapkan apa yang akan dibawa.Adelio juga katanya ingin memilihkan baju yang bagus untukku, jadi aku mengangguk saja. "Kenapa emangnya, nggak suka?" balasku memajukan diri sok songong. "Dih, gue nanya doang," sahut Jean mendorong kepalaku. Tidak sadar, jika Adelio datang menenteng baju untukku. Mana bajunya sengaja banget dilebarkan. "Adelio?! Bajunya kenapa kayak gitu?" pekikku mendekat menggulung biar Jean tidak melihatnya. Gila bajunya terlalu seksi. Mana mungkin aku memakainya untuk piknik, apa dia tidak berpikir dahulu?"Lah kenapa?" tanya Adelio bingung menatapku polos. Aku menabok tangannya, kali ini Adelio meringis sedikit menjauh. "Pake nanya lagi, ini tu