"Males banget sekolah, mana mata gue gini," ucapku, memegang kantong mata. Semalaman aku tidak bisa tidur, selain menangis aku juga melamun. Mengingat kenanganku bersama Adelio. "Yaudahlah, daripada gue Alfa lagi kan rugi." Aku menghampiri keluargaku, menyambut dengan baik. "Sini duduk samping Papa," pinta Papa Guntur, aku mengangguk lesu. Keluargaku saling melirik satu salah lain. Aku tidak tau, harus bagaimana lagi, aku seakan tertarik keluar nyawaku ini. "Nggak usah dipikirin ya?" kata Mama Cahaya, memberikan sebuah nasi goreng sosis. Jean mengangguk membenarkan. "Bener kata Mama, entar lo bareng gue aja ke sekolah," kata Jean, aku melirik tersenyum tipis. "Makan yang banyak sayang!" seru Papa Guntur, mengelus rambutku. Aku tersenyum lebar, melupakan sementara kejadian waktu itu. Aku sangat senang Papa Guntur perhatian denganku. Biasanya, Papa Guntur agak cuek kepadaku. Kini, Papa Guntur menunjukkan, kasih sayang aku inginkan. "Enak Ma!" pekikku, memakannya sampai belepot
"Ranesya, lo mau bareng kita nggak?" tawar Gita, saat depan parkiran. Aku menggeleng memilih mencari motor Jean, terdapat Adelio bersedekap dada. Aku berdecak menyadari, jika Adelio tidak puas mengangguku. Padahal buktinya saja belum ada. "Ranesya, lo beneran nggak mau maafin gue?" Adelio berdiri di depanku, memegang tanganku penuh permohonan. "Gue udah bilang, kalo lo udah dapat buktinya. Atas masalah perselingkuhan lo sama Zara. Gue bisa percaya sama lo, untuk sekarang hus," usirku, menarik tangan dengan kesal. "Mau cari di mana?" tanya Adelio prustasi. "Mana gue tau! Gue nggak butuh bacotan lo Adelio," ketusku, berdecak menunggu Jean begitu lama. Sampai Jean menghampiriku, menatap tajam Adelio ingin mendekatiku. "Jauh-jauh lo dari Ranesya," usir Jean, menyuruhku di belakangnya. "Jean, gue nggak salah," kata Adelio, memperhatikanku membuang muka. "Lo nggak perlu jelasin, jika bukti aja lo nggak ada Adelio," sindir Jean, menarikku ke motornya. Adelio menghadang motor Jean,
"Dek, bareng gue aja ayok!" ajak Jean, sedang memakan sandwich-nya. Aku menggeleng, beralih ke Papa Guntur, dan Mama Cahaya. Mereka berdua, duduk berdekatan dengan romantis. Sementara aku bersampingan dengan Jean, bahkan kali ini Jean menuangkan susu untukku. "Apa aku boleh, bawa mobil?" harapku, menampilkan puppy eyes. Kedua orang tuaku menatap lamat, bahkan Jean menabok bibirku monyong sok imut. "Nggak usah Pa, entar nih anak bandel," hasut Jean, tersenyum menggoda. "Apaan sih Kak! Gue cuma pengen," kataku, menabok tangannya. Jean sangat menyebalkan. Padahal hari ini, aku ingin mengutit Zara. "Boleh sayang, pakai aja mobilnya," kata Papa Guntur, memberikan roti kepadaku. "Makasih Pa!" seruku, menjulurkan lidah ke Jean. "Kenapa Papa, biarin aja sih?" tanya Jean kesal.Papa Guntur terkekeh, menyadari Jean sangat posesif soal diriku. Mama Cahaya tersenyum lembut."Ranesya, udah gede. Dia juga mau pergi sendiri," tutur Papa Guntur, memberitahu Jean dengan baik. "Tetap aja Pa!
Sesuai niat awal, aku menguntit Zara. Aku sudah menelpon Mama Cahaya, jika aku akan telat pulang mau ke rumah Gita. Manfaatkan mereka bolehlah, aku melihat motornya memasuki sebuah rumah. "Apa itu rumah dia?" Aku mengada-ada, di mana Zara berpelukan mesra di luar teras. "Ihh, bener-bener jalang," kataku, menatap jijik. Masalahnya, Zara memeluk seseorang yang sudah tua. Ingin menggangap itu Ayahnya. Aku sempat mendengar kata sayang, dan kata mesum di ucapkan Zara. "Emang udah nggak waras, wajar aja dianggap pelakor. Perilakunya aja di luar nurul," ucapku, menatap jijik. Aku keluar dari mobil. Ingin lebih dekat, memotret kejadian ini. Jika aku sudah muak dengannya, baru aku sebar. "Bagaimana? Kamu sudah mendapatkan cinta Adelio?" tanya orang tua itu kepada Zara. "Belum sayang, padahal aku sudah melakukan banyak cara," keluh Zara, mengusap dagu orang tua itu. Cowok itu sekitar 30 ke atas, aduh sangat Om-om sekali. Aku bergidik ngeri. Astaga Zara, padahal yang muda masih banyak.
"Kamu ngelakuin itu Adelio?" tanya Ayah Liam, menatap tajam Adelio. "Pa, itu salah paham. Aku dijebak!" tolak Adelio, memberitahu. Aku berdiri memberikan foto di mana Adelio, tidur berpelukan. "Ayah sama Bunda, nggak pernah ngajarin kamu gini," ungkap Bunda Delyna kecewa. "Aku bisa jelasin Bun— "Sebelum ucapan Adelio dilanjutkan, Bunda Delyna menampar Adelio. Terlihat jika Adelio memegang pipinya. Sementara Ayah Liam menahan Bunda Delyna, biar tidak melakukan lebih parah. "Maaf sebelumnya, jika ada salah. Kita akan selesaikan masalah ini, kalo terbukti bersalah atau nggaknya Adelio. Kami akan memberitahukan ke Pak Guntur," papar Ayah Liam, mengode Adelio untuk pergi. Papa Guntur mengangguk. "Baiklah, kami tunggu bukti dari kalian," balas Papa Guntur menghela napas. Aku menunduk, di mana Jean mendekatiku. "Nggak usah sedih, nanti bakal ada jalan keluarnya," kata Jean, mengajakku duduk kembali. "Yaudah, ayo makan lagi," lanjut Jean, mengusap kepalaku. Aku mengangguk tersenyu
Tidak hilang akal, selepas pulang sekolah. Aku memesan taksi, langsung pergi meninggalkan Jean. Aku sempat ditelepon berkali-kali, hingga aku blokir dirinya. Aku memberitahu Mama Cahaya jika aku ingin ke mall sebentar. "Akhirnya! Baiklah, gue harus rencanain teror balik," ucapku tersenyum misterius. Bahkan, Pak sopir hanya diam. Pasti dia mengira aku gila, karena bicara sendiri. "Pak, ke toko sebentar ya. Tenang aja, nanti aku kasih tip," ucapku, turun dari taksi. Membeli beberapa barang diperlukan, di dalam taksi. Aku menyuruh, Pak sopir menuliskan surat ancaman. Berisi 'Aku mengintaimu, hati-hati Zara. Aku tidak akan melepaskanmu.' Aku tersenyum mengembang, saat sudah beres. Setelah itu, menuju rumah kemarin. Semoga Zara ada di sana, saat sampai. Kebetulan sekali, Zara bersama Om tua. "Pak, bisa minta tolong kasih ke orang itu?" tunjukku ke arah dua orang itu. "Bilang aja gini. 'Permisi, paket atas nama Zara', nah gitu Pak. Semisal ditanya dari siapa, bilang aja nggak tau.
Aku terbangun di pagi hari, di rumah kami berdua. Aku sangat senang, karena masalah itu selesai. Pintuku diketuk, aku berdiri membuka pintu tersebut. "Selamat pagi cantik," sapa Adelio, tersenyum amat manis. Aduh, bentar. Aku meleleh nih, kenapa Adelio seromantis ini sekarang? Aku menggigit bibir bawah menahan salting. "Nyenyak tidurnya?" tanya Adelio, mengusap kepalaku. Aku mengangguk pelan, tiba-tiba aku ditarik dalam pelukannya. "Gemes banget sih, padahal baru tidur," ucap Adelio, melepaskan pelukan. Adelio mendorong diriku untuk mandi, aku hanya tersenyum mengingat kejadian ini. Waktu Adelio, ingin meminta maaf di pagi hari dengan romantis. "Gue tunggu di meja makan!" seru Adelio, pergi dari kamarku. Aku langsung masuk ke kamar mandi, membersihkan diri. Sebelum itu, aku mempersiapkan baju sekolah untuk di pakai hari ini. Setelah selesai, aku merias wajahku dengan cantik. Tinggal dipoles liptint. "Perfect!" seruku, tersenyum lebar. Saat berada di ruang makan, Adelio me
Hari ini, aku tidak melihat Zara masuk sekolah. Sepi tidak ada yang mengajakku berantem. Sekarang aja aku melihat orang bermain futsal, ada Adelio selalu aku nantikan. "Adelio, semangat ya!" teriakku, berdiri heboh. Pada akhirnya, para fans menatap sinis diriku. Why? Adelio punyaku, bahkan aku sudah menikah dengannya. "Ganjen banget jadi cewek.""Iya ihh, Adelio punya kita ya.""Nggak ada malu sih."Masalahnya, mereka berbicara seperti itu di depan diriku. Aku mengerutkan kening, merasa heran. Siapa mereka? Ngatur! Apa diriku, tidak boleh mendukung Adelio. "Sayang, semangat ya," pekikku, melirik mereka makin memanas. Maaf ya say, aku emang sengaja memanggil sayang di depan mereka. Hahaa, liatlah matanya ingin keluar. Bikin aku tidak ekspetasi, di mana Adelio melambaikan tangan ke arahku, makin menggila saja di lapangan. "Iya sayangku!" teriak Adelio, berlari kembali. Apa katanya tadi? Aku menganga tidak percaya. Hingga tubuhku di goyangkan Gita, karena tidak terbayang jika d
Di pagi hari, berbeda dari biasanya. Saat aku terbangun, Adelio sudah berada di depanku. Siapa sangka, aku melotot tidak percaya. Bahkan, Adelio mengelus puncak kepalaku. "Lo udah bangun?" tanya Adelio mengecup keningku penuh perhatian. Aku yang masih tidak menyangka hanya bisa berkedip-kedip, yaa aku kan masih terkejut. Dengan tubuhku mundur membuat Adelio terlihat bingung. "Kenapa?" Aku menggeleng cepat, berusaha berdiri dan melirik sekitaran. Asli, aku sangat malu. "Nggak kok," jawabku sedikit gugup. "Seriusan? Kenapa wajah lo langsung tegang gitu," sahut Adelio terkekeh pelan. Yah, siapa coba tidak kaget dengan tingkahnya. Kan aku sangat terkejut, dahal dia sangat jarang begini kepadaku. Paling sesuatu hal penting, atau pergi suatu tempat dia akan menghampiriku terlebih dahulu. "Eh, nggak kok cuma tadi," balasku bingung mengigit bibir bawah. Aku mendorong tubuh Adelio. "Sana gih, lo pesen aja makanan gue laper soalnya," kataku mengalihkan pembicaraan. "Lo laper? Bentar
Sore yang cerah, cocok banget jalan-jalan di pantai. Aku dengan tergesa-gesa menarik tangan Adelio untuk cepat. "Ayolah, lo jangan lama sih!" kesalku mendengus. Adelio menggeleng kepala, saat aku menoleh. Apa dia ikutan kesal denganku? Kan aku hanya tidak ingin ketinggalan ke pantai. "Pelan-pelan aja, pantainya gak berjalan itu," peringat Adelio menahan tawa. Idih, dikira lucu gitu? Aku melepaskan tangan Adelio, bersedekap dada di depannya. Bibir yang merucut kedepan seperti bebek. "Lo kok ketawa? Nggak ada yang lucu tau," hardikku menghentakkan kaki. "Dahlah, nggak jadi aja."Aku berusaha memutarkan badan untuk balik ke kamar, namun tanganku ditahan olehnya. "Mau kemana?" tanya Adelio menatapku lekat. "Gue mau ke kamar aja, lo ngeselin soalnya," kataku mengalihkan pandangan ke tempat lain. Terdengar suara kekehannya. "Gue bercanda doang, ayo kita pergi," ajak Adelio menarikku untuk ke pantai. Tidak menolak, aku hanya mengikuti langkah kakinya turun dari lift. Aku tidak ada
Selama 1 bulan, kami dikasih libur sekolah. Adelio berencana mengajak diriku ke Bali. Sungguh aku sangat senang! Siapa sih yang tidak mau kesana? Sekarang kami bersiap-siap untuk ke bandara. "Gimana, semuanya nggak ketinggalankan?" tanya Adelio melirikku memegang koper. Aku mengangguk semangat, menggandeng tangannya. "Ayok, skuy!" seruku membuat Adelio terkekeh. Kali ini kami di antar oleh supir milik keluarga Andres, karena mengetahui tidak mungkin membawanya sendiri. Saat sampai, kedua orang tua kami sudah berada di bandara. Pasti ingin memberikan salam perpisahan untuk sebulan ini. "Kalian hati-hati ya," kata Bunda Delyna memelukku dan Adelio. Sementara Mama Cahaya menangis, aku merasa geli seolah ditinggal selamanya saja. Tapi aku tahan karena menyadari, jika aku tidak menghargai kesedihan Mamaku. "Ihh, kenapa Mama nangis?" Aku memeluk Mama Cahaya, dan mengelus punggungnya. Setelah memeluk Bunda Delyna, aku beralih ke Mama Cahaya yang kini menangkup pipiku. "Jangan band
Waktu cepat berlalu, di mana aku sudah melewati ulangan ganjil. Kali ini aku berada di depan kantor untuk pengumuman raport. Banyak guru maupun orang tua berkumpul, ini saat menegangkan. Sampai pengumuman siapa yang juara di kelasku. "Seperti biasa, juara 1 didapatkan oleh Ranesya Adipurna," ucap wali kelasku. Urutan tiga maupun dua, sudah disebutkan. Aku tersenyum lebar karena mengetahui pasti aku mendapatkan peringkat pertama. "Lo pasti bisa!" kataku tanpa suara ke arah Adelio, memperhatikanku terlihat bangga. Arghh, aku sangat senang sekali. Setiap kelas memang disebut sampailah di kelas Adelio. "Untuk Bapak Ibu-ibu, ini murid yang bandel astaghfirullah. Dia juga sering banget bolos, hanya semester ini lumayan memberikan hasil memuaskan karena jarang bolos!" jelas wali kelas dengan senyum mengembang. "Semoga kalian nggak kaget, juara ke 3 diberikan kepada Adelio Andres," kata wali kelas bertepuk tangan. Adelio menganga lebar, namun didorong teman sekelasnya.
"Nanti lo nangis darah, kalo gue bisa dapatin Ranesya," ledek Rayyen terkekeh kecil. Sebelah alisku terangkat, percaya diri sekali dirinya. Apa orang gila ini, terlalu pede bisa mendapatkan sesuatu yang dia mau?"Maaf Rayyen, gue tetap sayang Adelio," sahutku membuat keduanya menoleh. "Lo hanya orang baru dalam hidup gue, sementara Adelio udah gue kenal sejak kecil cuma waktu itu berpisah aja," jelasku membuat Adelio tersenyum puas. Sebaliknya, Rayyen begitu muram karena mengetahui pernyataan yang aku berikan. Siapa yang senang, penolakan begitu jelas. Bahkan, ini di depan banyak orang. "Gue nggak akan biarin itu terjadi, selama gue masih hidup lo harus jadi milik gue Ranesya!" kata Rayyen berdiri menatapku begitu lekat. Tidak merespon, aku hanya diam karena malas untuk menyahuti perkataan Rayyen itu. "Dan gue yang akan buat lo kehilangan segalanya," timpal Adelio ikut berdiri. Tanpa segan menarik kerah Rayyen, mereka saling bertatapan begitu tajam. "Silakan! Gue akan ambil R
Aku menatap kaget mendengar lontaran Adelio itu, aku menunduk karena kelopak mataku terasa mengeluarkan buliran bening yang jatuh. Tiba-tiba saja seseorang memeluk, aku mendongak menatap tidak percaya. "Bercanda sayang, aku percaya sama kamu," kata Adelio dengan kekehan kecilnya. Aku mengusap hidung yang basah, aku mendorong dada Adelio. "Nggak usah ngeselin deh! Gue nangis ini," omelku dengan tangisan makin keras. Adelio yang ketar-ketir mendekat, mengusap pipiku yang basah. Apa dia merasa bersalah? Sehingga mendekatiku, dih ngeselin banget sumpah. "Eh, jangan nangis dong. Aku cuma bercanda doang," kata Adelio menarikku dalam pelukannya. "Tapi bercanda lo, nggak lucu tau!" kesalku memukul dada Adelio. Lebih mengesalkan di mana Adelio terkekeh pelan, apa lucunya sih? Aku di sini dituduh loh, malah dia ikut-ikutan buat aku nangis begini. "Ngapain juga lo ketawa?" tanyaku melepaskan diri dari pelukannya. "Lo aja kalo nangis makin menggemaskan," balas Adelio mencubit pipiku. A
Saat pertanyaan Vivian terlontar, aku meneguk ludah. Untungnya aku bisa menjawab semua dengan enteng. Setelah menghadapi masalah besar, mereka berdua akhirnya pulang di jam 7 malam."Gue nggak sanggup asli," keluhku ke Adelio yang duduk di ruang santai. Adelio terkekeh mengelus puncak kepalaku. "Lo pasti ketar-ketir ye kan.""Pake nanya lagi, gue beneran takut tadi," kesalku menabok lengan Adelio. Bayangkan pertanyaan Vivian itu sangat mematikan belum lagi waktu di kamar, ada satu foto ketinggalan di meja belajar. Untungnya aku bisa menyembunyikan tepat waktu, aduh ini Tuhan lagi baik sama aku sih. "Asal mereka nggak taukan? Kita bisa berhasil," seru Adelio tersenyum manis. Alah, itu juga karena aku banyak alasan. Coba Adelio ikut kasih alasan? Mungkin sudah ketauan karena jawaban kami pasti berbeda. "Iya serah lo aja deh," balasku malas. "Ehem, lagi ngapain nih peluk-peluk," sindir seseorang dengan suara nge-bas. Aku yang menyadari orang tersebut cepat bertegak, menoleh kebe
Aku tertawa mengingat kejadian pulang sekolah, sekarang aku berada di rumah memainkan ponsel. Cuma sedikit kaget di mana dalam grup, jika Gita dan Vivian ingin berkunjung ke rumah. Asli ya, aku langsung deg-degan karena mereka sudah berada di rumah orang tuaku. "Adelio, cepetan!" teriakku menggedor pintu kamar. Pintu tersebut buka, terlihat Adelio mengusap mata sepertinya baru bangun tidur. Aku tanpa berkata, menarik tangannya. Adelio terkaget-kaget dari rautnya, ingin tertawa tapi situasi sekarang lagi tidak bagus. "Kenapa lo?" tanya Adelio menarik tanganku sesaat. "Jangan banyak tanya deh, gue gini juga mau cepat ke rumah orang tua gue. Ada Gita sama Vivian di sana," ungkapku membuat Adelio sebaliknya menarikku. Eh, kok malah aku yang ditarik-tarik. Sepertinya Adelio menyadari ketar-ketir diriku. "Ayok, cuss kita harus cepat ke rumah Papa Mama," seru Adelio mendorongku ke dalam mobil. Kasar banget sih, dasar emang ya. Apa karena ingin cepat sehingga begini jadinya. Adelio
"Maksudnya apa Om?" tanya Adelio menarikku kebelakang. Senyum miring tertampil di bibirnya. "Kamukan sudah melukai Zara? Sekarang dia berada di rumah sakit," tuduh Om tua sambil mengepalkan tangan. Eh, sejak kapan please. Aku saja selalu bersama Adelio, kapan melukai Zara murahan itu? Sampai orang tua ini menuduh Adelio. "Astaga Om, aku mana pernah melukai dia. Nggak pengen soalnya, kan aku udah ada ini," kata Adelio menoleh ke arahku sebentar. Aku tersenyum kecil, saat Adelio memberitahu kalo aku adalah pacarnya. "Alasan aja kamu! Apa saya laporkan aja kamu ke kepala sekolah," kata Om tua mendekat menarik kerah Adelio. Hal gilanya, Om tua itu mengangkat dengan mudah tubuh Adelio. Aku menganga tidak percaya, setua ini tenaganya masih oke. "Jangan sembarangan ya, aku juga nggak akan ngelakuin itu karena Zara bukan siapa-siapa," papar Adelio masih berusaha sabar. Aku menggeleng, ya untuk apa bertengkar dengan orang tua? Dia tidak akan mendengarkan. Daripada mak