"Woam, pagi begini diganggu. Masih ngantuk."Aku mengusap mataku, berharap menghilangkan rasa kantuk melanda. Aku membuka pintu, terdapat Adelio tersenyum. Aku menyender di pintu. "Kenapa? Ini masih pagi banget loh, Adelio," balasku kesal. "Karena udah pagi, lo harus siap-siap," ucap Adelio, aku berbalik menghentakkan kaki. "Cepat ya! Kita bakal sarapan," teriak Adelio, menutup pintuku. "Iya Adelio," jawabku malas, masuk ke kamar mandi. Jam 5 pagi, yang benar saja. Adelio membangunkan ku sepagi ini. Aku memeluk diriku yang kedinginan. Aku melihat ada lilin candle light di sana, dan hanya tertinggal lampu remang-remang."Adelio?" panggilku, mendekatinya yang tersenyum manis. Sangat membuatku terkejut, Adelio berdiri mempersilakan aku duduk. Terus kursi panjang di mana? Hanya ada kursi bundar yang aku liat. "Kenapa? Sini rotinya, biar gue yang olesi," kata Adelio, melakukannya dengan baik. Adelio mengambil beberapa lembar, dan memberikannya kepadaku. "Adelio," panggilku, ke ar
"Liat? Lo tau siapa pemenangnya sekarang? Lo atau gue?" ledekku, menoleh ke Zara mengepalkan tangan. Aku tersenyum lebar, sudah bisa membuat Zara emosi. Belum lagi Adelio menghampiriku. Tanpa rasa malu, Adelio mengelusku di depan Pak Bobi. Terus anak kelas ini dianggap apa? Hanya nyamuk pasti. "Maaf Pak, mohon kasih restu aku dan Ranesya," kata Adelio, memutarkan tubuhnya. Pak Bobi tersenyum. "Jika kamu lebih baik bersama Ranesya, Bapak kasih restu. Semoga kamu bahagia sampai nikah," papar Pak Bobi mendukung. "Padahal udah nikah gue sama dia," gumamku, mendengar pekikan heboh seisi kelas. "Makasih Pak! Kalian harus doain gue juga ya?" teriak Adelio ke mereka semua. Tidak aku sangka, mereka semua menyahut dengan semangat. "Semoga kalian bisa sampe ke pelaminan.""Jangan lupa traktir Kak!""Woah, Ranesya nikah sama pentolan sekolah."Aku menggeleng saja, tingkah anak kelas seperti orang utan. Sementara, Zara panas sendiri, tiba-tiba saja berdiri, menarik rambutku. "Woyy, lo ken
"Lo mau masuk rumah sakit atau kuburan?" Adelio menatap sinis Elgar, langsung melepaskan pergelangan tanganku. "Maksud lo apa? Mau ngajak Ranesya selingkuh?" kata Adelio, menarik kerah Elgar. Elgar tersenyum lebar, seolah tidak merasa bersalah sama sekali. Aku sedikit menjauh dari perdebatan keduanya. "Kak, lo tau? Kak Ranesya pintar, nggak cocok sama lo yang bikin onar," balas Elgar, menyinggung Adelio. Aku meneguk ludah, apa ini namanya Elgar mencari perkara? Merasa hebat? Padahal Adelio memiliki kelebihan, hanya tingkahnya saja terlalu nakal. "Terus Ranesya cocok sama siapa?" tanya Adelio balik, menatap tajam Elgar. "Gue— "Sebelum Elgar melanjutkan perkataannya, Adelio membogem pipi Elgar. Bahkan, aku bisa merasakan emosi meledak Adelio. "Masih banyak kelebihan gue, asal lo tau! Lo malu pacaran sama gue, Ranesya?" tunjuk Adelio ke Elgar, beralih menoleh ke arahku. "Gue bangga punya lo, selalu ada saat gue butuh. Hem, buat lo Elgar jangan cari keributan. Lo pasti tau Adeli
Aku terbangun di sofa, berjalan lesu ke kamar. Aku berkaca, melihat mataku kali ini bengkak, aku menghela napas berat. "Gue mau pulang ke rumah," kataku, membereskan semua pakaian yang aku punya. Niatnya, ingin bersekolah bareng Adelio. Mengingat kejadian kemarin, aku memilih untuk pulang. Setelah selesai, aku menatap sekeliling tempat. Di mana rumah ini adalah saksi bisu, perjuangan kami berdua. "Sialan! Gue benci sama lo Adelio," hardikku, mataku berkaca-kaca. Menelan ludah susah payah, berjalan menuju pintu keluar. Saat aku buka, ada Adelio menatapku. Adelio ingin memelukku, tapi aku menghalangi dengan tangan. "Lo nggak usah peluk gue, peluk aja Zara," sindirku sambil tersenyum miris. "Maksud lo apa?" tanya Adelio bingung, memijit pelipisnya. "Jangan sok polos deh loh?! Lo main belakang sama Zara kan? Adelio, lo benar-benar bajingan!" Aku mendorong Adelio, dengan dada naik turun. "Gue nggak main belakang sama Zara," tolak Adelio, tuduhan itu. Aku tertawa mengusap mataku
"Males banget sekolah, mana mata gue gini," ucapku, memegang kantong mata. Semalaman aku tidak bisa tidur, selain menangis aku juga melamun. Mengingat kenanganku bersama Adelio. "Yaudahlah, daripada gue Alfa lagi kan rugi." Aku menghampiri keluargaku, menyambut dengan baik. "Sini duduk samping Papa," pinta Papa Guntur, aku mengangguk lesu. Keluargaku saling melirik satu salah lain. Aku tidak tau, harus bagaimana lagi, aku seakan tertarik keluar nyawaku ini. "Nggak usah dipikirin ya?" kata Mama Cahaya, memberikan sebuah nasi goreng sosis. Jean mengangguk membenarkan. "Bener kata Mama, entar lo bareng gue aja ke sekolah," kata Jean, aku melirik tersenyum tipis. "Makan yang banyak sayang!" seru Papa Guntur, mengelus rambutku. Aku tersenyum lebar, melupakan sementara kejadian waktu itu. Aku sangat senang Papa Guntur perhatian denganku. Biasanya, Papa Guntur agak cuek kepadaku. Kini, Papa Guntur menunjukkan, kasih sayang aku inginkan. "Enak Ma!" pekikku, memakannya sampai belepot
"Ranesya, lo mau bareng kita nggak?" tawar Gita, saat depan parkiran. Aku menggeleng memilih mencari motor Jean, terdapat Adelio bersedekap dada. Aku berdecak menyadari, jika Adelio tidak puas mengangguku. Padahal buktinya saja belum ada. "Ranesya, lo beneran nggak mau maafin gue?" Adelio berdiri di depanku, memegang tanganku penuh permohonan. "Gue udah bilang, kalo lo udah dapat buktinya. Atas masalah perselingkuhan lo sama Zara. Gue bisa percaya sama lo, untuk sekarang hus," usirku, menarik tangan dengan kesal. "Mau cari di mana?" tanya Adelio prustasi. "Mana gue tau! Gue nggak butuh bacotan lo Adelio," ketusku, berdecak menunggu Jean begitu lama. Sampai Jean menghampiriku, menatap tajam Adelio ingin mendekatiku. "Jauh-jauh lo dari Ranesya," usir Jean, menyuruhku di belakangnya. "Jean, gue nggak salah," kata Adelio, memperhatikanku membuang muka. "Lo nggak perlu jelasin, jika bukti aja lo nggak ada Adelio," sindir Jean, menarikku ke motornya. Adelio menghadang motor Jean,
"Dek, bareng gue aja ayok!" ajak Jean, sedang memakan sandwich-nya. Aku menggeleng, beralih ke Papa Guntur, dan Mama Cahaya. Mereka berdua, duduk berdekatan dengan romantis. Sementara aku bersampingan dengan Jean, bahkan kali ini Jean menuangkan susu untukku. "Apa aku boleh, bawa mobil?" harapku, menampilkan puppy eyes. Kedua orang tuaku menatap lamat, bahkan Jean menabok bibirku monyong sok imut. "Nggak usah Pa, entar nih anak bandel," hasut Jean, tersenyum menggoda. "Apaan sih Kak! Gue cuma pengen," kataku, menabok tangannya. Jean sangat menyebalkan. Padahal hari ini, aku ingin mengutit Zara. "Boleh sayang, pakai aja mobilnya," kata Papa Guntur, memberikan roti kepadaku. "Makasih Pa!" seruku, menjulurkan lidah ke Jean. "Kenapa Papa, biarin aja sih?" tanya Jean kesal.Papa Guntur terkekeh, menyadari Jean sangat posesif soal diriku. Mama Cahaya tersenyum lembut."Ranesya, udah gede. Dia juga mau pergi sendiri," tutur Papa Guntur, memberitahu Jean dengan baik. "Tetap aja Pa!
Sesuai niat awal, aku menguntit Zara. Aku sudah menelpon Mama Cahaya, jika aku akan telat pulang mau ke rumah Gita. Manfaatkan mereka bolehlah, aku melihat motornya memasuki sebuah rumah. "Apa itu rumah dia?" Aku mengada-ada, di mana Zara berpelukan mesra di luar teras. "Ihh, bener-bener jalang," kataku, menatap jijik. Masalahnya, Zara memeluk seseorang yang sudah tua. Ingin menggangap itu Ayahnya. Aku sempat mendengar kata sayang, dan kata mesum di ucapkan Zara. "Emang udah nggak waras, wajar aja dianggap pelakor. Perilakunya aja di luar nurul," ucapku, menatap jijik. Aku keluar dari mobil. Ingin lebih dekat, memotret kejadian ini. Jika aku sudah muak dengannya, baru aku sebar. "Bagaimana? Kamu sudah mendapatkan cinta Adelio?" tanya orang tua itu kepada Zara. "Belum sayang, padahal aku sudah melakukan banyak cara," keluh Zara, mengusap dagu orang tua itu. Cowok itu sekitar 30 ke atas, aduh sangat Om-om sekali. Aku bergidik ngeri. Astaga Zara, padahal yang muda masih banyak.
Akhirnya tidak ada gangguan ketiga manusia itu, malam ini kami rencananya ingin makan bakso di tempat langganan. Di mana waktu itu ada banci, semoga sekarang nggak ada. Takutnya Adelio risih dengannya. "Baksonya satu Mang!" seru Adelio dengan mengangkat tangannya berbentuk V. Mamang bakso itu hanya mengangguk, aku sangat senang berada di sini. Walaupun capek siang tadi, kan malamnya bisa berduaan kembali. Dalam suasana malam yang dingin dengan bintang bertaburan. "Baksonya enak?" tanya Adelio mendongak menatapku. Aku mengangguk dengan senyum manis. "Enak banget! Juaranya bakso ini mah.""Iya atuh Neng! Palinh enak bakso saya pastinya," sahut Mamang bakso itu dengan senang. Aku dan Adelio hanya terkekeh kecil, tapi memang seenak itu. Apalagi aku jarang ke sini, jadinya sangat rindu ya. "Kalo gitu gratisin kita dong, kan udah dipuji," goda Adelio ke Mamang bakso. Seketika gelengan Mamang bakso terlihat, aku hanya terkekeh. Orang jualan kok minta gratisan dasar Adelio. "Nggak u
Perjalanan kali ini tidak ada halangan sama sekali dari tiga orang gila itu, bahkan ini di bandara dijemput oleh keluarga kami. Aku merasa senang, mereka semua berada sini termasuk Jean. Walau hanya beberapa hari, setidaknya lebih baik cepat pulang daripada semua akan terbongkar seiring waktu. "Kalian ini!" kesal Jean menabok Adelio. Sementara hidungku ditariknya, ihh kenapa dia ini. Sok jadi Kakak pula yang jahil idih. "Sakit dodol," balas Adelio menatap sinis Jean hanya terkekeh. "Elah men gitu doang mah nggak sakit," kata Jean cengengesan. Pada akhirnya, Adelio membalasnya lebih kuat. Di mana kami menertawakan Jean terkena getahnya. "Gue pelan loh, lo balasnya kayak mau bunuh gue," kesal Jean menjauhi Adelio memilih mendekati Mama Cahaya. "Makanya, lo jadi Abang tuh waras dikit. Gue baru pulang nyari perkara lo," sahutku menatapnya sinis. Tidak merasa bersalah, Jean hanya tersenyum lebar. Dih apaan banget nih orang, untung gue sabar ya. Sementara Bunda Delyna memberi kode
Malamnya aku merenung, apa besok pulang saja? Daripada mereka bertiga mengira melakukan hal lebih dari ini. Bagaimanapun, Zara dan Gracia mengetahui. Jika kami memesan satu ruang, walau satu kamar aku pasti sedikit menjauh tidurnya dari Adelio. "Setuju nggak, kalo kita pulang aja besok?" tanyaku ke Adelio yang sedang makan dengan tenang. Yap, setelah seharian mengobrol dan tidur. Kami tidak kemana-mana lagi, karena mengetahui ketiga manusia itu akan merusuh. Adelio mendongak dan tatapan kami bertemu. "Gue ngikut aja," balas Adelio tersenyum. Aku menghela napas panjang mengingat beberapa hari ini bukannya bahagia. Tapi banyak hal yang tidak diduga aku rasakan, belum lagi Ghifari bisa-bisanya menghampiriku ke Bali. "Yaudah, gue mau besok pulang. Nggak betah di sini," balasku kembali memakan udang goreng tepung. Enak banget asli, kayak masakan Mamaku hehe. Jadi rindu mereka apalagi Jean huhu. Setelah selesai makan, kami ke ruang santai untuk menonton televisi. Sebenarnya sangat
Pada akhirnya kami berada di pantai, menikmati hari berdua. Namun, itu tidak berjalan semestinya. Karena gangguan dari ketiga gila itu masih berlanjut, inipun aku ditarik Ghifari untuk pergi berdua."Gue bakal ngajak lo ke tempat yang indah di sini," paksa Ghifari dengan wajah memelas. Aku melirik Adelio yang kini dipegang dua orang sekaligus, siapa lagi kalo Zara dan Gracia. Mereka ini, astaga! Aku dan Adelio ingin berlibur saja susah, pasti ada masalah datang. "Lepasin nggak! Gue nggak mau Ghifari," kataku mengamuk di depan banyak orang melintas. "Ini lagi kalian berdua, apa nggak sadar? Gue tuh mau berdua sama Ranesya," ucap Adelio terdengar dingin. Aku menatap Adelio menarik paksa tangannya sampai jeratan dari dua manusia itu terlepas. Adelio mendekatiku berusaha melepaskan aku dari Ghifari yang tidak mau mengalah. "Seharusnya lo jangan deketin Ranesya, dia bakal jadi milik gue." Ghifari berkata percaya diri. Aku tertawa karena menyadari, jika Ghifari terlalu berlebihan.
Aku menguak sangat lebar merasakan kehangatan luar biasa, saat aku membuka mata terdapat Adelio terlelap. Aku tersenyum lembut mengelus pipinya, mataku melotot karena menyadari kami tidur bersama. "Eh? Kok bisa sih," gumamku memperhatikan sekitar. Menyadari jika kami berada di kamarku, kejadian malam tadi hanya dikejar Adelio dan saling bercanda. Oh ya! Tidak sengaja tertidur berdua. Huh, syukurlah kukira kami melakukan hal berlebihan. "Duh, jangan bangun ya," kataku melepaskan diri dari Adelio perlahan. Aku berdiri menatap wajah Adelio yang begitu menawan, apa tidak salah Tuhan memberikan Adelio kepadaku?Bahkan, banyak dari cewek-cewek mengejarnya. Walaupun tingkah nakalnya membuat guru kesal, tapi dia adalah suami terbaik untukku. "Masak apa ya?" gumamku menuju dapur. Apa aku masak nasi goreng saja ya? Pasti enak banget, tapikan nggak ada peralatannya. Huh! Yasudahlah, aku memilih menonton tv di mana suara teleponku begitu nyaring di kamar. "Ganggu banget, ini jam 7 loh,"
Khusus hari ini, aku tidak ingin keluar karena takut bermasalah lagi dengan kedua makhluk gila itu. Membayangkan saja kejadian kemarin membuatku naik darah, huh! Apa aku buang saja ke lubang buaya sehingga tidak ingin merebut Adelio. "Lo kenapa sih remas remote itu kuat banget?" tanya Adelio menatapku bingung. Aku menggigit bibir bawah, saat melihatnya. Ya gimana lagi, aku masih sangat kesal tau!"Gapapa kok," jawabku seadanya dengan senyuman kecil. Kami berada di ruang santai menonton sebuah film romantis, adegannya begitu manis membuatku melayang. Tapi sesaat membayangkan tadi, moodku hancur seketika. Untungnya Adelio menyuapiku seperti sekarang. "Suka nggak?" tanya Adelio memberikanmu sebuah susu kotak. Aww, pagi-pagi sekali Adelio membawakan beberapa makanan entah dari mana. Aku yang baru bangun melihat Adelio tersenyum saat aku membuka mata, romantis bukan? "Ngelamun lagi?" kata Adelio membuatku tersadar. Aku hanya tersenyum kecil, memakan beberapa cemilan di atas meja.
Malam harinya, aku dan Adelio ingin pergi kencan berdua. Namun, hal tidak diduga terjadi. Di mana Zara dan Gracia, berada di tempat yang sama dengan kami. Jujur aku kadang bingung, mereka ada di mana-mana. "Kenapa Ranesya?" tanya Adelio melihatku. Aku mendengus menatap lulus, di mana Adelio mengikuti mataku. "Loh, kenapa mereka ada di sini ya?" balas Adelio begitu bingung. Pake nanya lagi, ya aku juga nggak tau loh. Mereka seolah tau, kami akan pergi kemana sampai ke restoran ini sekalipun. Berusaha mengabaikan keduanya, aku menarik Adelio ke dalam. Duduk di meja yang cukup jauh dari Zara dan Gracia. "Bentar, kita pesan dulu," kata Adelio mengangkat tangan seketika pelayan datang menghampiri kami. Sebuah buku menu, aku memilih beberapa dan sebaliknya dilakukan hal sama dengan Adelio. Pelayan itu pergi, hanya kami berdua di sini yang lain sibuk dengan urusan mereka. "Gimana rasanya liburan sekarang? Seru nggak?" tanya Adelio menatapku begitu dalam. Aku mendongak memperhatika
Berusaha melupakan Zara dan Gracia, kami lebih memilih kepantai kembali berjemur di sana. Siapa sangka, orang yang tidak aku harapkan mendekati kami mana bajunya kurang bahan. "Adelio, lo makin ganteng aja," kata Gracia melirik tubuh Adelio tanpa baju. Dih, aku menaikkan satu alis merasa aneh dengan pemandangan di mana wajah Gracia memerah. Jijik sekali, apalagi tidak lepas matanya ke Adelio. Heh! Jangan gitu please, aku sangat cemburu sialan. "Gue emang ganteng, sekarang lo berdua pergi sana," usir Adelio menurunkan kacamata lalu menaikkan kembali. "Lo berdua mau jadi lonte atau apa? Bahannya terlalu kurang, mau godain siapa?" hina Adelio tanpa menoleh ke arah mereka berdua. Aku menahan tawa, siapa mengira. Jika Adelio akan berkata begitu tanpa peduli perasaan Zara maupun Gracia. "Buat godain lo," sahut Zara mendekati Adelio. Jujur menjijikan sekali, mereka tanpa malu tersenyum amat manis dan menggoda. Iuhh, untung aku berusaha kalem ya. "Najis tau nggak!" umpat Adelio mene
Di pagi hari, berbeda dari biasanya. Saat aku terbangun, Adelio sudah berada di depanku. Siapa sangka, aku melotot tidak percaya. Bahkan, Adelio mengelus puncak kepalaku. "Lo udah bangun?" tanya Adelio mengecup keningku penuh perhatian. Aku yang masih tidak menyangka hanya bisa berkedip-kedip, yaa aku kan masih terkejut. Dengan tubuhku mundur membuat Adelio terlihat bingung. "Kenapa?" Aku menggeleng cepat, berusaha berdiri dan melirik sekitaran. Asli, aku sangat malu. "Nggak kok," jawabku sedikit gugup. "Seriusan? Kenapa wajah lo langsung tegang gitu," sahut Adelio terkekeh pelan. Yah, siapa coba tidak kaget dengan tingkahnya. Kan aku sangat terkejut, dahal dia sangat jarang begini kepadaku. Paling sesuatu hal penting, atau pergi suatu tempat dia akan menghampiriku terlebih dahulu. "Eh, nggak kok cuma tadi," balasku bingung mengigit bibir bawah. Aku mendorong tubuh Adelio. "Sana gih, lo pesen aja makanan gue laper soalnya," kataku mengalihkan pembicaraan. "Lo laper? Bentar