"Kalian ini kan udah mulai mapan, usaha juga makin maju, cobalah ke dokter spesialis atau kalau enggak ke klinik khusus bayi tabung, biar bisa tahu kendalanya apa dan tindakan apa yang harus diambil," ucap Bu Ratmi.
"Ma ...." Melani menegur mamanya dengan lembut, selain itu, ia sangat tidak enak dengan Arga--sang suami yang mulai terlihat tidak nyaman. Setiap mereka bertandang ke rumah keluarga besar Melani, sambutan Bu Ratmi memang kurang ramah sejak Arga diperkenalkan oleh Melani sebagai pacar pertama kali.
"Kalau memang masih belum cukup uangnya, deposito sama rumah warisan almarhum papa bisa kamu pakai Mel, jangan kayak orang susah, buat cek kondisi kesehatan aja masa nggak bisa?!" sekali lagi Bu Ratmi semakin pedas dalam bertutur.
"Ma, kita tuh nyantai kok, lagian zaman sekarang ini menikah nggak cuma karena pengin punya anak, tapi banyak hal lainnya," sanggah Melani.
"Hal lain apa? Orang nikah tujuannya berkeluarga dan punya anak, kalau bukan bangub keluarga ya sekalian aja kumpul kebo!"
Arga memaksakan senyumnya. Bibirnya mungkin tersungging ke atas tapi terlihat ia mengetatkan rahangnya dan menghela napasnya agak kasar. Melani menyadarinya, bahwa suaminya semakin tidak nyaman dengan setiap kata-kata yang terucap dari mamanya.
"Insya Allah, Ma, secepatnya kami akan ke dokter dan periksa, tapi apa yang dikatakan Melani memang benar Ma, bahwa kami menikah tidak hanya karena berkeinginan punya anak. Baik saya dan Melani selama ini terus berikhtiar Ma."
Kalimat panjang dari Arga membuat Bu Ratmi hanya mengembuskan napasnya pasrah meski bibirnya berdecak pelan.
"Ya sudah, kalau gitu nanti kabarin Mama aja gimana hasilnya dan Mama bisa bantu apa, yang penting kalian itu ada usahanya bukan cuma usaha di kasur aja."
Melani kembali menegur mamanya agar tidak sembarang mengungkapkan pikirannya dengan tatapan matanya yang menajam. "Udah ah, Mel sama Mas Arga mau pulang dulu Ma, nanti Mel kabar-kabarin lagi Ma."
"Hm--" Bu Ratmi hanya bergumam, namun enggan menoleh ke arah Arga dan Melani.
Melani berdiri kemudian mencium pipi sang mama, sedangkan Arga seperti biasa hanya menyalami Bu Ratmi. Saat pasangan suami dan istri itu sudah di dalam mobil, Melani mengusap lembut lengan atas Arga.
"Maafkan mama ya Mas, masih keras hatinya, padahal aku di keluargamu selalu disambut dengan tangan yang terbuka, sedangkan mama selalu seperti ini dan sekarang, ngomongnya malah ngacau!" Melani mengungkapkan keluh kesahnya, dia menyadari bahwa mamanga memang keterlaluan, apalagi memaksa mereka harus melakukan pemeriksaan ke dokter.
Sambil mengemudikan stir mobil, Arga mengulas senyumnya dan memberikan usapan lembut di puncak kepala Melani.
"Kamu jangan khawatir, wajar, orang ta selalu ingin yang terbaik."
"Tapi Mas, kita ini juga kan udah usaha tiap malam, tiap saat kalau ada waktu, tapi memang belum dikasih, kadang aku takut Mas kalau kita periksa ke dokter, hasilnya akan membuat salah satu dari kita akan goyah."
"Udah, nggak usah suudzon, berpikirlah yang baik."
Melani memiringkan tubuhnya, lalu menatap cemas pada Arga. "Jadi kamu benar-benar setuju kita melaksanakan promil dan periksa kesuburan?"
Arga mengangguk tanpa menoleh ke arah Melani yang kini agak menundukkan wajahnya dan menggigit bibirnya.
"Mas, kalau misalkan aku enggak bisa dan ternyata bermasalah dengan kandungan, apakah Mas Arga akan meminta izin poligami?" tanya Melani dengan takut.
Kali ini Arga menoleh. Sorot matanya teduh. "Bagaimana kalau pertanyaannya dibalik? Bagaimana kalau aku yang bermasalah?"
Melani tertegun. Pertanyaan suaminya seakan menyiratkan sesuatu. Sorot mata Arga yang teduh, tampak berbeda.
Sejak hari di mana mereka bertandang ke rumah Bu Ratmi, Melani dan Arga kembali disibukkan dengan pekerjaan di usaha katering harian juga kedai prasmanan yang berada di area kompleks sebelah rumah Melani dan Arga.
Mereka saling berbagi tugas. Arga bagian kontrol masakan dan dapur serta makanan yang dihidangkan di kedai dan juga bagian antar katering. Sedangkan Melani fokus pada kontrol pembukuan dan pemasaran.
Arga berangkat ke kedai mereka saat pukul enam pagi karena harus mengawasi bagian dapur dan bahan-bahan yang biasana akan dikirim saat jam tersebut. Sedangkan Melani, akan ke kedai di pukul delapan pagi. Saat pagi sampai siang pukul sebelas, kasir akan dijaga sendiri oleh Melani. Baru setelah itu, akan ada Siska yang bertugas sebagai kasir juga merangkap mencatat dan menerima order dari pelanggan.
Pekerjaan mereka ini, membuat obrolan mengenai pemeriksaan kesehatan dan kesuburan kembali terabaikan. Sehingga sama sekali tidak ada lagi bahasan mengenai kontrol kesehatan.
"Pagi Bu Mel," sapa Siska dengan lembut pada. Gadis berhijab ini masih muda dan terlihat sopan. Selama bekerja hampir satu tahun di kedai, Siska cekatan dan teliti. Sampai saat ini, belum ada catatan buruk mengenai kinerjanya.
"Pagi Siska. Makasih ya udah mau gantiin saya buat pagi ini karena mu ketemu sama teman."
"Enggak apa-apa kok Bu."
"Ya sudah, kamu stand by ya, pagi ini nggak terlalu ramai kedai, saya mau ke dapur dulu."
Melani berjalan menuju arah dapur yang dibagi menjadi dua: satu bagian untuk memasak dan satu sisi lagi untuk bagian menyiapkan bahan. Melihat bahu tegap suaminya, Melani mendekat dan menepuk pelan, hingga suaminya itu menoleh.
"Siska udah datang?" tanya Arga.
"Sudah Mas, aku pergi dulu ya, beneran nih enggak apa-apa, kalau aku ketemuan sama teman-teman penyiar?"
Arga membersihkan tangannya terlebih dulu di wastafel kemudian ia berjalan perlahan ke arah tangga seakan menuntun Melani untuk mengikutinya. Ruangan di lantai atas terdiri tiga kamar. Satu kamar digunakan ruangan Arga dan Melani yang hanya ada meja kerja, lemari, dan juga sofa yang cukup besar untuk beristirahat. Sedangkan dua ruangan lainnya digunakan untuk tempat tidur pegawai laki-laki yang memang bekerja dan menginap di kedai.
"Kok ke ruang kerja kamu sih Mas?" tanya Melani dengan heran.
Begitu membuka ruang kerjanya, Arga segera mengecup pipi Melani tiba-tiba lalu mengusap pucuk kepala istrinya. Melani yang baru merasakan terkejut dan tersipu, dibuat semakin merona karena usapan lembut suaminya. Perlakuan kecil Arga selalu mampu membuat Melani merasakan lilitan di perutnya yang membuatnya terus merasakan cinta dari Arga.
"Hati-hati di jalan," ucap Arga lembut.
"Udah, gitu aja? Kalau cuma cium pipi mah, ngapain ke atas, di dapur juga bisa kan?"
Arga hanya menggeleng meski bibirnya tersenyum manis hingga lesung pipi di sebelah kiri itu mencuat. Melani paham, bahwa suaminya memang merasa risih dan malu bila harus bermesraan di depan banyak orang.
"Udah, berangkat aja. Nanti aku jemput atau bagaimana? Sekalian kita makan di luar," tawar Arga.
“Masa tukang katering malah jajan di luar,” balas Melani dengan candaan pada suaminya. Namun, Melani tiba-tiba melipat bibirnya ke dalam sembari bergumam. Seolah-olah dia sedang berpikir keras. "Hm ... aku mau ngecat rambutku boleh enggak? Pengen warna rainbow gitu, habis acara sama anak-anak aku ke salon biasa, ya, nanti Mas Arga jemput ke salon aja, terus kita makan steik yang di daerah Cicaheum aja Mas, yang baru buka itu. Gimana?"
Arga mengangguk. "Boleh."
Setelah Melani puas mengecup pipi dan bibir suaminya, mereka berdua turun ke bawah. Arga mengantarkan Melani hingga ke tempat parkir mobil.
Perlakuan lembut Arga dan segala perhatiannya untuk Melani, membuat seseorang di balik jendela yang menatap keduanya seakan terbakar cemburu.
Arga kembali mengecek pekerjaan dan rasa masakan yang disajikan pada menu hari ini. Pada satu tahun awal, Arga memasak secara penuh dibantu dengan dua orang pegawai. Ia memiliki pengetahuan dan kemampuan memasak merupakan bekal dari kemampuannya bekerja di hotel sebagai asisten chef juga resep dari ibunya yang juga merintis kedai warteg sejak ayahnya meninggal dunia.Satu tahun setelah menikah dengan Melani, Arga memutuskan untuk resign bekerja dan membuka usaha sendiri. Awalnya hanya katering harian, tapi perlahan, Arga memutuskan untuk juga membuat warteg prasmanan. Kini usaha mereka sudah berjalan hampir empat tahun dan hasilnya pun mulai tampak.Setelah selesai melakukan cek pada pekerjaan di dapur, Arga kembali ke arah depan da duduk di sebelah Siska. Sudah biasa memang. Karena saat jam-jam setelah makan siang begini, biasanya akan ada rekapan untuk cek order harian, apakah ada yang cancel atau tambahan order."Enggak ada penambahan yang order ya Sis,
Arga termenung saat kembali memikirkan kejadian di kamar mandi beberapa waktu lalu. Ia sama sekali tidak pernah menceritakan pada Melani. Hanya saja, Arga merasa bersalah pada istrinya. Sungguh, ia pun tak menyangka juga tidak pernah berpikir akan seperti itu. Kini, ia hanya berharap bahwa tidak ada yang pernah melihat perbuatannya dengan Siska, apalagi sampai terdengar di telinga Melani. Bagaimanapun juga, Arga tidak ingin menceraikan istrinya meskipun sampai saat ini, mereka belum memiliki keturunan. "Mas, kenapa ngelamun?" tanya Melani yang merasa agak heran dengan Arga yang beberapa hari ini tampak melamun, entah memikirkan apa. Melani pun tidak tahu. Melani mendekat dan duduk di samping Arga. Seperti biasa, kepalanya bersandar di bahu suaminya dan Arga akan senang mengusap-usap rambutnya. "Rambut rainbow kamu lucu," ucap Arga. "Cocok kan tapi?" Sembari mengecup puncak kepala istrinya, Arga juga menghidu rambut Melan
Bab 7 Siska: Pak Arga, yang waktu itu di kamar mandi, perlu saya kembalikan enggak? Arga meremas ponselnya. Pesan Siska membuat wajahnya merah padam hingga sanggup membuat dadanya berdentam kuat. Sial! Gadis itu mengirimkan pesan bernada provokasi yang membuatnya mengingat kembali kejadian di kamar mandi yang membuatnya semakin dilema. Ia tertunduk sembari membungkukkan badannya. Di sebelahnya, Melani duduk dengan tidak tenang. "Mas Arga, kamu kenapa? Gugup ya?" Sama Mas, aku juga gugup." Arga meringis dalam hati. Dosanya seakan kian bertambah. Arga bukan gugup karena akan memeriksakan diri, tapi justru karena pesan Siska. Buru-buru Arga memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, kemudian Arga menggenggam tangan Melani yang terasa dingin. "Kita hadapi sama-sama ya, dan tetap yakinkan diri kita agar tidak akan pernah berubah setelah hasil semuanya keluar," ucap Arga dengan meyakinkan. Melani mengangguk dan netranya berkaca-kac
PL :Mas Arga, ini rekap orderan sudah aku kirim ya. Have Fun ya. PL :rasanya sepi enggak ada Mas Arga PL : Oh ya, jangan lupa pesanku ya. Netranya membeliak saat melihat nama PL masih memanggil. Melani hanya membiarkan saja hingga panggilan itu berakhir dengan sendirinya. Jemarinya bahkan gemetar saat hendak menekan kode ponsel Arga. Setelah terbuka, tiga notifikasi pop up pesan dari PL, bisa Melani baca dengan jelas. Namun, siapa PL, Melani tidak mengenalnya secara langsung. Melani sangat mengenal dengan baik siapa dan bagaimana Arga. Mereka sudah bersama hampir enam tahun, sehingga tidak mungkin bila suaminya itu berkhianat. Setidaknya itulah yang ingin Melani percayai. Melani tidak dapat lagi membendung air matanya. Dia menggigit bibirnya sendiri agar isakannya tidak terdengar. Hanya pesan, dan belum tentu terjadi sesuatu antara Arga dan PL. Namun, bagaimana bisa Melani berpikir positif, sejak kapan suaminya itu dekat dengan seseorang
Bab 7 Siska: Pak Arga, yang waktu itu di kamar mandi, perlu saya kembalikan enggak? Arga meremas ponselnya. Pesan Siska membuat wajahnya merah padam hingga sanggup membuat dadanya berdentam kuat. Sial! Gadis itu mengirimkan pesan bernada provokasi yang membuatnya mengingat kembali kejadian di kamar mandi yang membuatnya semakin dilema. Ia tertunduk sembari membungkukkan badannya. Di sebelahnya, Melani duduk dengan tidak tenang. "Mas Arga, kamu kenapa? Gugup ya?" Sama Mas, aku juga gugup." Arga meringis dalam hati. Dosanya seakan kian bertambah. Arga bukan gugup karena akan memeriksakan diri, tapi justru karena pesan Siska. Buru-buru Arga memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, kemudian Arga menggenggam tangan Melani yang terasa dingin. "Kita hadapi sama-sama ya, dan tetap yakinkan diri kita agar tidak akan pernah berubah setelah hasil semuanya keluar," ucap Arga dengan meyakinkan. Melani mengangguk dan netranya berkaca-kac
Arga termenung saat kembali memikirkan kejadian di kamar mandi beberapa waktu lalu. Ia sama sekali tidak pernah menceritakan pada Melani. Hanya saja, Arga merasa bersalah pada istrinya. Sungguh, ia pun tak menyangka juga tidak pernah berpikir akan seperti itu. Kini, ia hanya berharap bahwa tidak ada yang pernah melihat perbuatannya dengan Siska, apalagi sampai terdengar di telinga Melani. Bagaimanapun juga, Arga tidak ingin menceraikan istrinya meskipun sampai saat ini, mereka belum memiliki keturunan. "Mas, kenapa ngelamun?" tanya Melani yang merasa agak heran dengan Arga yang beberapa hari ini tampak melamun, entah memikirkan apa. Melani pun tidak tahu. Melani mendekat dan duduk di samping Arga. Seperti biasa, kepalanya bersandar di bahu suaminya dan Arga akan senang mengusap-usap rambutnya. "Rambut rainbow kamu lucu," ucap Arga. "Cocok kan tapi?" Sembari mengecup puncak kepala istrinya, Arga juga menghidu rambut Melan
Arga kembali mengecek pekerjaan dan rasa masakan yang disajikan pada menu hari ini. Pada satu tahun awal, Arga memasak secara penuh dibantu dengan dua orang pegawai. Ia memiliki pengetahuan dan kemampuan memasak merupakan bekal dari kemampuannya bekerja di hotel sebagai asisten chef juga resep dari ibunya yang juga merintis kedai warteg sejak ayahnya meninggal dunia.Satu tahun setelah menikah dengan Melani, Arga memutuskan untuk resign bekerja dan membuka usaha sendiri. Awalnya hanya katering harian, tapi perlahan, Arga memutuskan untuk juga membuat warteg prasmanan. Kini usaha mereka sudah berjalan hampir empat tahun dan hasilnya pun mulai tampak.Setelah selesai melakukan cek pada pekerjaan di dapur, Arga kembali ke arah depan da duduk di sebelah Siska. Sudah biasa memang. Karena saat jam-jam setelah makan siang begini, biasanya akan ada rekapan untuk cek order harian, apakah ada yang cancel atau tambahan order."Enggak ada penambahan yang order ya Sis,
"Kalian ini kan udah mulai mapan, usaha juga makin maju, cobalah ke dokter spesialis atau kalau enggak ke klinik khusus bayi tabung, biar bisa tahu kendalanya apa dan tindakan apa yang harus diambil," ucap Bu Ratmi. "Ma ...." Melani menegur mamanya dengan lembut, selain itu, ia sangat tidak enak dengan Arga--sang suami yang mulai terlihat tidak nyaman. Setiap mereka bertandang ke rumah keluarga besar Melani, sambutan Bu Ratmi memang kurang ramah sejak Arga diperkenalkan oleh Melani sebagai pacar pertama kali. "Kalau memang masih belum cukup uangnya, deposito sama rumah warisan almarhum papa bisa kamu pakai Mel, jangan kayak orang susah, buat cek kondisi kesehatan aja masa nggak bisa?!" sekali lagi Bu Ratmi semakin pedas dalam bertutur. "Ma, kita tuh nyantai kok, lagian zaman sekarang ini menikah nggak cuma karena pengin punya anak, tapi banyak hal lainnya," sanggah Melani. "Hal lain apa? Orang nikah tujuannya berkeluarga dan punya anak, kalau bu
PL :Mas Arga, ini rekap orderan sudah aku kirim ya. Have Fun ya. PL :rasanya sepi enggak ada Mas Arga PL : Oh ya, jangan lupa pesanku ya. Netranya membeliak saat melihat nama PL masih memanggil. Melani hanya membiarkan saja hingga panggilan itu berakhir dengan sendirinya. Jemarinya bahkan gemetar saat hendak menekan kode ponsel Arga. Setelah terbuka, tiga notifikasi pop up pesan dari PL, bisa Melani baca dengan jelas. Namun, siapa PL, Melani tidak mengenalnya secara langsung. Melani sangat mengenal dengan baik siapa dan bagaimana Arga. Mereka sudah bersama hampir enam tahun, sehingga tidak mungkin bila suaminya itu berkhianat. Setidaknya itulah yang ingin Melani percayai. Melani tidak dapat lagi membendung air matanya. Dia menggigit bibirnya sendiri agar isakannya tidak terdengar. Hanya pesan, dan belum tentu terjadi sesuatu antara Arga dan PL. Namun, bagaimana bisa Melani berpikir positif, sejak kapan suaminya itu dekat dengan seseorang