Arga termenung saat kembali memikirkan kejadian di kamar mandi beberapa waktu lalu. Ia sama sekali tidak pernah menceritakan pada Melani. Hanya saja, Arga merasa bersalah pada istrinya. Sungguh, ia pun tak menyangka juga tidak pernah berpikir akan seperti itu.
Kini, ia hanya berharap bahwa tidak ada yang pernah melihat perbuatannya dengan Siska, apalagi sampai terdengar di telinga Melani. Bagaimanapun juga, Arga tidak ingin menceraikan istrinya meskipun sampai saat ini, mereka belum memiliki keturunan.
"Mas, kenapa ngelamun?" tanya Melani yang merasa agak heran dengan Arga yang beberapa hari ini tampak melamun, entah memikirkan apa. Melani pun tidak tahu.
Melani mendekat dan duduk di samping Arga. Seperti biasa, kepalanya bersandar di bahu suaminya dan Arga akan senang mengusap-usap rambutnya.
"Rambut rainbow kamu lucu," ucap Arga.
"Cocok kan tapi?"
Sembari mengecup puncak kepala istrinya, Arga juga menghidu rambut Melani yang beraroma stroberi lembut dan segar.
"Tambah cantik."
"Hm ... Mas, kita jadi untuk program kehamilan?" tanya Melani ragu.
"Aku sudah melakuan reservasi juga appoinment dengan rumah sakit ibu dan anak yang di dekat daerah Pajajaran, kita akam melakukan pemeriksaan dan langkah selanjutnya mulai minggu depan."
"Mas?!" Melani terkejut hingga ia menatap suaminya dengan bola mata yang kian lebar.
Arga menyibak surai Melani ke belakang, lalu memberikan senyum manis pada istrinya itu. "Anggap saja ini salah satu usaha kita, ucapan mama memang benar, bahwa kita harus banyak berusaha bukan, apa pun hasilnya yang pasti dengan terus melakukan banyak cara pasti akan ada hasilnya."
"Tapi Mas ... aku takut kalau hasilnya aku--" Arga menyela dengan menaruh telunjuknya di bibir Melani.
"Kamu jangan takut Sayang, apa pun hasilnya akan kita hadapi sama-sama, dan enggak akan ada yang berubah," ucap Arga berusaha meyakinkan istrinya.
"Meski aku enggak bisa memberikan kamu keturunan?" Tanya Melani lagi.
Arga terus bermain dengan rambut warna-warni milik Melani terlihat menggemaskan. Tangan kirinya turun ke bawah dan membelai lembut leher jenjang istrinya. Arga bahkan menunduk hingga kemudian ia menyesap leher istrinya itu dan mengakhirinya dengan sebuah kecupan basah nan dalam.
"Apa pun hasilnya kita tidak akan pernah berubah Mel, aku sayang sama kamu dan cuma kamu, untuk itu kita ikhtiar dan salah satu ikhtiar kita adalah menghabiska malam ini dengan panas," ucap Arga dengan suaranya yang sudah parau.
Tangannya terus bergerilya ke bawah dan mengusal lembut di dada istrinya dan bermain untuk beberap saat di sana, hingga terus memberikan rangsangan pada Melani. Lima tahun bersama, tentu membuat Arga paham betul di mana titik-titik panas istrinya itu.
Aroma tubuh Melani selalu segar dan lembut khas wangi stroberi pun di rambutnya. Tubuh Melani cenderung sintal dan Arga sangat menyukainya. Ia mendekap erat istrinya dan terus menjamah dengan perlahan yang justru membuat Melani semakin tersiksa.
Arga menuntun istrinya menuju ranjang mereka lalu membaringkannya. Membuk lebar kedua paha istrinya dan semakin bermain liar di sana. Saat Melani sudah merasa siap, tanpa ragu, Arga memulai permainan panas mereka, menghujam dengan dalam dan lembut.
Keduanya saling mendesah dan meneriakkan nama masing-masing, hingga pelepasan di dapat dan Arga segera memeluk Melani kian erat dan menekan ke dalam.
Permainan mereka selalu memuaskan keduanya, hanya saja kali ini, Arga merasa dirinya bersalah dan berdosa. Untuk pertama kalinya, Arga membayangkan wanita lain yang berada di bawahnya.
***
Melani sedikit merasa heran, karena akhir-akhir ini, Siska sering datang lebih pagi dari biasanya dan lebih rajin membantu. Tak hanya itu saja, Siska juga yang biasanya bisa pulang lebih cepat, sekarang ini bahkan sampai menunggu kedai tutup di pukul delapan malam. Padahal biasanya, setelah menyelesaikan laporan, Siska akan segera pergi. Namun, Melani hanya berpikir sederhana, mungkin memang Melani sedang dekat dengan salah satu pegawai laki-lakinya terutama yang bernama Taryana atau yang akrab dipanggi Yana.
"Kamu udah boleh pulang Sis, Antapani ke Bojong Koneng lumayan perjalanannya, apalagi kalau malam," ucap Melani tanpa bermaksud untuk mengusir.
"Oh iyah Bu, saya nunggu kedai tutup aja, biar pulangnya bisa bareng-bareng sama yang lain."
Melani mengerutkan dahinya. Pikirnya, respons Melani ini agak ngeyel seperti ... entah menunggu apa. Namun, Melani pun enggan kembali merespons gadis muda itu. Jika ditelisik, penampilan Melani semakin lama terlihat semakin berani karena cukup ketat terutama menampakkan bagian depan dan belakang tubuhnya yang menonjol itu.
"Besok, kamu tetap masuk seperti biasa aja, tapi siangnya, saya sama suami akan pergi agak lama dan kedai akan diawasi sama Yana."
"Oh, iya Bu, siap atuh kalau gitu. Memangnya mau pergi ke mana Bu?"
Alis Melani semakin berkerut. Dirinya merasa aneh dengan Siska yang tampak sangat ingin tahu dengan urusannya. Namun, Melani memilih abai dan tidak menjawab pertanyaan gadis itu, malah berdiri saat melihat suaminya sudah turun dari anak tangga.
"Mas, kita jadi ke Punclut dulu?" tanya Melani pada Arga dan tangannya sudah merain lengan suaminya itu.
"Jadi, tapi kamu enggak apa-apa kan? Takutnya besok tambah kelelahan."
"Enggak apa-apa Mas, atau besok aku bisa di rumah dulu dan Mas Arga jemput aku aja, gimana?"
"Boleh."
Manja ...
Melani samar-samar mendengar suara decih dan kata 'manja' dari bibir Siska yang entah ditujukan pada siapa saat melewati Siska. Namun, bukankah pegawai perempuan lain sedang di belakang dan di ruang depan ini hanya ada mereka bertiga.
Sekali lagi, Melani berusaha menampik dan abai. Tak mau memperpanjang, karena bisa jadi Melani sedang terlalu overthinking.
Dalam perjalanannya menuju Punclut yang berada di daerah kawasan atas kota Bandung, Melani hanya diam, tidak banyak bicara seperti biasa. Lantunan lagi kemudian suara penyiar yang memandu program radio terdengar, Arga dan Melani memang lebih suka berkendara sembari mendengarkan radio, terutama Melani yang memang mantan penyiar radio.
Arga menoleh beberapa kali dan melihat alis Melani yang terus berkerut dan bibirnya sedikit mengerucut. Arga tak hanya merasa heran, tapi juga jadi khawatir, apakah ada salah, atau Melani sedang gugup memikirkan kedatangan mereka yang pertama kali ke klinik khusus program kehamilan.
Arga mengulurkan tangannya lalu mengacak lembut rambut Melani. "Kamu kenapa Mel?" tanya Arga dengan nada lembut.
Melani menoleh lalu menghela napasnya kasar. "Aku emang jutek ya, Mas?"
"Kenapa tanya gitu?" Arga malah balik bertanya.
"Aneh aja aku tuh sama Siska, kok, dia itu enggak suka sama aku gitu Mas."
Arga terperanjat tapi berusaha seminimal mungkin tidak menunjukkan pada Melani.
"Mungkin, cuma perasaan kamu aja, Mel, atau Siska yang justru lagi banyak pikiran dan malah jutek ke semuanya," kilah Arga berusaha menenangkan istrinya.
"Enggak deh Mas, ini tuh kayak ke aku aja, makanya aku mikir apa ada yang salah dari aku, takutnya bikin kerja pegawai kita enggak nyaman."
Arga bagai ditikam sembilu. Perkataan Melani membuatnya semakin merasa bersalah. Tangannya mencengkeram kuat pada stir mobil. Sembari terus berusaha fokus mengemudikan mobil dengan benar, Arga terus menggumam dalam hati.
Maafkan aku Melani.
Bab 7 Siska: Pak Arga, yang waktu itu di kamar mandi, perlu saya kembalikan enggak? Arga meremas ponselnya. Pesan Siska membuat wajahnya merah padam hingga sanggup membuat dadanya berdentam kuat. Sial! Gadis itu mengirimkan pesan bernada provokasi yang membuatnya mengingat kembali kejadian di kamar mandi yang membuatnya semakin dilema. Ia tertunduk sembari membungkukkan badannya. Di sebelahnya, Melani duduk dengan tidak tenang. "Mas Arga, kamu kenapa? Gugup ya?" Sama Mas, aku juga gugup." Arga meringis dalam hati. Dosanya seakan kian bertambah. Arga bukan gugup karena akan memeriksakan diri, tapi justru karena pesan Siska. Buru-buru Arga memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, kemudian Arga menggenggam tangan Melani yang terasa dingin. "Kita hadapi sama-sama ya, dan tetap yakinkan diri kita agar tidak akan pernah berubah setelah hasil semuanya keluar," ucap Arga dengan meyakinkan. Melani mengangguk dan netranya berkaca-kac
PL :Mas Arga, ini rekap orderan sudah aku kirim ya. Have Fun ya. PL :rasanya sepi enggak ada Mas Arga PL : Oh ya, jangan lupa pesanku ya. Netranya membeliak saat melihat nama PL masih memanggil. Melani hanya membiarkan saja hingga panggilan itu berakhir dengan sendirinya. Jemarinya bahkan gemetar saat hendak menekan kode ponsel Arga. Setelah terbuka, tiga notifikasi pop up pesan dari PL, bisa Melani baca dengan jelas. Namun, siapa PL, Melani tidak mengenalnya secara langsung. Melani sangat mengenal dengan baik siapa dan bagaimana Arga. Mereka sudah bersama hampir enam tahun, sehingga tidak mungkin bila suaminya itu berkhianat. Setidaknya itulah yang ingin Melani percayai. Melani tidak dapat lagi membendung air matanya. Dia menggigit bibirnya sendiri agar isakannya tidak terdengar. Hanya pesan, dan belum tentu terjadi sesuatu antara Arga dan PL. Namun, bagaimana bisa Melani berpikir positif, sejak kapan suaminya itu dekat dengan seseorang
"Kalian ini kan udah mulai mapan, usaha juga makin maju, cobalah ke dokter spesialis atau kalau enggak ke klinik khusus bayi tabung, biar bisa tahu kendalanya apa dan tindakan apa yang harus diambil," ucap Bu Ratmi. "Ma ...." Melani menegur mamanya dengan lembut, selain itu, ia sangat tidak enak dengan Arga--sang suami yang mulai terlihat tidak nyaman. Setiap mereka bertandang ke rumah keluarga besar Melani, sambutan Bu Ratmi memang kurang ramah sejak Arga diperkenalkan oleh Melani sebagai pacar pertama kali. "Kalau memang masih belum cukup uangnya, deposito sama rumah warisan almarhum papa bisa kamu pakai Mel, jangan kayak orang susah, buat cek kondisi kesehatan aja masa nggak bisa?!" sekali lagi Bu Ratmi semakin pedas dalam bertutur. "Ma, kita tuh nyantai kok, lagian zaman sekarang ini menikah nggak cuma karena pengin punya anak, tapi banyak hal lainnya," sanggah Melani. "Hal lain apa? Orang nikah tujuannya berkeluarga dan punya anak, kalau bu
Arga kembali mengecek pekerjaan dan rasa masakan yang disajikan pada menu hari ini. Pada satu tahun awal, Arga memasak secara penuh dibantu dengan dua orang pegawai. Ia memiliki pengetahuan dan kemampuan memasak merupakan bekal dari kemampuannya bekerja di hotel sebagai asisten chef juga resep dari ibunya yang juga merintis kedai warteg sejak ayahnya meninggal dunia.Satu tahun setelah menikah dengan Melani, Arga memutuskan untuk resign bekerja dan membuka usaha sendiri. Awalnya hanya katering harian, tapi perlahan, Arga memutuskan untuk juga membuat warteg prasmanan. Kini usaha mereka sudah berjalan hampir empat tahun dan hasilnya pun mulai tampak.Setelah selesai melakukan cek pada pekerjaan di dapur, Arga kembali ke arah depan da duduk di sebelah Siska. Sudah biasa memang. Karena saat jam-jam setelah makan siang begini, biasanya akan ada rekapan untuk cek order harian, apakah ada yang cancel atau tambahan order."Enggak ada penambahan yang order ya Sis,
Bab 7 Siska: Pak Arga, yang waktu itu di kamar mandi, perlu saya kembalikan enggak? Arga meremas ponselnya. Pesan Siska membuat wajahnya merah padam hingga sanggup membuat dadanya berdentam kuat. Sial! Gadis itu mengirimkan pesan bernada provokasi yang membuatnya mengingat kembali kejadian di kamar mandi yang membuatnya semakin dilema. Ia tertunduk sembari membungkukkan badannya. Di sebelahnya, Melani duduk dengan tidak tenang. "Mas Arga, kamu kenapa? Gugup ya?" Sama Mas, aku juga gugup." Arga meringis dalam hati. Dosanya seakan kian bertambah. Arga bukan gugup karena akan memeriksakan diri, tapi justru karena pesan Siska. Buru-buru Arga memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, kemudian Arga menggenggam tangan Melani yang terasa dingin. "Kita hadapi sama-sama ya, dan tetap yakinkan diri kita agar tidak akan pernah berubah setelah hasil semuanya keluar," ucap Arga dengan meyakinkan. Melani mengangguk dan netranya berkaca-kac
Arga termenung saat kembali memikirkan kejadian di kamar mandi beberapa waktu lalu. Ia sama sekali tidak pernah menceritakan pada Melani. Hanya saja, Arga merasa bersalah pada istrinya. Sungguh, ia pun tak menyangka juga tidak pernah berpikir akan seperti itu. Kini, ia hanya berharap bahwa tidak ada yang pernah melihat perbuatannya dengan Siska, apalagi sampai terdengar di telinga Melani. Bagaimanapun juga, Arga tidak ingin menceraikan istrinya meskipun sampai saat ini, mereka belum memiliki keturunan. "Mas, kenapa ngelamun?" tanya Melani yang merasa agak heran dengan Arga yang beberapa hari ini tampak melamun, entah memikirkan apa. Melani pun tidak tahu. Melani mendekat dan duduk di samping Arga. Seperti biasa, kepalanya bersandar di bahu suaminya dan Arga akan senang mengusap-usap rambutnya. "Rambut rainbow kamu lucu," ucap Arga. "Cocok kan tapi?" Sembari mengecup puncak kepala istrinya, Arga juga menghidu rambut Melan
Arga kembali mengecek pekerjaan dan rasa masakan yang disajikan pada menu hari ini. Pada satu tahun awal, Arga memasak secara penuh dibantu dengan dua orang pegawai. Ia memiliki pengetahuan dan kemampuan memasak merupakan bekal dari kemampuannya bekerja di hotel sebagai asisten chef juga resep dari ibunya yang juga merintis kedai warteg sejak ayahnya meninggal dunia.Satu tahun setelah menikah dengan Melani, Arga memutuskan untuk resign bekerja dan membuka usaha sendiri. Awalnya hanya katering harian, tapi perlahan, Arga memutuskan untuk juga membuat warteg prasmanan. Kini usaha mereka sudah berjalan hampir empat tahun dan hasilnya pun mulai tampak.Setelah selesai melakukan cek pada pekerjaan di dapur, Arga kembali ke arah depan da duduk di sebelah Siska. Sudah biasa memang. Karena saat jam-jam setelah makan siang begini, biasanya akan ada rekapan untuk cek order harian, apakah ada yang cancel atau tambahan order."Enggak ada penambahan yang order ya Sis,
"Kalian ini kan udah mulai mapan, usaha juga makin maju, cobalah ke dokter spesialis atau kalau enggak ke klinik khusus bayi tabung, biar bisa tahu kendalanya apa dan tindakan apa yang harus diambil," ucap Bu Ratmi. "Ma ...." Melani menegur mamanya dengan lembut, selain itu, ia sangat tidak enak dengan Arga--sang suami yang mulai terlihat tidak nyaman. Setiap mereka bertandang ke rumah keluarga besar Melani, sambutan Bu Ratmi memang kurang ramah sejak Arga diperkenalkan oleh Melani sebagai pacar pertama kali. "Kalau memang masih belum cukup uangnya, deposito sama rumah warisan almarhum papa bisa kamu pakai Mel, jangan kayak orang susah, buat cek kondisi kesehatan aja masa nggak bisa?!" sekali lagi Bu Ratmi semakin pedas dalam bertutur. "Ma, kita tuh nyantai kok, lagian zaman sekarang ini menikah nggak cuma karena pengin punya anak, tapi banyak hal lainnya," sanggah Melani. "Hal lain apa? Orang nikah tujuannya berkeluarga dan punya anak, kalau bu
PL :Mas Arga, ini rekap orderan sudah aku kirim ya. Have Fun ya. PL :rasanya sepi enggak ada Mas Arga PL : Oh ya, jangan lupa pesanku ya. Netranya membeliak saat melihat nama PL masih memanggil. Melani hanya membiarkan saja hingga panggilan itu berakhir dengan sendirinya. Jemarinya bahkan gemetar saat hendak menekan kode ponsel Arga. Setelah terbuka, tiga notifikasi pop up pesan dari PL, bisa Melani baca dengan jelas. Namun, siapa PL, Melani tidak mengenalnya secara langsung. Melani sangat mengenal dengan baik siapa dan bagaimana Arga. Mereka sudah bersama hampir enam tahun, sehingga tidak mungkin bila suaminya itu berkhianat. Setidaknya itulah yang ingin Melani percayai. Melani tidak dapat lagi membendung air matanya. Dia menggigit bibirnya sendiri agar isakannya tidak terdengar. Hanya pesan, dan belum tentu terjadi sesuatu antara Arga dan PL. Namun, bagaimana bisa Melani berpikir positif, sejak kapan suaminya itu dekat dengan seseorang